PEMBARUAN PENDIDIKAN ISLAM
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN NASIONAL
Muh.Idris
Dosen Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
e-mail
:idrispasca_uin@yahoo.co.id§
Abstract
The transformation
of education needs the new way of thinking and practice by complete diagnosing
or paradigm shift. It needs systemic paradigm and emphasizes to basic change in
other aspect. The paradigm shift can be differed in four systems. vision in
Islamic education development refers to educational reformation and
modernization. This point of view is based on monoteisme concept combined both
science and technology integration. The implications of this vision can be
described as follows: developing
educational institution establishing
STAIN from branch faculty of IAIN; opening wider mandate by opening study
program needed; developing STAIN and IAIN to be UIN. Being implemented of this
vision, the role of Islamic education to respond science and technology
development will extremely find its momentum in the development of excellent
and competitive human resources as a response to autonomy and globalization
challenges. This matter becomes a support to the education itself in culture
and developing human civilization which are more harmonies so it can be
marketable in the future
A. Pendahuluan
Dunia
Pendidikan[1] sudah menjadi sumber pembaruan dalam merespon tantangan dan dinamika dalam
era globalisasi dan modernisasi. STAIN dan IAIN tidak memadai lagi
pencernaannnya dalam menghadapi globalisasi saat ini. Islam berbicara puasa,
zakat bahkan peristiwa isra dan mi’raj dan lain sebagainya. Hal itu dapat
dipahami misalnya puasa bermakna kesehatan, maka lembaga pendidikan islam
dianjurkan mengembangkan ilmu-ilmu kesehatan. Zakat dapat dimaknai ekonomi,
isra’ dan mi’raj dapat dipahami sains dan teknologi. Ilmu-ilmu tersebut
diupayakan dibangun dan dikembangkan sebagai respon positif dan konstruktif
agar pendidikan Islam lebih kompatibel dan mareketabel dalam merespon tantangan
itu.
Tantangan dunia
akademik diakui oleh Mastuhu sebagaimana yang dikutip oleh Suwito bahwa penuh kritik dan perdebatan
akademik mengenai masalah pendidikan. Hal tersebut tidak pernah selesai dan
tidak terelakkan. Hal ini disebabkan karena salah satu keunikan
dalam kehidupan manusia tidak pernah sepi dari nilai-nilai luhur yang
dicita-citakan. Sementara itu, manusia memang mampu membuat berbagai pertanyaan
dan menciptakan berbagai jalan yang semakin lama semakin maju dan canggih. Akan
tetapi, ia juga mengakui bahwa manusia belum pernah memperoleh jawaban final
yang memuaskan hidupnya. Manusia selalu berada dalam proses terus-menerus mencari
jawaban.[2]
Sistem pendidikan nasional yang telah
dibangun selama tiga dasawarsa terakhir ini ternyata belum mampu sepenuhnya
menjawab kebutuhan dan tantangan nasional dan global dewasa ini. Program
pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan yang selama ini merupakan fokus
pembinaan masih menjadi masalah yang paling menonjol dalam dunia pendidikan.
Diakui Azyumardi Azra bahwa hampir seluruh negara muslim tidak mempunyai
kebijakan (policy) dan perencanaan nasional yang jelas, menyeluruh,
terpadu dan terarah untuk pengembangan sains. Bahkan dalam banyak kasus
merupakan bidang yang paling terlantar dari kebijaksanaan nasional yang terlalu
bertitik tekan pada pertumbuhan ekonomi.[3] Hal ini kontras dengan negara-negara maju
yang memberikan perhatian khusus pada kebijaksanaan pendidikan dalam arti luas,
bahkan melebihi kebijaksanaan luar negeri atau militer, sebab kegagalan pada
pengembangan pendidikan nasional secara luas dapat menghambat perkembangan
secara menyeluruh di masa depan.[4]
Tantangan dan perkembangan lingkungan
strategis, baik nasional maupun internasional dalam berbagai bidang kehidupan
semakin berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dibidang
informasi, komunikasi dan transportasi yang amat cepat, eskalasi pasar bebas
antarnegara dan bangsa yang semakin meningkat, iklim kompetisi dalam berbagai
bidang kehidupan yang semakin ketat, dan tuntutan demokratisasi serta masalah
hak azasi manusia merupakan tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia
agar agar kita bisa hidup terus dan bertahan dalam percaturan kehidupan
antarbangsa di dunia.[5]
Bangunan pendidikan selama ini perpedoman pada
konsepsi input-output analysis.[6] Paradigma yang mempunyai
akar teori pada bidang ekonomi produksi ini berkeyakinan bahwa apabila input
diperbaiki, maka secara otomatis output akan menjadi baik pula. Ini
dikarenakan lembaga pendidikan tidak bisa disamakan dengan pabrik dalam dunia
industri sebab input pendidikan bukan input yang statis melainkan input
dinamis yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor proses
dan konteks pendidikan dewasa ini.
B. Pendidikan Islam
Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan
pendidikan Islam umumnya dipahami
sebatas sebagai “ciri khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan.
Demikian pula batasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional.[7] Batasan yang sama juga terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.[8]
A.Malik Fadjar dengan mengutip pendapat Zarkowi Soejoeti mengemukakan bahwa
Pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama, lembaga
pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat
mengejewantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan
itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam
dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga
pendidikan yang bersangkutan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan
perhatian dan yang menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam
program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu-ilmu lain yang
menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga,
mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan
Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin
dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam
program kajiannya.[9]
Konsep pendidikan Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh
Zarkowi Soejoeti tersebut walaupun belum
memadai secara falsafi untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat
dijadikan sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih
mendasar.[10]
Berdasarkan pengertian ini A.Malik Fadjar berpendapat bahwa keberadaan
pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih
mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling
ideal yaitu insân kâmil atau muslim paripurna.[11]
Tujuan ini sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung
jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Dalam pembicaraan ini
jenis dan pengertian pendidikan Islam mencakup ketiga-tiganya, karena memang
ketiga-tiganya itu yang selama ini tumbuh serta berkembang di Indonesia dan
sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah maupun kebijakan
pendidikan secara nasional. Bahkan tidak berlebihan kalau secara politis
dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam
dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan.[12]
Azyumardi Azra berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual dari Islam,[13] termasuk aspek disiplin, kerja keras, keadilan, demokrasi, musawarah, HAM,
perdamaian dan semacamnya. Orang Islam percaya bahwa Islam adalah rahmatan
lil álamiin. Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan menciptakan insan
kamil. Terbinanya kepribadian muslim atau insan kamil yang merupakan
ketetapan tujuan pendidikan Islam masih merupakan idea statis. Namun
kualitasnya dinamis dan berkembang nilai-nilainya. Tujuan pendidikan Islam itu
sarat dengan nilai-nilai fundamental yang memungkinkan terwujudnya kepribadian
muslim atau insân kâmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya merupakan
satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak
terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi.[14] Konsep integralitas keilmuan bertujuan
menjadi cerminan insan yang paripurna.
Sedangkan menurut Hamka bahwa untuk
membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi
pendidikan agama merupakan sebuah kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada
sekolah-sekolah umum. Namun demikian dalam dataran operasional prosesnya hanya
tidak dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting
adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampun membuahkan suatu sikap yang
baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.[15]
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh (1848-1905)
yang menyatakan bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam
prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik terutama fitrah akal
dan agamanya. Dengan fitrah ini peserta didik akan dapat mengembangkan daya
berfikir secara rasional. Sementara melalui fitrah agama, akan tertanam
pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang kemudian terimplikasi dalam
seluruh aktifitas hidupnya.[16] Dalam konteks ini sejalan dengan
pandangan A.Malik Fadjar bahwa agama adalah sains dan akal adalah teknologi.
Untuk itu, tugas utama pendidikan adalah menciptakan sosok peserta didik
berkepribadian yang paripurna.
Sedangkan berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, Athiyah al-Abrasyi
dalam kajiannya tentang pendidikan Islam menyimpulkan lima tujuan yang asasi
dalam pendidikan Islam yaitu: untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia,
mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezki dan
menjaga kemaslahatan, menumbuhkan roh ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa
keingintahuannya serta memungkinkan untuk mengkaji berbagai ilmu, menyiapkan
anak didik untuk menguasai profesi tertentu.[17] Di samping itu dengan pendidikan,
seseorang dimungkinkan mengenal diri dan alam sekitarnya.[18]
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan terkait dengan pandangan
hidup. Jika pandangan hidupnya adalah Islam, maka tujuan pendidikan harus dari
ajaran Islam.[19] Dengan pendidikan akan terwujudnya
keseimbangan dalam diri seseorang dalam bentuk pemenuhan kebutuhan badan, jiwa,
pikiran, dan perbuatan yang akan melahirkan akhlak yang mulia, kasih sayang,
dan tolong menolong.[20]
Al-Kailani menyatakan bahwa pendidikan Islam berorientasi pada kelangsungan
eksistensi manusia dan juga peningkatan harkat kemanusiaannya.[21] Sedangkan menurut al-Nahlawi tujuan
pendidikan Islam adalah pembebasan dan penyelamatan anak didik.[22] Sehingga ia dapat mengenal agama baik
secara teori maupun prakteknya.[23] Sementara itu Muhammad Abduh menjelaskan
bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya
kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.[24] Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai
oleh Muhammad Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal dan aspek
spiritual. Tujuan pendidikan tersebut diprediksi dalam rangka pencapaian hasil.[25]
Pendidikan
perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahami keberagaman manifestasi nilai-nilai dalam peri kehidupannya
sebagai anggota masyarakat.[26] Peserta didik harus diperkenalkan ke berbagai
bidang. Perkenalan itu
akhirnya membuka perspektif bagi seseorang untuk membuat pilihan, apakah ia
ingin menjadi homo religiosus, homo aestheticus, homo politicus, homo
economicus, homo academicus, dan sebagainya.[27]
Azyumardi Azra
menjelaskan bahwa pendidikan Islam mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: Pertama,
penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas
dasar ibadah kepada Allah. Kedua, pengakuan akan potensi dan kemampuan
seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian, setiap pencari ilmu
dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar
potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Ketiga, pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung
jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia. Di sini pengetahuan bukan hanya
untuk diketahui dan dikembangkan, melainkan sekaligus dipraktekkan dalam
kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang
diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.[28]
Pendidikan memang bukan sekadar
transfer pengetahuan, pembinaan mental jasmani dan intelek semata, tetapi
bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang telah didapatkan dipraktekkan dalam
prilaku sehari-hari. Ki Hajar Dewantara dalam hal ini menyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan
untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat
pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti
memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan
kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berazas peradaban, yakni memajukan
hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan.[29]
Semangat progresif yang terkandung dalam
pendidikan sebagaimana definisi di atas, tampak mengingatkan kita pada pesan
Khalifah Umar yang mengatakan bahwa anak-anak muda masa sekarang adalah
generasi di masa yang akan datang.[30] Dunia dan kehidupan yang akan dihadapi
berbeda dengan dunia yang sekarang, untuk itu apa yang akan diberikan pada anak
didik harus memperlihatkan kemungkinan relevansi dan kegunaannya di masa
datang.
C. Pembaruan Pendidikan Islam dalam kontek Nasional
Pembaruan
pendidikan[31] menuntut adanya cara berpikir dan
bertindak yang berbeda dari apa yang telah ada dengan mengadakan diagnosis
secara menyeluruh atau perubahan paradigma dengan pendekatan yang sistemik.
Paradigma yang sistemik mestilah bersifat menyeluruh serta memerhatikan sebuah
asumsi mendasar bahwa perubahan mendasar pada salah satu aspek pendidikan akan
memengaruhi perubahan mendasar pada aspek-aspek lain. Perubahan itu dapat
dibedakan pada empat lapis sistem yang saling berkaitan. Pada lapis pertama
adalah perubahan pada pengalaman belajar, lapis kedua pada sistem
belajar-pembelajaran yang menekankan terlaksananya pengalaman belajar yang
diinginkan, seperti dalam sekolah. Lapis ketiga adalah perubahan pada
pengalaman sistem pembelajaran, dan lapis keempat adalah perubahan pada sistem
perundangan yang mengatur dan menjamin berlangsungnya keseluruhan sistem
pendidikan secara nasional.[32]
Berdasarkan hakikat pembaruan sebagai
pemberdayaan warga, sudah seharusnya perhatian utama diberikan pada perubahan
pada lapis pertama, yaitu pengalaman belajar, dengan konsekuensi dan implikasi
pada perubahan pada lapis kedua sampai keempat. Pendekatan mulai lapis pertama
disebut pula sebagai pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up approach).
Selama ini apa yang terjadi adalah pendekatan dari atas ke bawah (top-down
approach), di mana pemerintah pusat menentukan perundangan dan serangkaian
peraturan pelaksanaan yang harus dipatuhi oleh jajaran di bawah sampai di ruang
kelas atau lingkungan belajar tempat peserta didik atau warga belajar
memperoleh dan mengembangkan pengalaman belajarnya.[33]
Dengan pendekatan dari bawah ke atas, perhatian utama diberikan kepada
peserta didik agar mereka menguasai tugas belajar dan mampu mengatasi persoalan
belajar. Semua satuan penyelenggara pendidikan, termasuk sekolah, pusat
kegiatan belajar masyarakat, perguruan tinggi, dan sebagainya, wajib mengelola
sumber daya yang diperlukan dan mengatur penggunaannya.
Perubahan paradigma mempengaruhi
semua aspek pendidikan lain, bahkan memicu tumbuhnya serangkaian paradigma
lain. Perubahan paradigma ini memunculkan konsep-konsep baru seperti belajar
berbasis aneka sumber pengelolaan berbasis sekolah dan pola pembelajaran atau
pendekatan alternatif. [34]
Kesadaran
untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah tertanam kuat
dalam jiwa para pendiri negara republik tercinta ini. Di antara isi Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan
pembentukan pemerintahan negara Indonesia ini adalah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang
tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ini mengisyaratkan pentingnya
memberikan pendidikan yang unggul dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia
sebagai modal untuk meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.[35]
Kehidupan pada milenium ketiga benar-benar
berada pada tingkat persaingan global yang sangat ketat. Artinya, siapa saja
yang tidak memenuhi syarat kualitas global akan tersingkir secara alami dengan
sendirinya. Pertanyaannya sudahkah kita siap akan hal itu? Kelihatannya belum.
Itulah sebabnya kita perlu selalu melakukan pembaruan dalam bidang pendidikan
dari waktu ke waktu tanpa henti sekaligus menjadi juru bicara, baik skala
nasional maupun internasional. Kita tidak boleh lagi selalu membanggakan
keberhasilan masa lalu tanpa mengkaji ulang relevansi keberhasilan itu dengan
setting kehidupan global masa kini dan akan datang. Untuk
itu kita patut memerhatikan metafora John F. Kennedy yaitu; "Change is
a way of life. Those who look to the past or present will miss the future".
Metafora ini pantas diterjemahkan ke dalam kepentingan reformasi pendidikan.
Artinya, reformasi pendidikan harus tetap berpegang pada tantangan masa depan
yang penuh dengan persaingan global.[36]
Untuk merespon tantangan globalisasi dan
modernisasi pendidikan Islam dalam konteks nasional dapat juga dilihat pada pandangan
A. Malik Fadjar sebagai praktisi pendidikan yang mengatasi dualisme dan
dikotomi menuju otonomi antara lain gagasannya adalah:
1. Pengembangan Fakultas Cabang Menjadi STAIN
Merespon perkembangan globalisasi,
A.Malik Fadjar (ketika menjabat Dirjen Binbagais Departemen Agama) mengusulkan
pembenahan dan rasionalisasi
organisasi Perguruan Tinggi Agama Islam atau IAIN.[37]
Hasil dari rasionalisasi organisasi pada tahap praksisnya melahirkan Keputusan
Presiden No. 11 Tahun 1997 yang menetapkan fakultas cabang di lingkungan IAIN
berubah menjadi STAIN.[38]
Hal yang mendasari munculnya gagasan ini,
sebagaimana yang diungkapkan oleh A.Malik Fadjar bahwa nama fakultas cabang itu
sebetulnya bertentangan dengan undang-undang. Struktur Perguruan Tinggi yang
benar adalah Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Diploma, bukan
fakultas cabang. Untuk kepentingan ini, A.Malik Fadjar melakukan komunikasi
intensif dengan berbagai kalangan; dengan Depdiknas, Departemen Anggaran,
Bappenas, Menpan, dan juga para DPR. Terbitlah kemudian Keputusan Presiden
No. 11 Tahun 1997 yang menyatakan 33
Fakultas Cabang IAIN menjadi STAIN. [39]
Gagasan memerdekakan fakultas
cabang ini menjadi IAIN menurut Sofian Effendi muncul dari A.Malik Fadjar
sendiri sesuai dengan pengalaman sebelumnya memimpin UMM. Perguruan Tinggi yang
diinginkan oleh A.Malik Fadjar adalah Islamic Studies, yaitu
pengembangan lembaga pendidikan dengan pendekatan modern yang didukung dengan
berbagai aspek ilmu. Jadi gaya dan semangat A.Malik Fadjar itu identik dengan
Mukti Ali.[40]
Sementara itu menurut Azyumardi Azra bahwa tujuan A.Malik Fadjar dalam
mengembangkan gagasan perubahan IAIN menjadi UIN kemudian pemisahan
fakultas-fakultas cabang menjadi STAIN, supaya fakultas itu bisa mandiri dan
dengan kemandiriannya bisa meningkatkan kualitas, tidak tergantung ke induknya
sementara induknya sendiri tidak bisa memperhatikan, mengelola dan
mengembangkannya dengan baik.[41]
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa gagasan sentral pemikiran A.Malik Fadjar
ini adalah adalah modernisasi dan pembaruan pendidikan Islam.[42]
Terkait dengan pengembangan jurusan menjadi STAIN ini menurut Husni Rahim bahwa gagasan A.Malik
Fadjar ini sangat baik dan memberdayakan namun daerah lebih mengedepankan
kekuasaan dari pada kualitas dan fatalnya di daerah termasuk dosennya sangat
kurang memperhatikan SDM. Hal ini seharusnya ada aturan yang menyikapi sehingga
lebih mengedepankan kualitas daripada kekuasaan. Jadi ide bagus tapi ketika
pelaksanaan di daerah tidak dijalankan secara komprehensif. [43]
Patut diapresiasi keberanian kebijakan yang
diambil oleh A.Malik Fadjar, dengan terbentuknya 33 buah STAIN maka
pengembangan IAIN mengalami babak baru. Dengan pendirian STAIN-STAIN ini, studi
Islam di daerah-daerah diharapkan perkembangannya menjadi lebih mandiri.
Dampaknya mulai terasa, sejumlah STAIN yang lebih kuat dapat berkembang lebih
cepat,[44] bahkan berubah menjadi UIN seperti
halnya di UIN Malang. Akan tetapi STAIN yang lebih lemah akan semakin lemah,
karena transfer dan subsidi tenaga dari manajemen dari bekas IAIN induknya
menjadi sulit terjadi. Dampak lain dari pendirian STAIN ialah bahwa kurikulum
IAIN sejak 1997 ternyata telah diatur dan diperlakukan seperti STAIN, khususnya
dalam mengelompokkan MKDK dan MKK sehingga para dosen IAIN merasa seolah-olah
kehilangan keberadaan fakultas mereka dan perbedaan kurikulum IAIN antar
fakultas menjadi semakin tak jelas. Sebabnya ialah bias dan dipakainya asumsi
STAIN yang tentu saja tidak mempunyai fakultas-fakultas, bahkan nama-nama
fakultas itu disebut sebagai nama jurusan pada STAIN.
2.
Pengembangan Jurusan di STAIN/IAIN
Memahami dan
merespon dinamika perkembangan pendidikan, A.Malik Fadjar (ketika Dirjen)
secara praksis mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Nomor: E/107/1998 Tertanggal 13 Mei 1998 tentang
Penyelenggaraan Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Islam, Program Studi
Tadris Matematika, Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Alam, Program Diploma
II (D-2) Pendidikan Agama Islam, Program Studi Kependidikan Islam; Jurusan Psikologi;
Jurusan Adab/Bahasa Program Studi Bahasa Arab, Program Studi Bahasa Inggris;
Jurusan Syari'ah Program Studi Ahwalus Syakhsyiyah (Peradilan Agama) dan
Program Studi Muamalah (Ekonomi Islam) pada
STAIN Malang.[45]
Di samping itu, A.Malik Fadjar (ketika Menag) mengeluarkan Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam No. E/138/1999, tentang Penyelenggaraan
Jurusan psikologi dan Jurusan Tarbiyah program studi Tadris IPS pada STAIN
Malang. Pengembangan jurusan tersebut secara praksis merupakan respons positif
dan konstruktif pada pengembangan lembaga
pendidikan.[46] Dengan demikian lembaga
tersebut diharapkan akan lebih mengalami kemajuan dan menguntungkan pada semua
lini kehidupan.
Menurut A.Malik Fadjar, sesungguhnya gagasan tersebut dulu sudah ada
di IAIN, seperti jurusan dan program studi; ada Jurusan Tadris MIPA, Bahasa
Inggris, Tata Negara, Civic Ekonomi, Bahasa Indonesia, dan sebagainya.[47]
Tetapi mengapa itu kemudian
dihapuskan? Mengapa generasi berikutnya tidak mampu melanjutkan ide-ide besar
yang dirintis pendahulunya?
Gagasan A.Malik Fadjar tentang pengembangan jurusan dalam kerangka
pendidikan Islam tersebut di atas merupakan bibit dari konsep “wider
mandate” (mandat yang di perluas), di mana peran A.Malik Fadjar waktu itu
sebagai pembuka pintu wider mandate tersebut.[48] Adapun tujuan dari wider mandate
pada tahap praksisnya adalah untuk membuka jurusan umum dan
mengembangkan lembaga pendidikan dalam merespons modernisasi dan globalisasi.
Inilah target yang ingin dicapai oleh A. Malik Fadjar sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sofyan Effendi.[49] Di samping itu menurut Tarmizi Taher
adalah untuk mencapai pasar kerja yang kompetitif, baik pada masa itu maupun
pada masa sekarang.[50]
Sementara itu menurut Azyumardi Azra bahwa dalam rangka mendukung perubahan
IAIN menjadi UIN maka perlu ada persiapan terlebih dahulu. Penyiapan itulah
yang disebut dengan mandat yang lebih luas (wider mandate) yaitu dengan
mengembangkan atau membentuk jurusan-jurusan umum yang selama ini belum ada di
IAIN. Sehingga IAIN tidak lagi terbatas pada ilmu-ilmu agama tapi juga mencakup
ilmu-ilmu umum. [51]
2. Pengembangan STAIN/IAIN
Menuju Universitas
Gagasan perubahan STAIN/IAIN menjadi UIN
yang diangankan A.Malik Fadjar bukan sekedar perubahan “papan nama”, tetapi
sebagai model “reintegrasi keilmuan” yang menunjuk kepada satu bentuk
pengembangan, peningkatan dan pemantapan status akademik yang lebih
proporsional dan profesional.[52] Gagasan tersebut, sejalan dengan semangat
wider mandate (mandat diperluas) untuk memberikan wewenang kepada PTAI
agar membuka jurusan sesuai kebutuhan pasar supaya bisa lebih moderen dan
mandiri.
Lembaga pendidikan tinggi agama sudah
harus mendapatkan wider mandate, sebagai respon atas
tantangan-tantangan baru yang dihadapainya. Dengan mandat lebih luas ini,
antara lain, IAIN secara praksis diharapkan mampu berpartisipasi dalam
mengintegrasikan ilmu-ilmu normatif dengan ilmu-ilmu obyektif.[53]
Tujuan dari perluasan mandat ini
adalah reproduksi manusia akademis yang siap pakai dalam menghadapi tantangan
zaman yang penuh dinamika di era global.
A.Malik Fadjar menyatakan bahwa UIN ke depan
dapat menjadi model sistem pendidikan Islam yang memiliki “kualitas tinggi”
dibandingkan dengan PTN/PTS yang lain yang memiliki status, peran dan fungsi yang
sama, di samping memiliki otonomi lebih luas baik dalam pengembangan akademik,
manajemen maupun admistrasinya.[54] Dengan penataan elemen-elemen lembaga
pendidikan secara menyeluruh didesain dengan teknologi yang maju maka lembaga
pendidikan Islam akan mampu memenuhi logika persaingan pasar ke depan.
Dengan berubahnya IAIN Jakarta menjadi UIN, misalnya merupakan
langkah dinamis untuk "membangun sistem pendidikan
yang integralistik dan komprehensif dalam berbagai disiplin ilmu dalam rangka memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga pendidikan
tinggi yang mampu menghasilkan
intelektual yang profesional dan bermoral".[55]
Dari berbagai latar belakang dan tujuan tersebut, terlihat bahwa ide
perubahan lembaga PTAI bersumber dari perenungan internal dan eksternal tentang
posisi dan fungsi yang selama ini dijalani oleh IAIN serta respons terhadap
realitas yang berkembang dalam masyarakat.[56]
Perenungan internal telah
merevisi cara pandang IAIN dan Departemen Agama tentang konstruksi keilmuan
yang "sesungguhnya" yang bersifat non-dikotomis. Sedangkan perenungan
eksternal telah "membuka mata" mereka tentang kebutuhan-kebutuhan
yang berkembang di masyarakat sehingga perlu disikapi secara kongkrit.
Perenungan seperti ini telah membawa perubahan mental akademik yang sejajar
dengan dengan lembaga-lembaga pendidikan lain dan menyatukan ilmu yang dikotomi menuju otonomi sehingga akan
melahirkan wawasan keilmuan yang lebih
luas dan lues.
UIN yang dicita-citakan sebagai center of exellence bagi pengembangan keilmuan pada umumnya dan
keilmuan Islam pada khususnya, sehingga terbentuk komunitas ilmiah-religius (religious-scientific
community) yang bersendikan ajaran agama. Bukan sekadar pengawal, penjaga,
dan pelestari tradisi yang ada. UIN diharapkan tidak saja piawai sebagai
pencetak 'guru agama' dan kiai tradisional, melainkan bagaimana bisa melahirkan
kiai-kiai profesional di dalam mengurus pesantren perikanan, pesantren
peternakan, pesantren perkebunan, pesantren pertambangan, pesantren
perindustrian, dan sebagainya. Tentu dengan pengejawantahan secara profesional
di setiap bidang akademik yang dibuka.[57]
Apa yang digagas
oleh A.Malik Fadjar, secara praksis bahwa pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN kiranya merupakan langkah
strategis dan futuristik. Melalui pengembangan
STAIN/IAIN menuju UIN ini A.Malik Fadjar meyakini
bahwa umat Islam bisa memainkan peran yang sesungguhnya di dalam
pergaulan global. Memaknai ini, A.Malik
Fadjar mengemukakan: bahwa masa depan harus dijemput dimana sarananya
adalah pendidikan. Oleh
karena itu pendidikan harus dipacu ke arah masa depan manusia. Di sinilah
sesungguhnya makna pentingnya secara terus-menerus memperbarui sistem
pendidikan kita. Ungkapan life long
education, sejatinya sudah disuguhkan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh para sahabat belajar ilmu ke Cina (uthlub al-'ilm wa law bi al-shîn) yang
artinya carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina (hadis) dan mencari ilmu sejak
lahir sampai mati (uthlub al-'ilm min al-mahdi ila al-lahd)
yang artinya carilah ilmu sejak dari buaian sampai engkau meninggal dunia
(hadis). Untuk itu, manusia harus senantiasa belajar
dan belajar (learn how to learn). Belajar itu merupakan rekreasi ke arah
masa depan.[58]
Gagasan pembaruan tersebut di atas
tidak dapat di bayangkan seandainya tidak ada A.Malik Fadjar (Mendiknas) dan
Azyumardi Azra (Rektor UIN Jakarta) waktu itu yang gigih mengubah pola pikir
masyarakat dari dikotomi menuju otonomi pendidikan. Integrasi pendidikan
tersebut diikuti oleh lembaga-lembaga lain dalam rangka merespon tantangan
globalisasi dan otonomisasi.
Pembaruan pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan
dapat berjalan lebih efektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional.[59]
Untuk itu dalam pembaruan terdapat dua hal yang perlu dilakukan:
- Mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan;
- Merumuskan reformasi yang bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan.
Oleh
karena itu, kondisi yang diperlukan dan program aksi yang harus diciptakan
merupakan titik sentral yang harus diperhatikan dalam setiap reformasi
pendidikan. Dengan kata lain reformasi pendidikan harus mendasarkan pada
realitas sekolah yang ada bukan mendasarkan pada etalase atau jargon-jargon
pendidikan semata. Reformasi hendaknya didasarkan fakta dan hasil penelitian
yang memadai dan valid, sehingga dapat dikembangkan program reformasi yang
utuh, jelas, dan realistis.[60]
Untuk
menciptakan keunggulan kompetitif, bangsa Indonesia memerlukan inovasi yang
pesat dalam dunia pendidikan. Menjadi bangsa yang berharkat memerlukan
keunggulan yang kompetitif dalam berbagai bidang. Bukan zamannya lagi apabila
kita mengandalkan murahnya tenaga kerja untuk mendukung dan membenarkan konsep
keunggulan komparatif dan kompetitif.[61] Dalam konteks untuk menciptakan keunggulan
yang kompetitif sebagai outcome suatu pendidikan patut kiranya kita
mengkaji pendapat Michael Porter yang mengungkapkan bahwa: the ability to
sustain an advantage from cheap labor or even from economies of scale-these are
the old paradigms. These paradigms are being
supertseded. Today, the only way to have an advantage is through innovation an
upgrading.[62]
Dari pendapat Porter di atas, jika
bangsa Indonesia
ingin menghasilkan berbagai keunggulan kompetitif dari outcome
pendidikan, inovasi harus menjadi prioritas penting dalam pengembangan sistem
pendidikan. Tanpa ada inovasi yang signifikan, pendidikan nasional hanya akan
menghasilkan lulusan yang tidak mandiri, selalu bergantung pada pihak lain. Dalam perspektif global, hasil pendidikan
yang demikian itu justru akan menjadi beban bagi bangsa dan negara, sekaligus
bagi masyarakat.[63]
Menurut Azyumardi
Azra, perumusan konsep tentang reformasi pendidikan, arah baru pendidikan
nasional—yang bisa disebut sebagai salah satu
fungsi pokok dan tujuan akhir pendidikan—adalah mempersiapkan individu anak
didik dan warga masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan,
melembagakan, dan mengembangkan masyarakat madani Indonesia, yang akan dibahas lebih rinci di bawah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kebijaksanaan pendidikan nasional jangka panjang seharusnya bertumpu pada
usaha-usaha: pertama, menjamin kesempatan (equity) bagi setiap anak
bangsa untuk memperoleh pendidikan yang selaras dengan kebutuhan masyarakat
lingkungan masing-masing, dan pada saat yang sama juga memberikan peluang yang
luas bagi peningkatan kemampuan pendidikan masyarakat dengan memberikan
kesempatan bagi diversifikasi program pendidikan; kedua, menyelenggarakan
pendidikan yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia dalam menghadapi tantangan global, dan pada saat yang sama meningkatkan
efisiensi internal dan eksternal pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan; ketiga, menyelenggarakan sistem
pendidikan yang demokratis dan profesional, dan dapat dipertanggungjawabkan (accountable)
bagi masyarakat dan seluruh stakeholders lainnya; keempat, mengurangi peranan pemerintah,
sehingga lebih merupakan fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan, dan
pada saat yang sama merampingkan birokrasi pendidikan agar lebih fleksibel
dalam merespons perubahan dan dinamika perkembangan masyarakat baik di tingkat
nasional maupun global.
Berdasarkan kerangka arah dan kebijakan pendidikan
nasional jangka panjang itu, selanjutnya dapat
dirumuskan arah, kebijakan dan strategi pendidikan nasional, baik untuk jangka
menengah dan jangka pendek. Rincian-rincian dari semua arah, kebijakan, dan
strategi pendidikan tersebut agaknya tidak perlu dikemukakan di sini. Yang
penting ditekankan adalah bahwa sistem dan proses pendidikan nasional, sekali lagi, mestilah
memberikan penekanan sangat kuat bagi penyiapan anak bangsa agar memiliki
kemampuan, kecakapan dan motivasi dalam aktualisasi dan institusionalisasi
masyarakat madani Indonesia. Di sini juga jelas, bahwa "nation and character building" harus menjadi inti dan salah satu tujuan pokok
pendidikan nasional.[64]
Upaya pembaruan diarahkan kepada sistem pendidikan, termasuk pembaruan
kurikulum, pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan
kemampuan, serta pembaruan dan pemantapan sistem pendidikan nasional
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan, dan manajemen. Pembaruan
dimaksud didukung dengan kebijakan politik yang diarahkan untuk meningkatkan
peran DPR/MPR dan lembaga tinggi negara lainnya dengan menegakkan fungsi dan
tanggung jawab yang mengacu pada prinsip pembagian kekuasaan dan tata hubungan
yang jelas antara lembaga eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada bagan berikut ini:
Hubungan
Pendidikan Agama dengan Sistem Pendidikan Nasional
|
Bertolak
dari hal di atas dapat dipahami bahwa kebijakan agama diperlukan oleh
pendidikan agama sebagai penegak eksistensi dogmatik. Kebijakan pendidikan
dibutuhkan sebagai penegak eksistensi struktural. Adapun kebijakan politik
diperlukan sebagai peletak dan penegak dasar yuridis.[65]
Oleh karena itu, pendidikan harus berperan sebagai sarana pemberdayaan (empowerment) [66] harus secara sadar menyiapkan peserta
didik dalam kehidupan masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Dengan kata lain, pendidikan berfungsi sebagai sarana pemberdayaan
individu dan masyarakat guna menghadapi masa depan. Pemberdayaan hanya
mempunyai makna jika proses pemberdayaan menjadi bagian dan fungsi dari
kebudayaan. Pendidikan Islam yang berdaya dan memberdayakan akan
mewujud apabila:
a.
Memiliki
visi, misi, dan orientasi strategis ke depan yang jelas;
b.
Memiliki
legitimasi sosial, intelektual, dan moral yang kuat;
c.
Berbasis
pada masyarakat dan merespons tuntutan zaman;
d.
Dikelola
dengan manajemen modern yang profesional, rasional; terbuka, akuntabel, humanis,
memiliki akses, kerja sama, dan kemitraan global.
D. Kesimpulan
Pembaruan
pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih
efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Hal tersebut dapat dilihat antara lain
berubahnya fakultas cabang di lingkungan IAIN menjadi STAIN. Jurusan dapat
dikembangkan sesuai kebutuhan pasar. Diantaranya: Jurusan Tarbiyah program studi pendidikan Islam, program studi
tadris metematika, program studi tadris ilmu pengetahuan alam, program diploma
II (D-2) pendidikan agama Islam, program studi kependidikan Islam. Jurusan
Psikologi, Jurusan Adab/Bahasa program studi bahasa Arab, program studi bahasa
Inggris, Jurusan Syari’ah program studi ahwalus syakhsyiyah (peradilan agama)
dan program studi muamalah (ekonomi Islam) pada STAIN Malang. IAIN/STAIN menuju UIN. Hal tersebut
merupakan respons positif dan konstruktif terhadap tantangan dunia pendidikan
yang menglobal. Dengan demikian dapat memproduk alumni-alumni yang memiliki competitive
adventage, daya saing yang handal dan tangguh dalam menghadapi tantangan
zaman. Perubahan IAIN menjadi UIN, dapat dilihat antara lain diresmikannya UIN
Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yokyakarta dan UIN Malang. Menyusul kemudian UIN Pekan Baru Riau, UIN Makassar
dan UIN Bandung.
Gagasan pembaruan tersebut merupakan respon
positif dan konstruktif dari tantangan globalisasi, otonomisasi dan modernisasi
dalam upaya memajukan dunia pendidikan secara rasional dan nasional. Upaya tersebut
sebagai salah satu fungsi terlaksananya sistem dan kebijakan pemerintah secara
nasional. Tujuannya agar pendidikan
agama lebih terpadu dan integral dengan sistem pendidikan nasional.
Wallâhu A‘lam bi as-Shawâb
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad “
Al-Madaris al-Tajhiziyat wa al-Madaris al-Aliyat”, dalam ‘Imarah (ed),
Al-A’mal al-Kamil li al-Imam Muhammad Abduh, Bairut: al-Muassasah
al-Arabiyah li al-Dirasah wa al-Nashar, 1972, Juz III.
Al-Abrasyi, M. Athiyah, ,Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha,
Mesir: Isa al-Babi al-halabi, 1975
-------, M. Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, T.t: t.pn, t.th
Al-Ainain, Abu Khalil Abu, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi
al-Qur'an al-Karim, T.t: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980
Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad, Al-Tarbiyah fi al-Islâm, Kairo:
Dar al-Ma’arif, t.th
Ali, M. Natsir, Dasar-Dasar
Ilmu Mendidik, Jakarta: Mutiara, 1997
Ali, Fachry, Kontinuitas
dan Perubahan: Catatan Sejarah Social Budaya Alumni
IAIN dalam Problem dan Prospek
IAIN, Jakarta: Ditbinperta, 2000
Arief, Armai, Reformulasi
Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005
Arifin, Muzayyin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib, Konsep Pendidikan Dalam Islam,
Bandung: Mizan, 1984
Ashraf,
New Horizon in Muslim Education, (London:
The Islamic Academy, Cambridge
University, 1985
Azra, Azyumardi, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta, Penerbit
Buku Kompas, 2002
--------,“Praktek Pendidikan Islam:
Akselerasi Perkembangan dan Tantangan Perubahan”, dalam Kusmana dan JM Muslimin
(Ed.), Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: IAIN Indonesia Sosial Equity
Project (IISEP) bekerjasama Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI., 2008
Beane,
J.A, Toepfer, C.F. Allesi, S.J Curriculum Planing and Development, Boston: Allyn and Bacon,
Inc, 1986
Bocock, Jean dan David Watson (ed), Managing
University Curriculum Making Common Cause, Buckingham: SRHE and Open
University Press, 1994
Bruner, Jerome S, The Relevance of Education, (New York: W.W. Norton
& Company. Inc, 1973
Daud, Wan Mohd Nor Wan, The Concept of Knowledge in
Islam and Its Implications for Education in a Developing Country, New York: Mansell, 2002
Dewantara,
Ki Hajar, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962
Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Bagian Proyek Penilaian Hasil Belajar Tahap Akhir nasional Jakarta Tahun 2003, Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Fadjar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia: 1999
Hamka,
Lembaga Hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962
Hidayat, Komaruddin, Memetakan Kembali Struktur Keilmuan Islam kata
pengantar dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di
Perguruan Tinggi: Wacana Tentang Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Logos,
2002
Himpunan Peraturan
Perundang-undangan produk Departemen Agama tahun 1999 yang dibuat oleh Biro
Hukum dan Humas Depag RI.
http://www.ditpertais.net/artikel/atho01.htm. Tanggal 19 Desember
2007. Kedudukan IAIN Sebagai Perguruan Tinggi.
IAIN Syarif Hidayatullah, Proposal
konversi IAIN Menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2000.
Idris, Muhammad,
Disertasi Sekolah Pasca sarjana UIN Jakarta 2008.
Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam
Iqbal,
Muhammad, The Reconstruction of Religions Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan,
1981
Al-Kailani,
Majid ‘Arsan, Al-Fikri al-Tarbawi inda Ibn Taimiyah, Madinah al-Munawwarah,
Maktabah Dar al-Turas, T.th
Kerr,
Clark, The Uses of The University, New York: Harper & Row, 1966
Perubahan UUD 1945 dan
Ketetapan-ketetapan SU-MPR Tahun 1999, Jakarta: Rineka Cipta, 1999
M. Saerozi, “Bila Negara
Mengatur Agama: Konfesionalitas Kebijakan Pendidikan Nasional” dalam Ulumuna
Vol.VII Edisi 12 No. 2 Juli-Desember 2003
Mahfuz, Syekh Ali,
Hidayat al-Musyidin; Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah, 1958
Marimba, Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: PT. al-Ma'arif, 1981
Miarso,Yusufhadi,
“Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan Dalam Penyampaian
Misi dan Informasi Pendidikan” dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan,
Jakarta: Kencana, 2005
Muhaimin, Nuansa Baru
Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006
McNeil, John, Curriculum A Comprehensive
Introduction, Boston:
Little, Brown and Company (Inc), 1977
Nabi, Malik bin, Membangun
Dunia Baru Islam, Penerjemah Afif Muhammad dan Abdul Adhiem, Bandung: Mizan, 1995
Nata, Abudin, Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
-------, Abudin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta:UIN Jakarta Press, 2002
Nuh, Sayyid Muhammad, Manhaj ahl al Sunnah Waal
Jama’ah Fi Qadiyyat al-Taqayyur Bi Janibaih al-Tarbawi Wa al-Da’awiy, t.tp:
Dar al- Wafa al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1991
Porter, Michael “Creating Tomorrow’s
Advantages” in Rowan Gibson (ed), Rethinking the Future, London: Nicholas Brealey
Publishing Limited, 1997
Rahim, Husni “Madrasah Menggugat, Madrasah
Digugat, dalam Jamaluddin (ed), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah,
Jakarta: Logos,
2003
Rahman, Fazlur, Islam and Modernitas,
Transformation of an Intelectual Tradition, Chicago: The University of Chicago
Press, 1982
Ridha, Muhammad Rasyid, Târikh
al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh, Mesir: al-Manar, 1931
Sidi, Indra djati, Menuju Masyarakat Belajar Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Jakarta: Paramadina, 2001
Suwito dan Suparto, “IAIN Menjadi
Universitas”, Dalam Mimbar Agama dan Budaya,
Vol.XVIII,No.2, 2000, h. 155
---------, Pendidikan
yang memberdayakan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002
----------,Pendidikan
Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001
Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2006
------ dan Jihad Hisyam, Refleksi dan reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Millenium III, Yogyakarta:
Adi Cita Karya Nusa, 2000
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 1994
Tibi,
Bassam, Islam and The Cultural Accomodation of Social Change, Penerjemah
Clare Krojzl, Oxford:
Westview Press, 1990
Wahid,
Syed Abdul, Thought and Reflektions of Iqbal, Lahore: Muhammad Ashraf. 1964
Wallace
Jr, R.C. The Learning School: A Guide to Vision-Based Leadership, California: Corwin
Press, 1997
Zamrozi, Paradigma Pendidikan di Masa Depan, Yogyakarta: Bayu Indra
Grafika, 2000
[1]Proopert Lodge sebagaimana yang
dikutip oleh Suyanto pernah mengatakan life is education, and education is
life. Pernyataan lodge
ini mengisyaratkan bahwa antara pendidikan dengan kehidupan hampir-hampir tidak
bisa dibedakan sama sekali. Kedua pengertian (pendidikan dan kehidupan) telah
menyatu dalam sebuah kerangka filosofis, bahwa proses dalam pendidikan tidak
lain adalah proses bagi manusia dalam mengarungi samudra kehidupan, begitu juga
sebaliknya. Lihat Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan
Dunia Global), (Jakarta:PSAP Muhammadiyah, 2006), h. ix
[2] Suwito, Pendidikan
yang memberdayakan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002, h. 1
[3] Kaum ekonom untuk memacu
tingkat ekonomi, lebih senang mengimpor teknologi yang “siap pakai” ketimbang
mengembangkannya sendiri di dalam negeri. Mereka lebih suka mendatangkan
keahlian (ekspertise), ilmuan,
peralatan buku-buku sains dari luar negeri ketimbang menggali dan mengembangkan
potensi di negeri sendiri. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan
Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.17
[4] Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, h. 17. Lihat pula
Azyumardi Azra, “Praktek Pendidikan Islam: Akselerasi Perkembangan dan Tantangan
Perubahan”, dalam Kusmana dan JM Muslimin (Ed.), Paradigma Baru Pendidikan:
Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
IAIN Indonesia Sosial Equity Project (IISEP) bekerjasama Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Departemen Agama RI.,
2008), h.72. Bandingkan pula, Agus Pakpahan, “Strategi Pengembangan IPTEK dalam
Meningkatkan Daya Saing Nasional” dalam Hotmatua Daulay dan Mulyanto (Ed), Membangun
SDM dan Kapabilitas Teknologi Umat: Solusi untuk Bangkit dari Krisis dan
Memasuki Milenium Ketiga, (Jakarta: ISTECS, 2001), h. 83-85
[5] Krisis yang
dialami bangsa Indonesia baik ekonomi, politik, dan keamanan belum juga dapat
diatasi. Berbagai krisis ini berdampak negative terhadap dunia pendidikan
dengan memunculkan keseimbangan baru pendidikan. Dengan kata lain reformasi
pendidikan merupakan suatu imperative action. Zamrozi, Paradigma
Pendidikan di Masa Depan, (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 2000), h. 158
[7]A.Malik Fadjar, Visi
Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan
Penyusunan Naskah Indonesia, 1998), h.3. Lihat juga A.Malik Fadjar,”Pengembangan
Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal Edukasi Volume
2, Nomor 1, Januari-Maret 2004
[8]Pada pasal 30 bagian
kesembilan ayat 4 dijelaskan bahwa
pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Pesantren, pasraman, pabhaja
samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem pendidikan Nasional, h. 14
[9]A.Malik Fadjar, Pidato
Pengukuhan Guru Besar, “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa
Depan”, dalam Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Ed.) Kumpulan Orasi
Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UIN Malang Periode 1989-2006, (Malang: UIN
Malang Press, 2006), h.144-145. Lihat juga A. Malik Fadjar,”Pengembangan
Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal Edukasi Volume
2, Nomor 1, Januari-Maret 2004
[10] A. Malik Fadjar, Reorientasi
Pendidikan Islam, h. 31. Secara
ideal pendidikan Islam berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan
pribadi secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan
kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan ataupun pancaindra. Lihat
Muslih Usa, “Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Suatu
Pengantar, dalam Muslih Usa, (Ed), Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), h. 8
[11] A.Malik Fadjar, Visi
Pembaruan Pendidikan Islam, h. 4. Menurut A.Malik Fadjar Islam sebagai
agama dan pandangan hidup yang diyakini mutlak
kebenarannya akan memberi arah dan landasan etis serta moral pendidikan.
Hubungan antara Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi sekeping mata uang.
Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai
hubungan filosofis yang sangat mendasar,
baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Lihat A. Malik
Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, (Jakarata: Fajar Dunia, 1999),
h.27. Lihat pula Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Menguarai Benang
Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),h. 16
[12] A.Malik Fadjar, Visi
Pembaruan Pendidikan Islam, h. 4
[13]Azyumardi Azra, Islam
Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), h.132. Islam
memiliki nilai jual yang khas dalam merespon perkembangan zaman yang semakin
tidak menentu atmosfirnya. Islam mengajarkan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, toleransi dan lain sebagainya. Semuanya ini menjadi daya pikat dan
daya saing dalam merespons tantangan global.
[14]A.Malik Fadjar, “Mencari
Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan
Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed), Di
Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka SM,
1994), h. 21-22
[15]Hamka, Lembaga Hidup,,(Jakarta:
Djajamurni, 1962) h. 204. Hamka menyatakan bahwa pendidikan bukan
berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan
tugasnya sebagai khalîfah fi al-ardl, manusia juga memerlukan pendidikan
yang bersifat material. Lihat Hamka, Lembaga
Hidup, h.203. Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1998), Juz I, h. 170. Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 2-3
[16] Muhammad Abduh,
“Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-Aliyât” dalam Imarah, al-A’mâl
al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad Abduh, (Bairut: al-Muassasah
al-Arabiyah li al-Dirasah wa al-Nashr, 1972), Juz III, h. 117. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Hasan Langgulung yang menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses
spiritual, akhlak, intelektual, dan social yang berusaha membimbing manusia
baik individu maupun social yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai,
prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan
kehidupan dunia akhirat. Lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1993), h. 62, Ahmad Watik Pratiknya, “Identifikasi Masalah
Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa, (Ed), Pendidikan
Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, h. 99
[17] Muhammad Athiyah
al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falsafatuha, (Kairo: Isa al-Babi
al-Halabi, 1969), h. 37
[18] Muhammad Athiyah
al-Abrasyi, Al-Ittijahât al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah, (Mesir: Isa
al-Babi al-Halabi, t.th), h. 263. Lihat juga Muhammad Athiyah
al-Abrasyi, Rûh al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm, (T.t: Dar Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyah, t.th), h. 5. Lihat juga Muhammad Labib al-Najihi, Falsafah
al-Tarbiyah, ( T.t: Maktabah al-Tarbiyah, t.th), h. 181. Lihat juga Ibrahim
Ashmat Muthawa’, Ushûl al-Tarbiyah,(T.t: Dar al-Ma’arif, t.th), h. 63.
Menurut al-Syafi’i, orang yang sibuk menuntut karena Allah lebih mulia
dibandingkan orang yang suka mengerjakan ibadah sunat, karena ilmu itu
bermanfaat bagi diri dan masyarakat sedangkan ibadah sunat bermanfaat hanya
untuk dirinya. Lihat Abd al-Asîr Syams al-Dîn, Al-Mazdhab al-Tarbawi Inda
Ibn Jamâ’ah, (Bairut: Dar Iqra’, 1983), h. 15
[19]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), h. 46.
Sementara itu menurut al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya
manusia yang baik. Sedangkan menurut Marimba, tujuan pendidikan Islam adalah
terbentuknya kepribadian muslim. . Lihat Syed Muhammad al-Nuqaib al-Attas, Aims and Objective of Islamic
Education, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h. 1, Ahmad D. Marimba, Filsafat Pendidikan
Islam, h. 37
[20]Hasan Syahâtah, Ta’lîm
al-Dîn al-Islâmî baina al-Nazhariyah wa al-Tathbîq, (Kairo: Maktabah al-Dar
al-‘Arabiyah lilkitab, 1994), h. 21. Lihat juga Muhammad Abd al-Qâdir Ahmad,
Thuruq Ta’lîm al-Tarbiyah al-Islâmiyah, (Kairo: Maktabah Nahdhah
al-Mishrah, 1981), h. 19
[21]Majîd Irsân al-Kailâni, Falsafât
al-Tarbiyah al- Islâmiyah, (Makah: Maktabah Hadi, 1988), h. 83
[22]Abdurrahman
al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah al- Islâmiyah
fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama’, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1996), h. 20. Pendapat ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan
oleh John Dewey, dimana menurut John Dewey bahwa pembebasan adalah tujuan
pendidikan bukan dasar pendidikan. Lihat Robert S. Brumbaugh dan Nathaniel M. Lawrence, Six Essay on The
Foundations of Western Thought, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1963),
h. 128
[23] Ahmad Fu’ad al-Ahwani,
Al-Tarbiyah fi al-Islâm, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), h. 97. Lihat
juga Husain Sulaiman Qaurah, Al-Ushûl al-Tarbawiyah fi al-Bina’ al-Manâhij,
(T.t: Dar al-Ma’arif, 1979), h. 177. Tujuan pendidikan ini akan dapat
terlaksana dengan baik karena dipengaruhi oleh bebagai factor yang mendukung di
antaranya adalah factor lingkungan sekitarnya dan lingkungan luar. Lihat Shâlih
Abd al-Azîz dan Abd al-Azîz Abd al-Majîd, Al-Tarbiyah wa Thuruq al-Tadrîs, (
Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th), Juz I, h. 29-30. Lihat juga Majîd Irsân
al-Kailâni, Al-Fikr al-Tarbawi Inda Ibn Taimiyah, (Madinah
al-Munawwarah, Maktabah Dar al-Turast, 1986), h. 111
[24] Muhammad Rasyid
Ridha, Târikh al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh Muhammad Abduh, (Mesir:
al-Manar, 1931), Jilid II, h. 17. Dengan tujuan ini ia menginginkan
terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak
hanya menekankan pada perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual.
Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Târikh al-Ustâz al-Imâm al-Syaikh Muhammad
Abduh, Jilid II, h. 17 dan 420.
[25] Jum C. Nunnalli, Educational Mesurement
and Evaluation, (New York:
Hill Book Company, t.th.), h.16. Bandingkan pula Remmers, et.al., A.Practical
Introduction to Mesurement and Evaluation, (New York: Brothers Publisher,t.th), h. 172.
[26] Fuad Hassan,
“Pendidikan adalah Pembudayaan”, dalam Tonny D.Widiastono (Ed.), Pendidikan
Manusia Indonesia, h. 64. Kesanggupan untuk memahami keberagaman itu
menurut Fuad Hasan harus sudah mulai dibentuk
melalui sistem pendidikan nasional sejak jenjang pendidikan dasar dan berlanjut pada jenjang berikutnya. Bentuk
penyajiannya tentu disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Pendidikan
tidak hanya terpusat pada usaha pencerdasan logika, tetapi juga pada terbentuknya
kepedulian etika dan kepekaan estetika. Lihat Fuad
Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan”, dalam Tonny D.Widiastono (Ed.),
Pendidikan Manusia Indonesia, h. 64
[27]Fuad Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan”,
dalam Tonny D.Widiastono.ed, Pendidikan Manusia Indonesia, h. 64.
Untuk sampai pada perkenalan itu, bahan pelajaran humaniora harus disertakan
sebagai bagian dari acara pembelajaran dalam sistem pendidikan nasional, tentu
dengan memperhatikan tingkat perkembangan minat peserta didik. Bandingkan dengan Yusufhadi Miarso, Menyemai
Teknologi Pendidikan, h. 267. Lihat Pula, M. Amien Rais,
"Umat Islam dengan Lokomotif Lain" dalam Jalaluddin Rakhmat, Prof.Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari
Pembaharu sampai Guru Besar, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 12-13
[28]Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu, 1999), h. 10. Lihat juga Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual
Muslim & Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h.
12-14. Dalam buku ini Azyumardi Azra mengemukakan 7 karakteristik pendidikan
Islam. Yaitu penguasaan ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan,
penekanan pada nilai nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu
pengetahuan, pengusaan dan pengembangan ilmu pengetahuan hanyalah untuk
pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum, penyesuaian kepada perkembangan
anak, pengembangan kepribadian, dan penekanan pada amal shaleh dan tanggung
jawab.
[32] Yusufhadi
Miarso, “Perubahan Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan Dalam
Penyampaian Misi dan Informasi Pendidikan” dalam Menyemai Benih Tekhnologi
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 694
[33] Sistem
pendidikan nasional kita yang berlaku sekarang pada dasarnya bertujuan untuk
membudayakan peserta didik/ warga belajar. Lihat Yusufhadi Miarso, “Perubahan
Paradigma Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan Dalam Penyampaian Misi dan
Informasi Pendidikan” dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 694
[34] Belajar
berbasis aneka sumber (BEBAS) adalah satu paradigma baru pada lapis pengalaman
belajar. Reformasi paradigma dengan BEBAS memberikan kesempatan kepada setiap
peserta didik untuk memilih dan menentukan sendiri sumber yang digunakan untuk
belajar. Tugas utama guru adalah sesuai dengan moto Depdiknas “tut wuri
handayani, hing ngarso sung tulada, hing madya mangun karsa”.
Menumbuhkembangkan sikap (termasuk sikap ilmiah) dan membangkitkan motivasi
belajar merupakan tugas utama setiap tenaga kependidikan. Lihat Yusufhadi Miarso, “Perubahan Paradigma
Pendidikan Peran Tekhnologi Pendidikan Dalam Penyampaian Misi dan Informasi
Pendidikan” dalam Menyemai Benih Tekhnologi Pendidikan, h. 696-698
[37] Terdapat 14 IAIN yang tercatat di Depag sampai tahun
2001. 1)
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (berdiri 26-9-1951), 2) IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (1 Juni 1957), 3) IAIN Ar-Raniri Banda Aceh (5-10-1963), 4) IAIN Raden
Fatah Palembang (13-11-1964), 5) IAIN Antasari Banjarmasin ( (20-11-19640, 6)
IAIN Sunan Ampel Surabaya (5-7-1965), 7) IAIN Alauddin Ujung Pandang
(10-11-1965), 7) IAIN Imam Bonjol Padang (21-11-1965), 9) IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi (8-8-1967), 10) IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (8-4-1968), 11)
IAIN Raden Intan Bandar Lampung (13-10-1968), 12) IAIN Walisongo Semarang
(1-4-1970), 13) IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru (16-9-1970), 14), IAIN
Sumatera Utara (19-11-1973). Lihat Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato
pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001
[38] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h. 35.
[39]
Tercatat 33 STAIN di seluruh Indonesia
pada waktu itu: 1)STAIN Ambon. 2) STAIN Prof. Dr.
Mahmud Yunus batu Sangkar. 3) STAIN Bengkulu. 4) STAIN Svaikh Djamil Jambek
Bukittinggi. 5) STAIN Cirebon.
6) STAIN Curup. 7) STAIN Sultan Amai
Gorontalo. 8) STAIN Jember. 9) STAIN Kediri.
10) STAIN Kendari. 11) STAIN Kerinci. 12) STAIN Kudus. 13) STAIN Malang. 14)STAIN Manado. 15) STAIN
Mataram. 16) STAIN Jurai Siwo Metro. 17)STAIN Padang Sidempuan 18).STAIN
Palangka Raya. 19) STAIN Palopo. 20)STAIN Datolarama Palu._21)STAIN Pamekasan.
22) STAIN Pare-pare. 23) STAIN Pekalongan. 24) STAIN Ponorogo. 25) STAIN
Ponttianak. 26) STAIN Purwokerto. 27) STAIN Salatiga. 28) STAIN Samarinda. 29)
STAIN Maulana Hasanuddin Serang. 30)STAIN Surakarta.
31)STAIN Ternate. 32) STAIN Tulungagung. dan
33) STAIN Watampone. Pembentukan STAIN berdasarkan Keppres No.11 Tahun 1997. Semua STAIN ini secara serempak diresmikan pada 30 Juni
1997. Baca Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam negeri 2000-2001. Lihat
Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3
Januari 2001. Lihat juga Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perguruan
Tinggi Agama Islam Seri XIV, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam 1997/1998), h. 69-71.
Dari 14 IAIN dan 33 STAIN yang ada ini, 6 di antaranya telah berubah
menjadi UIN yaitu : 1). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diresmikan pada
tanggal 8 Juni 2002, 2). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, 3). UIN
Malang tahun 2004, 4). UIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru. 5). UIN Alauddin
Ujung pandang tahun 2006, 6). UIN Sunan Gunung Jati Bandung tahun 2006
[40] Muhammada Idris, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta 2008
[41] Muhammada Idris, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN
Jakarta 2008
[42] Muhammada Idris,
Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2008
[43] Muh. Idris, Disertasi Sekolah Pasca sarjana UIN Jakarta
2008.
[44] http://www.ditpertais.net/artikel/atho01.htm. Tanggal 19 Desember 2007. Kedudukan IAIN
Sebagai Perguruan Tinggi.
[45] A.Malik Fadjar Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h.36-37.
[46] Himpunan Peraturan Perundang-undangan produk Departemen
Agama tahun 1999 yang dibuat oleh Biro Hukum dan Humas Depag RI.
[47] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h. 36.
[48] Muh. Idris, Disertasi Sekolah Pasca sarjana UIN Jakarta
2008.
[49] Muh. Idris, Disertasi Sekolah Pasca sarjana UIN Jakarta
2008.
[50] Muh. Idris, Disertasi Sekolah Pasca sarjana UIN Jakarta
2008.
[51] Muh. Idris, Disertasi Sekolah Pasca sarjana UIN Jakarta
2008.
[52] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h.37.
[53] Fachry Ali, Kontinuitas dan Perubahan: Catatan
Sejarah Social Budaya Alumni IAIN dalam Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta:
Ditbinperta, 2000), h. 371
[54] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h.37.
[56] Suwito dan Suparto, “IAIN Menjadi Universitas”, Dalam
Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII,No.2,
2000, h. 155
[57] Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, h.108
[58]A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,
h.38.
[59] Terdapat 14 IAIN yang tercatat di Depag sampai tahun
2001. 1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (berdiri 26-9-1951), 2)
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1 Juni 1957), 3) IAIN Ar-Raniri Banda Aceh
(5-10-1963), 4) IAIN Raden Fatah Palembang (13-11-1964), 5) IAIN Antasari
Banjarmasin ( (20-11-19640, 6) IAIN Sunan Ampel Surabaya (5-7-1965), 7) IAIN
Alauddin Ujung Pandang (10-11-1965), 7) IAIN Imam Bonjol Padang (21-11-1965),
9) IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (8-8-1967), 10) IAIN Sunan Gunung Jati
Bandung (8-4-1968), 11) IAIN Raden Intan Bandar Lampung (13-10-1968), 12) IAIN
Walisongo Semarang (1-4-1970), 13) IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru
(16-9-1970), 14), IAIN Sumatera Utara (19-11-1973). Lihat Suwito, Pendidikan
Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001
[61] Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), h. 7
[62] Michael Porter, “Creating
Tomorrow’s Advantages” in Rowan Gibson (ed), Rethinking the Future, (London:
Nicholas Brealey Publishing Limited, 1997), h. 54
[63] Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), h. 7. Kesatuan visi dari sekolah, peserta didik,
masyarakat dan keluarga menjadi sangat
penting bagi proses pencapaian tujuan belajar yang memiliki makna bagi peserta
didik itu sendiri. Lihat
R.C. Wallace Jr, The Learning
School: A Guide to Vision-Based
Leadership, (California: Corwin Press, 1997), h. 4
[64] Azyumardi
Azrah, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi
(Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2002)
[65] M. Saerozi, “
Bila Negara Mengatur Agama: Konfesionalitas Kebijakan Pendidikan Nasional”
dalam Ulumuna Vol.VII Edisi 12 No. 2 Juli-Desember 2003, h. 267-268
[66] Suwito, Pendidikan
yang memberdayakan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah dan Pemikiran
Pendidikan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tanggal 3 Januari 2002, h. 28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar