PLURALITAS AGAMA DALAM PANDANGAN THABÂTHABÂ'I
(Analisis Terhadap Penafsiran Thabâthabâ'i
Terhadap Surat al-Baqarah ayat 62)
Oleh: Dr. Evra Willya, M.Ag¨
Abstrak
Pluralitas
keagamaan adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak-kontak antara
komunitas-komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada
kelompok masyarakat yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain
yang berbeda agama. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok pemisah
yang dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat. Yang
menjadi persoalan bukanlah pluralitas agama itu sendiri, tetapi adalah
bagaimana kita bersikap terhadap pluralitas itu. Apakah kita menghargai,
menghormati, memelihara, dan mengembangkan pluralitas itu? Apakah masing-masing
kita mampu hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan kelompok lain
yang berbeda agama? Hubungan antar
umat beragama tidak selalu harmonis dan bersahabat. Hubungan ini kadang-kadang
atau sering diwarnai konflik, kebencian, dan permusuhan. Bentuk-bentuk hubungan
antar umat beragama baik harmonis maupun konflik -meskipun lebih sering
ditimbulkan oleh faktor sosial politik- tidak pernah terlepas dari faktor
keagamaan. Karena itu dalam memelihara dan membina hubungan yang harmonis antar
komunitas-komunitas yang berbeda agama, faktor keagamaan tidak bisa diabaikan
Terdapatnya sekelompok masyarakat yang fanatik terhadap suatu agama,
mengakibatkan berbagai ketegangan, konflik, kekerasan, dan pembunuhan atas nama
agama. Dalam konteks ini diperlukan paradigma baru kerukunan antar umat
beragama yang humanis, toleran dan sekaligus mengakar di tengah-tengah
masyarakat. Dalam hal pluralitas agama (religious
plurality), Islam adalah agama yang kitab sucinya mengakui eksistensi
agama-agama lain, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 62. Pengakuan Allah
terhadap eksistensi agama-agama dengan tidak membedakan kelompok, suku, dan
bangsa sangat jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama agama pada ayat
tersebut menunjukkan adanya pengakuan al-Qur’an terhadap pluralitas agama. Pilihan
terhadap sosok Thabâthabâ'i karena dalam wacana hubungan antar umat beragama
Thabâthabâ'i digolongkan kepada seorang ulama yang mengakui adanya pluralitas
dalam agama. Thabâthabâ'i yang dengan karya monumentalnya tafsir al-Mîzân banyak memberikan sumbangan
pemikiran dalam khazanah intelektual Islam. Terhadap tafsiran ayat ini
Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa
Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu.
Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai
dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat
perlindungan-Nya dari hukum.
Kata kunci :
Thabâthabâ'i, Pluralitas Agama, Non Muslim
A. Pendahuluan
Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh
keutamaan dan kekhasan. Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau
terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek
komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas
tidak dapat disematkan kepada “situasi cerai berai” dan “permusuhan” yang tidak
mempunyai tali persatuan yang mengikat semua pihak. Tidak juga pada kondisi “cerai berai” yang sama
sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak.[1]
Oleh karena itu pluralitas agama
adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak-kontak antara komunitas
yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada di belahan bumi sekarang
ini kelompok-kelompok yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain
yang berbeda agama. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok pemisah
yang dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat.
Pluralitas keagamaan sebagaimana pluralitas-pluralitas lain seperti pluralitas
etnik, pluralitas kultural, dan pluralitas bahasa adalah semacam hukum alam
yang tidak dapat diingkari.
Dalam hal pluralitas agama (religious
plurality), Islam adalah agama yang kitab sucinya mengakui eksistensi
agama-agama lain, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 62. Pengakuan Allah
terhadap eksistensi agama-agama dengan tidak membedakan kelompok, suku, dan
bangsa sangat jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama agama pada ayat
tersebut menunjukkan adanya pengakuan al-Qur’an terhadap pluralitas agama.
Terhadap tafsiran ayat ini Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut
sekalangan kaum muslimin bahwa Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok
tertentu dengan nama tertentu. Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh
keimanannya dan bertindak sesuai dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran
Tuhan dan mendapat perlindungan-Nya dari hukum.
B. Riwayat
Hidup Thabâthabâ'i
Thabâthabâ'i dilahirkan di kota Tabriz, Iran dengan nama
Muhammad Husain pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H[2] yang bertepatan dengan tahun 1903
M.[3] Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad
Husain bin Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza Ali Ashghâr
Syekh al-Islâm al-Thabâthabâ'i al-Tibriz al-Qâdhi.[4] Thabâthabâ'i sangat beruntung terlahir dari
keluarga akademisi dan ulama. Keluarganya selama empat belas generasi telah
melahirkan ulama-ulama Islam terkemuka, dalam berbagai disiplin ilmu. kakeknya,
al-Sayyid Muhammad Husain adalah seorang murid terbaik dari
pengarang al-Jawâhir dan Syekh Musâ Kasyif al-Ghita. Bila diruntun sampai ke
atas, nasab keluarganya bersambung hingga kepada Ali bin Abi Thalib.[5]
Husein Nasr
menggolongkan Thabâthabâ'i dalam kelompok ulama tradisional[6] yang sangat responsif terhadap
pemikiran kontemporer. Dalam dirinya menyatu sosok seorang Syekh karena
keakrabannya dengan ilmu-ilmu klasik, sekaligus ilmuwan dengan klasifikasi
tersendiri. Gelar hakim atau teosof yang hanya dikenal di dunia Syi'ah,
disandangnya karena penguasaannya secara sempurna atas berbagai aliran
filsafat, baik Timur maupun Barat. Selain itu ia juga menguasai dengan baik
bidang syariat, eksetoris, tanpa melupakan ilmu-ilmu esoteris, sehingga ia
dikenal sebagai seorang faqîh sekaligus sufi.[7]
Pendidikan masa kecil Thabâthabâ'i berlangsung secara tradisional, yang bersentuhan
dengan ilmu-ilmu dasar. Ia telah mempelajari al-Qur'an dan berbagai kitab
klasik mengenai kesusastraan dan sejarah seperti Gulistan dan Bustan
karya Sa'di, Nesab, dan akhlak, Anvar-e Sohayli, Tarekh-e Mu'jam dan
Irsyad al-Qur'an, al-Hisab dan beberapa karya ulama lainnya seperti Amir-e
Nezam.[8] Di sela-sela kesibukannya mempelajari ilmu
dasar tersebut, Thabâthabâ'i juga mengkaji agama dan bahasa Arab
dengan membaca buku-buku teks klasik. Kegiatan ini dilakukan selama tujuh tahun
sejak tahun 1928 hingga 1935. Di samping itu ia juga mempelajari beberapa
bidang ilmu seperti gramatika, sintaksis, retorika, fikih, ushul fikih, logika
dan filsafat serta apa yang disebutnya sendiri dengan spiritual science.[9] Dan pada tahun 1935 Thabâthabâ'i melanjutkan pelajarannya secara formal di
Universitas Syi'ah di kota Najaf, Irak.
Di universitas ini
kebanyakan mahasiswa hanya menekuni ilmu-ilmu naqliyah. Thabâthabâ'i selain mempelajari ilmu-ilmu tersebut juga
mempelajari ilmu-ilmu aqliyah. Ia
mempelajari fikih dan ushul fikih dari Mirza Muhammad Husain
al-Na'ini dan dia benar-benar menguasai bidang ini. Mengenai kemampuan Thabâthabâ'i dalam bidang fikih dan ushul fikih, Sayyid Husayn
Nasr memberikan penilaian, kalau saja Thabâthabâ'i tetap bertahan sepenuhnya di bidang tersebut, ia
sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan amat berpengaruh
dalam bidang politik dan sosial.[10] Dalam matematika tradisional ia dibimbing
Sayyid Abu al-Qasim Khunsari, dalam bidang filsafat Islam ia berguru pada
Sayyid Husain Badkuba'i. Ia belajar filsafat Islam dan menyelesaikan
studi karya sejumlah filosof besar, seperti al-Syifa’ karya Ibn Sina, al-Asfar
al-Arba'ah karya Mulla Shadra, dan Tahmid al-Qawâ'id karya
Ibn Kurkah di bawah bimbingan Sayyid Husain Badkuba'i. Ia juga sempat
menjadi murid dua ulama besar di Taheran,
yaitu sayyid Abu al-Hasan Jelwe dan Agha Ali Mudarris Zununi.[11]
Thabâthabâ'i wafat pada tanggal 15 November 1981, setelah lama
dirundung penyakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta
tokoh-tokoh pejuang keagamaan, menghadiri pemakamannya. Bahkan untuk
menghormati kepergian Thabâthabâ'i ini, salah seorang muridnya, Sayyed
Abdullah Syirazi, menyatakan hari wafatnya sebagai hari berkabung dan libur
resmi di Masydad.[12] Di Amerika dan Perancis di mana beberapa
karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis, Thabâthabâ'i digolongkan sebagai filosof yang menonjol di
dunia modern.
Thabâthabâ'i sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasr, merupakan
seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin
ilmu pengetahuan maupun keagamaan yang meliputi fikih, ushul fikih,
tasawuf sampai ilmu matematika, dan filsafat. Sebagai seorang filosof,
kecendrungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya
intelektualnya, termasuk kitab tafsirnya sendiri, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’ân.
Oleh Muhammad Ayyub, kitab
tafsir tersebut bahkan dinilai karya yang selain bersifat filsafat juga
bersifat hukum, teologi, mistik, sosial, dan ilmiah bahkan moderat dan polemis.[13]
C. Karya-karya Thabâthabâ'i
Thabâthabâ'i mulai menulis semenjak masih belajar di Najaf
pada tahun 1925. Selain tetap teguh belajar pada ulama-ulama besar dalam bidang
fikih, filsafat, ushul fikih dan sejarah Islam, di Najaf Thabâthabâ'i juga telah mampu menghasilkan berbagai buku
tentang ilmu Filsafat dasar. Karya–karya Thabâthabâ'i berupa buku dan esai mencapai 96 buah, antara
lain:
- Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’ân. Karya Thabâthabâ'i ini tergolong paling penting, terdiri dari 20 jilid dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
- Ushul e Falsafeh wa Rawish Rialism. Karya ini ditulis dengan metodologi modern. Buku yang berjumlah lima jilid ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan komentar ekstensif oleh Murtadha Muthahari.
- Hasyiyah bar Asfar. Buku yang berisi catatan pinggir atas al-Asfar al-Arba’ah ini kini dianggap sebagai penafsiran paling modern terhadap karya terbesar Mulla Shadra.
- Mushahabeh ba Ustad Corbin Buku sebanyak dua jilid ini adalah transkrip dialog Thabâthabâ'i dan Henry Corbin tentang isu-isu fundamental dalam Islam.
- Ali wa Falsafeh ye al-Illahi. Buku ini menyoroti sosok Ali sebagai Bapak Filsafat dan teosofi.
6.
Syi’ah
dar Islâm. Buku ini dianggap banyak pakar keislaman sebagai
buku standar bagi para peneliti ajaran Syi’ah. Buku ini telah diterjamahkan ke
sejumlah bahasa, termasuk bahasa Indonesia dengan judul Inilah Islam dan
Islam Syi’ah.
7.
Qur’an
dar Islâm. Kedudukan al-Qur’an dalam Islam.
- Bidâyah al-Hikmah. Buku ini sampai sekarang menjadi buku daras utama bagi pelajar filsafat tingkat dasar di Hawzah Qum dan dikomentari banyak ulama.
- Nihâyah al-Hikmah. Buku ini sampai sekarang menjadi buku daras utama bagi pelajar filsafat tingkat menengah di Hawzah Qum. Banyak tokoh yang telah memberi komentar terhadap karya ini seperti Muhammad Taqi Misbah Yazdi dan Fayyazi
- Risâlah dar Hukumât e Islâm. Buku ini mengetengahkan pandangan Thabâthabâ'i tentang sistem pemerintahan Islam
- Risâlah dar Quwwah wa Fi’l. Buku ini mengupas tema penting dalam filsafat Thabâthabâ'i yaitu potensi dan aktus.
- Risâlah dar Itsbate Dzat. Dalam buku ini Thabâthabâ'i menegaskan pandangannya seputar antologi dan teologi, khususnya berkenaan dengan eksistensi subjek dan substansi, terutama Tuhan.
- Risâlah dar Shifat. Dalam buku ini Thabâthabâ'i menjelaskan pendapatnya dalam bidang ontologi dan teologi seputar eksistensi predikat bagi Tuhan.
- Risâlah dar Af’âl. Dalam buku ini Thabâthabâ'i menjelaskan pandangannya tentang perbuatan-perbuatan yang dinisbatkan pada Tuhan.
- Risâlah fi al-Insân Qabl al-Dunya. Buku ini memuat pandangan mistis dan kalam Thabâthabâ'i tentang eksistensi alam ruh.
- Risalâh dar Insân fi al-Dunya. Buku ini adalah lanjutan dari buku al-Insân Qabl al-Dunya, membahas manusia di alam dunia.[14]
Sebagai seorang ulama Syi’ah terkemuka, pemikiran Thabâthabâ'i memang sangat kental diwarnai ideologi kesyi’ahan.
Hal ini terlihat jelas dalam berbagai kajian yang dilakukannya sebagaimana
tertuang dalam beberapa karyanya. Bukunya Islam Syi’ah misalnya, sangat
memperlihatkan keteguhan Thabâthabâ'i
berpegang pada mazhab Syi’ah. Buku ini berisi uraian cukup komprehensif tentang
bagaimana Syi’ah memahami Islam. Dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Mîzân, Thabâthabâ'i pun
kelihatan sekali berupaya menggeneralisasikan mazhab Syi'ah ketika menafsirkan
ayat-ayat yang menurut kaum Syi'ah sendiri, berkenaan dengan
pandangan-pandangan ideologis kesyi’ahan mereka.
D. Konsep Dasar Tentang Pluralitas Agama
Pluralitas adalah
kemajemukan yang didasari oleh keutamaan dan kekhasan. Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau
terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif
dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas
tidak dapat disematkan kepada “situasi cerai berai” dan “permusuhan” yang tidak
mempunyai tali persatuan yang mengikat semua pihak. Tidak juga pada kondisi
“cerai berai” yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing
pihak.[15]
Oleh karena itu pluralitas
agama adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak-kontak antara
komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada di belahan
bumi sekarang ini kelompok-kelompok yang tidak pernah mempunyai kontak dengan
kelompok lain yang berbeda agama. Jaringan komunikasi telah menembus
tembok-tembok pemisah yang dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok keagamaan
dalam masyarakat. Pluralitas keagamaan sebagaimana pluralitas-pluralitas lain
seperti pluralitas etnik, pluralitas kultural, dan pluralitas bahasa adalah
semacam hukum alam yang tidak dapat diingkari.
Dalam hal pluralitas agama
(religious plurality), Islam adalah agama yang kitab sucinya mengakui
eksistensi agama-agama lain, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 62.
Pengakuan Allah terhadap eksistensi agama-agama dengan tidak membedakan
kelompok, suku, dan bangsa sangat jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama
agama pada ayat tersebut menunjukkan adanya pengakuan al-Qur’an terhadap
pluralitas agama.
Pemahaman ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh MUI yang menyatakan bahwa pluralitas agama
adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau derah tertentu terdapat berbagai
pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. [16]
Nurchalis Madjid
menyatakan bahwa ajaran pluralitas agama itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberi
kebebasan untuk hidup dengan resiko yang
ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing baik secara pribadi
maupun secara kelompok. [17]
Universalitas al-Qur’an
menunjukkan bahwa wahyu ini menerima pluralitas agama sebagai suatu keniscayaan
sehingga kaum muslim harus menegosiasikan, mentransformasikan dan menekankan
kesatuan fundamental umat manusia sebagai sama-sama berasal dan diciptakan oleh
Tuhan.[18] Di samping itu al-Qur’an juga menegaskan
bahwa keberagaman manusia itu tidak terelakkan bagi satu tradisi tertentu untuk
menentukan kepercayaan umum, nilai, dan tradisi yang perlu bagi kehidupan
manusia.[19]
Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa pluralitas agama dalam al-Qur'an didasarkan pada hubungan antara
keimanan privat (pribadi) dan proyeksi publiknya dalam masyarakat. Berkenaan
dengan keimanan privat, al-Qur'an bersikap nonintervensionis. Sedangkan
berkenaan dengan proyeksi publik keimanan itu, sikap al-Qur'an didasarkan pada
prinsip koeksistensi, yaitu kesediaan dari umat dominan untuk memberikan
kebebasan bagi umat-umat beragama lain dengan aturan mereka sendiri dalam
menjalankan urusan mereka dan untuk hidup berdampingan dengan kaum muslim.
Pluralitas agama menuntut
adanya keterlibatan aktif dengan kaum agama lain, dalam arti bukan sekedar
toleransi, melainkan memahami. Toleransi tidak memerlukan keterlibatan aktif
dengan kaum lain. Toleransi tidak membantu meredakan sikap acuh tak acuh sesama
umat beragama. Dalam dunia dimana perbedaan secara historis telah dimanipulasi
untuk menghancurkan jembatan penghubung antarkomunitas. Pengetahuan dan
pemahaman terhadap perbedaan agama hanya bisa dicapai jika kita mampu memasuki
dialog terbuka satu sama lain, tanpa takut menghadapi ketidaksepakatan besar.
Satu
hal yang perlu dibedakan di sini adalah istilah antara pluralisme dengan
pluralitas. Kedua istilah ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam
pemakaiannya. Pluralitas agama sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dapat
dipahami sebagai suatu pengakuan akan keberadaan agama-agama yang berbeda dan
beragam dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya dan menerima keberbedaan
itu dalam beragama dan berkeyakinan.
Sedangkan
pluralisme secara terminologi
berasal dari akar kata plural yang berarti bentuk jamak, banyak atau ganda,[20] atau paham yang meniscayakan adanya
keragaman dan perbedaan.[21] Definisi pluralisme seperti ini menurut
penulis sama dengan pluralitas. Tetapi kemudian pluralisme ini dipahami sebagai
upaya penyeragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala perbedaan dan
keberagaman agama.
Dalam the Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme
dipahami sebagai: 1). Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis;
dan sebaliknya mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi
utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu
harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik. 2). Keberadaan
atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultlural dalam suatu
masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu
badan, kelembagaan, dan sebagainya.[22]
Pada konteks agama, Alwi Shihab merumuskan konsep
pluralisme sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk
pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seseorang baru
dikatakan menyandang sifat pluralis, menurutnya, apabila ia dapat berinteraksi
positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain pengertian
pluralisme agama adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan
dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme
harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu
realitas di mana aneka ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan di suatu
lokasi. Namun interaksi positif antara penduduk, khususnya di bidang agama,
sangat minim, kalaupun ada.[23]
Seperti halnya Alwi Shihab yang menekankan
konsep pluralisme pada terjalinnya saling pengakuan dan pengertian, Farid Esack
juga mendefinisikan pluralisme sebagai sebuah pengakuan dan bentuk penerimaan,
bukan hanya sekedar toleran terhadap adanya keberbedaan dan keragaman antara
sesama atau terhadap penganut agama lain.[24]
Konsep
pluralisme agama juga harus dibedakan dengan; a). Absolutisme keagamaan yang mengklaim bahwa hanya di
dalam agamanya sendiri terdapat kebenaran dan keselamatan. b). relativisme
keagamaan yang meyakini bahwa semua agama sama saja, sehingga tidak ada
keunikan dalam masing-masing agama. Pluralisme agama justru mengakui bahwa semua agama memiliki keunikannya
masing-masing sesuai dengan pengalaman iman mereka masing-masing.
Keunikan itu tercermin dalam simbol-simbol keagamaan masing-masing, yang
merupakan sarana dan wujud penghayatan hubungan dengan Tuhan. Mengakui dan
menerima pluralisme agama bukan sekedar menerima fakta kemajemukan agama,
melainkan juga mengakui kenyataan bahwa simbol-simbol agama mana pun
mengungkapkan hubungan dengan Tuhan.[25]
Dalam Musyawarah Nasional MUI VII yang
diselenggarakan tanggal 26 s/d 29 Juli 2005, telah dikeluarkan 11 fatwa. Di
antara fatwa-fatwa itu, salah satunya adalah Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 7/MUNASVII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan
Sekularisme Agama. Fatwa ini menyatakan bahwa bahwa pluralisme adalah paham yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam.[26] Dengan kata lain, MUI mengharamkan
pluralisme hadir di tengah-tengah komunitas umat Islam yang merupakan mayoritas
di negara ini.
Adapun
dasar pertimbangan yang dijadikan MUI dalam mengharamkan pluralisme adalah:
- Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat.
- Bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme serta di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.
- Bahwa karena itu MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.[27]
Menurut
penulis, keputusan MUI yang mengharamkan pluralisme ini dapat diterima karena
paham pluralisme telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Pluralisme yang menimbulkan keresahan itu dipahami sebagai suatu ajaran yang
menyatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar.
Menanggapi fatwa MUI ini,
bermunculan reaksi dari kelompok-kelompok umat Islam. Abdurrahman Wahid dari NU
menentang keras fatwa tersebut seraya menegaskan bahwa MUI bukan institusi yang
berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah. Ketua Umum PBNU KH.
Hasyim Muzadi juga menilai fatwa MUI ini merupakan langkah mundur terutama bagi
kehidupan antar umat beragama.[28] Dawam Rahardjo melakukan kritikan keras
terhadap langkah MUI yang menurutnya akan
mengakibatkan terberangusnya kebebasan beragama dari bumi Indonesia.[29]
Dari kalangan akademisi
Islam pun timbul gugatan. Azyumardi Azra menilai ada kesalahpahaman tentang
pengertian pluralisme yang dipakai sebagai acuan oleh MUI dengan pengertian
pluralisme dalam wacana akademik. Ia juga meminta agar metodologi pembuatan
fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia ditinjau kembali.[30] Azyumardi Azra mengharapkan agar MUI
bersedia mendiskusikan kembali sejumlah
fatwa yang memicu kontroversi dan mengundang keresahan terutama di kalangan
umat beragama di Indonesia. Dalam proses penyusunan fatwa, MUI seharusnya tidak
sekedar mencari pertimbangan berdasarkan kajian fikih. Karena persoalan
masyarakat modern sangat kompleks, sudah seharusnya MUI mencari masukan dan pertimbangan
lain, misalnya dari pakar politik, sosiolog, dan keilmuan lainnya. Fatwa
dikeluarkan dengan mempertimbangkan sisi budaya, agama, dan lain-lain dalam
konteks kebangsaan. Azyumardi Azra juga menyayangkan sikap MUI yang
mendefinisikan sendiri beberapa istilah seperti liberalisme dan pluralisme.[31]
Pemahaman konseptual MUI
tentang pluralisme sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 7/MUNASVII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan
Sekularisme Agama di bagian Ketentuan Umum: bahwa pluralisme agama adalah suatu
paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran
setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh
mengklaim hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan
berdampingan di surga.[32]
Selanjutnya pada bagian
kedua dari Fatwa MUI tentang Ketentuan Umum huruf c disebutkan bahwa dalam
masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif, dalam arti
haram mencampuradukkan antara akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan
ibadah pemeluk agama lain. Pada huruf d disebutkan bahwa bagi masyarakat muslim
yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah
sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersifat
inklusif, dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama
lain sepanjang tidak saling merugikan.[33]
Dari penjelasan di atas
dapat dibedakan antara pluralitas dan pluralisme. Pluralitas merupakan suatu
sikap toleransi yang harus ada pada setiap orang dalam menyikapi segala
perbedaan yang ada. Karena perbedaan itu suatu hal yang tidak dapat dihindari.
Oleh karenanya setiap orang harus menghormati perbedaan-perbedaan. Sementara
pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa setiap agama adalah sama
serta masing-masingnya mempunyai kebenaran.
D. Pluralitas Agama Dalam Tafsir Al-Mîzân
Dalam menganalisa penafsiran Thabâthabâ'i tentang ayat-ayat yang terkait dengan pluralitas
agama ini, penulis tidak mengemukakan seluruh ayat yang terkait. Penulis hanya
mengambil beberapa ayat yang dianggap sudah dapat mewakili pandangan
Thabâthabâ'i tentang pluralitas agama.
1. Surat al-Baqarah ayat 62
bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä úïÏ%©!$#ur (#rß$yd 3t»|Á¨Z9$#ur úüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u wur ì$öqyz öNÍkön=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani
dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman
kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.
Thabâthabâ'i
mengawali penafsirannya
terhadap ayat surat
al-Baqarah ayat 62[34] ini dengan
mengemukakan bahwa faedah kata iman yang ke dua di dalam ayat ini menunjukkan
bahwa kata iman yang dimaksud adalah iman yang hakiki. Oleh karena itu yang
dimaksud dengan orang-orang yang beriman pada permulaan ayat adalah orang-orang
yang disifati dengan iman yang zhahir. Penamaan Mukmin, Yahudi, Nasrani dan
Shabiin kepada mereka tidak memberikan jaminan bahwa Allah akan memberikan
pahala dan siksa kepada mereka, yang terpenting untuk mendapatkan kemuliaan dan
kebahagiaan yang hakiki adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal
shaleh. Oleh karena itu tidak dipergunakan ungkapan من
امن منهم dengan mengembalikan dhâmir kepada maushûl
yang harus ada dalam shilat. Hal ini bertujuan supaya faedahnya itu
tetap karena telah berulang-ulang disebutkan dalam ayat bahwa kebahagiaan dan
kemuliaan itu selalu berada di seputar ubudiyah.[35] Tidak ada nama yang bermanfaat dari nama-nama ini dan sifat dari
sifat-sifat ini yang sempurna dan kekal bagi pemiliknya kecuali disertai dengan
ibadah. Para Nabi dan selain mereka adalah sama.
Allah telah berfirman kepada para nabi setelah mereka dianugrahkan
sifat-sifat yang bagus dalam surat
al-An'âm ayat 88 yang menyatakan bahwa amalan yang telah dikerjakan akan hilang
apabila mempersekutukan Allah.[36] Demikian juga Allah telah berfirman dalam surat al-Fath ayat 29 yang ditujukan kepada para
sahabat Nabi dan orang-orang yang bersamanya dengan menyatakan bahwa Allah
telah berjanji akan memberikan pahala yang besar kepada orang yang beriman dan
beramal shaleh.[37] Selanjutnya Allah menyatakan terhadap orang-orang yang telah
diberikan ayat-ayat Allah bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang
tidak memperturutkan hawa nafsunya,[38] sebagaimana yang
terdapat dalam surat
al-A'râf ayat 176.[39]
Sebab turun ayat ini adalah
sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dûrr al-Mantsûr yang
diriwayatkan dari Salman al-Farisi. Ia mengatakan bahwa ia telah bertanya
kepada Rasul tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Ia terangkan cara shalat dan ibadahnya,
maka turunlah ayat ini.[40] Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa
ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka Nabi
Muhammad bersabda: Mereka di neraka. Salman berkata: seolah-olah gelap
gulitalah bumi bagiku. Akan tetapi setelah turun ayat ini seolah-olah terang
benderang dunia bagiku.[41]
Sementara itu al-Thûsi (385 H-460 H)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat
ini, menurut al-Suddiy, ayat ini diturunkan berkaitan dengan Salmân al-Fârisi
dan para sahabatnya yang Nasrani sebelum diutusnya Rasul, dan mereka telah
diberitahu akan datangnya seorang Rasul dan mereka akan beriman dengan Nabi
Muhammad jika mereka mendapatinya. Sedangkan menurut riwayat Ibn Abbas bahwa
ayat ini dinasekhkan dengan surat Ali Imrân ayat 85.[42] Menurut al-Thûsi tidak terjadi nasikh
mansûkh dalam ayat ini karena nasakh tidak boleh terjadi pada berita
yang mengandung ancaman (wa'îd). Nasakh hanya boleh terjadi pada
hal-hal yang berkaitan dengan hukum syariah.[43] Sementara itu satu kaum mengatakan bahwa
hukum dalam ayat ini tetap sehingga yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang
yang beriman hanya dengan mulutnya dan hatinya tidak beriman dari orang-orang
munafik, mereka dan orang-orang Yahudi, Nashrani, Sabiin, apabila mereka
beriman setelah munafik dan mereka masuk Islam setelah durhaka maka mereka akan
mendapat balasan atau pahala dari Tuhan mereka. Allah memberitahukan dengan ayat
ini bahwa semua golongan itu sama, baik dari segi balasan maupun pahala.[44]
Thabâthabâ'i selanjutnya menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan Nashara sebagaimana yang terdapat dalam al-Ma'ani
dari Ibn Fadhl ia mengatakan kepada Ridhâ as bahwa Nashara itu dinamakan dengan
Nashara karena mereka berasal dari satu desa yang bernama Nâshirah salah satu
daerah yang terdapat di negeri Syam tempat Maryam dan Isa berasal sebelum
keduanya kembali ke Mesir.[45]
Sementara itu penamaan
Yahudi karena mereka berasal dari keturunan Yahudzân bin Ya'qûb. Penamaan
Shabiin sebagaimana yang terdapat dalam tafsir al-Qumi adalah satu kaum yang
bukan Majusi, bukan Yahudi, Bukan Nasrani, dan bukan pula Muslim. Mereka adalah
kaum penyembah bintang. Menurut Thabathaba'i mereka adalah penyembah patung
bintang.
Hal ini sejalan dengan apa
yang dikemukakan oleh al-Thûsi bahwa اما الذين امنوا adalah orang-orang yang
membenarkan kerasulan Nabi Muhammad serta apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad. اما الذين هادوا adalah orang-orang yahudi. Dikatakan juga bahwa dinamakan
dengan Yahudi karena dihubungkan dengan Yahudzân –anak tertua dari Ya'qûb.
Dengan mengganti huruf dzal menjadi dal.[46] Ada
juga yang berpendapat bahwa mereka dinamakan dengan Yahudi karena kecendrungan
mereka kepada agama Islam dan agama Nabi Musa.[47] Dinamakan dengan Nashara karena mereka saling tolong menolong. Ada juga yang mengatakan
bahwa mereka tinggal di suatu daerah yang bernama Nashirah tempat nabi Isa
tinggal sehingga mereka dihubungkan kepadanya. Al-Shabi'in adalah bentuk
jamak dari shabi' yaitu orang yang keluar dari agamanya seperti orang
yang murtad dari agama Islam dan setiap orang yang pindah dari satu agama ke
agama lain dinamakan shaib.[48] Sementara itu menurut Mujahid, al-Hasan dan Ibn Abu Nujaih
berpendapat bahwa Shabi'in berada antara agama Yahudi dan Majusi, yang tidak
ada agamanya.[49] Al-Qumi menyatakan bahwa mereka bukanlah ahli kitab tetapi mereka
menyembah bintang.[50]
M. Quraish Shihab (l. 1944) menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkari
tiga hal, yaitu; benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal
saleh. Iman yang dimaksud adalah yang sesuai dengan segala unsur keimanan yang
diajarkan Allah melalui nabi-nabi. Tetapi bukan berarti hanya kedua rukun itu
yang dituntut melainkan keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh
al-Qur'an dan sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.[51]
Mengenai
interpretasi yang dihubungkan dengan pluralitas agama, M. Quraish Shihab
mengemukakan ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan
toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi
pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini,
selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, maka mereka semua akan
memperoleh keselamatan .... tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat
kelak, dan tidak pula akan bersedih".[52]
Pendapat
semacam ini lanjut M. Quraish Shihab, nyaris mempersamakan semua agama, padahal
agama-agama itu pada hakekatnya berbeda-beda dalam aqidah serta ibadah yang
diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal
keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini yang itu dinyatakan
tidak diliputi rasa takut atau sedih, sedang ini menurut itu -dan atas nama
Tuhan yang disembah- adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang
itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.[53]
Sayyid Quthb ( 1906-1968 M) menjabarkan
bahwa ayat ini menetapkan siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah
dan hari akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala di sisi
Tuhannya, mereka tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati. Yang ditekankan
di sini lanjut Sayyid Quthb, adalah bukan fanatisme golongan atau bangsa. Dan
hal ini tentu saja sebelum diutusnya Nabi Muhammad, adapun sesudah diutusnya
beliau, maka bentuk iman yang terakhir ini sudah ditentukan.[54] Sedangkan al-Thabari setelah mengutip
pendapat ekslusif dan kemudian menolak pandangan bahwa Tuhan akan mengecualikan
orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan, karena al-Thabari ( 839-923 M/
224-310 H) merasa pendapat itu tidak sesuai dengan janji Tuhan.[55]
Sedangkan menurut Rasyîd Ridhâ (w. 1935
M), ada kesatuan esensial dalam kepercayaan para umat agama-agama Tuhan yang
telah mendapatkan hidayah dari Tuhan dan juga ada satu kecenderungan untuk
percaya kepada Tuhan, hari akhir dan beramal shaleh.[56] Hukum Allah itu adil dan sama. Ia
memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunnah yang sama. Tidak berpihak pada
satu kelompok dan menzhalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini
adalah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan rasul
mereka. Ayat ini menjelaskan sunnah Allah dalam memperlakukan umat-umat baik
yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah dalam surat
al-Nisâ' ayat 123 yang menyatakan bahwa pahala itu berasal dari Allah bukan
berdasarkan angan-angan dari sekolompok orang.[57]
Tidak
ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi. Ayat ini menjelaskan
perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai nabi dan wahyunya
masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan
pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nashara, atau Shabiah,
misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok
keagamaan. Keselamatan dicapai dengan iman yang benar dan amal yang memperbaiki manusia. Karena itu
tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah bergantung kepada angan-angan orang
Islam dan angan-angan ahli kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah
bergantung pada amal baik dan iman yang benar.[58]
Orang
yang dilalaikan oleh angan-angan akan mendapat ampunan sampai ia keluar
meninggalkan dunia tanpa kebaikan padanya. Mereka berkata: Kami berbaik sangka
kepada Allah. Mereka bohong. Kalau berbaik sangka kepada Allah pasti mereka
beramal baik. Pelajaran berharga dari Allah adalah kecaman-Nya kepada
orang-orang yang terbuai dengan punya hubungan dengan agama walau secara
lahiriah. Keterbuaian inilah yang memalingkan mereka dari amal, sehingga merasa
cukup dengan menisbahkan dirinya pada kelompok agamanya.[59]
Menurut
Rasyîd Ridhâ orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena dia Islam,
Nasrani atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu dengan nama.
Keselamatan bergantung pada tiga syarat: keimanan kepada Allah, keimanan pada
hari pembalasan, dan amal shaleh. Janji Tuhan berlaku terhadap semua orang yang
menganut agama Tuhan ini, apapun agamanya, karena keadilan Tuhan tidak
memungkinkan adanya perlakuan menganakemaskan satu kelompok dan memperlakukan
kelompok lain sewenang-wenang. Bagi semua orang yang percaya kepada wahyu yang
khusus diturunkan kepadanya, maka mereka
akan mendapat ganjaran dari Tuhan mereka. Rasyîd Ridhâ tidak menganggap kepercayaan kepada kerasulan Muhammad
sebagai syarat bagi kaum Yahudi, Nasrani atau Shabiin untuk bisa
selamat.
Sementara
Hamka dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ayat ini merupakan janji yang adil
dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka
hidup, atau merek apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka
masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan
iman dan amal saleh yang telah mereka kerjakan. "dan tidak ada ketakutan
atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukakacita".[60]
Hal menarik lain di luar penafsiran, adalah stigma sebagian
kalangan tentang mansûkhnya ayat ini dengan surah al-Imran ayat 85 yang
menyatakan bahwa:
`tBur Æ÷tGö;t uöxî ÄN»n=óM}$# $YYÏ `n=sù @t6ø)ã çm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.
Hamka dalam hal ini sampai
tidak menerima satu keterangan sebab turun ayat ini yang diriwayatkan oleb Ibn
Jarîr dan Ibn Abi Hâtim yang mereka terima dari Ibn Abbâs, bahwa surat
al-Baqarah ayat 62 ini telah dihapuskan, tidak berlaku lagi. Sebab telah
dinasekhkan oleh ayat 85 surah Ali-Imran. Menurutnya ayat ini bukanlah
menghapuskan. Sebab hakikat Islam adalah percaya kepada Allah dan hari akhir.
Percaya kepada Allah artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala Rasul-Nya
dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad saw dan
hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh. Kalau dikatakan bahwa ayat ini
dinasakh oleh ayat 85 Surat Ali Imran, yang akan tumbuh adalah fanatik;
mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya, dan surga itu hanya
dijamin untuk kita saja.[61]
Sedangkan al-Qurthubi ( w. 671
H) mengajukan pandangan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh surat Ali
Imran ayat 85, dan ayat ini hanya berlaku bagi orang-orang yang percaya pada
kenabian Muhammad.[62] Hal yang sama juga dikemukakan oleh
al-Râzi yang menyatakan bahwa ketiga syarat yang dikemukakan dalam ayat
tersebut tidak lain adalah esensi dari ajaran Islam.[63]
Ibn Katsîr (700-774 H/1300-1373 M) membatasi
penyelamatan hanya kepada Ahli Kitab pada surat al-Baqarah ayat 62 ini sebelum
Muhammad menjadi Rasul. Menurut Ibn Katsîr bahwa berdasarkan surat Ali Imran
ayat 85 tidak ada agama selain Islam yang diterima Tuhan setelah Muhammad
diutus. Meskipun tidak menggunakan konsep nasakh kesimpulannya
jelas-jelas merujuk pada konsep tersebut
ketika ia mengatakan bahwa pengikut tradisi sebelumnya dan ketundukan
mereka pada satu kehidupan yang lurus bisa menjamin jalan mereka menuju
keselamatan hanya sebelum wahyu Tuhan muncul.[64]
Sayyed Hussen Fadhullah sebagaimana yang dikutip
oleh Jalaluddin Rakhmat (l. 1949 M) menyatakan bahwa makna ayat ini sangat
jelas yaitu keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok
agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan
dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada
Allah, hari akhir, dan amal shaleh. Makna ayat ini tidak bertentangan dengan
Ali Imran ayat 85 sehingga tidak ada ayat yang dimansûkh. Islam pada
surat Ali Imran ayat 85 adalah islam yang
umum yang meliputi semua risalah langit, bukan islam dalam arti istilah,
bukan islam dalam arti agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.[65]
Muhammad
Amin Suma (l. 1955) setelah menganalisa berbagai penafsiran yang berkembang
atas ayat ini akhirnya menyimpulkan bahwa sungguh tidak tepat memungkinkan
orang-orang Yahudi, Nashara, Majusi, dan Shabi’in akan masuk surga hanya karena
alasan percaya kepada Tuhan –tanpa peduli bagaimanapun bentuk kepercayaannya-
dan asal berbuat baik sesama terhadap manusia meskipun tidak mengindahkan
amalan-amal shaleh dalam bentuk ibadah mahdhah yang diajarkan
Islam khususnya shalat, puasa, zakat, dan haji, karena amalan-amalan itu tidak
hanya dikenal pada ajaran Muhammad akan tetapi juga menjadi amalan nabi-nabi
yang lain termasuk Musa, Isa, dan Ibrahim.[66]
Dari penjelasan di atas terhadap tafsiran ayat ini
Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa
Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu.
Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai
dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat
perlindungan-Nya dari hukum. Berkaitan dengan penafsiran terhadap surat Ali
Imran ayat 85 Thabâthabâ'i tidak menyinggung sama sekali tentang dinasekhkannya
surat al-Baqarah ayat 62 dengan Ali Imran ayat 85. Oleh karena itu penulis
berasumsi bahwa dalam hal ini Thabâthabâ'i mempunyai pandangan yang inklusif
dalam arti ia menerima bahwa penyelamatan yang dijanjikan Allah itu tidak hanya
milik pengikut Muhammad, tapi juga
pengikut nabi-nabi yang lain yang mengimani Allah, hari kemudian, dan melakukan
amal kebajikan.
Berdasarkan
pendapatnya ini Abdulaziz
Sachedina menggolongkan Thabâthabâ'i sebagai salah
seorang yang mewakili semangat murni al-Qur'an mengenai identitas manusia
berpusat pada Tuhan, suatu identitas di mana bentuk lahiriah agama ditundukkan
kepada penyaksian batiniah terhadap Tuhan, sehingga hal ini memunahkan segala
identifikasi eksklusif.[67]
Sebagaimana yang diketahui
bahwa tidak semua ahli kitab itu sama dalam penentangannya kepada Nabi dan kaum
muslimin. Karena itu perlu dibedakan antara yang menetang dan yang simpatik.
Dalam hal ini al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat
111-113 menyebut adanya segolongan ahli kitab yang rajin mempelajari ayat-ayat
Allah di tengah malam sambil terus beribadah dengan beriman kepada Allah dan
hari kemudian serta melakukan amal ma’ruf nahi mungkar.[68]
Thabâthabâ'i ketika
menjelaskan ayat ini menyatakan bahwa mereka ahli kitab itu tidak sama baik
dalam sifat maupun dalam hukum karena mereka adalah kelompok yang beriman dan
taat kepada Allah serta bersegera melakukan kebajikan yaitu amal yang shaleh
berupa ibadah, memberikan sedekah, berbuat adil dan berbagai amal shaleh
lainnya, maka mereka termasuk kelompok shirât al-mustaqîm dan akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para
nabi, shiddiqin dan syuhada’.[69]
Dari penjelasan ini dapat
diketahui bahwa ayat berbicara tentang kelompok ahli kitab baik Yahudi maupun
Nasrani yang belum memeluk Islam, tetapi mereka adalah orang-orang yang jujur,
melaksanakan tuntunan agama mereka dengan benar, mengamalkan nilai-nilai
universal yang diakui oleh seluruh manusia sehingga Allah menyatakan mereka
dengan orang-orang yang bersegera melakukan kebajikan.
Oleh karena itu dari
berbagai kelompok ahli kitab ini jika dikaitkan dengan ajakan al-Qur’an untuk melakukan kalimah
sawa’ sebagaimana yang terdapat pada surat Ali Imran ayat 64 yang berisi
ajakan kepada kalimat tauhid dan dengan surat al-Baqarah ayat 62 yang berisi
jaminan keselamatan mereka asalkan mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan
beramal shaleh, maka akan memberikan pengertian bahwa secara keseluruhan memang
ahli kitab telah menyimpang dari ajaran tauhid, namun walaupun begitu bukan
berarti tidak ada dari kelompok ahli kitab yang akan selamat, karena sebagaimana
yang telah dijelaskan bahwa di anatar mereka itu ada yang beriman kepada Allah,
hari akhir, dan beramal shaleh. Sehingga dapat diketahui dalam kaitannya dengan
pendapat Thabâthabâ'i bahwa mereka yang mendapat jaminan keselamatan itu adalah
ahli kitab yang memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan oleh al-Qur’an.
Jadi tidak semua ahli kitab yang akan mendapat jaminan keselamatan.
Selanjutnya surat
al-Baqarah ayat 62 dapat juga dipahami bahwa secara doktrinal bahwa al-Qur’an mengakui adanya pluralitas
agama dengan menyebutkan orang-orang Mukmin, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin bila
mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh,
maka Allah akan menjamin mendapat pahala dan mereka akan tenang di akhirat.
Benar-benar beriman kepada Allah adalah mengesakan Allah dan beribadat hanya
kepada-Nya dan mengimani akan adanya hari kemudian sebagai hari pembalasan dan
sebagai konsekuensi keimanannya, manusia harus beramala shaleh kepada
sesamanya, maka dijamin akan memperoleh kebahagiaan diakhirat.
Kesimpulan
Surat al-Baqarah ayat 62
merupakan salah satu di antara ayat yang menerangkan adanya pluralitas agama.
Ayat ini tidak menjelaskan semua kelompok agama benar atau semua kelompok agama
sama. Tetapi ayat ini menegaskan semua golongan agama akan selamat selama
mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal shaleh. Hidup rukun dan
damai antar umat beragama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan
setiap agama, tetapi untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama.
Hanya Allah yang bias memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang
direstui-Nya dan agama siapa yang keliru. Begitu juga siapa yang berhak
dianugerahi surga dan siapa yang akan menghuni neraka. Semuanya merupakan hak
prerogatif dari Allah.
Dari penjelasan di atas terhadap tafsiran ayat ini
Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa
Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu.
Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai
dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat
perlindungan-Nya dari hukum. Berkaitan dengan penafsiran terhadap surat Ali
Imran ayat 85 Thabâthabâ'i tidak menyinggung sama sekali tentang dinasekhkannya
surat al-Baqarah ayat 62 dengan Ali Imran ayat 85. Oleh karena itu penulis
berasumsi bahwa dalam hal ini Thabâthabâ'i mempunyai pandangan yang inklusif
dalam arti ia menerima bahwa penyelamatan yang dijanjikan Allah itu tidak hanya
milik pengikut Muhammad, tapi juga
pengikut nabi-nabi yang lain yang mengimani Allah, hari kemudian, dan melakukan
amal kebajikan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, "Kebebasan
Beragama atau Dialog Antaragama: 50 Tahun Hak Asasi Manusia." dalam J.B.Banawiratma, SJ, dkk, Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi Agama,
Yogyakarta: Kanisius, 1999
Achmad, Nur, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam
Keragaman,Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2001
Anwar, M.
Syafi'i, "Sikap Positif Kepada Ahli Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, No.
4 Vol. IV tahun 1993
Al-Awsi, Ali Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi
Tafsîruhu al-Mîzân, Taheran: Mu'awaniyah al-Riasah lil'alaqat al-Daulah,
1985
Ayyub, Muhammad, Qur’an dan Para
Penafsirnya, penerjemah Syu’bah Asa, Jakarta:Pustaka
Firdaus, 1992
Azra, Azyumardi,
"Metodologi Pembuatan fatwa MUI Harus Ditinjau" dalam Tempo
Interaktif, 02 Agustus 2005
Baidhowi, Ahmad, Mengenal
Thabathaba'i dan kontroversi Nasikh Mansukh
Al-Damsyiqi, Jalîl al-Hâfizh Ahmad al-Dîn
Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsîr al-Qursyi, Tafsîr al-Qur'ân
al-Azhîm, T.t: Maktabah Mashdar, t.th
Esack,
Farid, Qur'an Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld Publications, 1997
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka
Panji Mas, 1982
Husaini,
Adian, Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2005
Imarah,
Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai
Persatuan, Penerjemah Abdul Hayyie
al-Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Ja'fâr, Khudhair, Tafsîr
al-Qur'ân bi al-Qur'ân Inda al-Allâmah al-Thabâthabâ'i, Qum: Dar al-Qur'an
al-Karim, 1411 H
JB. Banawiratma S.J. (ed.), Gereja Indonesia, Quo
Vadis?: Hidup Menggereja Kontekstual, Yogyakarta:
Kanisius, 2000
Kompas, "Fatwa MUI Memicu Kontroversi",
30 Juli 2005
Labib, Muhsin, Para Filosof Sebelum dan
Sesudah Mulla Shadra, Jakarta:
al-Huda, 2005
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis
Tentang Masalah Keimanan, Jakarta: paramadina, 1992
Mufid, A, Syafi'i (ed), Beragama Di Abad Dua Satu,
Jakarta: CV Zikrul Hakim, 1997
Al-Naisabûri, Abu al-Hasan
Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân,
Maktabah al-Syamilah
Nasr, Sayyid Husen
"Sang Alim dari Tabriz" dalam
Thabathaba'i, Menyingkap Rahasia al-Qur'an, Penerjemah A. Malik Madaniy
dan Hamim Ilyas, Bandung:Mizan, 1989
Partanto, A.Pius dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah
Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Al-Qumi,
Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim Tafsîr al-Qur'ân, ditashih dan dita'liq
oleh Al-Sayyid Thayyib al-Musawi
al-Jarairi, Bairut: Dar al-Surur, 1991
Al-Qurthûbi,
Abu Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Al-Jâmi' li Ahkâm
Al-Qur'ân,Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th
Quthb, Sayyid, Fi Zhilâl Qur'ân, Bairut; Dar al-Arabiyah, t.th
Rahardjo,
Dawam "Kala MUI Mengharamkan Pluralisme", kolom M. Dawam Rahardjo,
dalam Tempo Interaktif, 01
Agustus 2005
Rakhmat, Jalaluddin Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi
Perbedaan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006
Al-Râzi, Tafsîr
al-Râzi, Bairut: Dar al-Fikr, 1992
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr,Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999
Sachedina,
Abdulaziz, The Islam Roots of Democratic Pluralism, New
York: Oxford
University Press, 2001
Shihab,
Alwi, Islam 1nklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 2001
Shihab,
M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati,
2000
Suma, Muhammad Amin, Pluralisme
Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Al-Suyûthi, al-Jalâl al-Dîn Abd
al-Rahmân bin Abu Bakar, Al-Dûrr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma'tsûr,
Bairut: Dar al-Kutub, al Ilmiyah, t.th
Al-Thabari, Muhammad ibn Jarîr, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wil
al-Qur'ân, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1954
Al-Thabarsyi, Abu Ali al-Fadhl bin
al-Hasan, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Bairut; Muassasah
al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995
Thabathaba'i, Muhammad Husain Islamic
Teachings: An Overview, New York, Mostazafan Foundation, 1989
-------, Al-Mîzân fi
Tafsîr al-Qur'ân, Bairut: Muassasah al-A'lami al-Mathbu'at, 1991
-------, Hikmah Islam, Bandung: Mizan, 1993
-------, Shi'a, Penerjemah Husain
Nasr, Qum: Ansariyan Publications, 2002
Thahrani, Agha Barzak, Thabaqât A'lâm al-Syî'ah, Najaf:
al-Mathba'ah al-Ilmiyah, 1370
Al-Thûsi, Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan Al-Tibyân
fi Tafsîr al-Qur'ân, Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th
End
Note
¨ Penulis adalah Tenaga Pengajar pada STAIN
Bukittinggi
[1] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas:
Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
2 Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, (Taheran: Mu'awaniyah al-Riasah lil'alaqat al-Daulah, 1985), h. 39
3 Muhammad Husain
al-Thabathaba'i, Shi'a, Penerjemah
Husain Nasr, (Qum: Ansariyan Publications, 2002), h. 22
4 Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 44. Lihat juga Khudhair Ja'fâr, Tafsîr al-Qur'ân bi al-Qur'ân Inda al-Allâmah al-Thabâthabâ'i, (Qum: Dar
al-Qur'an al-Karim, 1411H), h. 10
5 Silsilah nasabnya
secara lengkap dapat dilihat dalam Agha Barzak Thahrani, Thabaqât A'lâm al-Syî'ah, ( Najaf:
al-Mathba'ah al-Ilmiyah, 1370), Jilid I, h. 645
6 Dalam konteks ini term tradisional tidak selalu
berkonotasi negatif. Term ini disandangkan kepada Thabathaba'i tidak lebih
karena kemampuannya dalam menguasai secara baik dan sempurna berbagai disiplin
ilmu klasik. Lebih dari itu ia mampu mengkombinasikan antara fikih dan tafsir
al-Qur'an dengan filsafat, serta antara teosofi dengan tasawuf. Lihat Haidar
Baqir (peny), SH Nasr, "Tentang
Penulis" dalam Thabathaba'i, Hikmah Islam, (Bandung: Mizan, 1993),
h. 7-8
7 Sayyid Husen Nasr,
"Sang Alim dari Tabriz" dalam
Thabathaba'i, Menyingkap Rahasia al-Qur'an, Penerjemah A. Malik Madaniy
dan Hamim Ilyas, (Bandung:Mizan, 1989), h. 5-8
8 Muhammad Husain Thabathaba'i, Islamic Teachings: An Overview,
h. 13
9 Muhammad Husain Thabathaba'i, Islamic
Teachings: An Overview, h. 14
10 Sayyid Husayn Nasr, Preface
dalam Shi'a, (Qum: Ansariyan, 2002), h.
22
11 Sayyid Husayn Nasr, Preface
dalam Shi'a, h. 22
12 Ahmad Baidhowi, Mengenal Thabathaba'i dan kontroversi Nasikh
Mansukh, h, 44
13 Muhammad Ayyub, Qur’an dan Para
Penafsirnya, penerjemah Syu’bah Asa, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992), h. 57
14 Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 53-55. Lihat juga Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan
Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta:
al-Huda, 2005), h. 265-266
15 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan
dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,
Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999),
h. 9
16 Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian pertama:
Ketentuan Umum
17
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang
Masalah Keimanan, (Jakarta: paramadina, 1992), h. 184
18 Abdulaziz
Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, (New
York: Oxford
University Press, 2001),
h. 27
19 Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of
Democratic Pluralism, h. 27
20 Pius A.
Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:
Arkola, 1994), h. 604
21 A. Syafi'i Mufid (ed), Beragama
Di Abad Dua Satu, (Jakarta: CV Zikrul Hakim, 1997), h 222
22 Nur Achmad, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan
dalam Keragaman, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2001), h. 12. Dalam pengertian lain, Pluralisme adalah pemahaman
akan kesatuan dan perbedaan, yaitu
kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan
dan perpecahan kategoris. Dan ada pula
yang mengatakan bahwa Pengertian atau definisi pluralisme dipahami sebagai
doktrin metafisik yang memandang bahwa seluruh eksistensi secara umum bisa
menunjukan jalan kesalamatan. Hanya agama tertentu saja yang benar. Tuntutan semacam ini oleh pemerhati agama disebut
sebagai truth claim (klaim
kebenaran). Cara pandang seperti ini
merupakan cara pandang yang tak bisa dihindari bagi seorang yang dibatasi sebuah
tradisi agama tertentu. Namun ketika agama-agama itu lahir
secara historis, ia berhadapan dengan kenyataan pluralitas keagamaan sebagai realitas
sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Agama
yang lain walaupun mempunyai
jalan yang berbeda tetapi juga
merupakan respon yang sama yang
terhadap realitas Illahi. Lihat M.
Syafi'i Anwar, "Sikap Positif
Kepada Ahli Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, No. 4 Vol. IV tahun 1993,
h. 17. Pemahaman seperti ini
pada gilirannya membawa kepada cara pandang keagamaan
yang inklusif, bahwa suatu agama menjelaskan tentang kebenaran final dan
pada saat yang sama memandang agama-agama lain juga merefleksikan kebenaran agama. Keberagamaan yang inklusif melihat adanya titik temu
pada aspek tertentu dari berbagai
tradisi agama.
23 Alwi
Shihab, Islam 1nklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung:
Mizan, 2001), h. 41-42
24 Farid Esack, Qur'an
Liberation and Pluralism, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), h. 179
25 JB. Banawiratma, S.J.
(ed.), Gereja Indonesia,
Quo Vadis?: Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 184. Mengenai keberagaman
simbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan
pengalaman iman masing-masing agama, Amin Abdullah mengatakan bahwa "umat
beragama perlu juga memahami bahwa
fenomena agama, selain melibatkan wahyu", juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat istiadat,
habit of mind, dan begitu seterusnya." Lihat, M. Amin Abdullah, "Kebebasan Beragama atau Dialog
Antaragama: 50 Tahun Hak Asasi Manusia." dalam J.B.Banawiratma, SJ, dkk, Hak Asasi Manusia:
Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 59
26 Fatwa
Majelis Ulama Indonesia
Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua: Ketentuan Hukum
ayat (1)
27 Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005
28 Kompas, "Fatwa MUI Memicu
Kontroversi", 30 Juli 2005
29
Dawam Rahardjo, "Kala MUI Mengharamkan Pluralisme", kolom M. Dawam
Rahardjo, dalam Tempo Interaktif,
01 Agustus 2005
30
Azyumardi Azra, "Metodologi Pembuatan fatwa MUI Harus Ditinjau" dalam
Tempo Interaktif, 02 Agustus 2005
31Adian Husaini, Pluralisme
Agama: Haram Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar 2005), h. 24
32 Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian satu:
Ketentuan Umum
33 Fatwa Majelis Ulama
Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua:
Ketentuan Hukum huruf c dan d
34 Ayat ini diulang dengan
redaksi yang agak berbeda pada surat
al-Maidah ayat 69
35 Muhammad Husain
al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut: Muassasah
al-A'lami al-Mathbu'at, 1991), Jilid I, h. 192. dan Jilid VI, h. 66-67
36 وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya
mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah
mereka kerjakan”.
37 وَعَدَ
اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا “Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di
antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
38
Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân,
Jilid I, h. 192-193
39 وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا
وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ َ “Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah”.
40 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân
fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid
I, h. 193. Lihat juga Jalâl
al-Dîn Abd al-Rahmân bin Abu Bakar al-Suyûthi, Al-Dûrr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma'tsûr, (Bairut: Dar al-Kutub, al Ilmiyah), Jilid I, h.
143. Lihat juga Abu al-Hasan Ali
bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, (Maktabah
al-Syamilah), Jilid I, h. 6. Lihat juga
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz,
1, h. 216
41 Abu al-Hasan
Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl
al-Qur’ân, Jilid I, h. 6. Lihat juga Q.
Shaleh dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Sejarah Turunnya
Ayat-Ayat al-Qur'an, h. 216
42
Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr
al-Qur'ân, V. 1, h. 284
43 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan
al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284. Lihat juga Abu
Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr
al-Qur'ân, Jilid I, Vol. I, h. 243
44
Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr
al-Qur'ân, V. 1, h. 284
45 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân
fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid
I, h. 193. M. Quraish Shihab mengamati bahwa al-Qur'an tidak menggunakan kata yahud
kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak digunakan
kata tersebut tetapi digunakan kata hadu. Thahir Ibnu Asyur berpendapat lain.
Menurutnya kerajaan Bani Israil terbagi dua setelah kematian Nabi Sulaiman as
pertama adalah kerajaan putra Sulaiman yang bernama Rahbi'am dengan ibu kotanya
Yarussalem. Kerajaan ini tidak diikuti kecuali
cucu Yahudza dan cucu Benyamin, sedang kerajaan kedua dipimpin oleh oleh
Yurbi'am putra Banath salah seorang anak buah Nabi Sulaiman yang berani dan
diserahi oleh beliau kekuasaan di Samirah. Ia digelar dengan raja Israil.
Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka
menyembah berhala dan kekuasaan mereka diporak-porandakan bahkan mereka
diperbudak sehingga pada akhirnya kerajaan ini punah setelah 250 tahun. Sejak
itu tidak adalagi kekuasaan dan kerajaan Bani Israil kecuali kerajaan pertama
di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada tahun 120 SM oleh Adrian,
salah seorang penguasa imperium Romawi, yang mengusir mereka sehingga terpencar
ke mana-mana. Agaknya -tulis Ibnu Asyur-mereka itulah yang dimaksud dengan
hadu, dan karena itu ayat ini menggunakannya walaupun pada kata ini mencakup
semua yang beragama Yahudi. Lihat M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an,
h. 207
46 Abu Ja'far Muhammad
bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut:
Dar Ihya' al-Turats al-Arabi), Jilid V. 1, h. 280. Lihat juga Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan
al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, , (Bairut; Muassasah
al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995), Jilid I, Vol. I, h. 241
47 Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan
al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, Vol. I, h.
241
48 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan
al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid V. 1, h. 282
49 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan
al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 282. Lihat juga Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi,
Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut; Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at,
1995), Jilid I, Vol. I, h. 243
50
Lihat juga Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qumi, Tafsîr al-Qur'ân, ditashih dan dita'liq oleh
Al-Sayyid Thayyib al-Musawi al-Jarairi,
(Bairut: Dar al-Surur, 1991), Juz I, h.
138
51 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol I, h.
207
52 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, Vol I, h. 208
53 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, h. 208
54 Sayyid Quthb, Fi Zhilâl Qur'ân, (Bairut; Dar
al-Arabiyah, t.th), Jilid I, h. 94
55
Muhammad ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi' al-Bayân
'an Ta'wil al-Qur'ân, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1954), Juz. 11, h. 155-156
56
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1999), Jilid I, h. 272
57 لَيْسَ
بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ
بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا “pahala dari Allah itu bukanlah menurut
angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab”.
58
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 275
59
Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 275
60
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz I, h.
211
61
Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 216-2177
62
Abu Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthûbi, Al-Jâmi'
li Ahkâm Al-Qur'ân, (Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th), Jilid I,
h. 436
63
Al-Râzi, Tafsîr al-Râzi, (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 114
64
Jalîl al-Hâfizh Ahmad al-Dîn Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsîr al-Qursyi al-Damsyiqi, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm, (T.t: Maktabah Mashdar, t.th), Jilid. I, h. 103
65 Jalaluddin
Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 23-24
66 Muhammad Amin Suma, Pluralisme
Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001), h. 36
67 Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, h. 34
68 لَنْ يَضُرُّوكُمْ
إِلَّا أَذًى وَإِنْ يُقَاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا
يُنْصَرُونَ(111)ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا
بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا
عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ(112)لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ
يَسْجُدُونَ “Mereka sekali-kali tidak akan
dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja,
dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri
ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan.(111). Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian
itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa
alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui
batas.(112) Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku
lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang
mereka juga bersujud (sembahyang).(113)
69 Muhammad Husain
al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid III, h. 439-440
¨ Penulis adalah Tenaga Pengajar pada STAIN Bukittinggi
[1] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan
dalam Bingkai Persatuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
[6] Dalam konteks ini term tradisional tidak
selalu berkonotasi negatif. Term ini disandangkan kepada Thabathaba'i tidak
lebih karena kemampuannya dalam menguasai secara baik dan sempurna berbagai
disiplin ilmu klasik. Lebih dari itu ia mampu mengkombinasikan antara fikih dan
tafsir al-Qur'an dengan filsafat, serta antara teosofi dengan tasawuf. Lihat
Haidar Baqir (peny), SH Nasr,
"Tentang Penulis" dalam Thabathaba'i, Hikmah Islam, (Bandung:
Mizan, 1993), h. 7-8
[12] Ahmad Baidhowi, Mengenal Thabathaba'i dan kontroversi Nasikh
Mansukh, h, 44
[13] Muhammad Ayyub, Qur’an dan Para
Penafsirnya, penerjemah Syu’bah Asa, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992), h. 57
[14] Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 53-55. Lihat juga Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan
Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta:
al-Huda, 2005), h. 265-266
[15] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan
dalam Bingkai Persatuan, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
[16] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS
VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian pertama: Ketentuan Umum
[17] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, (Jakarta:
paramadina, 1992), h. 184
[18] Abdulaziz
Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, (New
York: Oxford
University Press, 2001),
h. 27
[20] Pius A. Partanto dan M.
Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 604
[22] Nur Achmad, (ed), Pluralitas
Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta:
PT Kompas Media Nusantara, 2001), h. 12. Dalam pengertian lain, Pluralisme adalah pemahaman
akan kesatuan dan perbedaan, yaitu
kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan
dan perpecahan kategoris. Dan ada pula
yang mengatakan bahwa Pengertian atau definisi pluralisme dipahami sebagai
doktrin metafisik yang memandang bahwa seluruh eksistensi secara umum bisa
menunjukan jalan kesalamatan. Hanya agama tertentu saja yang benar. Tuntutan semacam ini oleh pemerhati agama disebut
sebagai truth claim (klaim
kebenaran). Cara pandang seperti ini
merupakan cara pandang yang tak bisa dihindari bagi seorang yang dibatasi sebuah
tradisi agama tertentu. Namun ketika agama-agama itu lahir
secara historis, ia berhadapan dengan kenyataan pluralitas keagamaan sebagai realitas
sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Agama
yang lain walaupun mempunyai
jalan yang berbeda tetapi juga
merupakan respon yang sama yang
terhadap realitas Illahi. Lihat M.
Syafi'i Anwar, "Sikap Positif
Kepada Ahli Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, No. 4 Vol. IV tahun 1993,
h. 17. Pemahaman seperti ini
pada gilirannya membawa kepada cara pandang keagamaan
yang inklusif, bahwa suatu agama menjelaskan tentang kebenaran final dan
pada saat yang sama memandang agama-agama lain juga merefleksikan kebenaran agama. Keberagamaan yang inklusif melihat adanya titik temu
pada aspek tertentu dari berbagai
tradisi agama.
[23] Alwi Shihab, Islam
1nklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 2001), h.
41-42
[24] Farid Esack, Qur'an Liberation
and Pluralism, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), h. 179
[25] JB. Banawiratma, S.J. (ed.), Gereja Indonesia, Quo Vadis?: Hidup Menggereja
Kontekstual, (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), h. 184. Mengenai keberagaman simbol-simbol keagamaan yang
berkaitan dengan pengalaman iman
masing-masing agama, Amin Abdullah mengatakan bahwa "umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena agama, selain
melibatkan wahyu", juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat istiadat, habit of mind,
dan begitu seterusnya." Lihat, M. Amin Abdullah, "Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama: 50 Tahun Hak
Asasi Manusia." dalam J.B.Banawiratma,
SJ, dkk, Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
1999), h. 59
[27] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/
MUNAS VII/ MUI/II/2005
[31] Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram
Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar
2005), h. 24
[32] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/
MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian satu: Ketentuan Umum
[33] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/
MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua: Ketentuan Hukum
huruf c dan d
[34] Ayat ini diulang dengan redaksi yang agak
berbeda pada surat al-Maidah ayat
69
[35] Muhammad Husain
al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut: Muassasah
al-A'lami al-Mathbu'at, 1991), Jilid I, h. 192. dan Jilid VI, h. 66-67
[36] وَلَوْ أَشْرَكُوا
لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ “Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan”.
[37] وَعَدَ اللَّهُ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang
besar”.
[39] وَلَوْ
شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ
هَوَاهُ َ “Dan kalau Kami menghendaki,
sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia
cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah”.
[40] Muhammad Husain
al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 193. Lihat juga Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân bin Abu Bakar
al-Suyûthi, Al-Dûrr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma'tsûr, (Bairut: Dar
al-Kutub, al Ilmiyah), Jilid I, h. 143. Lihat juga
Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, (Maktabah
al-Syamilah), Jilid I, h. 6. Lihat juga
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz,
1, h. 216
[45] Muhammad Husain
al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 193. M. Quraish Shihab mengamati bahwa al-Qur'an
tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya itulah
sebabnya maka di sini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata hadu.
Thahir Ibnu Asyur berpendapat lain. Menurutnya kerajaan Bani Israil terbagi dua
setelah kematian Nabi Sulaiman as pertama adalah kerajaan putra Sulaiman yang
bernama Rahbi'am dengan ibu kotanya Yarussalem. Kerajaan ini tidak diikuti
kecuali cucu Yahudza dan cucu Benyamin,
sedang kerajaan kedua dipimpin oleh oleh Yurbi'am putra Banath salah seorang
anak buah Nabi Sulaiman yang berani dan diserahi oleh beliau kekuasaan di Samirah.
Ia digelar dengan raja Israil. Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan
mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan kekuasaan mereka
diporak-porandakan bahkan mereka diperbudak sehingga pada akhirnya kerajaan ini
punah setelah 250 tahun. Sejak itu tidak adalagi kekuasaan dan kerajaan Bani
Israil kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan
pada tahun 120 SM oleh Adrian, salah seorang penguasa imperium Romawi, yang
mengusir mereka sehingga terpencar ke mana-mana. Agaknya -tulis Ibnu
Asyur-mereka itulah yang dimaksud dengan hadu, dan karena itu ayat ini
menggunakannya walaupun pada kata ini mencakup semua yang beragama Yahudi. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, h. 207
[46] Abu Ja'far Muhammad
bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut:
Dar Ihya' al-Turats al-Arabi), Jilid V. 1, h. 280. Lihat juga Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan
al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, , (Bairut; Muassasah
al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995), Jilid I, Vol. I, h. 241
[57] لَيْسَ
بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ
بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا “pahala dari
Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut
angan-angan ahli kitab”.
[66] Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama
Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 36
[68] لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا أَذًى وَإِنْ يُقَاتِلُوكُمْ
يُوَلُّوكُمُ الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ(111)ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ
الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ
النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ
الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُونَ(112)لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ
يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ “Mereka sekali-kali tidak akan
dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja,
dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri
ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan.(111). Mereka
diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka
kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian
itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa
alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui
batas.(112) Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).(113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar