LIBERALISASI PENDIDIKAN ISLAM
(Upaya Peningkatan
Kualitas Umat)
By
Muh.Idris
Dosen Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
e-mail
:idrispasca_uin@yahoo.co.id
A. Pendahuluan
Dewasa ini, wacana Pendidikan,[1]
telah menjadi icon yang menarik untuk diperbincangkan di kalangan
pemikir pendidikan. Bahkan menyedot perhatian besar di kalangan pemerhati
pendidikan. Hal ini, sejalan dengan kemajuan dan perkembangan zaman yang
semakin pesat dan canggih akibat
kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kemajuan pemikiran
Islam syarat dengan pendidikan liberal
(penuh kreativitas).[2] Hal tersebut dipandang penting, namun
pendidikan yang ada telah mengabaikan nilai fitrah manusia yang memiliki kebebasan.
Nilai kebebasan yang ada di dalam diri
individu manusia saat ini diambil alih
oleh individu yang lain dengan mengatasnamakan demokrasi. Lebih nyata dalam
realitas kehidupan, mengambil hak-hak individu yang lain melalui lembaga dengan
dalih demokrasi dan kualitas.
Sejalan dengan itu, Prof Dr
Suwito, MA., berargumen bahwa pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia
dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat
birokratis sentralistik[3].
Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung
sebagai ”sabda pandita ratu” yang mesti harus dilaksanakan.
Dengan demikian akan melahirkan manusia yang bermentalitas di bawah
bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran yang harus tunduk dan patuh pada perintah yang ada, betapapun anehnya
perintah itu.
Seorang pakar pendidikan Paulo Freire
misalnya, memberikan ilustrasi bahwa pendidikan dewasa ini melalui lembaga sekolah
membentuk insan-insan robot yang bekerja
bagaikan mesin yang bekerja secara mekanik, manusia secara bertahap dipangkas
kemerdekaan dan kebebasannya dalam bertindak.
Secara sederhana Freire menegaskan bahwa
“konsistensi yang absolut akan membuat hidup ini menjadi sebuah
pengalaman yang tidak harum, tidak berwarna, dan tidak terasa”.[4] Atas dasar tersebut Freire memilki konsep
deschooling, belajar tanpa sekolah. Sebab belajar dapat dilakukan di
luar institusi sekolah bahkan dalam ruangan terbuka sekalipun.
Pada
dasarnya krakteristik pemikiran Islam mengenai pendidikan Islam liberal,[5] cenderung bersifat organik, sistematis dan
fungsional dengan akar paradigma yang mengacu pada al-Quran, al-Sunnah dan
kretivitas berfikir (liberal/Ijtihad). Fungsionalisasi pemikiran pendidikan
Islam merupakan manefestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai khalifah
Tuhan di bumi, maka itu bermakna manusia dapat mewujudkan kebaikan dan
kemuliaan.
Bagi
pendukung liberlisme pendidikan, kebaikan tertinggi adalah kecerdasan kritis
yang dirumuskan dalam ranah pemecahan masalah secara efektif, baik ditingkat
personal maupun social. Manusia bersifat rasional dan nalarnya sendiri saja
mampu memapankan hubungan timbal balik yang diperlukan antara kepentingan diri
yang tercerahkan dengan kepentingan-kepentingan terbaik orang lain secara menyeluruh.[6] Bagi kaum pendidik liberal, tujuan jangka
panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan
social yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak mengatasi
masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif.[7]
Dengan demikian, pendidikan
harus selalu mencerminkan nilai-nilai kebebasan (liberal) dari berbagai aspek
yang syarat dengan fitrah manusia itu
sendiri diamanapun tempatnya selalu
memberi kesejukan yang penuh muatan pendidikan, yang ujung-ujungnya
memberi gagasan-gagasan segar yang lebih
konstruktif, positif dan produktif. Citra pendidikan seperti itulah yang mampu memenuhi logika dan dinamika
persaingan di masa depan.
B. Manusia dan Kebebasan
Sebagai
konsekwensi logis dari tujuan manusia dalam pendidikan adalah kebebasan
menuangkan ide-ide, yang tidak memungkinkan suatu individu memikul beban
individu yang lain dan hanya berhak atas hasil kerjanya sendiri dalam bingkai
akademik. Karenanya manusia harus secara terus menerus membuat berbagai pilihan
dalam suatu kehidupan yang selalu menentangnya untuk merubahnya. Dia mempunyai
kebebasan untuk memilih antara yang baik dan yang buruk, dan bertanggung jawab
sepenuhnya bagi setiap pilihan yang
dilakukannya.
Jika
pilihan bebasnya menunjukkan kepada hal-hal
yang baik, maka ia akan menjadi seorang yang Mukmin yang tidak akan
pernah larut dalam gulungan cakrawala, tapi sebaliknya, jika pilihan itu pada
hal-hal yang buruk, maka ia akan menjadi seorang kafir (pembangkang). Kerena
itulah orang Mukmin dengan kebebasnnya, tidak akan pernah kehilangan arah dalam
menghadapi berbagai kemelut kemanusiaan. Ia tampil sebagai orang yang merdeka,
merekayasa alam semesta yang diberikan padanya tetapi tidak menafikan aspek
transendental. Tuhan sebagai Pembebas terakhir.
Karena Orang Kafir larut dalam cakrawala dan orang Mukmin cakrawala
larut dalam alam pikirannya.
Refleksi
kebebasan berfikir sadar dan mengakui bahwa anugerah kebebasan manusia harus
difungsikan dan bahwa fungsionalisasi kebebasan ini, merupakan manifestasi dari
rasa tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan di Bumi, maka itu bermakna
manusia dapat mewujudkan kebaikan.
Islam mengakui, bahwa fitrah manusia
secara ontologis adalah menjadi subjek yang bertindak sesuatu dan selalu
megubah dirinya. Dengan demikian, bergerak menuju kemungkinan-kemungkinan yang
selalu baru bagi kehidupan yang lebih kondusif
dan relistis.[8] Dengan demikian pendidikan seharusnya
selalu memberikan opsi-opsi kebebasan pada
manusia guna menata dan menetapkan cara-cara berfikir dan prilaku yang
konstruktif, inovatif dan produktif.
Tetapi
yang terjadi sekarang adalah, bahwa umat manusia kehilangan dinamika,
kreativitas dan progresivitas. Kajian
yang kritis dan mendalam terhadap pemikiran-pemikiran keislaman tidak
dapat berkembang secara alami. Hal ini terjadi, bukan saja karena adanya sikap
penolakan terhadap pemikiran manusia yang kreatif.[9]
Sementara
di Eropa, menurut Arkoun,[10] Pemahaman dan penafsiran ilmiah dalam
konteks yang telah dibumikan (lewat pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti
psikologi, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya), mulai abad VI, telah
disebarkan oleh Luther dan zaman renaissance. Dalam masyarakat Muslim, sikap
dan pemahaman ortodoksi yang bersifat skolastik, pengulangan kata-kata yang
melebihi dari cukup dan tidak luwes, memaksa munculnya pemahaman dan pandangan
yang semakin bertambah sempit terhadap Islam itu sendiri.
Arkoun bermaksud, bahwa pemahaman Islam yang
bersifat liberal dan banyak dimensi (plural) dengan berbagai aliran pemikiran yang
saling berlomba mempertajam konsep seperti yang pernah yang terjadi dari abad
II sampai abad VI (Abad VII sampai dengan XII M) telah dilupakan dan malah
sengaja dihapuskan dalam setiap negara Muslim, lewat penekanan dan pemaksaan
terhadap satu aliran hukum yang resmi (official). Sekarang, ketika seorang
Muslim menuntut untuk menghidupkan ajaran Islam yang otentik dan asli, semua
tuntutan itu sebenaranyahanya menujuk pada pemahaman Islam yang bersifat monolitik,
miskin nuansa dan semakin bertambah sempit, terpotong dari akar debat
intelektual yang sangat kaya nuansa di antara pemikir selama priode klasik.
Kondisi
demikian, secara psikologis bukan karena lemahnya potensi intelektual atau
kualitas pendidikan yang dimiliki oleh umat Islam, tetapi hal tersebut,
meminjam ungkapan Arnold[11],
karena tidak adanya arus pemikiran yang segar dan bebas dari paham dan
kepercayaan yang ada, yang sekarang ini dipegang oleh umat Islam dan bahkan
tanpa dipikirkan.
Sikap
seperti ini, menurut Stoddard, dimulai ketika khalifah Abbasiyah berkoalisi
dengan golongan agama konservatif,
golongan yang membela kerajaan dan menjauhkan diri dari golongan liberal….dan
bahkan pada abad XII, sisa-sisa liberalisme Arab telah dimusnahkan, otak umat
Islam beku, daya kreasi lumpuh, intelegensia Islam diam, nyeyak sampai mereka
mulai bangkit dewasa ini.[12]
Bangkitnya
masyarakat muslim, terutama kaum Revivalisme,[13] dan Modernisme,[14] Sebagai mana diprediksi oleh Stoddard,
telah berjasa dalam hal bahwa mereka telah mencoba “mendinamit” kesia-siaan
sakral yang telah berusia seribu tahun ini dan mengajak kaum Muslimin kembali
kepada sumber Al-Qur’an yang murni. Tetapi meskipun revivalisme pra modernis
telah bekerja baik dengan merobohkan dinding penjara yang menyesatkan nafas
pemikiran Islam dalam membuat udara segar mengalir masuk, namun mereka juga
ungkap Fazlur Rahman, tidak membuat bangunan pemikiran baru sebagai gantinya
revivalisme pra-modernis
Meyakini,
bahwa semua bangunan-bangunan pemikiran teologis sesungguhnya hanyalah
penjara-penjara atau pada akhirnya tanpa bisa dielakkan pasti menjadi penjara
dan bahwa agama adalah lebih baik tanpa teologi, yang dalam pandagannya adalah
suatu kejahatan terhadap agama. Sedang kaum modernis lanjut Rahman untuk sebagian besarnya ia telah berurusan
dengan masalah-masalah sosial atau politik, namun kebanyakan kaum modernis
tidak banyak berbicara mengenai teologi, filsafat atau atau pandangan dunia.
Kalau toh ada seperti Muhammad Abduh, teologi disinggung secara minimal,
walaupun ia berbuat banyak untuk membangkitkan rasionalisme jenis Mu’tazilah.
Demikian pula Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Syabili dan Sayyid Akhmad Khan,
yang berupaya untuk mengemukakan kembali argumen-argumen bagi wujud Tuhan,
namun hanya mengandalkan kepada folosof-filosof Muslim zaman pertengahan[15]
Iqbal
melontarkan argumen bahwa ada tiga hal yang menyebabkan kemunduran Pendidikan
umat Islam yaitu: Pertama mistisisme asketik.[16] Kedua,
hilangnya semangat induktif. Ketiga, adanya idealisasi capaian-capaian
masa lampau, absolutisme pemikir mazhab dan otoritas perundang-undangan yang
mapan, telah melumpuhkan perkembangan pribadi dan menyebabkan hukum Islam
praktis tidak bisa bergerak sama sekali..[17]
Menurut Iqbal, Perbedaan yang jelas antara seorang yang
beriman dan kafir bukan pada formula teologinya, melainkan pada kreativitasnya.[18] Jadi jelasnya, konsep iqbal mengenai
kebebasan, mengandung pesan untuk mengembangkan wawasan pendidikan secara
kreatif, dalam rangka ikut serta dalam proses evaluasi tersebut, bukanlah
didasarkan pada rasa takut, meminta-minta (sual), perbudakan dan membanggakan
keturunan, melainkan didasarkan oleh rasa cinta, fiqra, keberanian dan
kreativitas.
C. Pembebasan dalam Pendidikan Islam
Konsepsi
Islam tentang pembebasan sesuai dengan
misi yang dibawa oleh Nabi saw. Ajaran tauhid sebagai salah satu kunci pokok
keislaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada perhambaan/ penyembahan
kecuali kepada yang Maha kuasa, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian
dengan lain kata seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan “dua kalimat
syahadah” berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun.
Itulah sebabnya umat Islam mencapai
titik kulminasi kesuksesan pada zamannya, karena berpegang pada teologi
sunnatullah (hukum alam) yang melahirkan sebuah kebebasan.[19]
Teologi
sunnatullah, melahirkan umat yang sadar akan kedudukan akal yang tinggi, baik
al-Qur’an maupun al-Sunnah memberi semangat untuk berfikir rasional (bebas ).
Atas dasar itulah, umat Islam zaman klasik
mencapai titik persemakmuran intelektual dalam pendidikan, karena bersentuhan dengan sains dan filsafat
Yunani yang terdapat dipusat peradaban Yunani di Aleksandaria (Mesir), Antakia
(Suria), Jandispur (Irak), dan di Baktar (Persia). Dalam sains dan filsafat
Yunani akan juga sangat sentral, maka peran akal yang tinggi dalam al-Qur’ān
dan hadis bertemu dengan peran akal yang tinggi dalam sains dan filsafat Yunai
tersebut, [20]
inilah yang membuat umat Islam
klasik mengembangkan pemikiran rasional.
Berkaitan
dengan itu, Muhammad Sayyid al-Wakil dalam analisis sejarahnya mengatakan
bahwa, sesungguhnya Islam pernah
mendirikan peradaban besar dan dunia tidak sanggup mendirikan peradaban besar
yang semisal dengannya. Karena Islam
memberi kebebasan kepada akal
untuk berfikir dan berkreasi tidak
menghambat para pemikir dan tidak membatasi tema-tema kajian bagi para
pengkaji.[21]
Umat yang sudah berkualitas
bebas menelaah dan mengkaji alam semesta ini untuk memperkuat ketakwaannya
kepada Allah Swt. Bertalian dengan itu, Iqbal mengatakan kebebasan adalah
prasyarat kebaikan.[22] Agama Islam dalam keasliannya tidak
memaksakan atau memperjuangkan suatu sistem sosial politik yang ekslusif.[23]
Kebebasan merupakan
prasyarat kehidupan bagi umat yang mendayagunakan akalnya dengan akal,
fakta bisa diketahui, fenomena alam bisa dikaji, masalah-maslah ilmiah dapat
didiskusikan bahkan dengan akal pula dapat mengetahui Tuhan semesta alam. Akan
merupakan hikmah Allah ‘azza wajallah yang diberikan kepada hambaNya.
Dengan akal rasional itulah, yang dijadikan Allah sebagai pelayan-pelayan wahyu
untuk memahami dan memaknai ayat-ayat
sekaligus diaktualisasikannya dalam realitas kehidupan. Metode berfikir
rasional dan filosofis melahirkan dinamika dan sikap optimisme dalam hidup. Metode berfikir
tersebut diterapkan oleh faham Qadariyah yang menggambarkan kebebasan manusia dan perbuatan.
Untuk
itulah, umat Islam pada masa itu, adalah
umat yang dinamis. Orientasi dunia mereka tidak terkalahkan oleh orientasi
akhirat. Keduanya berjalan sinergik, tidaklah mengherankan pada zaman klasik
itu soal dunia dan soal akhirat sama-sama dipentingkan sehingga produktivitas
umat dalam berbagai bidang meningkat begitu pesat kerena adanya antusiasme.
Antusiasme adalah prasayarat kebebasan sehingga akan melahirkan kemakmuran
intelektual yang sejati menunju masyarakat madani.
Ilmu
dalam pandangan Islam diharapkan mampu
memupuk dan mempertebal keimanan. Antara keimanan dan ilmu sangat berkaitan,
menurutnya iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme, kemunduran, tahyul dan
kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman
akan membuat manusia menjadi rakus dan berusaha maksimal memuaskan
kerakusannya, kepongahannya, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan
penipuan dan kecurangan”.[24]
Munculnya berbagai corak Pendidikan pemikiran Islam di
Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan kebijakan politik
pembangunan di bawah rezim Orde Baru yang dirasakan oleh intelektual Islam,
sangat memojokkan dan memarjinalkan kelompok Islam. Umat Islam selalu toleran
membangun Orde Baru diterapkan benar-benar mengalami proses peminggiran yang
dahsyat dan bertabrakan dengan arah modernisasi, terutama yang hanya
mengarah pada pertumbuhan sektor
ekonomi, tidak diimbangi dengan sektor religius.[25]
Setelah merespons kebijakan
pembangunan di bawah Orde Baru, pemikiran pendidikan Islam terus berkembang ke arah yang lebih
luas dan subtansial, sehingga muncul pelbagai corak pemikiran pendidikan Islam
yang sangat penting diperhatikan dalam perkembangan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia. Suasana peta
pemikiran pendidikan Islam di Indonesia, dapat dikategorikan menjadi
formalistik, subtansialistik, transformalistik, totalistik Idealistik dan
realistik .[26]
A. Syafii Ma'arif membedakan
corak pemikiran pendidikan Islam menjadi empat, yakni modernis dan diteruskan
oleh neo-modernis, neo-tradisionalis, ekslusif Islam, dan modernis sekularis
muslim.[27] Sementara M. Dawam Raharjo membedakan
corak pemikiran Islam menjadi nasionalis muslim, humanis –sosialis-sekuler
muslim modernis-sekuler. [28]
Konsep modernisasi identik
dengan rasionalisasi. Konsep tersebut bermuara pada liberalisasi pemikiran yang
berupaya merombak pola pikir dan tata kerja lama yang tidak akliyah,
menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang akliyah.[29] Manfaatnya adalah untuk memperoleh daya
guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan demi menciptakan iklim
pemahaman keberagamaan yang lebih pluralis, harmonis, dan dinamis, guna
membangun budaya ilmu yang ilmiyah dan alamiah.
Berdasarkan penjelasan di atas,
proses perkembangan pola dan corak pemikiran pendidikan Islam ternyata tidak
berhenti sampai di situ, tetapi terus berkembang sampai sekarang. Banyak hal
yang direspon oleh para pemikir pendidikan Islam di atas. Beberapa tema pokok yang direspon oleh para
cendikiawan muslim antara lain, soal Islam dan negara Nasional Islam, Islam dan
Keindonesiaan, Islam dan kemoderenan, Islam dan demokrasi, Islam dan
pluralisme.[30]
Tema-tema tersebut di atas
menjadi fokus pembicaraan cendikiawan muslim karena, tema-tema ketika
berhadapan dengan rezim Orde Baru yang banyak melakukan penekanan dan
intervensi dalam gerakan Islam di Indonesia, sehingga melahirkan gebrakan
pemikiran yang liberal dan dinamis.
Agama Islam
adalah pedoman, sekaligus tujuan
dalam mengarungi kehidupan. Pemikiran keagamaan cenderung berbalik menelusuri
tapak tilas ke belakang. Sedangkan ilmu sebagai alat untuk memudahkan hidup.
Orientasi ilmu selalu untuk melakukan inovasi dan pengembaraan ke depan, serta
tidak segan-segan membuang bangunan tradisi masa lalunya. Ini diperkuat oleh
Komaruddin Hidayat bahwa, iptek selalu melangkah ke depan dan menjebol batas
(frointer) yang ada melalui seacrh
and research.[31]
Agama dan ilmu pengetahuan
merupakan tujuan utama pendidikan.[32] Agama yang berbasis kepada pendidikan
yakni nilai-nilai etik-moral, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan pengembangan
keahlian. Kedua komponen tersebut berproses dalam sejarah sehingga terjadi
dinamika yang begitu pesat. Pada dasarnya krakteristik dasar pemikiran Islam mengenai pendidikan
Islam, cenderung bersifat organik, sistematis dan fungsional dengan akar
paradigma yang mengacu pada al-Quran, al-Sunnah dan ijtihad. Ini diperkuat oleh
Amrullah Ahmad bahwa realitas apapun
yang kita pikirkan, tetap akan masuk dalam kerangka global dan rinci pada tiga
sumber paradigma tersebut. Pola hubungan
tiga masalah pokok dimaksud secara global dapat dijelaskan bahwa bentuk
aktivitas dakwah Islam yang tidak bisa menjanjikan Islam secara kaffah
menyebabkan sisitem pendidikan ini dikhotomik.[33] Sistem pendidikan yang dikhotomik
menyebabkan lahirnya sistem pendidikan umat Islam yang sekularistik,
rasionalistik, empiristik, intuitif dan materialistik, keadaan tersebut tidak
mendukung tata kehidupan umat yang dinamis untuk melahirkan peradaban yang diharapkan.
Pendidikan Islam yang bermuara untuk
memberdayakan kualitas umat dari berbagai aspek kehidupan umat. Hal itu, sejalan dengan semangat al-Quran yang senantiasa
menekankan rasa takwa dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ditinjau dari kacamata ajaran risalahnya
agama Islam adalah “agama madani” dalam arti mengkota, elite, dan berbudaya
tinggi. Artinya seluruh ajaran Islam senantiasa mendorong pemeluknya bersikap
rasional, menghargai waktu, memperhatikan hari esok (membuat perencanaan hidup)
kreatif dan berkarya yang exelence.[34]
Pendidikan Islam sebagai salah
satu metode yang sangat praksis identik dengan dakwah sering dipahami
dengan nasehat dan peringatan yang mempunyai pengertian suatu ucapan/kata-kata
yang bersifat bimbingan dan pengarahan yang dapat membangkitkan emosi dan
perasaan orang lain untuk mau melaksanakan perbuatan yang baik.[35] Sejalan dengan hal tersebut, nasehat bisa
dipahami dengan dukungan positif terhadap mereka, termasuk kontrol sosial demi
suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.[36]
D. Pembebasan Sebuah Paradigma
Islam merupakan agama yang memadukan
iman dan ilmu yang melahirkan amal. Dengan demikian pendidikan Islam diharapkan mampu menumbuh- kembangkan pemahan
yang benar tentang hakekat keberadaan umat manusia di seantero alam ini.
pendidikan dunia akhirat inilah yang bergaransi kelestarian nilai-nilai budaya
Islam di masa-masa yang akan datang.
Pendidikan Islam sebagai satu
pranata sosial terikat dengan pandangan Islam
tentang hakikat keberadaan manusia. Oleh karena itu, pendidikan
Islam berupaya untuk menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran manusia itu sama di depan Tuhan. Pembedanya adalah
kadar ketakwaan sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.[37]
Implementasi ketakwaan dapat diwujukan lewat
pencitraan pendidikan, hal ini penulis mencoba menampilkan sosok pemikir
pendidikan Islam yang dinamis dan berwawasan mensemesta seperti, A. Malik Fajar
berpendapat bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai pemberi corak hitam
putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karenanya pendidikan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. John Dewey, menurut
penjelasannya, berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan
hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan, dan sebagai pertumbuhan
yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Fungsi pendidikan ini dapat dicapai melalui transmisi, bail melalui
pendidikan maupun non formal.[38]
Muhammad
Abduh (1849-1905) dapat disebut sebagai
tokoh yang banyak melakukan kritik terhadap praktek pendidikan yang dilakukan
oleh umat Islam. Ia menilai bahwa metode pengajaran yang digunakan para guru
adalah salah. Ia mencontohkan, para guru memberikan term-term tata bahasa Arab
dan hukum fikih untuk dihafal untuk tanpa menjelaskan arti term-term itu. Abduh
secara keras mengkritik pengajaran di al-Azhar Mesir. [39]
Abduh
berpendapat bahwa pendidikan yang
diamatinya cenderung menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumud, membeku,
statis, tidak ada perubahan. Oleh karena paham jumud ini maka umat Islam
ini tidak menghendaki perubahan, dan tidak mau menerima perubahan.[40]
Selain
Abduh, Fadhil al Jamali, sosok ilmuan Muslim berkebangsaan Irak yang hijrah ke
Tunisia kemudia menjadi Guru Besar dalam ilmu pendidikan di Universitas Tunis,
juga tergolong orang yang terpanggil untuk memberikan berbagai kritik terhadap
pendidikan Islam. Ia mangakui bahwa umat Islam mengalami keterbelakangan di
bidang pendidikan disebabkan oleh berbagai kemunduran dan keterbelakangan
bidang-bidang lain.[41] Seharusnya orang-orang yang bertugas di
bidang pendidikan, menurutnya menyediakan obat penyembuh segala penyakit yang
dilaporkan oleh masyarakat. Akan
tetapi kenyataannya justru sebaliknya, mereka sendiri malah menjadi orang
sakit.
Menurut
Suwito,[42]
pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dinilai cenderung
menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik.
Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung
sebagai ”sabda pandita ratu” yang mesti harus dilaksanakan oleh
daerah-daerah. Hal ini dapat dilihat antara lain sejak kemestian memakai
pakaian seragam sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum. Sistem yang demikian
cenderung menjadikan ”keseragaman” sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang
demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas ”juklak” dan ”juknis” menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk
teknis. Ujung-ujungnya akan melahirkan manusia yang bermentalitas dibawah
bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan tunduk pada
perintah yang ada, petapapun anehnya perintah tersebut.
Kebijakan
yang demikian dapat diduga karena pemerintah ketika itu cenderung berpendapat
bahwa stabilitas nasional menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Stabilitas
akan terwujud apabila pemerintah kuat dan mampu mengontrol kekuatan dan
perkembangan yang ada di masyarakat. Diakui bahwa pertumbuhan ekonomi melalui
kebijakan yang birokratis sentralistis membuahkan hasil antara lain pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi, pendapatan nasional
meningkat, pembangunan berbagai sarana dan prasarana terlihat dan dapat
dinikmati.
Akan
tetapi, pendidikan yang terlalu birokratis sentralistis di atas dapat
menimbulkan dampak negatif bagi proses pendidikan itu sendiri dan bagi
masyarakat umum. Dampak yang paling mencolok adalah berkembangnya mentalitas
”jalan pintas” dalam dunia pendidikan. Selain itu semakin lama semakin
dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung memunculkan generasi terdidik yang
bersifat meterialistik.
A.
Malik Fadjar dalam gagasan liberalnya sebagaimana yang dikutip oleh Suwito,
mengatakan bahwa Perguruan swasta di bawah Muhammadiyah, Taman Siswa, ataupun
lembaga agama kristen (dan swasta lainnya –pen) lebih baik membebaskan dirinya
dari pemikiran pemerintah. Pasalnya, keberadaan perguruan swasta merupakan
cikal bakal pelopor pendidikan di tanah air yang sudah sejak lama independen.
Peran pemerintah bagi perguruan swasta sebaiknya hanya menjadi mitra dalam
konteks akademik dan mengurusi hal-hal yang lebih teknis.[43]
Lebih parah lagi, sistem dan pola militerisme masih memilki budaya feodalisme yang begitu
kuat mencengkeram masyarakat. Pola feodalisme cenderung berarti atasan/komandan
tidak bisa salah, sebaliknya bawahan selalu salah. Semangat yang sama juga
seringkali melandasi pola pendidikan kita. Guru berada di kelas dengan
jiwa ”father knows best”. Guru
tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa. Guru tidak bisa salah dan
sebaliknya murid selalu salah. Murid tidak didorong untuk mengembangakan
kreativitasnya dengan mengoptimalkan daya imajinasi dan inovasi melainkan cukup
menghafalkan. Dengan demikian mereka tidak akan pernah menjadi manusia yang
mandiri, tetapi pengekor.
Azyumardi Azra
menyatakan perlunya modernisasi pendidikan Islam.Gagasan modernisasi pendidikan
Islam mempunyai akar-akarnya dalam gagasan tentang modernisasi pemikiran dan
instansi Islam secara keseluruhan. Kerangka dasar yang berada dibalik modernisasi Islam secara keseluruhan adalah
modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat kebangkitan
kaum muslim di masa moderen. Karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam
–termasuk pendidikan- haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai
dengan kerangka modernitas; mempertahankan
pemikiran kelembagaan tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan
kaum muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia moderen.[44]
Pengembangan
intelektual muslim patut pula diberi penekanan yang istimewa dan khususnya
terhadap pendidikan formal Islam. Karena pendidikan formal yang dekinal dengan
pendidikan sekolah mempunyai program teratur, bertingkat dan mengikuti
syarat-syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung bagi penyusunan program
pendidikan Islam dalam usaha pengembangan intelektual Muslim.[45]
Liberalisasi pendidikan pada
intinya merupakan sebuah cabang pertumbuhan dan sudut pandang empiris yang
kerangka berfikirnya dibangun pada ekperimentalisme, yang menaati gagasan bahwa nilai tertinggi
kebahagiaan, perwujudan diri atau apapun juga secara fundamental merupakan
keluaran sampingan dari kecerdasan praktis, yakni kemampuan untuk
memecahkan problema-problema personal secara efektif dengan menjadi seilmiah
mungkin dalam hal bagaimana orang
berfikir rasional dan apa yang diyakininya.
Begitu pun Paulo Freire dalam
mengapresiasikan gagasannya mengatakan pendidikan yang dibutuhkan dewasa ini adalah pendidikan
yang mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang
terjadi dan mampu pula mengarahkan serta
mengendalikan perubahan itu. Dia mencela jenis pendidikan yang memaksa manusia menyerah kepada
keputusasan-keputusan orang lain.[46]
Pendidikan yang diusulkan
adalah pendidikan yang dapat menolong manusia untuk meningkatkan sikap keritis
terahadap dunia dan dengan demikian mengubahnya. Ia memperingatkan akan bahaya
budaya industri sekalipun berhasil menigkatkan standar hidup tetapi dalam waktu
yang sama budaya itu cenderung untuk menempatkan manusia sebagai posisi
tercabut dari akar kemanusiaannya.[47]
Dalam kaitan itu, Erich From sebagaimana
yang dikutip oleh Syafii Ma'arif menyatakan bahwa abad XXI mungkin bukan
pemecahan dan puncak bahagia bagi suatu periode. Manusia berjuang untuk
kebebasan dan kebahagiaan, tetapi dalam tahun itu, adalah permulaan salah satu
periode berikutnya manusia telah berubah
menjadi sebuah mesin yang tidak berfikir dan tidak punya perasaan.[48]
Tesa tersebut menurut
penulis, ada benarnya yang dialami dunia
dewasa ini, khususnya Indonesia dengan terjadinya berbagai tindakan amoral
seperti penjerahan, penodongan, perkosaan, perampokan bahkan pembakaran
tempat-tampat ibadah. Tindakan-tindakan
anarkisme seperti itu, merupakan
perbuatan manusia yang tidak manusiawi akibat tertekan, terbonsai dan terintimidasi karena kebodohannya.
Itulah sebabnya pendidikan
pembebasan sangat menekankan kepada nilai-nilai Iman dan nilai-nilai akal, buah
dari itu, melahirkan moralitas-etis. Untuk itu, zaman sekarang ini terasa
menjadi sangat penting dan relevan digagas mengenai moralitas. Hal ini
disebabkan karena: Pertama, manusia pada zaman kita hidup dalam suatu
masyarakat yang semakin pluralistik, kesatuan tata normatif nyaris tidak ada
lagi. Kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral, yang sering saling
bertentangan sehingga kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan, apakah
kita harus mengikuti moralitas klasik di desa yang kita peroleh dari orang tua
atau moralitas yang ditawarkan oleh paham dan konsep isme dalam budaya Barat. Kedua,
manusia pada masa kini dihadapkan pada masa transformasi massa yang luar biasa,
suatu perubahan yang terjadi akibat hantaman gelombang modernisasi yang secara
tak terelakkan memunculkan rasionalisme, individualisme, sekularisme,
materialisme, konsumerisme pluralitas religius dan sistem pendidikan yang telah
mengubah budaya dan rohani banyak manusia. Ketiga, sebagai akibat dari
semua itu seringkali muncul tindakan-tindakan subyektif, motivasi yang tidak
jelas pamrih. Banyak orang yang terbiasa dengan sikap hipokrit ”berkata ya”
untuk mengatakan tidak dan berkata tidak untuk mangatakan “ya”.[49]
Fenomena
tersebut di atas, adalah sikap yang ambisius dan terburu-terburu karena
kebodohan manusia. Ini disebabkan karena adanya penekanan, intimidasi bahkan
penjajahan yang membuat manusia semakin terisolasi dari lingkungannya. Ibarat
kuda baru keluar dari kandangnya. Sehingga menampilkan sikap-sikap traomatis di
dalam hidupnya, akibat tertekan, terjajah dan terbonsai pemikirannya.
Dan yang paling dominan
mempengaruhi umat adalah pendidikan
yang “membelenggu” umat manusia
sehingga tertindas, teraniaya di dalam hidupnya. Paulo Freire kembali dengan
lantang mengritik pendidikan “gaya bank” yang mencerminkan masyarakat tertindas
secara keseluruhan yang menunjukkan kontradiksi:
1.
Guru mengajar, murid belajar
2.
Guru mengetahui segala sesuatu,
murid tidak tahu apa-apa.
3.
Guru berfikir murid difikirkan
4.
Guru bercerita, murid
mendengarkan
5.
Guru mengatur dan murid diatur
6.
Guru memilih dan memaksakan
pilihannya, dan murid menyetujui
7.
Guru berbuat, murid
membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya
8.
Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri
dengan dengan pelajaran itu
9.
Guru mencampur adukkan
kewenangan ilmu dan jabatan untuk menghalangi kebebasan murid
10.
Guru adalah subyek, murid
adalah obyek dalam proses belajar mengajar.[50]
Paulo Freire agak
prihatin dan khawatir terhadap kaum tertindas
(oppressed) sehingga terdorong untuk mengantisipasi demi masa depan
kemanusiaan. Kaum tertindas berada dalam lingkaran syethan. Kaum tertindas yang
menginternalisasikan citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan
jalan fikiran mereka mengalami rasa takut yang berat. Padahal kebebasan
menghendaki mereka menolak citra diri seperti itu, dan menggantinya dengan
perasaan bebas serta tanggung jawab moral yang lebih mendidik. Walaupun
masyarakat memperoleh kemerdekaan jiwa itupun direbutnya bukan dihadiahkan.[51]
Kebebasan bukanlah impian
yang berada di luar manusia dan bukan pula sebuah gagasan yang manjadi mitos
untuk kesempurnaan manusia, kebebasan merupakan keniscayaan. Untuk mencari dan
mendapatkan kebebasan itu, perlu ditemukan sumber penyebab terjadinya
penindasan kemudian melakukan tindakan perubahan yang mengakibatkan
terbentuknya manusia yang lebih berkualitas.
Manusia modern dikuasai
oleh kekutan mitos-mitos dan dimanipulasi oleh ikatan-ikatan yang jitu,
kampanye ideologi dan lainnya tanpa disadari lambat laun membuat manusia
kehilangan kemampuan untuk memilh dan mengambil keputusan. Manusia tidak bisa
menangkap sendiri tugas zaman melainkan hanya menerima penafsiran resep dan
perintah yang dibuat kaum “elite”.
Etika pembebasan itu lahir di kawasan Amerika Latin
seperti yang disuarakan oleh eksponennya di atas, dan juga merambah ke dunia
lain termasuk Indonesia,
merupakan respons terhadap iklim yang diciptakan penguasa dan dirasa menghambat
kreativitas dalam hidup.
Dalam dunia pendidikan, kritik tajam itu menuntut
adanya reorientasi dalam pendidikan dan pengajaran. Dan itulah membuat umat
semakin dinamis dan suvive (hidup). Sejarah peradaban manusia
menunjukkan bahwa pada masa renaisans (renaisance) unsur yang paling utama
diambil adalah tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan
halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud leluasa.
Sedangkan dari masa aufklaerung yang diambil adalah moral rasionalismenya,
keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.[52]
Jika diikuti pendapat Soedjatmoko dikatakan lagi bahwa, yang kita butuhkan
adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan, dan dari rasa cemas rasa keharusan untuk
mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan
oleh wewenang yang lebih tinggi ataupun oleh adat kebiasaan.[53]
Pendidikan Islam
yang tujuan akhirnya mengarahkan
agar anak didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah[54].
Kebebasan di sini di batasi oleh garis demarkasi hukum dan ajaran syariat yang
ditentukan Allah yang sejalan dengan filsafat yang mendasari fitrah manusia.
Umat yang didambahkan Islam adalah yang
cerdas, cermat dan mampu berfikir dengan
menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.
Umat yang berkualitas mengikuti perintah Tuhan yang
terkandung dalam Al-Qur’ān, ini bermakna umat itu memiliki kebebasan diri
sehingga mampu mengubah nasibnya.[55]
Tidak fatalistik pasrah kepada taqdir. Orang yang pasrah itulah yang membuat
umat tidak bebas sehingga ada yang mensinyalir bahwa umat Islam tidak berdaya akhirnya mundur akibat didominasi
oleh pemikiran teologi Asyariah yang
cenderung bersifat jabariah.[56]
Terdapat beberapa argument yang dikemukan Freire
mengenai kesadaran manusia mengenai kebebasan yaitu: Pertama, kesadaran magis (magical consionsnes)
yakni, jika masyarakat tidak memahami mengapa mereka menjadi miskin, serta
menyerahkan dan mengembalikan mereka pada Tuhan. Kesadaran magis ini juga oleh
kaum pembaharuan dikenal dengan teologi fatalisme yang dianggap penyebab
keterbelakangan. Kedua, tingkat kesadaran yang naif (naïve
conscionsness) yakni jika masyarakat percaya bahwa kemiskinan dan
keterbelakangan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Dan kemajuan
orang hanya dicapai karena mentalitas dari usaha mereka. Mereka yang barada
pada tingkat kesadaran ini seringkali juga mewarisi sebagai penindas. Ketiga, kesadaran kritis (critical
conscionsness). Kesadaran kritis adalah tingkat kesadaran yang memahami bahwa
kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh suatu struktur yang tidak
adil dan mengakibatkan kemiskinan dan keterbelakangan mereka.[57] Reaksi dan aksi yang dilahirkan
oleh tingkat kesadaran naif yakni kesadaran yang ditanamkan oleh pendidikan dan
lemabaga harus diubah menjadi umat yang berkualitas dan berprestasi.
Bertalian dengan
itu, Andi Rasydianah dalam butir-butir
pengarahan Dirjen Bimbaga Islam 1995 di
Bandung mengatakan bahwa pemaknaan materi pendidikan Islam pada bidang teologi ada kecenderungan pada
paham fatalistik. Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum
dipakai sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama. Agama diajarkan sebagai
dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan kepada kemajuan
pada ilmu pengetahuan dan yang paling akhir adalah orientasi mempelajari al-Qur-‘an
masih cenderung pada kemampuan membaca teks belum mengarah pada pemahaman arti
dan penggalian makna.[58]
Hal tersebut di atas,
bersumber dari gagasan pemikiran Muhammad Abduh bahwa kelemahan kreativitas
berifikir yang di dasari oleh teologi Asy’ariah tersebut memasuki bidang
bahasa, akidah, asyari’ah, dan sistem masyarakat.[59]
Ini berarti bahwa
manusia tidak mendayagunakan potensinya untuk memilih perbuatan bebasnya. Akan
tetapi kebebasan manusia mempunyai batas atau kebebasan yang bersifat absolut.
hal tersebut sangat tergantung dari kapasitas akalnya untuk memahami sunnatullah
yang berupakan tempat mengembalikan semua yang terjadi di alam ini. Itulah
sebabanya, tidak semua sebab dapat diketahui manusia dan tidak semua sebab
dapat terjangkau oleh kemampuan akal manusia.
Di sinilah pentingnya
peran akal untuk selalu diberdayakan. Semakin cerdas akal manusia semakin
banyak alternatif-alternatif yang dapat dikuasainya dan semakin tampak fungsi
kebebasan yang dimilikinya. Sebaliknya semakin sedikit pengetahuan manusia
semakin pendek akalnya dan semakin sedikit alternatif-alternatif yang bisa
dipilihnya. Kebebasannyapun semakin terbatas.
Dalam suasana demikian,
manusia semakin membeku, statis dan jumud pemikirannya. Itulah sebabnya
Muhammad Abduh pada masanya berasumsi bahwa akidah jabiariyahlah yang menjadi
salah satu penyebab timbulnya kejumudan.[60]
Menyikapi fenomena
tersebut di atas, pendidikan Islam harus
fungsional dan rasional dalam mengangkat harkat dan martabat manusia menuju
kebebasan. Untuk membebaskan manusia dari kebodohan akal harus dikedepankan
kualitas sehingga ada kebiasaan untuk berfikir. Dengan pemikiran yang menajam,
dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan
yang membawa kemelaratan diri. Semuanya itu ditanamkan dan ditentukan dalam
sistem pendidikan.
Pendidikan Islam, di
samping mementingkan akal juga mementingkan spritual. Dengan demikian, umat
tidak hanya mampu berfikir tetapi juga memiliki ahklak moral yang mulia dan
jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spritual itulah yang diharapkan nilai-nilai
moral yang dijadikan sebagai panglima di dalam kehidupan. Sehingga tercipta
tatanan masyarakat yang benar-benar merasakan kebebasan hidup.
Penulis optimis bahkan berkeyakinan bila pilar zikir dan fikir yang dimiliki oleh umat,
maka akan bersikap humanis, inklusif dan
demokratis. Dengan demikian, ummat
Islam akan bebas dan dapat berkompetisi
dalam memainkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membangun peradaban
umat di masyarakat madani. Pendidikan harus dinamis dan menjadi obor dalam
berpacu menghadapi perubahan sosial. Konserfasi budaya yang selelktif
mengharuskan pendidikan untuk membolehkan pemahaman yang benar tentang
kebutuhan dan tantangan masa depan manusia.
Di sinilah letak
perbedaan antara pendidikan Islam dengan
pendidikan lainnya artinya lebih mendepankan nilai-nilai moral untuk menuju
kebebasan daripada keterbelakangan moral. Pendidikan yang cenderung tradisional
dalam arti dipasung, didomimansi hafalan tanpa mengerti makna dan tidak dibiarkan
berargumen, bahkan bertanya, lebih-lebih jika dikritiknya, budaya seperti itu,
sudah seharusnya ditinggalkan karena sudah usang dan lapuk.
Kurikulum tradisional terlepas dari kehidupan
yang berpusat dari kata-kata kosong yang tidak menampilkan relaitas, tidak
menunjukkan aktivitas kongkrit dan tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis
seharusnya direformasi (dibebaskan). Memang ketergantungannya pendidikan secara
naif pada ungkapan-ungkapan muluk pada hafalan dan kecenderungan kepada yang
abstrak sesungguhnya mengundang kenaifan kita.[61] Penulis mengharapkan pendidikan mampu
merangsang pikir dan zikir manusia untuk diberdayakan agar mampu mandiri dalam
rangka menciptakan gagasan-gagasan pemikiran yang otentik dan original. Tradisi pendidikan bagaimanapun juga
tidak merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendiktean ide-ide itu, bukan
merupakan debat atau diskusi tema-tema, melainkan pemberian pelajaran atau
kuliah; bukan merupakan kerja sama dengan murid melainkan kerja atas murid,
memaksakan suatu perintah yang harus dituruti oleh para murid. Dengan memberi
rumusan-rumusan yang harus diterima oleh
para murid dan bukan memberikan perangkap untuk berfikir otentik kepadanya. [62] Hal ini dapat kita lihat pola lewat kurikulumnya yang didesain secara komprehensip
dan tidak mengikat, tapi memberi opsi yang bebas pada murid/anak didik.
Untuk memberi
jawaban terhadap persoalan-persoalan di atas Hoyle mengeksplorasi
pemikirannya guna mengadakan perubahan dalam pendidikan sebagai berikut: 1).Power-coercive.
2).Normative-re-educative dan, 3).Rational empirical.[63]
Strategi power –coercieve
biasanya digunakan ketika yang dikehendaki dalam perubahan pendidikan tersebut
berhubungan dengan persoalan kelembagaan dan struktur pendidikan. Sedangkan
strategi normative-re-educative digunakan ketika yang diinginkan berhubungan
dengan perubahan sikap dan sifat, pendapat-pendapat dan nilai-nilai
tertentuyang diingingkan. Untuk strategirational empirical digunakan
ketika yang diinginkan dari perubahan pendidikan tersebut berhubungan dengan
aspek praksisnya dilihat dari aspek-aspek pendidikan yang lebih ringan.
Apabila dihubungkan dengan pembicaraan rekonstruksi
kurikulum pendidikan tinggi, hal tersebut membawa kita pada persoalan-persoalan
perubahan kelembagaan dan struktur pendidikan, mengingat kedudukan kurikulum
adalah “menu” pendidikan yang selalu tidak dapat dipisahkan dari jiwa falsafah
yang dianut oleh suatu negara atau bangsa. Maka ketika kita berbicara
liberalisasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dengan budaya pandang suatu
bangsa.
Dalam konteks
kekinian, Dunia pendidikan menuntut adanya kualifikasi baru dalam bidang
keilmuan yang dapat mempersiapkan kompetensi lulusan yang sesuai dengan
standar-standar kebutuhan pasar. Sementara konstruksi kurikulum lama masih berkutat
pada kualifikasi keilmuan Islam yang terbatas pada wilayah-wilayah agama atau
cabang-cabang ilmu agama (baca keakhiratan) yang metodenya lebih banyak menghafal darpada proses
penalaran yang sejalan dengan kondisi
zaman.Karena itu kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan Islam
yang di simbolkan dengan madrasah yang “autput” pendidikan yang
kemampuannya hanya terbatas dalam melaksanakan pekerjaan yang berhubungan
dengan kehidupan sosial keagamaan atau keakhiratan. Sementara tuntutan baru “autput”
pendidikan yang memilki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
berhubungan dengan kehidupan dunia nyata (fisik) tidak dapat diberikan oleh
dunia pesekolahan Islam sehingga dapat dirasakan pengaruhnya.
Masalah yang
dihadapkan kepada konstruksi kurikulum lama di atas dapat dipahami sebagai
akibat dari kejumudan dunia Islam yang
terjadi dalam beberapa abad sesudah
melalui zaman keemasannya (abad
ke 5 – 9 M.).Imam al-Ghazali yang lahir pada abad ke 10 kenyataannya tidak
menolong untuk berkembangnya paham rasionalisme-liberal yang merupakan kunci
dari zaman keemasan dunia Islam. Imam al-Ghazali justru berupaya
menyederhanakan persoalan umat Islam pada masanya dengan mengajak umat Islam
untuk kembali menganut dan menekuni persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
keagamaan (keakhiratan). Pengaruh al-Ghazali yang demikian besar di dunia Islam
terutama sesudah dimunculkannya karya “Ihya ‘Ulumuddin” telah membawa
dunia Islam yang terkooptasi dengan gagasan-gagasan keilmuan yang yang ditawarkan
oleh Imam al-Ghazali. Apabila dilihat lebih jauh dari sudut konstruksi
kurikulum lama, maka sesungguhnya konstruksi kurikulum tersebut tidak terlepas
dari upaya umat Islam untuk mengakomodir gagasan-gagasan keilmuan yang di
tawarka oleh Imam al-Ghazali.[64] Hal tersebut merupakan salah satu fakta
sejarah bila kita runut ke belakang, namun harus diakui bahwa dunia moderen
belum muncul, sehingga kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan
keakhiratan belum terusik dengan kepentingan-kepentingan keduniaan, sebagaimana
yang terjadi dan telah dirasakan oleh umat Islam sesudah datangnya era moderen
abad 19.
Jika dianalisis
kurikulum pendidikan Islam yang ada sekarang, apakah madrasah atau STAIN, dan
IAIN, sesungguhnya sudah dapat dikatakan memiliki kunstruksi baru apabila
dibandingkan dengan konstruksi kurikulum lama sebagaiaman yang telah
diisebutkan pada uraian sebelumnya. Perguruan tinggi, STAIN dan IAIN sekarang ini telah memilki kualifikasi baru
yang terlihat masuknya wilayah wilayah keilmuan baru yang berorientasi
keduniaan.Di STAIN dan IAIN sudah cukup lama dimasukkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan keduniaan, meskipun
masih terbatas pada kelompok ilmu sosial dan humaniora. Akan tetapi para praktisi dan profesional
pendidikan masih merasakan adanya kesenjangan pada kurikulum dan lulusan yang
hasilkan oleh dunia pendidikan Islam.
Jika
dilihat dari konstruksi baru pendidikan Islam di atas, kelihatannya konstruksi
kurikulum tersebut cenderung bersifat menjumlahkan dalam arti: kurikulum pendidikan
Islam adalah hasil penjumlahan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kenyataannya
kurikulum tersebut tidak hanya sekedar menjumlahkan, tetapi lebih dari itu,
justru memperhatikan pengintegrasian keilmuan yang didukung oleh kemampuan profesional dalam pengimplementasiannya.
Konsep
tersebut di atas agak memadai, tapi sesungguhnya menurut penulis sebaikanya pimpinan lembaga perguruan tinggi mengambil
keputusan strategis antara lain:
- Lembaga Perguruan Tinggi (STAIN dan IAIN) sudah waktunya berubah, paling tidak ditata prodinya, sehingga meampu menelorkan sarjana yang memenuhi logika persaingan ke depan
- Para Pimpinan Lembaga Perguruan Tinggi seyogyanya menyadari tanpa pengembangan kualitas para dosen pada jenjang akademik (S2 dan S3), maka cita-cita pengembangan ilmu dari berbagai aspek guna membudayakan khazanah berfikir yang kreatif, inovatif dan produktif dalam membangun perdaban Islam yang luhur merupakan hayalan.
- Seyogyanya para mahasiswa lebih diberi porsi dalam memberikan preferensi prodi yang dikembangkannya sehingga lebih aspiratif dan representatif sejalan dengan semangat pendidikan Islam.
Gagasan tersebut atas,
seharusnya disikapi dengan cermat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa maju dan
berkembang tanpa ada lembaga dan keterlibatan dengan lembaga lain. Oleh karena itu sudah saatnya kita mengintegralkan Ilmu Barat dan Ilmu Arab dalam pendidikan,
artinya ada pendauran antara metode dan esensi berfikirnya. Adapun
implementasinya bisa saja seorang mahasiswa kuliah di Perguruan tinggi Islam
dan perguruan tinggi non Islam, baik dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan keahlian dan ilmu yang digelutinya.
Dengan demikian akan menambah wawasan dan cakrawala berfikir yang signifikan. Produk
seperti inilah akan memenuhi logika persaingan ke depan dan buah-pikirannya
akan membumi dan menjaman.
E. Pendidikan Liberal
Sebagai Arah Baru Dinamika Islam
Secara
historis, pemikir-pemikir Pendidik Islam liberal banyak yang mendukung
demokrasi, menentang teokrasi, jaminan pada hak-hak kaum perempuan, hak-hak non
muslim di negara Islam, pembebasan terhadap kebebasan berfikir dan kepercayaan
terhadap potensi manusia. Tema-tema ini merupakan tema yang bisa bias buat diri
mereka yang menyuarakan, sekaligus bagi negara yang memformalkan negara Islam.
Mereka inilah yang secara tradisi seringkali diabaikan oleh para pengamat dan
media di Indonesia. Padahal mereka inilah yang bisa dikategorikan sebagai kelompok Pendidik Islam yang mempertahankan
tradisi liberal sebagaimana dalam Islam.[65]
Salah
satu tema yang paling hangat dibahas oleh komunitas pemikir pendidik Liberal
Islam adalah perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik, atau agama
dan negara dalam pandangan pendidikan
liberal Islam, agama berbeda dengan politik. Agama berurusan langsung
dengan Tuhan dan berimbas pada manusia,
sedangkan politik adalah urusan antara manusia yang imbasnya juga
antar-manusia. Tidak ada sakralitas dalam politik, yang ada hanya etika,
sementara dalam agama ada hal-hal yang sakral. Memang keduanya bisa bertemu
dalam etika universal bukan doktrin.
Soekarno (sebelum
jadi Presiden) pernah menulis sebuah artikel berjudul ”memudahkan Islam”. Menurut
Soekarno langkah-langkah pemikiran liberalisasi yang dijalankan oleh Kemal
Attaturk adalah “tindakan paling modern” dan tindakan “paling radikal”. Katanya
“Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki,
tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri dan tidak
kepada negara. Oleh karena itu, salahlah kita
kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki
itu dengan, misalnya, Rusia”. [66]
Frances
Woodmall, sebagaimana yang dikutb Soekarno menyatakan bahwa perilaku Turki
modern terhadap Islam adalah sikap anti-ortodoksi, atau anti-institusi
keagamaan, ketimbang disebut sebagai anti agama… Validitas Islam sebagai agama
yang menjadi persoalan keyakinan pribadi tidak ditolak. Tidak ada
penghentian pelaksanaan ritual agama di
masjid, atau lebih-lebih pelaksanaa kegiatan kegamaan.[67]
Sementara
itu Munir Mulkhan, menyatakan bahwa jika semua agama memang benar sendiri,
penting diyakini bahwa syurga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu
dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.
Syarat memasuki syurga ialah keikhlasan
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan tanpa
melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sisni
kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[68]
Pemikiran di atas yang telah
mengeksplorasikan gagasan-gagasanya merupakan kesadaran kolektif dan
konstruktif dalam membangun horizon berfikir yang tercerahkan dengan mengangkat
langit keilmuan yang lebih dinamis dan praksis. Hal tersebut disesuaikan dengan
suasana kultur dan struktural pemahaman keagamaan yang lebih kompetitif dan itu
suatu keharusan sebagai anak bangsa yang
memilki kesadaran moral berfikir dalam membangun tata nilai beragama. Dengan demikian revitalisasi dan
realisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya.
Keharusan tersebut dapat dimaknai sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap
perubahan–perubahan yang terjadi yang dirasakan oleh umat manusia secara cepat
(massif).
Umat Islam harus berijtihad
mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks
kehidupan mereka sendiri. Islamnya di madinah adalah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang
universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan
cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah salah satu
diantaranya, keadaan Islam yang hadir di muka bumi. Olehnya itu, umat Islam
tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di madinah saja, sebab kehidupan
manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Baginya, wahyu tidak
berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu
verbal memang telah selesai dalam Al-Qur’an, tetapi wahyu non verbal dalam
bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan
besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha perbaikan mutu kehidupan
adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia
yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak
peduli agamanya adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam
membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat, yang satu
dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab setiap peradaban adalah hasil
karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Oleh karena itu dapat dikatakan liberal selalu
membuka diri pada pengembangan wawasan
pendidikan keislaman yang lebih dinamis sebagai berikut:
a. Keterbukaan pintu ijtihad pada
semua aspek.
Pendidikan liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran
rasional atau teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan
generasi Islam terus bisa bertahan dalam segala suasana dan keadaan. Penutupan
pintu ijtihad secara terbatas atau secara keseluruhan adalah ancaman atas Islam
itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan.
Pendidikan liberal percaya bahwa ijtihad
dapat diselenggarakan dalam hampir semua segi Ilahiyat (teologi), Ubudiyat
(ritual) atau Muamalat (interaksi sosial). Ruang ijtihad dalam bidang ubudiyat
memang lebih sempit jika dibandingkan dengan ijtihad di dua bidang yang lain.
b. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah
teks.
Ijtihad yang dikembangkan
oleh Pendidik liberal adalah upaya
menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio etik al-Qur’an dan sunnah nabi,
bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks.
Penafsiran yang literal hanya akan membunuh perkembangan Islam. Hanya dengan
penafsiran yang mendasarkan diri pada semangat religio etik, Islam akan dapat
hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan
yang universal.
c. Kebenaran yang relatif terbuka dan plural
Islam liberal mendasarkan diri pada
gagasan tentang kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran
adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu, terbuka,
sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar “plural,” sebab sebuah penafsiran
keagamaan dalam satu akan lain cara adalah cerminan dari kebutuhan seorang
penafsir disuatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Pemihakan pada minoritas dan tertindas
Pendidik liberal berdasarkan diri
pada suatu penafsiran keislaman yang memihak kepada yang kecil tertindas dan
dipinggirkan. Setiap struktur sosial politik yang melaksanakan praktek
ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam.
Minoritas yang dipahami dalam makna yang luas, mencakup minoritas agama, etnik,
ras, budaya, politik, ekonomi, orientasi seksual dan lain-lain. Dalam konteks
tersebut, diatas pendidik liberal mencoba memperluas wawasan berfikir yang
lebih toleran dan saling menyapah diantara sesama ciptaan Tuhan dari beragam
lapisan masyarakat, guna mewujudkan tatanan berfikir yang lebih sehat dan dinamis
dalam membentuk budaya dan peradaban yang lebih anggun dan elok.
e. Kebebasan beragama dan berkepercayaan
Pendidik liberal menganggap bahwa
urusan beragama adalah hak perorangan yang harus dilindungi. Pendidik liberal
tidak bisa membenarkan dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Kepercayaan
kepada agama dalam perspektif ini adalah
sesuatu yang pokok, jelas dan universal yang mampu membentuk karakter pribadi
yang yang lebih elegan dan mampu mengimplementasikan mana ajaran yang bersifat
dasar dan mana yang non dasar, dengan suasana demikian akan membentuk
nilai-nilai budaya berfikir yang lebih inofatif dan kreatif yang berujung
terciptanya suasana masyarakat yang
lebih humanis dan harmonis.
f. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas agama dan politik.
Pendidik liberal percaya pada
keniscayaan pemisahan antara kekuasaan keagamaan dan politik. Pendidik liberal
tidak membenarkan gagasan tentang negara agama
yang otoritas seseorang ulama atau kiyai dipandang sebagai kekuasaan
tertinggi yang tidak bisa salah. Bentuk negara yang sehat untuk pertumbuhan
agama dan politik adalah suatu negara yang dua wewenang yang dipisahkan agama
adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama
tidak serta merta mempunyai “privelse transendental” yang tidak bisa
disangkal untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya adalah
bekerja pada ruang privat dan perorangan. Urusan publik haruslah
diselenggarakan melalui proses “ijtihad kolektif”, dimana pelbagai pihak
boleh saling menyangkal kebenaran ditentukan secara induktif melalui uji
pendapat.[69]
Pendidik liberal menggambarkan
prinsip yang dianut yang menekankan kebebasan pribadi (sesuai dengan doktrin
kaum Mu’tazilah tentang kebebasan manusia) dan pembebasan struktur sosial
politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Arah Islam liberal
mempunyai dua makna sekaligus; kebebasan (kebebasan being liberal) dan
pembebasan (liberating).
Dengan tidak menafikan bidang yang lain, pendidikan Islam dianggap sebagai bentuk pendidikan yang
paling potensial dan paling praksis, bahkan paling besar pengaruhnya bagi
manusia untuk menarik mereka kepada kebaikan dan petunjuk yang benar. Menurut
pendapat ini, hasil pendidikan dengan bentuk lisan termasuk di dalamnya metode pengembangan
kualitas umat yang menyentuh
hati dan perasaan umat lewat ketauladanan pendidik.
Ketauladanan mengubah pandangan dari teori kepada realita yang dapat
disaksikan dan dirasakan serta dari perkataan kepada pelaksanaan dan pada waktu
yang sama, keteladanan merupakan metode pendidikan Islam yang disertai dalil dan bukti nyata bahwa
apa yang disampaikan itu, dapat
dipraktekkan dalam kehidupan.[70]
H.A.R. Tilaar dalam pengamatannya di dunia
pendidikan mengatakan,
pendidikan merupakan jiwanya suatu masyarakat.[71] Karena pendidikan itulah yang
memberdayakan masyarakat dengan
nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai kualitas intelektual itulah
yang telah hidup, menghidupi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat kini dan
masa depan. Sejarah memang ciptaan manusia. Kepribadian dan prilaku manusia
yang hidup di dalamnya ditentukan oleh sejarah. Manusia dalam sejarahnya pernah
mengalami masa kegelapan, kesuraman, pencerahan bahkan era madani yang penuh
peradaban. Setiap zaman memiliki paradigma tersendiri dalam memandang dan
melaksanakan pembangunan.[72] Hal ini sesuai dengan sifat
kodrati manusia sebagai makhluk yang terus berfikir dan berzikir dalam menentukan arah
peradabannya. Zikir dan fikir adalah dua pilar yang tahan bantingan di dalam sejarah.[73]
Peradaban modern yang mengandung ilmu pengetahuan
dan teknologi senantiasa melangkah ke depan (perubahan dan perombakan secara
asasi, susunan dan corak), suatu masyarakat dari statis ke dinamis, dari
tradisionalis ke rasionalis, dari feodalis ke populis dan dari pesimis ke
optimis.[74] Di
lain sisi, kita harus menyadari sebagai insan pendidik, bahwa di balik
modernisasi itu, mengandung unsur sekularisme, westernisme, kristenisme,
materialisme, ateisme dan lain sebagainya yang merupakan tantangan pendidikan
Islam.
Berkaitan dengan itu, Khursid Ahmad
pernah melontarkan pernyataannya mengenai
refleksi masa depan dunia Islam dalam
relevansinya dengan pendidikan. Beliau menuturkan: “Of all the problems that confront
muslim, the muslim world to day the education problem is the most challenging
the fuiture of the muslim world will depen upon the way is respons to this
challnging”[75]
Fenomena
tersebut di atas, merupakan tantangan pemikiran bagi pendidikan Islam. Untuk
itu, peran pendidikan Islam mutlak
diperlukan dalam memberdayakan umat
demi untuk menyeimbangkan kepentingan
bangsa dan rakyat, kepentingan individu dan masyarakat, dunia dan akhirat.
Sejarah kehidupan manusia diberbagai negara telah membuktikan bahwa pemujaan
terhadap iptek semata telah meluluhlantakkan ikatan bathin antara manusia
dengan Tuhannya. Akibatnya berbagai krisis telah melanda dunia mulai dari
krisis ekologi sampai ke krisis moral, ini diakibatkan oleh karena kebodohan
manusia. Hal ini dapat diamati dari pemikiran
Yakub Matondang di dalam meneropong perkembangan iptek bahwa :Pada
dasarnya pengetahuan adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah mu’amalah sehingga
rumusan semata boleh kecuali yang dilarang dapat diterapkan untuk ilmu
pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan dapat menjadi sangat egoistik dan secara
berlebihan merujuk kepada dirinya sendiri sehingga melampaui batas-batas
posisinya dari sekedar pengetahuan. Dalam keadaan demikian hilanglah statusnya
sebagai mu’amalah. Kadang-kadang pengetahuan mengklaim dirinya sebagai
kebenaran. Biotek dengan teori evolusinya dengan cloning misalnya sering
mengaku sebagai kebenaran mutlak yang terlepas dari Tauhid. Di sinilah perlunya
keseimbangan iptek dan imtak dalam menjaga keseimbangan kehidupan manusia.[76]
Di sinilah diharapkan peran pendidikan Islam untuk senantiasa
diaktualisasikan sehingga bisa menjadi
petunjuk sesuai dengan fungsinya antara
lain sebagai faktor pembimbing, pembina,
pengimbang, penyaring dan pemberi arah dalam hidup menuju masyarakat
yang di dalamnya tecipta persemakmuran intelektual di dalam bingkai agama
(madani). Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kecuali syari’at Islam itu
sendiri yang di dalamnya sarat dengan petunjuk ke arah kebaikan.[77]
Pendidikan Islam merupakan pangkal ketaatan dan
kebenaran, merupakan sarana untuk menciptakan manusia menjadi mukmin yang
sempurna[78] serta menjadikan manusia sebagai hamba
Allah yang shaleh dalam seluruh segi kehidupannya.[79]
Sejalan dengan itu M. Natsir pernah mengeluarkan statemen dalam rapat persatuan
Islam Bogor. Statemen tampak sederhana, tetapi kajiannya cukup mendasar yaitu “ideologi
pendidikan Islam” dikatakannya bahwa :“Maju atau mundurnya salah satu kaum
bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam
kalangan mereka”.[80]
Dari statemen tersebut di atas, memberi
isyarat bahwa majunya suatu bangsa
atau negara sangat bergantung pada
kepedulian pimpinan bangsa tersebut kepada pendidikan guna memberdayakan
kualitas umat manusia dari berbagai
lini.
Pembentukan masyarakat madani
sangatlah ditentukan oleh dunia pendidikan, dalam artian, pendidikanlah yang
mengakomodir tantangan–tantangan
tersebut, baik dari dalam maupun dari luar terutama di era globalisasi.
Pendidikan Islam dengan demikian haruslah didasarkan pada paradigma-paradigma baru yang bertolak dari pengembangan
intelektual yang dibingkai dengan agama sehingga dapat berkarya dan mengambil
keputusan yang manusiawi.
Hal tersebut di atas, disebabkan antara lain, karena menyentuh
mereka dari ajaran agama selama ini baru segi-segi ibadah ritual, sedangkan
segi lainnya walaupun sudah disentuh dan dilaksanakan masih terbatas hanya
dalam bentuk individual, tidak dalam bentuk kolektif sehingga hasilnya pun
belum sesuai dengan yang dicita-citakan.[81]
Seharusnya
materi pendidikan Islam yang
disampaikan oleh pendidik dapat memenuhi beberapa kriteria konsumtif dan
aplikatif. Konsumtif dalam arti disesuaikan dengan kemampuan dan tingkat
berfikir anak didik. Materi harus aplikatif dalam arti bahwa materi tersebut
dapat memberikan bahan atau pelayanan masyarakat sesuai dengan keperluan
hidupnya. Materi yang disampaiakan mampu memberikan tuntunan hidup yang selaras
dan seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.
F. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam berupaya untuk
menumbuhkan pemahaman dan kesadaran manusia sama di depan Tuhan. Tujuan manusia
dalam pendidikan adalah kebebasan menuangkan ide-ide, yang tidak memungkinkan
suatu individu memikul beban individu yang lain dan hanya berhak atas hasil
kerjanya sendiri. Umat Islam adalah umat
yang dinamis, orentasi dunia tidak boleh dikalahkan oleh orientasi akhirat
sehingga produktifitas umat dalam berbagai bidang meningkat karena adanya
antusiasme. Antusiasme adalah prasyarat kebebasan sehingga akan melahirkan
kemakmuran intelektual.
Terkait
dengan liberalisasi pendidikan Islam, maka
seorang pendidik liberal selalu berusaha membuka diri pada pengembangan
wawasan pendidikan keislaman yang dinamis salah satu di antaranya adalah dengan mendasarkan diri pada suatu penafsiran
keislaman yang memihak kepada yang kecil, tertindas dan yang dipinggirkan.
Pendidik liberal mencoba memperluas wawasan berfikir yang lebih toleran guna
mewujudkan tatanan berfikir yang lebih
sehat dan dinamis dalam membentuk budaya dan peradaban yang lebih elok dan anggun.
Bagi
seorang pendidik liberal kebaikan tertinggi adalah kecerdasan kritis yang
dirumuskan dalam pemecahan masalah secara efektif baik ditingkat personal
maupun social. Tujuan jangka panjang yang diinginkan dari pendidikan adalah
melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan social yang ada sekarang dengan cara
mengajar setiap peserta didik untuk mengatasi masalah-masalah kehidupannya
sendiri secara efektif.
KEPUSTAKAAN
Abdillah, Maskuri, Islam dan Politik
Orde Baru, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1998
Ahmad,Khursid, ”Islam and The Problem Of Education,” al Jami’ah, no 5 tahun 1979.
Al-Abrasyi,
Moh. ‘Atiyah, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam , Penerjemah Bustani A.
Gani dan Johar Bahri, Jakarta:
Bulan Bintang, 1970
-------, Al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Falsafatuha, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1975
-------, Al-Tarbiyah
al-Islamiyah, T.t;, t.pn, t.th
Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Al-Tarbiyah
fi al-Islam, Mesir: Dar al-Ma'arif, t.th
Al-Ainain,
Abu Khalil Abu, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim, T.t:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1980
Al-Anshori, Fauzan, Melawan Konspirasi Jaringan
Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka
al-Furqan, 2003
Al-Din, Abd al-Amir Syams, Al-Fikr
al-Tarbawi inda Ibn Khaldun wa Ibn Azraq, Libanon: Dar Iqra, 1983
-------, Mazhab al-Tarbawi
inda Ibn Jama'ah, Libanon: Dar Iqra, 1983
Ali,
Mukti, dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyayakarta:
Tiara Wacana, 1998
Al-Raziy, Muhammad ibn. Abi Bakr ibn Abd.
al-Qadir, Mukhtar al-Sihah, Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1414/1994
Al-Wakil, Muhammad Sayyid, Wajah Dunia Islam: Dari Dinasti Bani Umaiyah hingga Imprilisme
Modern, Penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998
Amin, Qasim, Tharir al-Mar”ah, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th
Andi Rasdiyanah, Butir-butir pengarahan Direktur Jendral
Pembinaan Kelembagaan agama Islam ,
dalam pelatihan Peningkatan Wawasan
Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Bagi Dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum, Bandung: 11 September 1995
Anshari, H. Endang Saifuddin, Kuliah Al-Islam ,Jakarta: Rajawali, 1989
Anwar, M.
Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995
Arnold, Mathew, Cultyure and Anarchy,
London:
Cambride University Press, t.th
Ashraf, New Horizon in Muslim Education,
London:The
Islamic Academy, Cambridge
University, 1985
Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim &
Pendidikan Islam, Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1999
-------, Pendidikan
Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000
Efendy,
Djohan, Adam, Khudi, dan Insan Kamil Pandangan Islam tentang Manusia dalam
M. Dawam Raharjo, (Penj), Insan Kamil dan Konsep Manusia menurut Islam, Jakarta: Garafitti Press, 1985
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, Jakarta:
Paramadina, 1998
-------, yang memberi
pengantar, pada Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996
Fachri Aly dan Bahtiar
Effendy, Merambah jalan Baru Islam,
Bandung: Mizan,
1987
Fadjar, A. Malik, Reorintasi
Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia,
1999
Fakih, Mansur, Mencari
Teologi Untuk Kaum Tertindas dalam 70 Tahun Harun Nasution.
Freire, Paulo, Pendidikan Masyarakat Kota,
Jogjakarta: LKiS., 2003
-------, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho, Jakarta Gramedia, 1984
-------, The Politic
of Education; Culture, Power, Libaration yang dialih bahasa Agung
Prihantoro dan Fuad Arif fudiyarto, Dalam
Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan. Dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1999
George Khan, “Indonesia Politiks and
Nationalism” dalam William L. Holland (ed.) Asian Nationalism and the
West, New York:
Macmillan, 1953
Graudy,
Roger, Janji-Janji Islam,
Terjemahan Rasyidi, Jakarta:
Bulan Bintang 1982
H.
A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan
dan Masyarakat Madani Indonesia;
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Haji Abdullah, Abdul Rahman, Pemikiran
Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran Jakarta: Gema Insani Press, 1997
Hartoko, Dick, Kamus
Populer Filsafat, Jakarta: Rajawali, 1986
Hidayat, Komaruddin, “Reposisi
Peran Agama,” Kompas, No.
164 Tahun-35, 27 April 1999.
Iqbal,
Muhammad, The Reconstruction of Religions Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan,
1981
Karim, M. Rusly, Cendikiawan Muslim Indonesia dan
Politik Orde Baru, Yogyakarta:Tiara
Wacana, 1998.
Kurzaman, Charles (Edt), Wacana Islam Liberal,
Pemikiran Islam Kontemporer Tentang
Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina, 2003
Kurzaman, Charles, Liberal Islam:A Sourcebook,
Oxford University Press,1988
L.
Stoddard, The New World of Islam,
diterjemahkan oleh H.M. Muljadi Djojomardjono, dkk., Dunia Baru Islam,
Jakarta:t, tp.,1966
Leonard, Binder, Introduktion Islamic
Liberalism, Chicago: University Press, 1988
M. Imran, al-Amal al-Kamlat yang
dirujuk oleh Arbiah Lubis Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh salah
satu studi perbandingan, Jakarta;
Bulan Bintang, 1993
M.Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno- A.Hassan, Yogyakarta: Sumber Ilmu,1985
Maarif, Ahmad Syafii, Peta
Bumi Intelektual Islam Di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993
-------, Peta
BumiPemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1992
-------, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3S, 1985
Madjid,
Nurcholis, Cita-cita politik dalam Aspirasi umat Islam Indonesia (Jakarta: Leppenas, 1993) , Karim, M. RusliPendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam
Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam
di Indonesia Antara Cita dan Falta, Yogyakarta: tiara Wacana, 1991
-------, Islam Kemoderenan
Dan Keindonesiaan, Bandung:
Mizan, 1989
Mahmud, Ali Abd. al-Hamid, Fiqh
al-Dakwah al Fardiyyah, dialih bahasa As’ad Yasin dengan judul Dakwah
Fardiyah Metode Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1992
Mansur, Amril, Paradiqma Baru Reformasi
Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta:
UI Press, 2006
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta:
Bumi Aksara, 1991
Matondang, Yakub,
Perguruan Tinggi Islam Sebagai Subjek Dan Dan Objek Moral Akademik Di
Era Globalisasi, Dalam, Perguruan
Tinggi Islam Di Era Globalisasi, oleh Syahirin Harahap (Ed.), Yogyakarta:
Tira Wacana, 1998
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran
dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Yogyakarta:Kreasi
Wacana, 2002
Nasr,
Seyyed Hossein, A.Young Muslim Guide To The Modern World, diterjemah
oleh, Hasti Tarekat, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum
Muda Muslim, Bandung : Mizan, 1994
Nasution, Harun dan Azumardi Azra
(Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985
-------, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995
-------, Pembaharuan dalam Islam:
Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1975
Nata, Abuddin, Paradigma
Pendidikan Islam, Jakarta:Gramedia,2001
Nuh, Sayyid Muhammad, Manhaj
ahl al Sunnah Waal Jama’ah Fi Qadiyyat al-Taqayyur Bi Janibaih al-Tarbawi Wa
al-Da’awiy ,t.tp: Dar al-
Wafa al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1991
O'neil,
William F., Ideologi Ideologi Pendidikan, Penerjemah Omi Intan Naomi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002
Raharjo, M.
Dawam, Intelektual Intelegensi dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendikiawan Islam, Bandung: Mizan, 1999
Rahman, Fazlur,
Islam and Modernit, Transformation of an IntelectualTradition Chicago:
The University of
Chicago Press, 1982
Sadili, Hasan, Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jilid IV,
1983
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan 1995
-------, Wawasan Al-Qur’ān, Bandung:
Mizan, 1996
Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta:LP3S, 1984
-------, Pembangunan dan Pembebasan , Jakarta: LP3S, 1984
Suwito dan Fauzan (Ed), Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara,
Bandung: Angkasa, 2004
-------, Sejarah
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung:Angkasa, 2003
Suwito, Pada Pidato Pengukuhan Pendidikan Yang Memberdayakan, IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2002,
h.10
Syekh Ali Mahfuz, Hidayat al-Musyidin,
Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah, 1958
Thahir,
Lukman S., Gagasan Islam
Liberal Muhammad Iqbal, Jakarta:
Ilmu Jaya, 2002
Wahid,
Sayed Abdul, Thought and Reflektions of Iqbal, Lahore:Muhammad Ashraf. 1964
Zai'ur, Syaqiq Muhammad, Al-Fikr
al-Tarbawi inda Al-'Almawi, T.t: Dar
Iqra, t.th
[1] Pendidikan sebagai sarana
efektif dalam membentuk kepribadian seseorang dilihat dari sisi akhlak maupun
keberhasilan seseorang dalam berusaha, suasana demikian akan mengharuskan
lembaga pendidikan bisa menunjukkan kepada masyarakat akan keberhasilan dan
prestasi yang pernah diraihnya. Keberhasilan suatu pendidikan bisa dikatakan
sebagai keberhasilan sistem dimana antara unsur pendidikan yang satu dengan
unsur pendidikan yang lain harus saling menunjang, baik keberhasilan secara
kognitif, afektif, psikomotorik maupun
keberhasilan secara spiritual. Lihat Suwito dan Fauzan (Ed), Sejarah
Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung:Angkasa,
2003), h.V-VI. Bandingkan pula, Suwito
dan Fausan (Ed), Perkembangan
Pendidikan Islam di Nusantara, (Bandung:
Angkasa, 2004).
Pendidikan dapat dimaknai
sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani bagi terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Berdasarkan budaya pendidikan sekurang-kurangnya mengandung
lima unsur penting, yaitu pertama, usaha
(kegiatan) yang bersifat bimbingan (Pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan
secara sadar, kedua pendidikan atau bimbingan atau penolong, ketiga, ada yang
didik atau siterdidik, keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan,
kelima, dalam proses pendidikan terdapat alat-alat yang dipergunakan. Lihat,
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:Gramedia,2001), h. 5
[2] Terminologi Liberalisme (Latin=liber, bebas) adalah suatu faham
atau aliran yang tumbuh di Eropa Barat pada abad ke-18 dan 19. Aliran yang
dirintis oleh Locke, Rousseau, Adam Smith dan J.S, Miil ini, berpangkal pada
kebebasan individu dan usaha perjuangannya adalah menuju kebebasan. Di lain
sisi aliran ini dibedakan anatara liberalisme politik dan rohaniah dan di lain
pihak liberalisme ekonomi dan pendidikan. Liberalisme rohaniah dan pendidikan
berdasarkan pada pemikiran dan keyakinan bahwa sumber kemajuan terletak pada
perkembangan kepribadian manusia yang bebas yang masyarakatnya dapat menuai
keuntungan sepenuhnya dari daya cipta manusia melalui proses pendidikan.Lihat
Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1986), h.55.
Lihat pula Hasan Sadili, Ensiklopedi
Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jilid IV, 1983),h. 2005.
[3] Suwito, Pendidikan Yang
Memberdayakan, Pidato pengukuhan Guru Besar IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanggal 3 Januari 2002, h.10
[5] Charles Kurzaman, Liberal Islam:A Sourcebook, (Oxford
University Press,1988). Lebih lanjut Kurzaman mendefenisikan “Islam Liberal”
sebagai kelompok yang secara kontras berbeda dengan Islam adat (customary
Islam) dan Islam revivalis (evivalis Islam).
Customary Islam adalah sebuah Islam yang ditandai dengan
kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang juga dilakukan
diseluruh dunia Islam. Misalnya penghormatan
terhadap orang-orang yang
dianggap suci, juga pertunjukan-pertunjukan ritual yang mengapresiasikan
tradisi-tradisi di daerah, seperti
membunyikan bedug, tradisi musikal, menghormati ruh-ruh, perayaan tahun
baru Islam dan sebagainya.
Revivalis Islam adalah, sebuah kelompok Islam yang bisa
dikatakan sebagai “Islam Fundementalis”
atau “Wahabisme”. Islam revivalis menyerang Customary Islam, karena Islam
Custumary dianggap kurang memberi perhatian pada inti doktrin Islam.
Sementara tradisi Islam Liberal adalah tradisi Islam yang menghadirkan masa
lalu dalam konteks modernitas, dan menyatakan bahwa Islam jika dipahami secara benar maka ia akan
sejalan dengan liberalisme barat. Tentang bentuk-bentuk Islam Liberal dapat dibedakan menjadi tiga.
Islam liberal secara eksplisit didukung oleh syari’ah, silent
syariah, yaitu sikap liberal yang
dibiarkan oleh syariah, karena syari’ah boleh diinterpertasikan secara terbuka
oleh siapa saja, ketika interpertasi atas syari’ah (hukum) Islam sehingga siapa
saja bisa melakukannya. Pendek kata, Liberal Islam dapat dikategorikan menjadi
tiga; Liberal Syari’ah, Silent Syariah dan Interpreted Syariah.
Sementara itu, Leonard Binder mengemukakan bahwa bagi kaum muslim
liberal, bahasa al-Qur’an sebenarnya merupakan hal yang sederajat dengan
hakekat wahyu, namun isi dan pewahyuannya tidak bersifat verbal. Karena
al-Qur’an tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan. Naka diperlukan
upaya pemahaman yang berbasisi kata-kata, namun bukan hanya terbatas pada
kata-kata namun harus mencari apa yang hendak disampaikan oleh bahasa wahyu
tersebut. Lihat Leonard Binder, Introduction Islamic Liberalism, (Chicago:
University Press, 1988).
[8] Sikap seperti ini bertitik tolak dari
konsepsi Al-Qur’an, bahwa manusia pada dasarnya baik, suci dan cinta kepada
kebenaran dan kemajuan. Manusia diciptakan Allah dalam keadaan fitrah dan
berwatak hanif. Olehnya itu salah satu manifestasi adanya gagasan maju, ialah
kepercayaan akan masa depan manusiadalam perjalanan sejarahnya. Lihat
Al-Qur’an, antara lain Surah, 8:53; 13:11; 16:78.
[9] Pandangan dan kesan seperti ini, lebih
jelas diungkapkan Roger Graudy, bahwa
salah satu tidak berkembangmnya filsafa dan ilmu-ilmu yang beruatan
pendidikan dan lainnya dalam kebudayaan Islam, adalah sikap penolakan mereka
terhadap perkembangan pemikiran manusia yang kreatif. Lihat Janji-Janji
Islam, Terjemahan Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang 1982), h.167.
[10] Menurut Fazlur Rahman, hilangnya semangat
tersebut karena adanya pemahaman yang dikotomik, antara ilmu-ilmu sekuler
isuatu pihak dan ilmu-ilmu agama dipihak lain sebagaimana yang dilakukan oleh
Al-Ghazali. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, Transformation of an
Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982),
h.48
[13]
Pembaharuan revivalis pra-modernis, khususnya gerakan Ibn, Abd al-Wahhab,
dengan tepat digambarkan sebagai “denyut pertama kehidupan” dalam Islam setelah
kemorosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumnya. Ciri-ciri umum
gerakan ini, dijelaskan oleh Fazlur Rahman, anatara lain: 1) Suatu keprihatinan
yang mendalam dan berubah tarhadap kemorosotan sosial –moral masyarakat Muslim,
2) Suatu himbauan untuk kembali ke Islam orisinil, meninggalkan takhyul-takhyul
yang dinamakan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan
tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional dan berusaha
melaksanakan ijtihad. Untuk lebih lengkapnya, lihat Harun Nasution dan Azumardi
Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1985), h.21-22
[14] Pada umumnya kaum Modernis mempunyai latar belakang revivalis,
seperti Sayyid Akhmad Khan, Jamaluddin
al-Afgani dan Muhammad Abduh. Pandangan-pandangan mereka tidak jauh berbeda dengan dengan kaum revivalis
pra modernis. Yang baru pada kaum modernis, adalah perluasan mereka pada
isi ijtihad. Lingkungan mental mereka
secara radikal telah terbuka dari apa yang dihadapi kaum revivalis dan mereka
telah terbuka pada gagasan-gagasan Barat, berkat kontak mereka dengan pemikiran
dan masyarakat Barat. Lihat Harun Nasution dan
Azumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam, h. 26-27
[19] Harun Nasution merinci ciri-ciri teologi
sunnatullāh yaitu: 1. Kedudukan akal yang tinggi. 2. Kebebasan manusia dalam
kemauan dan perbuatan. 3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran
dasar dalam al-Qur’ān dah hadis yang
sedikit sekali jumlahnya. 4.
Percaya adanya sunnatullāh dan kausalitas . 5. Mengambil arti metaforis dari
teks wahyu. 6. Dinamika dalam sikap berfikir. Harun Nasution, op. cit., h
112. Lihat Pula , Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat
Kontemporer, (Yogyayakarta: Tiara Wacana, 1998), h.253-256.
[20] Harun Nasution dan Azumardi Azra (Penyunting), Perkembangan
Modern dalam Islam, 112. Lihat Pula, Seyyed Hossein Nasr, A.Young
Muslim Guide To The Modern World, diterjemah oleh, Hasti Tarekat, Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum
Muda Muslim (Bandung : Mizan, 1994),
h. 93.
[21] Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia
Islam: Dari Dinasti Bani Umaiyah hingga
Imprilisme Modern, Penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 1998), h. 127. Lihat pula Moh. ‘Atijah al-Abrasi, Dasar-dasar
Pokok pendidikan Islam , Penerjemah Bustani A. Gani dan Johar Bahri (Jakarta:
Bulan Bintang, 1970), h. 19.
[22]Djohan Efendy, Adam, Khudi, dan Insan
Kamil Pandangan Islam tentang Manusia dalam M. Dawam Raharjo, (Penj), Insan
Kamil dan Konsep Manusia menurut Islam (Jakarta:
Garafitti Press, 1985), h, 135
[23]Nurcholis Madjid, Cita-cita politik
dalam Aspirasi umat Islam Indonesia (Jakarta: Leppenas, 1993), h. 9.
[24] M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam
Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam
di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: tiara Wacana, 1991),
h. 32.
[25] Fachri Aly dan Bahtiar Effendy, Merambah jalan Baru Islam, (Bandung:
Mizan, 1987), Lihat Pula Bahtiar Effendy, yang memberi pengantar, pada Oliver
Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996)
[26] Tipe pertama pemikiran formalistik dari kalangan cendikiawan
Muslim merupakan tipologi pemikiran Islam yang mengutamakan dan menehguhkan
ketaatan secara ketat pada format-format ajaran Islam. Tipe kedua, pemikiran subtansialistik,
pola pemikiran ini mengajukan argumen bahwa yang paling penting dari seseorang
adalah aksentuasi substansi iman atau peribadatan, bukan hal-hal yang sifatnya
simbolik formalistik dan ketaatan literal kepada teks wahyu Tuhan dalam
keberagamaan. Al-Qur’an dan al-Hadis Nabi harus ditafsirkan kembali secara
runut berdasarkan generasi kegenerasi, tidak mandeg pada suatu tafsir saja,
atau satu mazhab saja. Tipe ketiga, pemikiran transformatik, sebuah
pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan.
Oleh sebab itu secara terus menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang
dapat melakukan motivasi dan menstransformasi ,masyarakat dari pelbagai
aspeknya dalam skala teoritis maupun praksis.
Tipe keempat, pemikiran totalistik, adalah sebuah pola pemikiran
yang mendasarkan bahwa Islam merupakan doktrin yang kaffah (total), mengandung wawasan dan
nilai-nilai yang bersifat komplit dan langgeng yang meliputi seluruh aspek
sosial, politik, ekonomi, segi-segi individu, kolektif maupun masyarakat,
menurutnya tidak ada ruang kosong untuk menerima partikularistik dan
kemajemukan dengan dasar Islam. Hanya dengan dasar Islam inilah problem
kemanusiaan akan dapat diselesaikan dan kehancuran manusia akan dapat
diselamatkan. Tipe kelima, pemikiran idealistik, sebuah pemikiran Islam
yang mengarah pada “Islam cita-cita”
(ideal Islam) sebagai dasar perjuangannya. Islam cita-cita itu tercermin dalam
dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi, namun tidak banyak dipraktekkan dalam tingkah
laku politik umat Islam. Keenam, Pemikiran realistik. Pemikiran ini
berusaha menempatkan antara Islam doktrin (ajaran Islam) sebagai ajaran
subtansialis dengan realitas sosial kultural yang ada dan terus berkembang
sesuai dengan kontek masyarakatnya. Islam sebagai sebagai agama harus
dihadirkan secara kontekstual dan realistik dalam keragaman, yang diwarnai
situasi sosial kesejarahan para pemeluknya. Uraian lengkap dapat dilihat, M.
Syafii Anwar Pemikiran dan Aksi Islam
Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995).
[28] M. Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik
Bangsa, (Bandung: Mizan, 1992),
h.23-41
[29] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan
Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989). h.172.
[30] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998). A.Syafii Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S, 1985). M. Rusly Karim, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde
Baru, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1998). Maskuri Abdillah, Islam dan
Politik Orde Baru, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1998).
[31] Komaruddin Hidayat, “Reposisi Peran
Agama,” Kompas, No. 164 Tahun-35,
27 April 1999, h. 6.
[35] Muhammad ibn.
Abi Bakr ibn Abd. al-Qadir al-Raziy, Mukhtar al-Sihah (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1414/1994), h. 647.
[37] Lihat Q.S. al-Dukhān (44): 13.
[39] Di antara kritik yang dilontarkan adalah
kurikulin al-Azhar banyak menekankan kepada perbedaan pendapat daripada
mempelajari nilai argumentasi, perbedaan bahasa daripada arti dan tujuan
gramatika bahasa, hukum-hukum fiqih yang timbul dalam saat tertentudaripada
metode penilaian hukum-hukum tersebut untuk dijadikan pedoman. Olehnya itu Abduh mencariilmu-ilmu yang
disebut oleh Syekh Darwisy di luar
al-Azhar. Ilmu-ilmu itu ia jumpai pada seseorang ulama bernama Syaikh Hasan
Thawil yang mengetahui falsafat. Logika ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik.
Akan tetapi Abduh kurang puas dengan pelajaran yang diberikannya. Kepuasan
dalam mempelajari falsafat, matematika, teologi dan sebagainya ia peroleh dari
Jamal al-Din al-Afghani yang datang ke Mesir pada tahun 1870.. Lihat Pidato
Pengukuhan Suwito, Pendidikan Yang
Memberdayakan, h.1-2
[40] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 65. Bandingkan pula Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung:
Mizan, 1995), h.8.
[41] Bidang-bidang lain yang dimaksud adalah:
1) Kemunduran dibidang agama, 2)keterbelakangan dalam akhlak, 3)
keterbelakangan di bidangilmu pengetahuan, 4) keterbelakangan dalam bidang
teknologi, 5) keterbelakangan dalam bidang ekonomi, 6) keterbelakangan dalam
bidang sosial, 7) keterbelakangan dalam bidang kesehatan, 8) keterbelakangan
dalam bidang politik, dan 9) keterbelakangan dalam bidang manajemen. Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, h.3-4.
[46] Paulo Friere, The Politic of Education; Culture, Power,
Libaration yang dialih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad Arif fudiyarto, Dalam Politik Pendidikan,
Kebudayaan, Kekuasaan. Dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1999), h. 172.
[47] Paulo Friere, The
Politic of Education; Culture, Power, Libaration yang dialih bahasa Agung
Prihantoro dan Fuad Arif fudiyarto, Dalam
Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan. Dan Pembebasan, h. 173.
[49] Syahrun Harahap, Islam Dinamis, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1997), h. 118.
[50] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan,
terjemahan A.A. Nugroho (Jakarta Gramedia, 1984), h. 6-7. Lihat Juga Ahmad Syafii Ma'arif, Peta Bumi Pemikiran Islam
di Indonesia, h. 29.
[51] Paulo Freire,
Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho (Jakarta
Gramedia, 1984), h. 7
[52] Soedjatmoko, Etika Pembebasan (Jakarta:LP3S, 1984) h. V.
[53] Soedjatmoko, Pembangunan dan Pembebasan ,( Jakarta:
LP3S, 1984) h. 5.
[54]
Ini sama dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh al-Ghazali dalam
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, (T.t: t.pn,
t.th), h. 9. Ibn Khaldun sebagaimana yang dikutip oleh Athiyah
merumuskan dua tujuan pendidikan, 1). Tujuan yang berorientasi akhirat yaitu
membentuk hamba-hamba Allah yang dapat melaksanakan kewajibannya kepada Allah.
2). Tujuan yang berorientasi dunia yaitu membentuk manusia-manusia yang mampu
menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfat bagi orang
lain. Lihat M. Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha,
(Mesir: Isa al-Babi al-halabi, 1975), h. 277.
[55] Lihat Q.S. ar- Al-Rād (13): 11.
[56]M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensi dan Prilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendikiawan Islam (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1999), h. 450. Lihat
Juga Qasim Amin, Tharir al-Mar”ah (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th). h. 38.
[57]Mansur Fakih, Mencari Teologi Untuk
Kaum Tertindas dalam 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat: Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam, h. 176
[58]Andi Rasdiyanah, Butir-butir pengarahan Direktur Jendral
Pembinaan Kelembagaan agama Islam ,
dalam pelatihan Peningkatan Wawasan
Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Bagi Dosen Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (Bandung: 11
September 1995), h. 4-7.
[59] M. Imran,
al-Amal al-Kamlat yang dirujuk oleh Arbiah Lubis Pemikiran Muhammadiyah
dan Muhammad Abduh salah satu studi perbandingan (Jakarta; Bulan Bintang,
1993), h. 153.
[60]M. Imran, al-Amal al-Kamlat yang
dirujuk oleh Arbiah Lubis Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh salah
satu studi perbandingan, h. 153.
Lihat pula, Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia:
Sejarah dan Aliran (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),h.198-199.
[61]Rusli Karim, M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam
Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam
di Indonesia Antara Cita dan Fakta, h.34.
[62]Rusli Karim, M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam
Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam
di Indonesia Antara Cita dan Fakta, h.34.
[63] Hoyle, Strategi Of Curiculum Change, h-36-37.
[64] Ashraf, New Horizon in Muslim Education, (London:The Islamic
Academy, Cambridge University, 1985), h.31.Lihat pula, Amril Mansur, Paradigma
Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 274-275.
[65] Charles Kurzaman (Edt), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta:
Paramadina, 2003), h.xxiii, Bandingkan
Juga, Leonard Binder, Islamic Liberalism A. Critique of Development
Ideologis, h. 4
[66] M.Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno- A. Hassan, (Yogyakarta:
Sumber Ilmu,1985), h.75-89.
[67] M.Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno- A. Hassan, h.75-89.
[68] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
(Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2002), h. 44.
[69] Fauzan al-Anshori, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003).
[70] Ali Abd. al-Hamid Mahmud, Fiqh
al-Dakwah al Fardiyyah, dialih bahasa As’ad Yasin dengan judul Dakwah
Fardiyah Metode Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992), h. 170.
[72] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (
Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 5.
[74] H. Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam (Jakarta: Rajawali, 1989),
h 176-177.
[75]Dari sekian banyak permasalahan yang
merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini maka masalah pendidikan
merupakan masalah yang paling menantang masa depan dunia Islam tergantung
kepada cara bagaimana Islam meresponi dan memecahkan tantangan itu. Lihat Khursid Ahmad,”Islam and The Problem Of
Education,” al Jami’ah, no 5 tahun 1979, h. 1.
[81]M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an (Bandung: Mizan 1995),h. 243-244.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar