Sabtu, 12 Desember 2015

Pluralitas Agama.....



PLURALITAS AGAMA DALAM PANDANGAN THABÂTHABÂ'I
(Analisis Terhadap Penafsiran Thabâthabâ'i Terhadap Surat al-Baqarah ayat 62)
Oleh: Dr. Evra Willya, M.Ag¨
Abstrak
Pluralitas keagamaan adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak-kontak antara komunitas-komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada kelompok masyarakat yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok pemisah yang dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat. Yang menjadi persoalan bukanlah pluralitas agama itu sendiri, tetapi adalah bagaimana kita bersikap terhadap pluralitas itu. Apakah kita menghargai, menghormati, memelihara, dan mengembangkan pluralitas itu? Apakah masing-masing kita mampu hidup berdampingan secara damai dan bersahabat dengan kelompok lain yang berbeda agama?            Hubungan antar umat beragama tidak selalu harmonis dan bersahabat. Hubungan ini kadang-kadang atau sering diwarnai konflik, kebencian, dan permusuhan. Bentuk-bentuk hubungan antar umat beragama baik harmonis maupun konflik -meskipun lebih sering ditimbulkan oleh faktor sosial politik- tidak pernah terlepas dari faktor keagamaan. Karena itu dalam memelihara dan membina hubungan yang harmonis antar komunitas-komunitas yang berbeda agama, faktor keagamaan tidak bisa diabaikan Terdapatnya sekelompok masyarakat yang fanatik terhadap suatu agama, mengakibatkan berbagai ketegangan, konflik, kekerasan, dan pembunuhan atas nama agama. Dalam konteks ini diperlukan paradigma baru kerukunan antar umat beragama yang humanis, toleran dan sekaligus mengakar di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal pluralitas agama (religious plurality), Islam adalah agama yang kitab sucinya mengakui eksistensi agama-agama lain, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 62. Pengakuan Allah terhadap eksistensi agama-agama dengan tidak membedakan kelompok, suku, dan bangsa sangat jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama agama pada ayat tersebut menunjukkan adanya pengakuan al-Qur’an terhadap pluralitas agama. Pilihan terhadap sosok Thabâthabâ'i karena dalam wacana hubungan antar umat beragama Thabâthabâ'i digolongkan kepada seorang ulama yang mengakui adanya pluralitas dalam agama. Thabâthabâ'i yang dengan karya monumentalnya tafsir al-Mîzân banyak memberikan sumbangan pemikiran dalam khazanah intelektual Islam. Terhadap tafsiran ayat ini Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu. Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat perlindungan-Nya dari hukum.
Kata kunci : Thabâthabâ'i, Pluralitas Agama, Non Muslim
A. Pendahuluan
Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan dan kekhasan. Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat disematkan kepada “situasi cerai berai” dan “permusuhan” yang tidak mempunyai tali persatuan yang mengikat semua pihak. Tidak juga pada kondisi “cerai berai” yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak.[1]
            Oleh karena itu pluralitas agama adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak-kontak antara komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada di belahan bumi sekarang ini kelompok-kelompok yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok pemisah yang dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat. Pluralitas keagamaan sebagaimana pluralitas-pluralitas lain seperti pluralitas etnik, pluralitas kultural, dan pluralitas bahasa adalah semacam hukum alam yang tidak dapat diingkari.
            Dalam hal pluralitas agama (religious plurality), Islam adalah agama yang kitab sucinya mengakui eksistensi agama-agama lain, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 62. Pengakuan Allah terhadap eksistensi agama-agama dengan tidak membedakan kelompok, suku, dan bangsa sangat jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama agama pada ayat tersebut menunjukkan adanya pengakuan al-Qur’an terhadap pluralitas agama.
Terhadap tafsiran ayat ini Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu. Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat perlindungan-Nya dari hukum.

B. Riwayat Hidup Thabâthabâ'i

            Thabâthabâ'i dilahirkan di kota Tabriz, Iran dengan nama Muhammad Husain pada tanggal 29 Dzulhijjah tahun 1321 H[2] yang bertepatan dengan tahun 1903 M.[3] Nama lengkapnya adalah Sayyid Muhammad Husain bin Sayyid Muhammad Husain bin al-Mirza Ali Ashghâr Syekh al-Islâm al-Thabâthabâ'i al-Tibriz al-Qâdhi.[4] Thabâthabâ'i sangat beruntung terlahir dari keluarga akademisi dan ulama. Keluarganya selama empat belas generasi telah melahirkan ulama-ulama Islam terkemuka, dalam berbagai disiplin ilmu. kakeknya, al-Sayyid Muhammad Husain adalah seorang murid terbaik dari pengarang al-Jawâhir dan Syekh Musâ Kasyif al-Ghita. Bila diruntun sampai ke atas, nasab keluarganya bersambung hingga kepada Ali bin Abi Thalib.[5]
            Husein Nasr menggolongkan Thabâthabâ'i dalam kelompok ulama tradisional[6] yang sangat responsif terhadap pemikiran kontemporer. Dalam dirinya menyatu sosok seorang Syekh karena keakrabannya dengan ilmu-ilmu klasik, sekaligus ilmuwan dengan klasifikasi tersendiri. Gelar hakim atau teosof yang hanya dikenal di dunia Syi'ah, disandangnya karena penguasaannya secara sempurna atas berbagai aliran filsafat, baik Timur maupun Barat. Selain itu ia juga menguasai dengan baik bidang syariat, eksetoris, tanpa melupakan ilmu-ilmu esoteris, sehingga ia dikenal sebagai seorang faqîh sekaligus sufi.[7]
            Pendidikan masa kecil Thabâthabâ'i berlangsung secara tradisional, yang bersentuhan dengan ilmu-ilmu dasar. Ia telah mempelajari al-Qur'an dan berbagai kitab klasik mengenai kesusastraan dan sejarah seperti Gulistan dan Bustan karya Sa'di, Nesab, dan akhlak, Anvar-e Sohayli, Tarekh-e Mu'jam dan Irsyad al-Qur'an, al-Hisab dan beberapa karya ulama lainnya seperti Amir-e Nezam.[8] Di sela-sela kesibukannya mempelajari ilmu dasar tersebut, Thabâthabâ'i juga mengkaji agama dan bahasa Arab dengan membaca buku-buku teks klasik. Kegiatan ini dilakukan selama tujuh tahun sejak tahun 1928 hingga 1935. Di samping itu ia juga mempelajari beberapa bidang ilmu seperti gramatika, sintaksis, retorika, fikih, ushul fikih, logika dan filsafat serta apa yang disebutnya sendiri dengan spiritual science.[9] Dan pada tahun 1935 Thabâthabâ'i melanjutkan pelajarannya secara formal di Universitas Syi'ah di kota Najaf, Irak.
            Di universitas ini kebanyakan mahasiswa hanya menekuni ilmu-ilmu naqliyah. Thabâthabâ'i selain mempelajari ilmu-ilmu tersebut juga mempelajari ilmu-ilmu aqliyah.  Ia mempelajari fikih dan ushul fikih dari Mirza Muhammad Husain al-Na'ini dan dia benar-benar menguasai bidang ini. Mengenai kemampuan Thabâthabâ'i dalam bidang fikih dan ushul fikih, Sayyid Husayn Nasr memberikan penilaian, kalau saja Thabâthabâ'i tetap bertahan sepenuhnya di bidang tersebut, ia sebenarnya telah menjadi seorang mujtahid yang terkenal dan amat berpengaruh dalam bidang politik dan sosial.[10] Dalam matematika tradisional ia dibimbing Sayyid Abu al-Qasim Khunsari, dalam bidang filsafat Islam ia berguru pada Sayyid Husain Badkuba'i. Ia belajar filsafat Islam dan menyelesaikan studi karya sejumlah filosof besar, seperti al-Syifa’ karya Ibn Sina, al-Asfar al-Arba'ah karya Mulla Shadra, dan Tahmid al-Qawâ'id karya Ibn Kurkah di bawah bimbingan Sayyid Husain Badkuba'i. Ia juga sempat menjadi  murid dua ulama besar di Taheran, yaitu sayyid Abu al-Hasan Jelwe dan Agha Ali Mudarris Zununi.[11]
            Thabâthabâ'i wafat pada tanggal 15 November 1981, setelah lama dirundung penyakit. Ratusan ribu orang termasuk para ulama dan pembesar serta tokoh-tokoh pejuang keagamaan, menghadiri pemakamannya. Bahkan untuk menghormati kepergian Thabâthabâ'i ini, salah seorang muridnya, Sayyed Abdullah Syirazi, menyatakan hari wafatnya sebagai hari berkabung dan libur resmi di Masydad.[12] Di Amerika dan Perancis di mana beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis, Thabâthabâ'i digolongkan sebagai filosof yang menonjol di dunia modern.
Thabâthabâ'i sebagaimana yang dikemukakan oleh Nasr, merupakan seorang ulama yang menguasai berbagai disiplin  ilmu pengetahuan maupun keagamaan yang meliputi fikih, ushul fikih, tasawuf sampai ilmu matematika, dan filsafat. Sebagai seorang filosof, kecendrungannya terhadap filsafat bahkan sangat mewarnai karya-karya intelektualnya, termasuk kitab tafsirnya sendiri, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’ân.  Oleh Muhammad Ayyub, kitab tafsir tersebut bahkan dinilai karya yang selain bersifat filsafat juga bersifat hukum, teologi, mistik, sosial, dan ilmiah bahkan moderat dan polemis.[13]
C. Karya-karya Thabâthabâ'i
            Thabâthabâ'i mulai menulis semenjak masih belajar di Najaf pada tahun 1925. Selain tetap teguh belajar pada ulama-ulama besar dalam bidang fikih, filsafat, ushul fikih dan sejarah Islam, di Najaf Thabâthabâ'i juga telah mampu menghasilkan berbagai buku tentang ilmu Filsafat dasar. Karya–karya Thabâthabâ'i berupa buku dan esai mencapai 96 buah, antara lain:
  1. Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur’ân. Karya Thabâthabâ'i ini tergolong paling penting, terdiri dari 20 jilid dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
  2. Ushul e Falsafeh wa Rawish Rialism. Karya ini ditulis dengan metodologi modern. Buku yang berjumlah lima jilid ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan komentar ekstensif oleh Murtadha Muthahari.
  3. Hasyiyah bar Asfar. Buku yang berisi catatan pinggir atas al-Asfar al-Arba’ah ini kini dianggap sebagai penafsiran paling modern terhadap karya terbesar Mulla Shadra.
  4. Mushahabeh ba Ustad Corbin Buku sebanyak dua jilid ini adalah transkrip dialog Thabâthabâ'i dan Henry Corbin tentang isu-isu fundamental dalam Islam.
  5. Ali wa Falsafeh ye al-Illahi. Buku ini menyoroti sosok Ali sebagai Bapak Filsafat dan teosofi.
6.      Syi’ah dar Islâm. Buku ini dianggap banyak pakar keislaman sebagai buku standar bagi para peneliti ajaran Syi’ah. Buku ini telah diterjamahkan ke sejumlah bahasa, termasuk bahasa Indonesia dengan judul Inilah Islam dan Islam Syi’ah.
7.      Qur’an dar Islâm. Kedudukan al-Qur’an dalam Islam.
  1. Bidâyah al-Hikmah. Buku ini sampai sekarang menjadi buku daras utama bagi pelajar filsafat tingkat dasar di Hawzah Qum dan dikomentari banyak ulama.
  2. Nihâyah al-Hikmah. Buku ini sampai sekarang menjadi buku daras utama bagi pelajar filsafat tingkat menengah di Hawzah Qum. Banyak tokoh yang telah memberi komentar terhadap karya ini seperti Muhammad Taqi Misbah Yazdi dan Fayyazi
  3. Risâlah dar Hukumât e Islâm. Buku ini mengetengahkan pandangan Thabâthabâ'i tentang sistem pemerintahan Islam
  4. Risâlah dar Quwwah wa Fi’l. Buku ini mengupas tema penting dalam filsafat Thabâthabâ'i yaitu potensi dan aktus.
  5. Risâlah dar Itsbate Dzat. Dalam buku ini Thabâthabâ'i menegaskan  pandangannya seputar antologi dan teologi, khususnya berkenaan dengan eksistensi subjek dan substansi, terutama Tuhan.
  6. Risâlah dar Shifat. Dalam buku ini Thabâthabâ'i menjelaskan pendapatnya dalam bidang ontologi dan teologi seputar eksistensi predikat bagi Tuhan.
  7. Risâlah dar Af’âl. Dalam buku ini Thabâthabâ'i menjelaskan pandangannya tentang perbuatan-perbuatan yang dinisbatkan pada Tuhan.
  8. Risâlah fi al-Insân Qabl al-Dunya. Buku ini memuat pandangan mistis dan kalam Thabâthabâ'i  tentang eksistensi alam ruh.
  9. Risalâh dar Insân fi al-Dunya. Buku ini adalah lanjutan dari buku al-Insân Qabl al-Dunya, membahas manusia di alam dunia.[14]
Sebagai seorang ulama Syi’ah terkemuka, pemikiran Thabâthabâ'i memang sangat kental diwarnai ideologi kesyi’ahan. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai kajian yang dilakukannya sebagaimana tertuang dalam beberapa karyanya. Bukunya Islam Syi’ah misalnya, sangat memperlihatkan keteguhan Thabâthabâ'i berpegang pada mazhab Syi’ah. Buku ini berisi uraian cukup komprehensif tentang bagaimana Syi’ah memahami Islam. Dalam karya monumentalnya, Tafsir al-Mîzân, Thabâthabâ'i pun kelihatan sekali berupaya menggeneralisasikan mazhab Syi'ah ketika menafsirkan ayat-ayat yang menurut kaum Syi'ah sendiri, berkenaan dengan pandangan-pandangan ideologis kesyi’ahan mereka.
D. Konsep Dasar Tentang Pluralitas Agama
            Pluralitas adalah kemajemukan yang didasari oleh keutamaan dan kekhasan. Karena itu pluralitas tidak dapat terwujud atau terbayangkan keberadaannya kecuali sebagai antitesis dan sebagai objek komparatif dari keseragaman dan kesatuan yang merangkum seluruh dimensinya. Pluralitas tidak dapat disematkan kepada “situasi cerai berai” dan “permusuhan” yang tidak mempunyai tali persatuan yang mengikat semua pihak. Tidak juga pada kondisi “cerai berai” yang sama sekali tidak memiliki hubungan antar masing-masing pihak.[15]
            Oleh karena itu pluralitas agama adalah realitas yang tidak mungkin diingkari. Kontak-kontak antara komunitas yang berbeda agama semakin meningkat. Hampir tidak ada di belahan bumi sekarang ini kelompok-kelompok yang tidak pernah mempunyai kontak dengan kelompok lain yang berbeda agama. Jaringan komunikasi telah menembus tembok-tembok pemisah yang dahulunya mengisolasi kelompok-kelompok keagamaan dalam masyarakat. Pluralitas keagamaan sebagaimana pluralitas-pluralitas lain seperti pluralitas etnik, pluralitas kultural, dan pluralitas bahasa adalah semacam hukum alam yang tidak dapat diingkari.
            Dalam hal pluralitas agama (religious plurality), Islam adalah agama yang kitab sucinya mengakui eksistensi agama-agama lain, di antaranya adalah surat al-Baqarah ayat 62. Pengakuan Allah terhadap eksistensi agama-agama dengan tidak membedakan kelompok, suku, dan bangsa sangat jelas. Dengan adanya penyebutan nama-nama agama pada ayat tersebut menunjukkan adanya pengakuan al-Qur’an terhadap pluralitas agama.
            Pemahaman ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh MUI yang menyatakan bahwa pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau derah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. [16]
            Nurchalis Madjid menyatakan bahwa ajaran pluralitas agama itu menandaskan  pengertian dasar bahwa semua agama diberi kebebasan  untuk hidup dengan resiko yang ditanggung oleh para pengikut agama itu masing-masing baik secara pribadi maupun secara kelompok. [17]
            Universalitas al-Qur’an menunjukkan bahwa wahyu ini menerima pluralitas agama sebagai suatu keniscayaan sehingga kaum muslim harus menegosiasikan, mentransformasikan dan menekankan kesatuan fundamental umat manusia sebagai sama-sama berasal dan diciptakan oleh Tuhan.[18] Di samping itu al-Qur’an juga menegaskan bahwa keberagaman manusia itu tidak terelakkan bagi satu tradisi tertentu untuk menentukan kepercayaan umum, nilai, dan tradisi yang perlu bagi kehidupan manusia.[19]
            Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pluralitas agama dalam al-Qur'an didasarkan pada hubungan antara keimanan privat (pribadi) dan proyeksi publiknya dalam masyarakat. Berkenaan dengan keimanan privat, al-Qur'an bersikap nonintervensionis. Sedangkan berkenaan dengan proyeksi publik keimanan itu, sikap al-Qur'an didasarkan pada prinsip koeksistensi, yaitu kesediaan dari umat dominan untuk memberikan kebebasan bagi umat-umat beragama lain dengan aturan mereka sendiri dalam menjalankan urusan mereka dan untuk hidup berdampingan dengan kaum muslim.
            Pluralitas agama menuntut adanya keterlibatan aktif dengan kaum agama lain, dalam arti bukan sekedar toleransi, melainkan memahami. Toleransi tidak memerlukan keterlibatan aktif dengan kaum lain. Toleransi tidak membantu meredakan sikap acuh tak acuh sesama umat beragama. Dalam dunia dimana perbedaan secara historis telah dimanipulasi untuk menghancurkan jembatan penghubung antarkomunitas. Pengetahuan dan pemahaman terhadap perbedaan agama hanya bisa dicapai jika kita mampu memasuki dialog terbuka satu sama lain, tanpa takut menghadapi ketidaksepakatan besar.
            Satu hal yang perlu dibedakan di sini adalah istilah antara pluralisme dengan pluralitas. Kedua istilah ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam pemakaiannya. Pluralitas agama sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dapat dipahami sebagai suatu pengakuan akan keberadaan agama-agama yang berbeda dan beragam dengan seluruh karakteristik dan kekhususannya dan menerima keberbedaan itu dalam beragama dan berkeyakinan.
            Sedangkan pluralisme secara terminologi berasal dari akar kata plural yang berarti bentuk jamak, banyak atau ganda,[20] atau paham yang meniscayakan adanya keragaman dan perbedaan.[21] Definisi pluralisme seperti ini menurut penulis sama dengan pluralitas. Tetapi kemudian pluralisme ini dipahami sebagai upaya penyeragaman (uniformity) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama.
Dalam the Oxford English Dictionary disebutkan, bahwa pluralisme dipahami sebagai: 1). Suatu teori yang menentang kekuasaan negara monolitis; dan sebaliknya mendukung desentralisasi dan otonomi untuk organisasi-organisasi utama yang mewakili keterlibatan individu dalam masyarakat. Juga suatu keyakinan bahwa kekuasaan itu harus dibagi bersama-sama di antara sejumlah partai politik. 2). Keberadaan atau toleransi keragaman etnik atau kelompok-kelompok kultlural dalam suatu masyarakat atau negara, serta keragaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan, dan sebagainya.[22]
Pada konteks agama, Alwi Shihab merumuskan konsep pluralisme sebagai berikut: Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seseorang baru dikatakan menyandang sifat pluralis, menurutnya, apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain pengertian pluralisme agama adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realitas di mana aneka ragam agama, ras, dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Namun interaksi positif antara penduduk, khususnya di bidang agama, sangat minim, kalaupun ada.[23]
            Seperti halnya Alwi Shihab yang menekankan konsep pluralisme pada terjalinnya saling pengakuan dan pengertian, Farid Esack juga mendefinisikan pluralisme sebagai sebuah pengakuan dan bentuk penerimaan, bukan hanya sekedar toleran terhadap adanya keberbedaan dan keragaman antara sesama atau terhadap penganut agama lain.[24]
          Konsep pluralisme agama juga harus dibedakan dengan; a). Absolutisme keagamaan yang mengklaim bahwa hanya di dalam agamanya sendiri terdapat kebenaran dan keselamatan. b). relativisme keagamaan yang meyakini bahwa semua agama sama saja, sehingga tidak ada keunikan dalam masing-masing agama. Pluralisme agama justru mengakui bahwa semua agama memiliki keunikannya masing-masing sesuai dengan pengalaman iman mereka masing-masing. Keunikan itu tercermin dalam simbol-simbol keagamaan masing-masing, yang merupakan sarana dan wujud penghayatan hubungan dengan Tuhan. Mengakui dan menerima pluralisme agama bukan sekedar menerima fakta kemajemukan agama, melainkan juga mengakui kenyataan bahwa simbol-simbol agama mana pun mengungkapkan hubungan dengan Tuhan.[25]
Dalam Musyawarah Nasional MUI VII yang diselenggarakan tanggal 26 s/d 29 Juli 2005, telah dikeluarkan 11 fatwa. Di antara fatwa-fatwa itu, salah satunya adalah Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNASVII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Fatwa ini menyatakan bahwa bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.[26] Dengan kata lain, MUI mengharamkan pluralisme hadir di tengah-tengah komunitas umat Islam yang merupakan mayoritas di negara ini.
            Adapun dasar pertimbangan yang dijadikan MUI dalam mengharamkan pluralisme adalah:
  1. Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat.
  2. Bahwa berkembangnya paham pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme serta di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut.
  3. Bahwa karena itu MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.[27]
Menurut penulis, keputusan MUI yang mengharamkan pluralisme ini dapat diterima karena paham pluralisme telah menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat. Pluralisme yang menimbulkan keresahan itu dipahami sebagai suatu ajaran yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar.
            Menanggapi fatwa MUI ini, bermunculan reaksi dari kelompok-kelompok umat Islam. Abdurrahman Wahid dari NU menentang keras fatwa tersebut seraya menegaskan bahwa MUI bukan institusi yang berhak menentukan apakah sesuatu hal benar atau salah. Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi juga menilai fatwa MUI ini merupakan langkah mundur terutama bagi kehidupan antar umat beragama.[28] Dawam Rahardjo melakukan kritikan keras terhadap langkah MUI yang menurutnya  akan mengakibatkan terberangusnya kebebasan beragama dari bumi Indonesia.[29]
            Dari kalangan akademisi Islam pun timbul gugatan. Azyumardi Azra menilai ada kesalahpahaman tentang pengertian pluralisme yang dipakai sebagai acuan oleh MUI dengan pengertian pluralisme dalam wacana akademik. Ia juga meminta agar metodologi pembuatan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia ditinjau kembali.[30] Azyumardi Azra mengharapkan agar MUI bersedia mendiskusikan kembali  sejumlah fatwa yang memicu kontroversi dan mengundang keresahan terutama di kalangan umat beragama di Indonesia. Dalam proses penyusunan fatwa, MUI seharusnya tidak sekedar mencari pertimbangan berdasarkan kajian fikih. Karena persoalan masyarakat modern sangat kompleks, sudah seharusnya MUI mencari masukan dan pertimbangan lain, misalnya dari pakar politik, sosiolog, dan keilmuan lainnya. Fatwa dikeluarkan dengan mempertimbangkan sisi budaya, agama, dan lain-lain dalam konteks kebangsaan. Azyumardi Azra juga menyayangkan sikap MUI yang mendefinisikan sendiri beberapa istilah seperti liberalisme dan pluralisme.[31]
            Pemahaman konseptual MUI tentang pluralisme sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/MUNASVII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama di bagian Ketentuan Umum: bahwa pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.[32]
            Selanjutnya pada bagian kedua dari Fatwa MUI tentang Ketentuan Umum huruf c disebutkan bahwa dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersifat eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan antara akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah pemeluk agama lain. Pada huruf d disebutkan bahwa bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersifat inklusif, dalam artian tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.[33]
            Dari penjelasan di atas dapat dibedakan antara pluralitas dan pluralisme. Pluralitas merupakan suatu sikap toleransi yang harus ada pada setiap orang dalam menyikapi segala perbedaan yang ada. Karena perbedaan itu suatu hal yang tidak dapat dihindari. Oleh karenanya setiap orang harus menghormati perbedaan-perbedaan. Sementara pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa setiap agama adalah sama serta masing-masingnya mempunyai kebenaran.
D. Pluralitas Agama Dalam Tafsir Al-Mîzân
            Dalam menganalisa penafsiran Thabâthabâ'i tentang ayat-ayat yang terkait dengan pluralitas agama ini, penulis tidak mengemukakan seluruh ayat yang terkait. Penulis hanya mengambil beberapa ayat yang dianggap sudah dapat mewakili pandangan Thabâthabâ'i  tentang pluralitas agama.
1. Surat al-Baqarah ayat 62
bÎ) tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$#ur (#rߊ$yd 3t»|Á¨Z9$#ur šúüÏ«Î7»¢Á9$#ur ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ÿ@ÏJtãur $[sÎ=»|¹ öNßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã óOÎgÎn/u Ÿwur ì$öqyz öNÍköŽn=tæ Ÿwur öNèd šcqçRtøts ÇÏËÈ
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Thabâthabâ'i mengawali penafsirannya terhadap ayat surat al-Baqarah ayat 62[34] ini dengan mengemukakan bahwa faedah kata iman yang ke dua di dalam ayat ini menunjukkan bahwa kata iman yang dimaksud adalah iman yang hakiki. Oleh karena itu yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman pada permulaan ayat adalah orang-orang yang disifati dengan iman yang zhahir. Penamaan Mukmin, Yahudi, Nasrani dan Shabiin kepada mereka tidak memberikan jaminan bahwa Allah akan memberikan pahala dan siksa kepada mereka, yang terpenting untuk mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan yang hakiki adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh. Oleh karena itu tidak dipergunakan ungkapan من امن منهم dengan mengembalikan dhâmir kepada maushûl yang harus ada dalam shilat. Hal ini bertujuan supaya faedahnya itu tetap karena telah berulang-ulang disebutkan dalam ayat bahwa kebahagiaan dan kemuliaan itu selalu berada di seputar ubudiyah.[35] Tidak ada nama yang bermanfaat dari nama-nama ini dan sifat dari sifat-sifat ini yang sempurna dan kekal bagi pemiliknya kecuali disertai dengan ibadah. Para Nabi dan selain mereka adalah sama.
Allah telah berfirman kepada para nabi setelah mereka dianugrahkan sifat-sifat yang bagus dalam surat al-An'âm ayat 88 yang menyatakan bahwa amalan yang telah dikerjakan akan hilang apabila mempersekutukan Allah.[36] Demikian juga Allah telah berfirman dalam surat  al-Fath ayat 29 yang ditujukan kepada para sahabat Nabi dan orang-orang yang bersamanya dengan menyatakan bahwa Allah telah berjanji akan memberikan pahala yang besar kepada orang yang beriman dan beramal shaleh.[37] Selanjutnya Allah menyatakan terhadap orang-orang yang telah diberikan ayat-ayat Allah bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang tidak memperturutkan hawa nafsunya,[38] sebagaimana yang terdapat dalam surat al-A'râf ayat 176.[39]
            Sebab turun ayat ini adalah sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Dûrr al-Mantsûr yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi. Ia mengatakan bahwa ia telah bertanya kepada Rasul tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Ia terangkan cara shalat dan ibadahnya, maka turunlah ayat ini.[40] Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka Nabi Muhammad bersabda: Mereka di neraka. Salman berkata: seolah-olah gelap gulitalah bumi bagiku. Akan tetapi setelah turun ayat ini seolah-olah terang benderang dunia bagiku.[41]
          Sementara itu al-Thûsi (385 H-460 H) menjelaskan bahwa terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat ini, menurut al-Suddiy, ayat ini diturunkan berkaitan dengan Salmân al-Fârisi dan para sahabatnya yang Nasrani sebelum diutusnya Rasul, dan mereka telah diberitahu akan datangnya seorang Rasul dan mereka akan beriman dengan Nabi Muhammad jika mereka mendapatinya. Sedangkan menurut riwayat Ibn Abbas bahwa ayat ini dinasekhkan dengan surat Ali Imrân ayat 85.[42] Menurut al-Thûsi tidak terjadi nasikh mansûkh dalam ayat ini karena nasakh tidak boleh terjadi pada berita yang mengandung ancaman (wa'îd). Nasakh hanya boleh terjadi pada hal-hal yang berkaitan dengan hukum syariah.[43] Sementara itu satu kaum mengatakan bahwa hukum dalam ayat ini tetap sehingga yang dimaksud dengan ayat ini adalah orang yang beriman hanya dengan mulutnya dan hatinya tidak beriman dari orang-orang munafik, mereka dan orang-orang Yahudi, Nashrani, Sabiin, apabila mereka beriman setelah munafik dan mereka masuk Islam setelah durhaka maka mereka akan mendapat balasan atau pahala dari Tuhan mereka. Allah memberitahukan dengan ayat ini bahwa semua golongan itu sama, baik dari segi balasan maupun pahala.[44]
          Thabâthabâ'i selanjutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Nashara sebagaimana yang terdapat dalam al-Ma'ani dari Ibn Fadhl ia mengatakan kepada Ridhâ as bahwa Nashara itu dinamakan dengan Nashara karena mereka berasal dari satu desa yang bernama Nâshirah salah satu daerah yang terdapat di negeri Syam tempat Maryam dan Isa berasal sebelum keduanya kembali ke Mesir.[45]
            Sementara itu penamaan Yahudi karena mereka berasal dari keturunan Yahudzân bin Ya'qûb. Penamaan Shabiin sebagaimana yang terdapat dalam tafsir al-Qumi adalah satu kaum yang bukan Majusi, bukan Yahudi, Bukan Nasrani, dan bukan pula Muslim. Mereka adalah kaum penyembah bintang. Menurut Thabathaba'i mereka adalah penyembah patung bintang.
            Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh  al-Thûsi bahwa  اما الذين امنوا adalah orang-orang yang membenarkan kerasulan Nabi Muhammad serta apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad.  اما الذين هادوا adalah orang-orang yahudi. Dikatakan juga bahwa dinamakan dengan Yahudi karena dihubungkan dengan Yahudzân –anak tertua dari Ya'qûb. Dengan mengganti huruf dzal menjadi dal.[46] Ada juga yang berpendapat bahwa mereka dinamakan dengan Yahudi karena kecendrungan mereka kepada agama Islam dan agama Nabi Musa.[47] Dinamakan dengan Nashara karena mereka saling tolong menolong. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka tinggal di suatu daerah yang bernama Nashirah tempat nabi Isa tinggal sehingga mereka dihubungkan kepadanya. Al-Shabi'in adalah bentuk jamak dari shabi' yaitu orang yang keluar dari agamanya seperti orang yang murtad dari agama Islam dan setiap orang yang pindah dari satu agama ke agama lain dinamakan shaib.[48] Sementara itu menurut Mujahid, al-Hasan dan Ibn Abu Nujaih berpendapat bahwa Shabi'in berada antara agama Yahudi dan Majusi, yang tidak ada agamanya.[49] Al-Qumi menyatakan bahwa mereka bukanlah ahli kitab tetapi mereka menyembah bintang.[50]
          M. Quraish Shihab (l. 1944) menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkari tiga hal, yaitu; benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh. Iman yang dimaksud adalah yang sesuai dengan segala unsur keimanan yang diajarkan Allah melalui nabi-nabi. Tetapi bukan berarti hanya kedua rukun itu yang dituntut melainkan keduanya adalah istilah yang biasa digunakan oleh al-Qur'an dan sunnah untuk makna iman yang benar dan mencakup semua rukunnya.[51]
          Mengenai interpretasi yang dihubungkan dengan pluralitas agama, M. Quraish Shihab mengemukakan ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut oleh ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan .... tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, dan tidak pula akan bersedih".[52]
          Pendapat semacam ini lanjut M. Quraish Shihab, nyaris mempersamakan semua agama, padahal agama-agama itu pada hakekatnya berbeda-beda dalam aqidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini yang itu dinyatakan tidak diliputi rasa takut atau sedih, sedang ini menurut itu -dan atas nama Tuhan yang disembah- adalah penghuni surga dan yang itu penghuni neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa.[53]
          Sayyid Quthb ( 1906-1968 M) menjabarkan bahwa ayat ini menetapkan siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhannya, mereka tidak merasa khawatir dan tidak bersedih hati. Yang ditekankan di sini lanjut Sayyid Quthb, adalah bukan fanatisme golongan atau bangsa. Dan hal ini tentu saja sebelum diutusnya Nabi Muhammad, adapun sesudah diutusnya beliau, maka bentuk iman yang terakhir ini sudah ditentukan.[54] Sedangkan al-Thabari setelah mengutip pendapat ekslusif dan kemudian menolak pandangan bahwa Tuhan akan mengecualikan orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan, karena al-Thabari ( 839-923 M/ 224-310 H) merasa pendapat itu tidak sesuai dengan janji Tuhan.[55]
          Sedangkan menurut Rasyîd Ridhâ (w. 1935 M), ada kesatuan esensial dalam kepercayaan para umat agama-agama Tuhan yang telah mendapatkan hidayah dari Tuhan dan juga ada satu kecenderungan untuk percaya kepada Tuhan, hari akhir dan beramal shaleh.[56] Hukum Allah itu adil dan sama. Ia memperlakukan semua pemeluk agama dengan sunnah yang sama. Tidak berpihak pada satu kelompok dan menzhalimi kelompok yang lain. Ketetapan dari sunnah ini adalah bahwa bagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan rasul mereka. Ayat ini menjelaskan sunnah Allah dalam memperlakukan umat-umat baik yang terdahulu maupun yang kemudian sesuai dengan ketentuan Allah dalam surat al-Nisâ' ayat 123 yang menyatakan bahwa pahala itu berasal dari Allah bukan berdasarkan angan-angan dari sekolompok orang.[57]
            Tidak ada masalah kalau tidak disyaratkan iman kepada Nabi. Ayat ini menjelaskan perlakuan Allah kepada setiap umat yang mempercayai nabi dan wahyunya masing-masing, yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akan pasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nashara, atau Shabiah, misalnya. Padahal Allah berfirman bahwa keselamatan bukan karena kelompok keagamaan. Keselamatan dicapai dengan iman yang benar  dan amal yang memperbaiki manusia. Karena itu tertolaklah anggapan bahwa keputusan Allah bergantung kepada angan-angan orang Islam dan angan-angan ahli kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusan Allah bergantung pada amal baik dan iman yang benar.[58]
            Orang yang dilalaikan oleh angan-angan akan mendapat ampunan sampai ia keluar meninggalkan dunia tanpa kebaikan padanya. Mereka berkata: Kami berbaik sangka kepada Allah. Mereka bohong. Kalau berbaik sangka kepada Allah pasti mereka beramal baik. Pelajaran berharga dari Allah adalah kecaman-Nya kepada orang-orang yang terbuai dengan punya hubungan dengan agama walau secara lahiriah. Keterbuaian inilah yang memalingkan mereka dari amal, sehingga merasa cukup dengan menisbahkan dirinya pada kelompok agamanya.[59]
          Menurut Rasyîd Ridhâ orang yang merasa pasti akan selamat hanya karena dia Islam, Nasrani atau Yahudi adalah orang yang terbuai atau tertipu dengan nama. Keselamatan bergantung pada tiga syarat: keimanan kepada Allah, keimanan pada hari pembalasan, dan amal shaleh. Janji Tuhan berlaku terhadap semua orang yang menganut agama Tuhan ini, apapun agamanya, karena keadilan Tuhan tidak memungkinkan adanya perlakuan menganakemaskan satu kelompok dan memperlakukan kelompok lain sewenang-wenang. Bagi semua orang yang percaya kepada wahyu yang khusus diturunkan kepadanya, maka mereka akan mendapat ganjaran dari Tuhan mereka. Rasyîd Ridhâ tidak menganggap kepercayaan kepada kerasulan Muhammad sebagai syarat bagi kaum Yahudi, Nasrani atau Shabiin untuk bisa selamat.
          Sementara Hamka dalam tafsirnya mengemukakan bahwa ayat ini merupakan janji yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merek apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal saleh yang telah mereka kerjakan. "dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukakacita".[60]
          Hal menarik lain di luar penafsiran, adalah stigma sebagian kalangan tentang mansûkhnya ayat ini dengan surah al-Imran ayat 85 yang menyatakan bahwa: 
`tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Hamka dalam hal ini sampai tidak menerima satu keterangan sebab turun ayat ini yang diriwayatkan oleb Ibn Jarîr dan Ibn Abi Hâtim yang mereka terima dari Ibn Abbâs, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 ini telah dihapuskan, tidak berlaku lagi. Sebab telah dinasekhkan oleh ayat 85 surah Ali-Imran. Menurutnya ayat ini bukanlah menghapuskan. Sebab hakikat Islam adalah percaya kepada Allah dan hari akhir. Percaya kepada Allah artinya percaya kepada segala firman-Nya, segala Rasul-Nya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad saw dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang saleh. Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasakh oleh ayat 85 Surat Ali Imran, yang akan tumbuh adalah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya, dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja.[61]
Sedangkan al-Qurthubi ( w. 671 H) mengajukan pandangan bahwa ayat ini telah dinasakh oleh surat Ali Imran ayat 85, dan ayat ini hanya berlaku bagi orang-orang yang percaya pada kenabian Muhammad.[62] Hal yang sama juga dikemukakan oleh al-Râzi yang menyatakan bahwa ketiga syarat yang dikemukakan dalam ayat tersebut tidak lain adalah esensi dari ajaran Islam.[63]
Ibn Katsîr (700-774 H/1300-1373 M) membatasi penyelamatan hanya kepada Ahli Kitab pada surat al-Baqarah ayat 62 ini sebelum Muhammad menjadi Rasul. Menurut Ibn Katsîr bahwa berdasarkan surat Ali Imran ayat 85 tidak ada agama selain Islam yang diterima Tuhan setelah Muhammad diutus. Meskipun tidak menggunakan konsep nasakh kesimpulannya jelas-jelas merujuk pada konsep tersebut  ketika ia mengatakan bahwa pengikut tradisi sebelumnya dan ketundukan mereka pada satu kehidupan yang lurus bisa menjamin jalan mereka menuju keselamatan hanya sebelum wahyu Tuhan muncul.[64]
Sayyed Hussen Fadhullah sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (l. 1949 M) menyatakan bahwa makna ayat ini sangat jelas yaitu keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama ini yang berbeda-beda dalam pemikiran dan pandangan agamanya berkenaan dengan akidah dan kehidupan dengan satu syarat: memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh. Makna ayat ini tidak bertentangan dengan Ali Imran ayat 85 sehingga tidak ada ayat yang dimansûkh. Islam pada surat Ali Imran ayat 85 adalah islam yang umum yang meliputi semua risalah langit, bukan islam dalam arti istilah, bukan islam dalam arti agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad.[65]
            Muhammad Amin Suma (l. 1955) setelah menganalisa berbagai penafsiran yang berkembang atas ayat ini akhirnya menyimpulkan bahwa sungguh tidak tepat memungkinkan orang-orang Yahudi, Nashara, Majusi, dan Shabi’in akan masuk surga hanya karena alasan percaya kepada Tuhan –tanpa peduli bagaimanapun bentuk kepercayaannya- dan asal berbuat baik sesama terhadap manusia meskipun tidak mengindahkan amalan-amal shaleh dalam bentuk ibadah mahdhah yang diajarkan Islam khususnya shalat, puasa, zakat, dan haji, karena amalan-amalan itu tidak hanya dikenal pada ajaran Muhammad akan tetapi juga menjadi amalan nabi-nabi yang lain termasuk Musa, Isa, dan Ibrahim.[66]
Dari penjelasan di atas terhadap tafsiran ayat ini Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu. Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat perlindungan-Nya dari hukum. Berkaitan dengan penafsiran terhadap surat Ali Imran ayat 85 Thabâthabâ'i tidak menyinggung sama sekali tentang dinasekhkannya surat al-Baqarah ayat 62 dengan Ali Imran ayat 85. Oleh karena itu penulis berasumsi bahwa dalam hal ini Thabâthabâ'i mempunyai pandangan yang inklusif dalam arti ia menerima bahwa penyelamatan yang dijanjikan Allah itu tidak hanya milik pengikut Muhammad, tapi juga pengikut nabi-nabi yang lain yang mengimani Allah, hari kemudian, dan melakukan amal kebajikan.
          Berdasarkan pendapatnya ini Abdulaziz Sachedina menggolongkan Thabâthabâ'i sebagai salah seorang yang mewakili semangat murni al-Qur'an mengenai identitas manusia berpusat pada Tuhan, suatu identitas di mana bentuk lahiriah agama ditundukkan kepada penyaksian batiniah terhadap Tuhan, sehingga hal ini memunahkan segala identifikasi eksklusif.[67]
            Sebagaimana yang diketahui bahwa tidak semua ahli kitab itu sama dalam penentangannya kepada Nabi dan kaum muslimin. Karena itu perlu dibedakan antara yang menetang dan yang simpatik. Dalam hal ini al-Qur’an sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imran ayat 111-113 menyebut adanya segolongan ahli kitab yang rajin mempelajari ayat-ayat Allah di tengah malam sambil terus beribadah dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta melakukan amal ma’ruf nahi mungkar.[68]
            Thabâthabâ'i ketika menjelaskan ayat ini menyatakan bahwa mereka ahli kitab itu tidak sama baik dalam sifat maupun dalam hukum karena mereka adalah kelompok yang beriman dan taat kepada Allah serta bersegera melakukan kebajikan yaitu amal yang shaleh berupa ibadah, memberikan sedekah, berbuat adil dan berbagai amal shaleh lainnya, maka mereka termasuk kelompok shirât al-mustaqîm dan akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu para nabi, shiddiqin dan syuhada’.[69]
            Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa ayat berbicara tentang kelompok ahli kitab baik Yahudi maupun Nasrani yang belum memeluk Islam, tetapi mereka adalah orang-orang yang jujur, melaksanakan tuntunan agama mereka dengan benar, mengamalkan nilai-nilai universal yang diakui oleh seluruh manusia sehingga Allah menyatakan mereka dengan orang-orang yang bersegera melakukan kebajikan.
            Oleh karena itu dari berbagai kelompok ahli kitab ini jika dikaitkan  dengan ajakan al-Qur’an untuk melakukan kalimah sawa’ sebagaimana yang terdapat pada surat Ali Imran ayat 64 yang berisi ajakan kepada kalimat tauhid dan dengan surat al-Baqarah ayat 62 yang berisi jaminan keselamatan mereka asalkan mereka beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh, maka akan memberikan pengertian bahwa secara keseluruhan memang ahli kitab telah menyimpang dari ajaran tauhid, namun walaupun begitu bukan berarti tidak ada dari kelompok ahli kitab yang akan selamat, karena sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa di anatar mereka itu ada yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal shaleh. Sehingga dapat diketahui dalam kaitannya dengan pendapat Thabâthabâ'i bahwa mereka yang mendapat jaminan keselamatan itu adalah ahli kitab yang memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan oleh al-Qur’an. Jadi tidak semua ahli kitab yang akan mendapat jaminan keselamatan.
            Selanjutnya surat al-Baqarah ayat 62 dapat juga dipahami bahwa secara doktrinal  bahwa al-Qur’an mengakui adanya pluralitas agama dengan menyebutkan orang-orang Mukmin, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin bila mereka benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, maka Allah akan menjamin mendapat pahala dan mereka akan tenang di akhirat. Benar-benar beriman kepada Allah adalah mengesakan Allah dan beribadat hanya kepada-Nya dan mengimani akan adanya hari kemudian sebagai hari pembalasan dan sebagai konsekuensi keimanannya, manusia harus beramala shaleh kepada sesamanya, maka dijamin akan memperoleh kebahagiaan diakhirat.

Kesimpulan
            Surat al-Baqarah ayat 62 merupakan salah satu di antara ayat yang menerangkan adanya pluralitas agama. Ayat ini tidak menjelaskan semua kelompok agama benar atau semua kelompok agama sama. Tetapi ayat ini menegaskan semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal shaleh. Hidup rukun dan damai antar umat beragama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan setiap agama, tetapi untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Hanya Allah yang bias memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstui-Nya dan agama siapa yang keliru. Begitu juga siapa yang berhak dianugerahi surga dan siapa yang akan menghuni neraka. Semuanya merupakan hak prerogatif dari Allah.
Dari penjelasan di atas terhadap tafsiran ayat ini Thabâthabâ'i membantah pendapat yang dianut sekalangan kaum muslimin bahwa Tuhan menjanjikan penyelamatan kepada kelompok tertentu dengan nama tertentu. Sebaliknya setiap orang yang memegang teguh keimanannya dan bertindak sesuai dengan itu, maka ia berhak mendapat ganjaran Tuhan dan mendapat perlindungan-Nya dari hukum. Berkaitan dengan penafsiran terhadap surat Ali Imran ayat 85 Thabâthabâ'i tidak menyinggung sama sekali tentang dinasekhkannya surat al-Baqarah ayat 62 dengan Ali Imran ayat 85. Oleh karena itu penulis berasumsi bahwa dalam hal ini Thabâthabâ'i mempunyai pandangan yang inklusif dalam arti ia menerima bahwa penyelamatan yang dijanjikan Allah itu tidak hanya milik pengikut Muhammad, tapi juga pengikut nabi-nabi yang lain yang mengimani Allah, hari kemudian, dan melakukan amal kebajikan.












           













             









           
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,  M. Amin, "Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama: 50 Tahun Hak Asasi Manusia." dalam J.B.Banawiratma, SJ, dkk, Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1999

Achmad, Nur, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman,Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001

Anwar,   M. Syafi'i, "Sikap Positif Kepada Ahli Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, No. 4 Vol. IV tahun 1993

Al-Awsi, Ali Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, Taheran: Mu'awaniyah al-Riasah lil'alaqat al-Daulah, 1985

Ayyub, Muhammad, Qur’an dan Para Penafsirnya, penerjemah Syu’bah Asa, Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992

Azra, Azyumardi, "Metodologi Pembuatan fatwa MUI Harus Ditinjau" dalam Tempo Interaktif, 02 Agustus 2005

Baidhowi, Ahmad, Mengenal Thabathaba'i dan kontroversi Nasikh Mansukh

Al-Damsyiqi,  Jalîl al-Hâfizh Ahmad al-Dîn Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsîr al-Qursyi, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm, T.t: Maktabah Mashdar, t.th

Esack, Farid, Qur'an Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld Publications, 1997

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982

Husaini, Adian, Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2005

Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,  Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie, Jakarta: Gema Insani Press, 1999

Ja'fâr, Khudhair, Tafsîr al-Qur'ân bi al-Qur'ân Inda al-Allâmah al-Thabâthabâ'i, Qum: Dar al-Qur'an al-Karim, 1411 H

JB. Banawiratma S.J. (ed.), Gereja Indonesia, Quo Vadis?: Hidup Menggereja Kontekstual, Yogyakarta: Kanisius, 2000

Kompas, "Fatwa MUI Memicu Kontroversi", 30 Juli 2005

Labib, Muhsin, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, Jakarta: al-Huda, 2005

Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Jakarta: paramadina, 1992

Mufid, A, Syafi'i (ed), Beragama Di Abad Dua Satu, Jakarta: CV Zikrul Hakim, 1997

Al-Naisabûri,  Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, Maktabah al-Syamilah

Nasr, Sayyid Husen "Sang Alim dari Tabriz"  dalam Thabathaba'i, Menyingkap Rahasia al-Qur'an, Penerjemah A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Bandung:Mizan, 1989

Partanto, A.Pius dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994

Al-Qumi, Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim Tafsîr al-Qur'ân, ditashih dan dita'liq oleh Al-Sayyid  Thayyib al-Musawi al-Jarairi, Bairut:  Dar al-Surur, 1991

Al-Qurthûbi, Abu Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, Al-Jâmi' li Ahkâm Al-Qur'ân,Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th

Quthb, Sayyid, Fi Zhilâl Qur'ân, Bairut; Dar al-Arabiyah, t.th

Rahardjo, Dawam "Kala MUI Mengharamkan Pluralisme", kolom M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo Interaktif,  01 Agustus 2005

Rakhmat, Jalaluddin Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006

Al-Râzi, Tafsîr al-Râzi, Bairut: Dar al-Fikr, 1992

Ridhâ,  Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Manâr,Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999

Sachedina, Abdulaziz, The Islam Roots of Democratic Pluralism, New York: Oxford University Press, 2001

Shihab, Alwi, Islam 1nklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung: Mizan, 2001

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2000

Suma, Muhammad Amin, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001

Al-Suyûthi,  al-Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân bin Abu Bakar, Al-Dûrr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma'tsûr, Bairut: Dar al-Kutub, al Ilmiyah, t.th

Al-Thabari, Muhammad ibn Jarîr, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wil al-Qur'ân, Kairo: Dar al-Ma'arif, 1954

Al-Thabarsyi,  Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Bairut; Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995

Thabathaba'i, Muhammad Husain Islamic Teachings: An Overview, New York, Mostazafan Foundation, 1989

-------, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Bairut: Muassasah al-A'lami al-Mathbu'at, 1991

-------, Hikmah Islam, Bandung: Mizan, 1993

-------, Shi'a, Penerjemah Husain Nasr, Qum: Ansariyan Publications, 2002

Thahrani, Agha Barzak, Thabaqât A'lâm al-Syî'ah,  Najaf: al-Mathba'ah al-Ilmiyah, 1370

Al-Thûsi, Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th



















End Note
¨ Penulis adalah Tenaga Pengajar pada STAIN Bukittinggi
[1] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,  Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
                2 Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, (Taheran: Mu'awaniyah al-Riasah lil'alaqat al-Daulah, 1985), h. 39
                3 Muhammad Husain al-Thabathaba'i, Shi'a, Penerjemah  Husain Nasr, (Qum: Ansariyan Publications, 2002), h. 22
                4 Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 44.  Lihat juga Khudhair Ja'fâr, Tafsîr al-Qur'ân bi al-Qur'ân Inda al-Allâmah al-Thabâthabâ'i, (Qum: Dar al-Qur'an al-Karim, 1411H), h. 10
                5 Silsilah nasabnya secara lengkap dapat dilihat dalam Agha Barzak Thahrani, Thabaqât A'lâm al-Syî'ah, ( Najaf: al-Mathba'ah al-Ilmiyah, 1370), Jilid I, h. 645
                6 Dalam konteks ini term tradisional tidak selalu berkonotasi negatif. Term ini disandangkan kepada Thabathaba'i tidak lebih karena kemampuannya dalam menguasai secara baik dan sempurna berbagai disiplin ilmu klasik. Lebih dari itu ia mampu mengkombinasikan antara fikih dan tafsir al-Qur'an dengan filsafat, serta antara teosofi dengan tasawuf. Lihat Haidar Baqir  (peny), SH Nasr, "Tentang Penulis" dalam Thabathaba'i, Hikmah Islam, (Bandung: Mizan, 1993), h. 7-8
                7 Sayyid Husen Nasr, "Sang Alim dari Tabriz"  dalam Thabathaba'i, Menyingkap Rahasia al-Qur'an, Penerjemah A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, (Bandung:Mizan, 1989), h. 5-8
                8 Muhammad Husain Thabathaba'i, Islamic Teachings: An Overview, h. 13
                9 Muhammad Husain Thabathaba'i, Islamic Teachings: An Overview, h. 14
                10 Sayyid Husayn Nasr, Preface dalam Shi'a, (Qum: Ansariyan, 2002), h. 22
                11 Sayyid Husayn Nasr, Preface dalam Shi'a, h. 22
12 Ahmad Baidhowi, Mengenal Thabathaba'i dan kontroversi Nasikh Mansukh, h, 44
13 Muhammad Ayyub, Qur’an dan Para Penafsirnya, penerjemah Syu’bah Asa, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992), h. 57
14 Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 53-55. Lihat juga Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 265-266
15 Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,  Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
16 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian pertama: Ketentuan Umum
17 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, (Jakarta: paramadina, 1992), h. 184
18 Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, (New York: Oxford University Press, 2001), h. 27
19 Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, h. 27
20 Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 604
21 A. Syafi'i Mufid (ed), Beragama Di Abad Dua Satu, (Jakarta: CV Zikrul Hakim, 1997), h  222
            22 Nur Achmad, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001), h. 12. Dalam pengertian lain, Pluralisme adalah pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris. Dan ada pula yang mengatakan bahwa Pengertian atau definisi pluralisme dipahami sebagai doktrin metafisik yang memandang bahwa seluruh eksistensi secara umum bisa menunjukan jalan kesalamatan. Hanya agama tertentu saja yang benar. Tuntutan semacam ini oleh pemerhati agama disebut sebagai truth claim (klaim kebenaran). Cara pandang seperti ini merupakan cara pandang yang tak bisa dihindari bagi seorang yang dibatasi sebuah tradisi agama tertentu. Namun ketika agama-agama itu lahir secara historis, ia berhadapan dengan kenyataan pluralitas keagamaan sebagai realitas sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Agama yang lain walaupun mempunyai jalan yang berbeda tetapi juga merupakan respon yang sama yang terhadap realitas Illahi. Lihat M. Syafi'i Anwar,  "Sikap Positif Kepada Ahli Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, No. 4 Vol. IV tahun 1993, h. 17. Pemahaman seperti ini pada gilirannya membawa kepada cara pandang keagamaan yang inklusif, bahwa suatu agama menjelaskan tentang kebenaran final dan pada saat yang sama memandang agama-agama lain juga merefleksikan kebenaran agama. Keberagamaan yang inklusif melihat adanya titik temu pada aspek tertentu dari berbagai tradisi agama.
23 Alwi Shihab, Islam 1nklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 2001), h. 41-42
24 Farid Esack, Qur'an Liberation and Pluralism, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), h. 179
25 JB. Banawiratma, S.J. (ed.), Gereja Indonesia, Quo Vadis?: Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 184. Mengenai keberagaman simbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan pengalaman iman masing-masing agama, Amin Abdullah mengatakan bahwa "umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena agama, selain melibatkan wahyu", juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya." Lihat, M. Amin Abdullah, "Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama: 50 Tahun Hak Asasi Manusia." dalam J.B.Banawiratma, SJ, dkk, Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 59
                26 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua: Ketentuan Hukum ayat (1)
27 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005
                28 Kompas, "Fatwa MUI Memicu Kontroversi", 30 Juli 2005
                29 Dawam Rahardjo, "Kala MUI Mengharamkan Pluralisme", kolom M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo Interaktif,  01 Agustus 2005
                30 Azyumardi Azra, "Metodologi Pembuatan fatwa MUI Harus Ditinjau" dalam Tempo Interaktif, 02 Agustus 2005
31Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2005), h. 24
32 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian satu: Ketentuan Umum
33 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua: Ketentuan Hukum huruf  c dan d
34 Ayat ini diulang dengan redaksi yang agak berbeda  pada surat al-Maidah ayat 69 
35 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut: Muassasah al-A'lami al-Mathbu'at, 1991), Jilid I, h. 192. dan Jilid VI, h. 66-67 
36 وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.
37 وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًاAllah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
                38 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 192-193
39 وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ َDan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah”.
                40 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 193. Lihat juga Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân bin Abu Bakar al-Suyûthi, Al-Dûrr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma'tsûr, (Bairut: Dar al-Kutub, al Ilmiyah), Jilid I, h. 143.  Lihat juga Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, (Maktabah al-Syamilah), Jilid I, h. 6. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz, 1, h. 216
                41 Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, Jilid I, h. 6. Lihat juga  Q. Shaleh dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Sejarah Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an, h. 216
                42 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284
                43 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284. Lihat juga Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, Vol. I, h. 243 
                44 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284
                45 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 193. M. Quraish Shihab mengamati bahwa al-Qur'an tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata hadu. Thahir Ibnu Asyur berpendapat lain. Menurutnya kerajaan Bani Israil terbagi dua setelah kematian Nabi Sulaiman as pertama adalah kerajaan putra Sulaiman yang bernama Rahbi'am dengan ibu kotanya Yarussalem. Kerajaan ini tidak diikuti kecuali  cucu Yahudza dan cucu Benyamin, sedang kerajaan kedua dipimpin oleh oleh Yurbi'am putra Banath salah seorang anak buah Nabi Sulaiman yang berani dan diserahi oleh beliau kekuasaan di Samirah. Ia digelar dengan raja Israil. Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan kekuasaan mereka diporak-porandakan bahkan mereka diperbudak sehingga pada akhirnya kerajaan ini punah setelah 250 tahun. Sejak itu tidak adalagi kekuasaan dan kerajaan Bani Israil kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada tahun 120 SM oleh Adrian, salah seorang penguasa imperium Romawi, yang mengusir mereka sehingga terpencar ke mana-mana. Agaknya -tulis Ibnu Asyur-mereka itulah yang dimaksud dengan hadu, dan karena itu ayat ini menggunakannya walaupun pada kata ini mencakup semua yang beragama Yahudi. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, h. 207  
            46 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi), Jilid V. 1, h. 280. Lihat juga  Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, , (Bairut; Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995), Jilid I, Vol. I, h. 241
            47 Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, Vol. I, h. 241
                48 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid V. 1, h. 282
                49 Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 282. Lihat juga  Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut; Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995), Jilid I, Vol. I, h. 243
                50 Lihat juga Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qumi, Tafsîr al-Qur'ân, ditashih dan dita'liq oleh Al-Sayyid  Thayyib al-Musawi al-Jarairi, (Bairut:  Dar al-Surur, 1991), Juz I, h. 138
                51 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol I, h. 207
                52 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, Vol I, h. 208
                53 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, h. 208
                54 Sayyid Quthb, Fi Zhilâl Qur'ân, (Bairut; Dar al-Arabiyah, t.th), Jilid I, h. 94
                55 Muhammad ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wil al-Qur'ân, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1954), Juz. 11, h. 155-156
                56 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Jilid  I, h. 272
57 لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًاpahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab”.
                58 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 275
                59 Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 275
                60 Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz I, h. 211
                61 Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 216-2177
                62 Abu Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthûbi, Al-Jâmi' li Ahkâm Al-Qur'ân, (Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th), Jilid I, h. 436
                63 Al-Râzi, Tafsîr al-Râzi, (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 114
                64 Jalîl al-Hâfizh Ahmad al-Dîn Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsîr al-Qursyi al-Damsyiqi, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm, (T.t: Maktabah Mashdar, t.th), Jilid. I, h. 103
                65 Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 23-24  
66 Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 36
67 Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism,  h. 34
68 لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا أَذًى وَإِنْ يُقَاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ(111)ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ(112)لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ “Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan.(111). Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.(112) Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).(113)
69 Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid III, h. 439-440









¨ Penulis adalah Tenaga Pengajar pada STAIN Bukittinggi
[1] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,  Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
                [2] Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, (Taheran: Mu'awaniyah al-Riasah lil'alaqat al-Daulah, 1985), h. 39
                [3] Muhammad Husain al-Thabathaba'i, Shi'a, Penerjemah  Husain Nasr, (Qum: Ansariyan Publications, 2002), h. 22
                [4] Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 44.  Lihat juga Khudhair Ja'fâr, Tafsîr al-Qur'ân bi al-Qur'ân Inda al-Allâmah al-Thabâthabâ'i, (Qum: Dar al-Qur'an al-Karim, 1411H), h. 10
                [5] Silsilah nasabnya secara lengkap dapat dilihat dalam Agha Barzak Thahrani, Thabaqât A'lâm al-Syî'ah, ( Najaf: al-Mathba'ah al-Ilmiyah, 1370), Jilid I, h. 645
                [6] Dalam konteks ini term tradisional tidak selalu berkonotasi negatif. Term ini disandangkan kepada Thabathaba'i tidak lebih karena kemampuannya dalam menguasai secara baik dan sempurna berbagai disiplin ilmu klasik. Lebih dari itu ia mampu mengkombinasikan antara fikih dan tafsir al-Qur'an dengan filsafat, serta antara teosofi dengan tasawuf. Lihat Haidar Baqir  (peny), SH Nasr, "Tentang Penulis" dalam Thabathaba'i, Hikmah Islam, (Bandung: Mizan, 1993), h. 7-8
                [7] Sayyid Husen Nasr, "Sang Alim dari Tabriz"  dalam Thabathaba'i, Menyingkap Rahasia al-Qur'an, Penerjemah A. Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, (Bandung:Mizan, 1989), h. 5-8
                [8] Muhammad Husain Thabathaba'i, Islamic Teachings: An Overview, h. 13
                [9] Muhammad Husain Thabathaba'i, Islamic Teachings: An Overview, h. 14
                [10] Sayyid Husayn Nasr, Preface dalam Shi'a, (Qum: Ansariyan, 2002), h. 22
                [11] Sayyid Husayn Nasr, Preface dalam Shi'a, h. 22
[12] Ahmad Baidhowi, Mengenal Thabathaba'i dan kontroversi Nasikh Mansukh, h, 44
[13] Muhammad Ayyub, Qur’an dan Para Penafsirnya, penerjemah Syu’bah Asa, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1992), h. 57
[14] Ali al-Awsi, Al-Thabâthabâ'i wa Manhajuhu fi Tafsîruhu al-Mîzân, h. 53-55. Lihat juga Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta: al-Huda, 2005), h. 265-266
[15] Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan,  Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattanie, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 9
[16] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian pertama: Ketentuan Umum
[17] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, (Jakarta: paramadina, 1992), h. 184
[18] Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, (New York: Oxford University Press, 2001), h. 27
[19] Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism, h. 27
[20] Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 604
[21] A. Syafi'i Mufid (ed), Beragama Di Abad Dua Satu, (Jakarta: CV Zikrul Hakim, 1997), h  222
            [22] Nur Achmad, (ed), Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001), h. 12. Dalam pengertian lain, Pluralisme adalah pemahaman akan kesatuan dan perbedaan, yaitu kesadaran mengenai suatu ikatan kesatuan dalam arti tertentu bersama-sama dengan kesadaran akan keterpisahan dan perpecahan kategoris. Dan ada pula yang mengatakan bahwa Pengertian atau definisi pluralisme dipahami sebagai doktrin metafisik yang memandang bahwa seluruh eksistensi secara umum bisa menunjukan jalan kesalamatan. Hanya agama tertentu saja yang benar. Tuntutan semacam ini oleh pemerhati agama disebut sebagai truth claim (klaim kebenaran). Cara pandang seperti ini merupakan cara pandang yang tak bisa dihindari bagi seorang yang dibatasi sebuah tradisi agama tertentu. Namun ketika agama-agama itu lahir secara historis, ia berhadapan dengan kenyataan pluralitas keagamaan sebagai realitas sosial yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Agama yang lain walaupun mempunyai jalan yang berbeda tetapi juga merupakan respon yang sama yang terhadap realitas Illahi. Lihat M. Syafi'i Anwar,  "Sikap Positif Kepada Ahli Kitab", Jurnal Ulumul Qur'an, No. 4 Vol. IV tahun 1993, h. 17. Pemahaman seperti ini pada gilirannya membawa kepada cara pandang keagamaan yang inklusif, bahwa suatu agama menjelaskan tentang kebenaran final dan pada saat yang sama memandang agama-agama lain juga merefleksikan kebenaran agama. Keberagamaan yang inklusif melihat adanya titik temu pada aspek tertentu dari berbagai tradisi agama.
[23] Alwi Shihab, Islam 1nklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 2001), h. 41-42
[24] Farid Esack, Qur'an Liberation and Pluralism, (Oxford: Oneworld Publications, 1997), h. 179
[25] JB. Banawiratma, S.J. (ed.), Gereja Indonesia, Quo Vadis?: Hidup Menggereja Kontekstual, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 184. Mengenai keberagaman simbol-simbol keagamaan yang berkaitan dengan pengalaman iman masing-masing agama, Amin Abdullah mengatakan bahwa "umat beragama perlu juga memahami bahwa fenomena agama, selain melibatkan wahyu", juga lengket dengan fenomena kultural, tradisi, bahasa, adat istiadat, habit of mind, dan begitu seterusnya." Lihat, M. Amin Abdullah, "Kebebasan Beragama atau Dialog Antaragama: 50 Tahun Hak Asasi Manusia." dalam J.B.Banawiratma, SJ, dkk, Hak Asasi Manusia: Tantangan Bagi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), h. 59
                [26] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua: Ketentuan Hukum ayat (1)
[27] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005
                [28] Kompas, "Fatwa MUI Memicu Kontroversi", 30 Juli 2005
                [29] Dawam Rahardjo, "Kala MUI Mengharamkan Pluralisme", kolom M. Dawam Rahardjo, dalam Tempo Interaktif,  01 Agustus 2005
                [30] Azyumardi Azra, "Metodologi Pembuatan fatwa MUI Harus Ditinjau" dalam Tempo Interaktif, 02 Agustus 2005
[31] Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontroversial, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2005), h. 24
[32] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian satu: Ketentuan Umum
[33] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 7/ MUNAS VII/ MUI/II/2005 dalam Keputusan, Bagian Kedua: Ketentuan Hukum huruf  c dan d
[34] Ayat ini diulang dengan redaksi yang agak berbeda  pada surat al-Maidah ayat 69 
[35] Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut: Muassasah al-A'lami al-Mathbu'at, 1991), Jilid I, h. 192. dan Jilid VI, h. 66-67 
[36] وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”.
[37] وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًاAllah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar”.
                [38] Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 192-193
[39] وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ َDan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah”.
                [40] Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 193. Lihat juga Jalâl al-Dîn Abd al-Rahmân bin Abu Bakar al-Suyûthi, Al-Dûrr al-Mantsûr fi al-Tafsîr al-Ma'tsûr, (Bairut: Dar al-Kutub, al Ilmiyah), Jilid I, h. 143.  Lihat juga Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, (Maktabah al-Syamilah), Jilid I, h. 6. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz, 1, h. 216
                [41] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl al-Qur’ân, Jilid I, h. 6. Lihat juga  Q. Shaleh dan M.D. Dahlan, Asbabun Nuzul; Latar Belakang Sejarah Turunnya Ayat-Ayat al-Qur'an, h. 216
                [42] Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284
                [43] Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284. Lihat juga Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, Vol. I, h. 243 
                [44] Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 284
                [45] Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, h. 193. M. Quraish Shihab mengamati bahwa al-Qur'an tidak menggunakan kata yahud kecuali dalam konteks kecaman. Agaknya itulah sebabnya maka di sini tidak digunakan kata tersebut tetapi digunakan kata hadu. Thahir Ibnu Asyur berpendapat lain. Menurutnya kerajaan Bani Israil terbagi dua setelah kematian Nabi Sulaiman as pertama adalah kerajaan putra Sulaiman yang bernama Rahbi'am dengan ibu kotanya Yarussalem. Kerajaan ini tidak diikuti kecuali  cucu Yahudza dan cucu Benyamin, sedang kerajaan kedua dipimpin oleh oleh Yurbi'am putra Banath salah seorang anak buah Nabi Sulaiman yang berani dan diserahi oleh beliau kekuasaan di Samirah. Ia digelar dengan raja Israil. Tetapi masyarakatnya sangat bejat dan mengaburkan ajaran agama. Mereka menyembah berhala dan kekuasaan mereka diporak-porandakan bahkan mereka diperbudak sehingga pada akhirnya kerajaan ini punah setelah 250 tahun. Sejak itu tidak adalagi kekuasaan dan kerajaan Bani Israil kecuali kerajaan pertama di atas, dan ini bertahan sampai dihancurkan pada tahun 120 SM oleh Adrian, salah seorang penguasa imperium Romawi, yang mengusir mereka sehingga terpencar ke mana-mana. Agaknya -tulis Ibnu Asyur-mereka itulah yang dimaksud dengan hadu, dan karena itu ayat ini menggunakannya walaupun pada kata ini mencakup semua yang beragama Yahudi. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, h. 207  
            [46] Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi), Jilid V. 1, h. 280. Lihat juga  Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, , (Bairut; Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995), Jilid I, Vol. I, h. 241
            [47] Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid I, Vol. I, h. 241
                [48] Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid V. 1, h. 282
                [49] Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan al-Thûsi, Al-Tibyân fi Tafsîr al-Qur'ân, V. 1, h. 282. Lihat juga  Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Thabarsyi, Majma' al-Bayân fi Tafsîr al-Qur'ân, (Bairut; Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1995), Jilid I, Vol. I, h. 243
                [50] Lihat juga Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qumi, Tafsîr al-Qur'ân, ditashih dan dita'liq oleh Al-Sayyid  Thayyib al-Musawi al-Jarairi, (Bairut:  Dar al-Surur, 1991), Juz I, h. 138
                [51] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol I, h. 207
                [52] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, Vol I, h. 208
                [53] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, h. 208
                [54] Sayyid Quthb, Fi Zhilâl Qur'ân, (Bairut; Dar al-Arabiyah, t.th), Jilid I, h. 94
                [55] Muhammad ibn Jarîr al-Thabari, Jâmi' al-Bayân 'an Ta'wil al-Qur'ân, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1954), Juz. 11, h. 155-156
                [56] Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Jilid  I, h. 272
[57] لَيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ مَنْ يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًاpahala dari Allah itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab”.
                [58] Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 275
                [59] Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid I, h. 275
                [60] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz I, h. 211
                [61] Hamka, Tafsir al-Azhar, h. 216-2177
                [62] Abu Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthûbi, Al-Jâmi' li Ahkâm Al-Qur'ân, (Bairut: Dar Ihya' al-Turats al-Arabi, t.th), Jilid I, h. 436
                [63] Al-Râzi, Tafsîr al-Râzi, (Bairut: Dar al-Fikr, 1992), Jilid II, h. 114
                [64] Jalîl al-Hâfizh Ahmad al-Dîn Abu al-Fida' Ismail Ibn Katsîr al-Qursyi al-Damsyiqi, Tafsîr al-Qur'ân al-Azhîm, (T.t: Maktabah Mashdar, t.th), Jilid. I, h. 103
                [65] Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 23-24  
[66] Muhammad Amin Suma, Pluralisme Agama Menurut Al-Qur’an Telaah Aqidah dan Syari’ah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 36
[67] Abdulaziz Sachedina, The Islam Roots of Democratic Pluralism,  h. 34
[68] لَنْ يَضُرُّوكُمْ إِلَّا أَذًى وَإِنْ يُقَاتِلُوكُمْ يُوَلُّوكُمُ الْأَدْبَارَ ثُمَّ لَا يُنْصَرُونَ(111)ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ(112)لَيْسُوا سَوَاءً مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ يَتْلُونَ ءَايَاتِ اللَّهِ ءَانَاءَ اللَّيْلِ وَهُمْ يَسْجُدُونَ “Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja, dan jika mereka berperang dengan kamu, pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah). Kemudian mereka tidak mendapat pertolongan.(111). Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.(112) Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).(113)
[69] Muhammad Husain al-Thabâthabâ'i, Al-Mîzân fi Tafsîr al-Qur'ân, Jilid III, h. 439-440

Tidak ada komentar:

Posting Komentar