Sabtu, 12 Desember 2015

LIBERALISASI PENDIDIKAN



LIBERALISASI   PENDIDIKAN ISLAM
(Upaya Peningkatan Kualitas  Umat)
By

Muh.Idris
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN  Manado
e-mail :idrispasca_uin@yahoo.co.id

A. Pendahuluan
   Dewasa ini, wacana  Pendidikan,[1] telah menjadi icon yang menarik untuk diperbincangkan di kalangan pemikir pendidikan. Bahkan menyedot perhatian besar di kalangan pemerhati pendidikan. Hal ini, sejalan dengan kemajuan dan perkembangan zaman yang semakin pesat dan  canggih   akibat   kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi. Kemajuan pemikiran Islam syarat dengan  pendidikan liberal (penuh kreativitas).[2]   Hal tersebut dipandang penting, namun pendidikan yang ada telah mengabaikan nilai fitrah manusia yang memiliki kebebasan. Nilai kebebasan  yang ada di dalam diri individu manusia saat ini diambil alih  oleh individu yang lain dengan mengatasnamakan demokrasi. Lebih nyata dalam realitas kehidupan, mengambil hak-hak individu yang lain melalui lembaga dengan dalih demokrasi dan kualitas.
Sejalan dengan itu, Prof Dr Suwito, MA., berargumen bahwa pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik[3]. Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai ”sabda pandita ratu” yang mesti harus dilaksanakan. Dengan demikian akan melahirkan manusia yang bermentalitas di bawah bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran yang harus tunduk dan patuh  pada perintah yang ada, betapapun anehnya perintah itu.
 Seorang pakar pendidikan Paulo Freire misalnya, memberikan ilustrasi bahwa pendidikan dewasa ini melalui lembaga sekolah membentuk  insan-insan robot yang bekerja bagaikan mesin yang bekerja secara mekanik, manusia secara bertahap dipangkas kemerdekaan dan kebebasannya dalam bertindak.  Secara sederhana Freire menegaskan bahwa  “konsistensi yang absolut akan membuat hidup ini menjadi sebuah pengalaman yang tidak harum, tidak berwarna, dan tidak terasa”.[4] Atas dasar tersebut Freire memilki konsep deschooling, belajar tanpa sekolah. Sebab belajar dapat dilakukan di luar institusi sekolah bahkan dalam ruangan terbuka sekalipun.
  Pada dasarnya krakteristik pemikiran Islam mengenai pendidikan Islam liberal,[5]  cenderung bersifat organik, sistematis dan fungsional dengan akar paradigma yang mengacu pada al-Quran, al-Sunnah dan kretivitas berfikir (liberal/Ijtihad). Fungsionalisasi pemikiran pendidikan Islam merupakan manefestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi, maka itu bermakna manusia dapat mewujudkan kebaikan dan kemuliaan.
Bagi pendukung liberlisme pendidikan, kebaikan tertinggi adalah kecerdasan kritis yang dirumuskan dalam ranah pemecahan masalah secara efektif, baik ditingkat personal maupun social. Manusia bersifat rasional dan nalarnya sendiri saja mampu memapankan hubungan timbal balik yang diperlukan antara kepentingan diri yang tercerahkan dengan kepentingan-kepentingan terbaik orang  lain secara menyeluruh.[6] Bagi kaum pendidik liberal, tujuan jangka panjang pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan social yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif.[7]
Dengan demikian, pendidikan harus selalu mencerminkan nilai-nilai kebebasan (liberal) dari berbagai aspek yang syarat dengan fitrah manusia  itu sendiri diamanapun tempatnya selalu  memberi kesejukan yang penuh muatan pendidikan, yang ujung-ujungnya memberi  gagasan-gagasan segar yang lebih konstruktif, positif dan produktif. Citra pendidikan seperti itulah  yang mampu memenuhi logika dan dinamika persaingan di masa depan.
B. Manusia dan Kebebasan
            Sebagai konsekwensi logis dari tujuan manusia dalam pendidikan adalah kebebasan menuangkan ide-ide, yang tidak memungkinkan suatu individu memikul beban individu yang lain dan hanya berhak atas hasil kerjanya sendiri dalam bingkai akademik. Karenanya manusia harus secara terus menerus membuat berbagai pilihan dalam suatu kehidupan yang selalu menentangnya untuk merubahnya. Dia mempunyai kebebasan untuk memilih antara yang baik dan yang buruk, dan bertanggung jawab sepenuhnya bagi setiap pilihan  yang dilakukannya.
            Jika pilihan bebasnya menunjukkan kepada hal-hal  yang baik, maka ia akan menjadi seorang yang Mukmin yang tidak akan pernah larut dalam gulungan cakrawala, tapi sebaliknya, jika pilihan itu pada hal-hal yang buruk, maka ia akan menjadi seorang kafir (pembangkang). Kerena itulah orang Mukmin dengan kebebasnnya, tidak akan pernah kehilangan arah dalam menghadapi berbagai kemelut kemanusiaan. Ia tampil sebagai orang yang merdeka, merekayasa alam semesta yang diberikan padanya tetapi tidak menafikan aspek transendental. Tuhan sebagai Pembebas terakhir.  Karena Orang Kafir larut dalam cakrawala dan orang Mukmin cakrawala larut dalam alam pikirannya.
            Refleksi kebebasan berfikir sadar dan mengakui bahwa anugerah kebebasan manusia harus difungsikan dan bahwa fungsionalisasi kebebasan ini, merupakan manifestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan di Bumi, maka itu bermakna manusia dapat mewujudkan kebaikan.
            Islam mengakui, bahwa fitrah manusia secara ontologis adalah menjadi subjek yang bertindak sesuatu dan selalu megubah dirinya. Dengan demikian, bergerak menuju kemungkinan-kemungkinan yang selalu baru bagi kehidupan yang lebih kondusif  dan relistis.[8] Dengan demikian pendidikan seharusnya selalu memberikan opsi-opsi kebebasan pada  manusia guna menata dan menetapkan cara-cara berfikir dan prilaku yang konstruktif, inovatif dan produktif.
            Tetapi yang terjadi sekarang adalah, bahwa umat manusia kehilangan dinamika, kreativitas dan progresivitas. Kajian  yang kritis dan mendalam terhadap pemikiran-pemikiran keislaman tidak dapat berkembang secara alami. Hal ini terjadi, bukan saja karena adanya sikap penolakan terhadap pemikiran manusia yang kreatif.[9]
            Sementara di Eropa, menurut Arkoun,[10] Pemahaman dan penafsiran ilmiah dalam konteks yang telah dibumikan (lewat pendekatan ilmu-ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya), mulai abad VI, telah disebarkan oleh Luther dan zaman renaissance. Dalam masyarakat Muslim, sikap dan pemahaman ortodoksi yang bersifat skolastik, pengulangan kata-kata yang melebihi dari cukup dan tidak luwes, memaksa munculnya pemahaman dan pandangan yang semakin bertambah sempit terhadap Islam itu sendiri.
            Arkoun  bermaksud, bahwa pemahaman Islam yang bersifat liberal dan banyak dimensi (plural) dengan berbagai aliran pemikiran yang saling berlomba mempertajam konsep seperti yang pernah yang terjadi dari abad II sampai abad VI (Abad VII sampai dengan XII M) telah dilupakan dan malah sengaja dihapuskan dalam setiap negara Muslim, lewat penekanan dan pemaksaan terhadap satu aliran hukum yang resmi (official). Sekarang, ketika seorang Muslim menuntut untuk menghidupkan ajaran Islam yang otentik dan asli, semua tuntutan itu sebenaranyahanya menujuk pada pemahaman Islam yang bersifat monolitik, miskin nuansa dan semakin bertambah sempit, terpotong dari akar debat intelektual yang sangat kaya nuansa di antara pemikir selama priode klasik.
            Kondisi demikian, secara psikologis bukan karena lemahnya potensi intelektual atau kualitas pendidikan yang dimiliki oleh umat Islam, tetapi hal tersebut, meminjam ungkapan Arnold[11],  karena tidak adanya arus pemikiran yang segar dan bebas dari paham dan kepercayaan yang ada, yang sekarang ini dipegang oleh umat Islam dan bahkan tanpa dipikirkan.
            Sikap seperti ini, menurut Stoddard, dimulai ketika khalifah Abbasiyah berkoalisi dengan  golongan agama konservatif, golongan yang membela kerajaan dan menjauhkan diri dari golongan liberal….dan bahkan pada abad XII, sisa-sisa liberalisme Arab telah dimusnahkan, otak umat Islam beku, daya kreasi lumpuh, intelegensia Islam diam, nyeyak sampai mereka mulai bangkit dewasa ini.[12]
            Bangkitnya masyarakat muslim, terutama kaum Revivalisme,[13] dan Modernisme,[14] Sebagai mana diprediksi oleh Stoddard, telah berjasa dalam hal bahwa mereka telah mencoba “mendinamit” kesia-siaan sakral yang telah berusia seribu tahun ini dan mengajak kaum Muslimin kembali kepada sumber Al-Qur’an yang murni. Tetapi meskipun revivalisme pra modernis telah bekerja baik dengan merobohkan dinding penjara yang menyesatkan nafas pemikiran Islam dalam membuat udara segar mengalir masuk, namun mereka juga ungkap Fazlur Rahman, tidak membuat bangunan pemikiran baru sebagai gantinya revivalisme pra-modernis
            Meyakini, bahwa semua bangunan-bangunan pemikiran teologis sesungguhnya hanyalah penjara-penjara atau pada akhirnya tanpa bisa dielakkan pasti menjadi penjara dan bahwa agama adalah lebih baik tanpa teologi, yang dalam pandagannya adalah suatu kejahatan terhadap agama. Sedang kaum modernis lanjut Rahman  untuk sebagian besarnya ia telah berurusan dengan masalah-masalah sosial atau politik, namun kebanyakan kaum modernis tidak banyak berbicara mengenai teologi, filsafat atau atau pandangan dunia. Kalau toh ada seperti Muhammad Abduh, teologi disinggung secara minimal, walaupun ia berbuat banyak untuk membangkitkan rasionalisme jenis Mu’tazilah. Demikian pula Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Syabili dan Sayyid Akhmad Khan, yang berupaya untuk mengemukakan kembali argumen-argumen bagi wujud Tuhan, namun hanya mengandalkan kepada folosof-filosof Muslim zaman pertengahan[15]
            Iqbal melontarkan argumen bahwa ada tiga hal yang menyebabkan kemunduran Pendidikan umat Islam yaitu: Pertama mistisisme asketik.[16]  Kedua, hilangnya semangat induktif. Ketiga, adanya idealisasi capaian-capaian masa lampau, absolutisme pemikir mazhab dan otoritas perundang-undangan yang mapan, telah melumpuhkan perkembangan pribadi dan menyebabkan hukum Islam praktis tidak bisa bergerak sama sekali..[17]   
            Menurut Iqbal, Perbedaan yang jelas antara seorang yang beriman dan kafir bukan pada formula teologinya, melainkan pada kreativitasnya.[18] Jadi jelasnya, konsep iqbal mengenai kebebasan, mengandung pesan untuk mengembangkan wawasan pendidikan secara kreatif, dalam rangka ikut serta dalam proses evaluasi tersebut, bukanlah didasarkan pada rasa takut, meminta-minta (sual), perbudakan dan membanggakan keturunan, melainkan didasarkan oleh rasa cinta, fiqra, keberanian dan kreativitas.

C. Pembebasan dalam Pendidikan Islam
            Konsepsi Islam  tentang pembebasan sesuai dengan misi yang dibawa oleh Nabi saw. Ajaran tauhid sebagai salah satu kunci pokok keislaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada perhambaan/ penyembahan kecuali kepada yang Maha kuasa, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian dengan lain kata seseorang yang telah mengikrarkan diri dengan “dua kalimat syahadah” berarti melepaskan dirinya dari belenggu dan subordinasi apapun. Itulah sebabnya umat Islam  mencapai titik kulminasi kesuksesan pada zamannya, karena berpegang pada teologi sunnatullah (hukum alam) yang melahirkan sebuah kebebasan.[19] 
            Teologi sunnatullah, melahirkan umat yang sadar akan kedudukan akal yang tinggi, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah memberi semangat untuk berfikir rasional (bebas ). Atas dasar itulah, umat Islam  zaman klasik mencapai titik persemakmuran intelektual dalam pendidikan,  karena bersentuhan dengan sains dan filsafat Yunani yang terdapat dipusat peradaban Yunani di Aleksandaria (Mesir), Antakia (Suria), Jandispur (Irak), dan di Baktar (Persia). Dalam sains dan filsafat Yunani akan juga sangat sentral, maka peran akal yang tinggi dalam al-Qur’ān dan hadis bertemu dengan peran akal yang tinggi dalam sains dan filsafat Yunai tersebut, [20]  inilah yang membuat umat Islam  klasik mengembangkan pemikiran rasional.
            Berkaitan dengan itu, Muhammad Sayyid al-Wakil dalam analisis sejarahnya mengatakan bahwa, sesungguhnya Islam  pernah mendirikan peradaban besar dan dunia tidak sanggup mendirikan peradaban besar yang semisal dengannya. Karena Islam  memberi  kebebasan kepada akal untuk berfikir dan berkreasi  tidak menghambat para pemikir dan tidak membatasi tema-tema kajian bagi para pengkaji.[21]
Umat yang sudah berkualitas bebas menelaah dan mengkaji alam semesta ini untuk memperkuat ketakwaannya kepada Allah Swt. Bertalian dengan itu, Iqbal mengatakan kebebasan adalah prasyarat kebaikan.[22] Agama Islam dalam keasliannya tidak memaksakan atau memperjuangkan suatu sistem sosial politik yang ekslusif.[23]
Kebebasan merupakan prasyarat  kehidupan bagi  umat yang mendayagunakan akalnya dengan akal, fakta bisa diketahui, fenomena alam bisa dikaji, masalah-maslah ilmiah dapat didiskusikan bahkan dengan akal pula dapat mengetahui Tuhan semesta alam. Akan merupakan hikmah Allah ‘azza wajallah yang diberikan kepada hambaNya. Dengan akal rasional itulah, yang dijadikan Allah sebagai pelayan-pelayan wahyu untuk memahami dan memaknai ayat-ayat  sekaligus diaktualisasikannya dalam realitas kehidupan. Metode berfikir rasional dan filosofis melahirkan dinamika dan sikap  optimisme dalam hidup. Metode berfikir tersebut diterapkan oleh faham Qadariyah yang menggambarkan kebebasan manusia dan perbuatan.
            Untuk itulah, umat Islam  pada masa itu, adalah umat yang dinamis. Orientasi dunia mereka tidak terkalahkan oleh orientasi akhirat. Keduanya berjalan sinergik, tidaklah mengherankan pada zaman klasik itu soal dunia dan soal akhirat sama-sama dipentingkan sehingga produktivitas umat dalam berbagai bidang meningkat begitu pesat kerena adanya antusiasme. Antusiasme adalah prasayarat kebebasan sehingga akan melahirkan kemakmuran intelektual yang sejati menunju masyarakat madani.
            Ilmu dalam pandangan Islam  diharapkan mampu memupuk dan mempertebal keimanan. Antara keimanan dan ilmu sangat berkaitan, menurutnya iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme, kemunduran, tahyul dan kebodohan. Sebaliknya ilmu tanpa iman  akan membuat manusia menjadi rakus dan berusaha maksimal memuaskan kerakusannya, kepongahannya, ekspansionisme, ambisi, penindasan, perbudakan penipuan dan kecurangan”.[24]    
Munculnya  berbagai corak Pendidikan pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan kebijakan politik pembangunan di bawah rezim Orde Baru yang dirasakan oleh intelektual Islam, sangat memojokkan dan memarjinalkan kelompok Islam. Umat Islam selalu toleran membangun Orde Baru diterapkan benar-benar mengalami proses peminggiran yang dahsyat dan bertabrakan dengan arah modernisasi, terutama yang hanya mengarah  pada pertumbuhan sektor ekonomi, tidak diimbangi dengan sektor religius.[25]
Setelah merespons kebijakan pembangunan di bawah Orde Baru, pemikiran pendidikan  Islam terus berkembang ke arah yang lebih luas dan subtansial, sehingga muncul pelbagai corak pemikiran pendidikan Islam yang sangat penting diperhatikan dalam perkembangan pemikiran  keagamaan Islam di Indonesia. Suasana peta pemikiran pendidikan Islam di Indonesia, dapat dikategorikan menjadi formalistik, subtansialistik, transformalistik, totalistik Idealistik dan realistik .[26]
A. Syafii Ma'arif membedakan corak pemikiran pendidikan Islam menjadi empat, yakni modernis dan diteruskan oleh neo-modernis, neo-tradisionalis, ekslusif Islam, dan modernis sekularis muslim.[27] Sementara M. Dawam Raharjo membedakan corak pemikiran Islam menjadi nasionalis muslim, humanis –sosialis-sekuler muslim modernis-sekuler. [28]
Konsep modernisasi identik dengan rasionalisasi. Konsep tersebut bermuara pada liberalisasi pemikiran yang berupaya merombak pola pikir dan tata kerja lama yang tidak akliyah, menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang akliyah.[29] Manfaatnya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan demi menciptakan iklim pemahaman keberagamaan yang lebih pluralis, harmonis, dan dinamis, guna membangun budaya ilmu yang ilmiyah dan alamiah.
Berdasarkan penjelasan di atas, proses perkembangan pola dan corak pemikiran pendidikan Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus berkembang sampai sekarang. Banyak hal yang direspon oleh para pemikir pendidikan Islam di atas. Beberapa tema pokok yang direspon oleh para cendikiawan muslim antara lain, soal Islam dan negara Nasional Islam, Islam dan Keindonesiaan, Islam dan kemoderenan, Islam dan demokrasi, Islam dan pluralisme.[30]
Tema-tema tersebut di atas menjadi fokus pembicaraan cendikiawan muslim karena, tema-tema ketika berhadapan dengan rezim Orde Baru yang banyak melakukan penekanan dan intervensi dalam gerakan Islam di Indonesia, sehingga melahirkan gebrakan pemikiran yang liberal dan dinamis.
 Agama Islam  adalah pedoman, sekaligus  tujuan dalam mengarungi kehidupan. Pemikiran keagamaan cenderung berbalik menelusuri tapak tilas ke belakang. Sedangkan ilmu sebagai alat untuk memudahkan hidup. Orientasi ilmu selalu untuk melakukan inovasi dan pengembaraan ke depan, serta tidak segan-segan membuang bangunan tradisi masa lalunya. Ini diperkuat oleh Komaruddin Hidayat bahwa, iptek selalu melangkah ke depan dan menjebol batas (frointer)  yang ada melalui seacrh and research.[31]
Agama dan ilmu pengetahuan merupakan tujuan utama pendidikan.[32] Agama yang berbasis kepada pendidikan yakni nilai-nilai etik-moral, sedangkan ilmu pengetahuan merupakan pengembangan keahlian. Kedua komponen tersebut berproses dalam sejarah sehingga terjadi dinamika yang begitu pesat. Pada dasarnya krakteristik  dasar pemikiran Islam mengenai pendidikan Islam, cenderung bersifat organik, sistematis dan fungsional dengan akar paradigma yang mengacu pada al-Quran, al-Sunnah dan ijtihad. Ini diperkuat oleh Amrullah Ahmad  bahwa realitas apapun yang kita pikirkan, tetap akan masuk dalam kerangka global dan rinci pada tiga sumber paradigma tersebut.  Pola hubungan tiga masalah pokok dimaksud secara global dapat dijelaskan bahwa bentuk aktivitas dakwah Islam yang tidak bisa menjanjikan Islam secara kaffah menyebabkan sisitem pendidikan ini dikhotomik.[33] Sistem pendidikan yang dikhotomik menyebabkan lahirnya sistem pendidikan umat Islam yang sekularistik, rasionalistik, empiristik, intuitif dan materialistik, keadaan tersebut tidak mendukung tata kehidupan umat yang dinamis untuk melahirkan peradaban yang diharapkan.
 Pendidikan Islam yang bermuara untuk memberdayakan kualitas umat    dari berbagai aspek kehidupan umat.  Hal itu, sejalan dengan semangat al-Quran yang senantiasa menekankan rasa takwa dan pengembangan ilmu pengetahuan.  Ditinjau dari kacamata ajaran risalahnya agama Islam adalah “agama madani” dalam arti mengkota, elite, dan berbudaya tinggi. Artinya seluruh ajaran Islam senantiasa mendorong pemeluknya bersikap rasional, menghargai waktu, memperhatikan hari esok (membuat perencanaan hidup) kreatif dan berkarya yang exelence.[34]
Pendidikan Islam sebagai salah satu metode yang sangat praksis identik dengan dakwah sering dipahami dengan nasehat dan peringatan yang mempunyai pengertian suatu ucapan/kata-kata yang bersifat bimbingan dan pengarahan yang dapat membangkitkan emosi dan perasaan orang lain untuk mau melaksanakan perbuatan yang baik.[35] Sejalan dengan hal tersebut, nasehat bisa dipahami dengan dukungan positif terhadap mereka, termasuk kontrol sosial demi suksesnya tugas-tugas yang mereka emban.[36]    
D. Pembebasan Sebuah Paradigma
Islam  merupakan agama yang memadukan iman dan ilmu yang melahirkan amal. Dengan demikian pendidikan Islam  diharapkan mampu menumbuh- kembangkan pemahan yang benar tentang hakekat keberadaan umat manusia di seantero alam ini. pendidikan dunia akhirat inilah yang bergaransi kelestarian nilai-nilai budaya Islam  di masa-masa yang akan datang.
Pendidikan Islam  sebagai satu pranata sosial terikat dengan pandangan Islam  tentang hakikat keberadaan manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam  berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran manusia itu sama di depan Tuhan. Pembedanya adalah kadar ketakwaan sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif.[37]        
Implementasi ketakwaan dapat diwujukan lewat pencitraan pendidikan, hal ini penulis mencoba menampilkan sosok pemikir pendidikan Islam yang dinamis dan berwawasan mensemesta seperti, A. Malik Fajar berpendapat bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karenanya  pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. John Dewey, menurut penjelasannya, berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup, salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan, dan sebagai pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin  hidup. Fungsi pendidikan ini dapat dicapai melalui transmisi, bail melalui pendidikan maupun non formal.[38]
            Muhammad Abduh (1849-1905) dapat disebut  sebagai tokoh yang banyak melakukan kritik terhadap praktek pendidikan yang dilakukan oleh umat Islam. Ia menilai bahwa metode pengajaran yang digunakan para guru adalah salah. Ia mencontohkan, para guru memberikan term-term tata bahasa Arab dan hukum fikih untuk dihafal untuk tanpa menjelaskan arti term-term itu. Abduh secara keras mengkritik pengajaran di al-Azhar Mesir. [39]
            Abduh berpendapat  bahwa pendidikan yang diamatinya cenderung menghasilkan lulusan dan masyarakat yang jumud, membeku, statis, tidak ada perubahan. Oleh karena paham jumud ini maka umat Islam ini tidak menghendaki perubahan, dan tidak mau menerima perubahan.[40]
            Selain Abduh, Fadhil al Jamali, sosok ilmuan Muslim berkebangsaan Irak yang hijrah ke Tunisia kemudia menjadi Guru Besar dalam ilmu pendidikan di Universitas Tunis, juga tergolong orang yang terpanggil untuk memberikan berbagai kritik terhadap pendidikan Islam. Ia mangakui bahwa umat Islam mengalami keterbelakangan di bidang pendidikan disebabkan oleh berbagai kemunduran dan keterbelakangan bidang-bidang lain.[41]  Seharusnya orang-orang yang bertugas di bidang pendidikan, menurutnya menyediakan obat penyembuh segala penyakit yang dilaporkan oleh masyarakat. Akan tetapi kenyataannya justru sebaliknya, mereka sendiri malah menjadi orang sakit.
            Menurut Suwito,[42] pesatnya perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dinilai cenderung menghasilkan pendidikan ke arah sistem yang bersifat birokratis sentralistik. Berbagai kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah pusat cenderung sebagai ”sabda pandita ratu” yang mesti harus dilaksanakan oleh daerah-daerah. Hal ini dapat dilihat antara lain sejak kemestian memakai pakaian seragam sampai hal-hal yang menyangkut kurikulum. Sistem yang demikian cenderung menjadikan ”keseragaman” sebagai tujuan. Hasil kebijakan yang demikian adalah manusia-manusia yang bermentalitas  ”juklak” dan ”juknis”  menunggu petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Ujung-ujungnya akan melahirkan manusia yang bermentalitas dibawah bayang-bayang ketakutan dan kekhawatiran sehingga harus patuh dan tunduk pada perintah yang ada, petapapun anehnya perintah tersebut.
            Kebijakan yang demikian dapat diduga karena pemerintah ketika itu cenderung berpendapat bahwa stabilitas nasional menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Stabilitas akan terwujud apabila pemerintah kuat dan mampu mengontrol kekuatan dan perkembangan yang ada di masyarakat. Diakui bahwa pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan yang birokratis sentralistis membuahkan hasil antara lain pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, pendapatan nasional  meningkat, pembangunan berbagai sarana dan prasarana terlihat dan dapat dinikmati.
            Akan tetapi, pendidikan yang terlalu birokratis sentralistis di atas dapat menimbulkan dampak negatif bagi proses pendidikan itu sendiri dan bagi masyarakat umum. Dampak yang paling mencolok adalah berkembangnya mentalitas ”jalan pintas” dalam dunia pendidikan. Selain itu semakin lama semakin dirasakan bahwa praktek pendidikan cenderung memunculkan generasi terdidik yang bersifat meterialistik.
            A. Malik Fadjar dalam gagasan liberalnya sebagaimana yang dikutip oleh Suwito, mengatakan bahwa Perguruan swasta di bawah Muhammadiyah, Taman Siswa, ataupun lembaga agama kristen (dan swasta lainnya –pen) lebih baik membebaskan dirinya dari pemikiran pemerintah. Pasalnya, keberadaan perguruan swasta merupakan cikal bakal pelopor pendidikan di tanah air yang sudah sejak lama independen. Peran pemerintah bagi perguruan swasta sebaiknya hanya menjadi mitra dalam konteks akademik dan mengurusi hal-hal yang lebih teknis.[43]   
             Lebih parah lagi, sistem dan pola militerisme  masih memilki budaya feodalisme yang begitu kuat mencengkeram masyarakat. Pola feodalisme cenderung berarti atasan/komandan tidak bisa salah, sebaliknya bawahan selalu salah. Semangat yang sama juga seringkali melandasi pola pendidikan kita. Guru berada di kelas dengan jiwa  father knows best”. Guru tahu segalanya dan murid tidak tahu apa-apa. Guru tidak bisa salah dan sebaliknya murid selalu salah. Murid tidak didorong untuk mengembangakan kreativitasnya dengan mengoptimalkan daya imajinasi dan inovasi melainkan cukup menghafalkan. Dengan demikian mereka tidak akan pernah menjadi manusia yang mandiri, tetapi pengekor.
            Azyumardi Azra menyatakan perlunya modernisasi pendidikan Islam.Gagasan modernisasi pendidikan Islam mempunyai akar-akarnya dalam gagasan tentang modernisasi pemikiran dan instansi Islam secara keseluruhan. Kerangka dasar yang berada dibalik  modernisasi Islam secara keseluruhan adalah modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat kebangkitan kaum muslim di masa moderen. Karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam –termasuk pendidikan- haruslah dimodernisasi, sederhananya diperbaharui sesuai dengan kerangka modernitas; mempertahankan  pemikiran kelembagaan tradisional hanya akan memperpanjang nestapa ketidakberdayaan kaum muslimin dalam berhadapan dengan kemajuan dunia moderen.[44]
            Pengembangan intelektual muslim patut pula diberi penekanan yang istimewa dan khususnya terhadap pendidikan formal Islam. Karena pendidikan formal yang dekinal dengan pendidikan sekolah mempunyai program teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung bagi penyusunan program pendidikan Islam dalam usaha pengembangan intelektual Muslim.[45]
Liberalisasi pendidikan pada intinya merupakan sebuah cabang pertumbuhan dan sudut pandang empiris yang kerangka berfikirnya dibangun pada ekperimentalisme,  yang menaati gagasan bahwa nilai tertinggi kebahagiaan, perwujudan diri atau apapun juga secara fundamental merupakan keluaran sampingan dari kecerdasan praktis, yakni kemampuan untuk memecahkan problema-problema personal secara efektif dengan menjadi seilmiah mungkin  dalam hal bagaimana orang berfikir rasional dan apa yang diyakininya.
               Begitu pun Paulo Freire dalam mengapresiasikan gagasannya mengatakan  pendidikan  yang dibutuhkan dewasa ini adalah pendidikan yang mampu menempatkan manusia pada posisi sentral dalam setiap perubahan yang terjadi dan  mampu pula mengarahkan serta mengendalikan perubahan itu. Dia mencela jenis pendidikan yang memaksa manusia menyerah kepada keputusasan-keputusan orang lain.[46]       
Pendidikan yang diusulkan adalah pendidikan yang dapat menolong manusia untuk meningkatkan sikap keritis terahadap dunia dan dengan demikian mengubahnya. Ia memperingatkan akan bahaya budaya industri sekalipun berhasil menigkatkan standar hidup tetapi dalam waktu yang sama budaya itu cenderung untuk menempatkan manusia sebagai posisi tercabut dari akar kemanusiaannya.[47]  
Dalam kaitan itu, Erich From sebagaimana yang dikutip oleh Syafii Ma'arif  menyatakan bahwa abad XXI mungkin bukan pemecahan dan puncak bahagia bagi suatu periode. Manusia berjuang untuk kebebasan dan kebahagiaan, tetapi dalam tahun itu, adalah permulaan salah satu periode berikutnya manusia  telah berubah menjadi sebuah mesin yang tidak berfikir dan tidak punya perasaan.[48]
Tesa tersebut menurut penulis,  ada benarnya yang dialami dunia dewasa ini, khususnya Indonesia dengan terjadinya berbagai tindakan amoral seperti penjerahan, penodongan, perkosaan, perampokan bahkan pembakaran tempat-tampat ibadah.  Tindakan-tindakan anarkisme seperti itu,  merupakan perbuatan manusia yang tidak manusiawi akibat tertekan, terbonsai  dan terintimidasi karena kebodohannya.
Itulah sebabnya pendidikan pembebasan sangat menekankan kepada nilai-nilai Iman dan nilai-nilai akal, buah dari itu, melahirkan moralitas-etis. Untuk itu, zaman sekarang ini terasa menjadi sangat penting dan relevan digagas mengenai moralitas. Hal ini disebabkan karena: Pertama, manusia pada zaman kita hidup dalam suatu masyarakat yang semakin pluralistik, kesatuan tata normatif nyaris tidak ada lagi. Kita berhadapan dengan sekian banyak pandangan moral, yang sering saling bertentangan sehingga kita seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan, apakah kita harus mengikuti moralitas klasik di desa yang kita peroleh dari orang tua atau moralitas yang ditawarkan oleh paham dan konsep isme dalam budaya Barat. Kedua, manusia pada masa kini dihadapkan pada masa transformasi massa yang luar biasa, suatu perubahan yang terjadi akibat hantaman gelombang modernisasi yang secara tak terelakkan memunculkan rasionalisme, individualisme, sekularisme, materialisme, konsumerisme pluralitas religius dan sistem pendidikan yang telah mengubah budaya dan rohani banyak manusia. Ketiga, sebagai akibat dari semua itu seringkali muncul tindakan-tindakan subyektif, motivasi yang tidak jelas pamrih. Banyak orang yang terbiasa dengan sikap hipokrit ”berkata ya” untuk mengatakan tidak dan berkata tidak untuk mangatakan “ya”.[49]
            Fenomena tersebut di atas, adalah sikap yang ambisius dan terburu-terburu karena kebodohan manusia. Ini disebabkan karena adanya penekanan, intimidasi bahkan penjajahan yang membuat manusia semakin terisolasi dari lingkungannya. Ibarat kuda baru keluar dari kandangnya. Sehingga menampilkan sikap-sikap traomatis di dalam hidupnya, akibat tertekan, terjajah dan terbonsai pemikirannya.
Dan yang paling dominan mempengaruhi umat adalah pendidikan   yang  “membelenggu” umat manusia sehingga tertindas, teraniaya di dalam hidupnya. Paulo Freire kembali dengan lantang mengritik pendidikan “gaya bank” yang mencerminkan masyarakat tertindas secara keseluruhan yang menunjukkan kontradiksi:
1.         Guru mengajar, murid belajar
2.         Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3.         Guru berfikir murid difikirkan
4.         Guru bercerita, murid mendengarkan
5.         Guru mengatur dan murid diatur
6.         Guru memilih dan memaksakan pilihannya, dan murid menyetujui
7.         Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya
8.         Guru memilih bahan  dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan dengan pelajaran itu
9.         Guru mencampur adukkan kewenangan ilmu dan jabatan untuk menghalangi kebebasan murid
10.     Guru adalah subyek, murid adalah obyek dalam proses belajar mengajar.[50]
Paulo Freire agak prihatin dan  khawatir terhadap kaum tertindas (oppressed) sehingga terdorong untuk mengantisipasi demi masa depan kemanusiaan. Kaum tertindas berada dalam lingkaran syethan. Kaum tertindas yang menginternalisasikan citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan fikiran mereka mengalami rasa takut yang berat. Padahal kebebasan menghendaki mereka menolak citra diri seperti itu, dan menggantinya dengan perasaan bebas serta tanggung jawab moral yang lebih mendidik. Walaupun masyarakat memperoleh kemerdekaan jiwa itupun direbutnya bukan dihadiahkan.[51]
Kebebasan bukanlah impian yang berada di luar manusia dan bukan pula sebuah gagasan yang manjadi mitos untuk kesempurnaan manusia, kebebasan merupakan keniscayaan. Untuk mencari dan mendapatkan kebebasan itu, perlu ditemukan sumber penyebab terjadinya penindasan kemudian melakukan tindakan perubahan yang mengakibatkan terbentuknya manusia yang lebih berkualitas.
Manusia modern dikuasai oleh kekutan mitos-mitos dan dimanipulasi oleh ikatan-ikatan yang jitu, kampanye ideologi dan lainnya tanpa disadari lambat laun membuat manusia kehilangan kemampuan untuk memilh dan mengambil keputusan. Manusia tidak bisa menangkap sendiri tugas zaman melainkan hanya menerima penafsiran resep dan perintah yang dibuat kaum “elite”.
Etika pembebasan itu lahir di kawasan Amerika Latin seperti yang disuarakan oleh eksponennya di atas, dan juga merambah ke dunia lain termasuk Indonesia, merupakan respons terhadap iklim yang diciptakan penguasa dan dirasa menghambat kreativitas dalam hidup.
 Dalam  dunia pendidikan, kritik tajam itu menuntut adanya reorientasi dalam pendidikan dan pengajaran. Dan itulah membuat umat semakin dinamis dan suvive (hidup). Sejarah peradaban manusia menunjukkan bahwa pada masa renaisans (renaisance) unsur yang paling utama diambil adalah tuntutan kebebasan dan pembebasan dari berbagai ikatan dan halangan agar perkembangan manusia serta bakatnya dapat terwujud leluasa. Sedangkan dari masa aufklaerung  yang diambil adalah moral rasionalismenya, keberanian untuk memakai kemampuan akal budi secara bebas.[52] Jika diikuti pendapat Soedjatmoko dikatakan lagi bahwa, yang kita butuhkan adalah pembebasan dari rasa tidak berdaya dan dari ketergantungan,  dan dari rasa cemas rasa keharusan untuk mempertanyakan apakah tindakan-tindakan mereka diizinkan atau tidak diizinkan oleh wewenang yang lebih tinggi ataupun oleh adat kebiasaan.[53]
Pendidikan Islam  yang tujuan akhirnya  mengarahkan agar anak didik menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah[54]. Kebebasan di sini di batasi oleh garis demarkasi hukum dan ajaran syariat yang ditentukan Allah yang sejalan dengan filsafat yang mendasari fitrah manusia. Umat yang didambahkan Islam  adalah yang cerdas, cermat dan mampu berfikir dengan  menggunakan akalnya dengan baik dan bertanggung jawab.
Umat yang berkualitas mengikuti perintah Tuhan yang terkandung dalam Al-Qur’ān, ini bermakna umat itu memiliki kebebasan diri sehingga mampu mengubah nasibnya.[55] Tidak fatalistik pasrah kepada taqdir. Orang yang pasrah itulah yang membuat umat tidak bebas sehingga ada yang mensinyalir bahwa umat Islam  tidak berdaya akhirnya mundur akibat didominasi oleh pemikiran  teologi Asyariah yang cenderung bersifat jabariah.[56]
Terdapat beberapa argument yang dikemukan Freire mengenai kesadaran manusia mengenai kebebasan yaitu: Pertama, kesadaran magis (magical consionsnes) yakni, jika masyarakat tidak memahami mengapa mereka menjadi miskin, serta menyerahkan dan mengembalikan mereka pada Tuhan. Kesadaran magis ini juga oleh kaum pembaharuan dikenal dengan teologi fatalisme yang dianggap penyebab keterbelakangan. Kedua, tingkat kesadaran yang naif (naïve conscionsness) yakni jika masyarakat percaya bahwa kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh kesalahan mereka sendiri. Dan kemajuan orang hanya dicapai karena mentalitas dari usaha mereka. Mereka yang barada pada tingkat kesadaran ini seringkali juga mewarisi sebagai penindas. Ketiga, kesadaran kritis (critical conscionsness). Kesadaran kritis adalah tingkat kesadaran yang memahami bahwa kemiskinan dan keterbelakangan mereka disebabkan oleh suatu struktur yang tidak adil dan mengakibatkan kemiskinan dan keterbelakangan mereka.[57] Reaksi dan aksi yang dilahirkan oleh tingkat kesadaran naif yakni kesadaran yang ditanamkan oleh pendidikan dan lemabaga harus diubah menjadi umat yang berkualitas dan berprestasi.
Bertalian dengan itu,  Andi Rasydianah dalam butir-butir pengarahan Dirjen Bimbaga Islam  1995 di Bandung mengatakan bahwa pemaknaan materi pendidikan Islam  pada bidang teologi ada kecenderungan pada paham fatalistik. Bidang akhlak berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipakai sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama. Agama diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan kepada kemajuan pada ilmu pengetahuan dan yang paling akhir adalah orientasi mempelajari al-Qur-‘an masih cenderung pada kemampuan membaca teks belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.[58]
Hal tersebut di atas, bersumber dari gagasan pemikiran Muhammad Abduh bahwa kelemahan kreativitas berifikir yang di dasari oleh teologi Asy’ariah tersebut memasuki bidang bahasa, akidah, asyari’ah, dan sistem masyarakat.[59]     
Ini berarti bahwa manusia tidak mendayagunakan potensinya untuk memilih perbuatan bebasnya. Akan tetapi kebebasan manusia mempunyai batas atau kebebasan yang bersifat absolut. hal tersebut sangat tergantung dari kapasitas akalnya untuk memahami sunnatullah yang berupakan tempat mengembalikan semua yang terjadi di alam ini. Itulah sebabanya, tidak semua sebab dapat diketahui manusia dan tidak semua sebab dapat terjangkau oleh kemampuan akal manusia.
Di sinilah pentingnya peran akal untuk selalu diberdayakan. Semakin cerdas akal manusia semakin banyak alternatif-alternatif yang dapat dikuasainya dan semakin tampak fungsi kebebasan yang dimilikinya. Sebaliknya semakin sedikit pengetahuan manusia semakin pendek akalnya dan semakin sedikit alternatif-alternatif yang bisa dipilihnya. Kebebasannyapun semakin terbatas.
Dalam suasana demikian, manusia semakin membeku, statis dan jumud pemikirannya. Itulah sebabnya Muhammad Abduh pada masanya berasumsi bahwa akidah jabiariyahlah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kejumudan.[60]
Menyikapi fenomena tersebut di atas, pendidikan Islam  harus fungsional dan rasional dalam mengangkat harkat dan martabat manusia menuju kebebasan. Untuk membebaskan manusia dari kebodohan akal harus dikedepankan kualitas sehingga ada kebiasaan untuk berfikir. Dengan pemikiran yang menajam, dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang membawa kemelaratan diri. Semuanya itu ditanamkan dan ditentukan dalam sistem pendidikan.
Pendidikan Islam, di samping mementingkan akal juga mementingkan spritual. Dengan demikian, umat tidak hanya mampu berfikir tetapi juga memiliki ahklak moral yang mulia dan jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spritual itulah yang diharapkan nilai-nilai moral yang dijadikan sebagai panglima di dalam kehidupan. Sehingga tercipta tatanan masyarakat yang benar-benar merasakan kebebasan  hidup.
Penulis  optimis bahkan berkeyakinan bila pilar zikir  dan fikir yang dimiliki oleh umat, maka akan bersikap humanis, inklusif  dan demokratis. Dengan demikian,  ummat Islam  akan bebas dan dapat berkompetisi dalam memainkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membangun peradaban umat  di masyarakat madani.  Pendidikan harus dinamis dan menjadi obor dalam berpacu menghadapi perubahan sosial. Konserfasi budaya yang selelktif mengharuskan pendidikan untuk membolehkan pemahaman yang benar tentang kebutuhan dan tantangan masa depan manusia.
Di sinilah letak perbedaan antara pendidikan Islam  dengan pendidikan lainnya artinya lebih mendepankan nilai-nilai moral untuk menuju kebebasan daripada keterbelakangan moral. Pendidikan yang cenderung tradisional dalam arti dipasung, didomimansi hafalan tanpa mengerti makna dan tidak dibiarkan berargumen, bahkan bertanya, lebih-lebih jika dikritiknya, budaya seperti itu, sudah seharusnya ditinggalkan karena sudah usang dan lapuk.
  Kurikulum tradisional terlepas dari kehidupan yang berpusat dari kata-kata kosong yang tidak menampilkan relaitas, tidak menunjukkan aktivitas kongkrit dan tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis seharusnya direformasi (dibebaskan). Memang ketergantungannya pendidikan secara naif pada ungkapan-ungkapan muluk pada hafalan dan kecenderungan kepada yang abstrak sesungguhnya mengundang kenaifan kita.[61]   Penulis mengharapkan pendidikan mampu merangsang pikir dan zikir manusia untuk diberdayakan agar mampu mandiri dalam rangka menciptakan gagasan-gagasan pemikiran yang otentik dan original. Tradisi pendidikan bagaimanapun juga tidak merupakan pertukaran ide-ide, melainkan pendiktean ide-ide itu, bukan merupakan debat atau diskusi tema-tema, melainkan pemberian pelajaran atau kuliah; bukan merupakan kerja sama dengan murid melainkan kerja atas murid, memaksakan suatu perintah yang harus dituruti oleh para murid. Dengan memberi rumusan-rumusan yang  harus diterima oleh para murid dan bukan memberikan perangkap untuk berfikir otentik kepadanya. [62]  Hal ini dapat kita lihat pola lewat kurikulumnya yang didesain secara komprehensip dan tidak mengikat, tapi memberi opsi yang bebas pada murid/anak didik.
Untuk memberi  jawaban terhadap persoalan-persoalan di atas Hoyle mengeksplorasi pemikirannya guna mengadakan perubahan dalam pendidikan sebagai berikut: 1).Power-coercive. 2).Normative-re-educative dan, 3).Rational empirical.[63] Strategi  power –coercieve biasanya digunakan ketika yang dikehendaki dalam perubahan pendidikan tersebut berhubungan dengan persoalan kelembagaan dan struktur pendidikan. Sedangkan strategi normative-re-educative  digunakan ketika yang diinginkan berhubungan dengan perubahan sikap dan sifat, pendapat-pendapat dan nilai-nilai tertentuyang diingingkan. Untuk strategirational empirical digunakan ketika yang diinginkan dari perubahan pendidikan tersebut berhubungan dengan aspek praksisnya dilihat dari aspek-aspek pendidikan yang lebih ringan.
Apabila dihubungkan dengan pembicaraan rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi, hal tersebut membawa kita pada persoalan-persoalan perubahan kelembagaan dan struktur pendidikan, mengingat kedudukan kurikulum adalah “menu” pendidikan yang selalu tidak dapat dipisahkan dari jiwa falsafah yang dianut oleh suatu negara atau bangsa. Maka ketika kita berbicara liberalisasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dengan budaya pandang suatu bangsa.
            Dalam konteks kekinian, Dunia pendidikan menuntut adanya kualifikasi baru dalam bidang keilmuan yang dapat mempersiapkan kompetensi lulusan yang sesuai dengan standar-standar kebutuhan pasar. Sementara konstruksi kurikulum lama masih berkutat pada kualifikasi keilmuan Islam yang terbatas pada wilayah-wilayah agama atau cabang-cabang ilmu agama (baca keakhiratan) yang metodenya  lebih banyak menghafal darpada proses penalaran  yang sejalan dengan kondisi zaman.Karena itu kompetensi lulusan yang dihasilkan oleh dunia pendidikan Islam yang di simbolkan dengan madrasah yang “autput” pendidikan yang kemampuannya hanya terbatas dalam melaksanakan pekerjaan yang berhubungan dengan kehidupan sosial keagamaan atau keakhiratan. Sementara tuntutan baru “autput” pendidikan yang memilki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan kehidupan dunia nyata (fisik) tidak dapat diberikan oleh dunia pesekolahan Islam sehingga dapat dirasakan pengaruhnya.
            Masalah yang dihadapkan kepada konstruksi kurikulum lama di atas dapat dipahami sebagai akibat dari   kejumudan dunia Islam yang terjadi dalam beberapa abad sesudah  melalui zaman  keemasannya (abad ke 5 – 9 M.).Imam al-Ghazali yang lahir pada abad ke 10 kenyataannya tidak menolong untuk berkembangnya paham rasionalisme-liberal yang merupakan kunci dari zaman keemasan dunia Islam. Imam al-Ghazali justru berupaya menyederhanakan persoalan umat Islam pada masanya dengan mengajak umat Islam untuk kembali menganut dan menekuni persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keagamaan (keakhiratan). Pengaruh al-Ghazali yang demikian besar di dunia Islam terutama sesudah dimunculkannya karya “Ihya ‘Ulumuddin” telah membawa dunia Islam yang terkooptasi dengan gagasan-gagasan keilmuan yang yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali. Apabila dilihat lebih jauh dari sudut konstruksi kurikulum lama, maka sesungguhnya konstruksi kurikulum tersebut tidak terlepas dari upaya umat Islam untuk mengakomodir gagasan-gagasan keilmuan yang di tawarka oleh Imam al-Ghazali.[64]   Hal tersebut merupakan salah satu fakta sejarah bila kita runut ke belakang, namun harus diakui bahwa dunia moderen belum muncul, sehingga kebutuhan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan keakhiratan belum terusik dengan kepentingan-kepentingan keduniaan, sebagaimana yang terjadi dan telah dirasakan oleh umat Islam sesudah datangnya era moderen abad 19.
            Jika dianalisis kurikulum pendidikan Islam yang ada sekarang, apakah madrasah atau STAIN, dan IAIN, sesungguhnya sudah dapat dikatakan memiliki kunstruksi baru apabila dibandingkan dengan konstruksi kurikulum lama sebagaiaman yang telah diisebutkan pada uraian sebelumnya. Perguruan tinggi, STAIN dan IAIN  sekarang ini telah memilki kualifikasi baru yang terlihat masuknya wilayah wilayah keilmuan baru yang berorientasi keduniaan.Di STAIN dan IAIN sudah cukup lama dimasukkan ilmu-ilmu  yang berhubungan dengan keduniaan, meskipun masih terbatas pada kelompok ilmu sosial dan humaniora. Akan tetapi para praktisi dan profesional pendidikan masih merasakan adanya kesenjangan pada kurikulum dan lulusan yang hasilkan oleh dunia pendidikan Islam. 
            Jika dilihat dari konstruksi baru pendidikan Islam di atas, kelihatannya konstruksi kurikulum tersebut cenderung bersifat menjumlahkan dalam arti: kurikulum pendidikan Islam adalah hasil penjumlahan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kenyataannya kurikulum tersebut tidak hanya sekedar menjumlahkan, tetapi lebih dari itu, justru memperhatikan pengintegrasian keilmuan yang didukung oleh kemampuan  profesional dalam pengimplementasiannya.
            Konsep tersebut di atas agak memadai, tapi sesungguhnya   menurut penulis sebaikanya  pimpinan lembaga perguruan tinggi mengambil keputusan strategis antara lain:
  1. Lembaga Perguruan Tinggi (STAIN dan IAIN) sudah waktunya berubah, paling tidak ditata prodinya, sehingga meampu menelorkan sarjana yang memenuhi logika persaingan ke depan
  2. Para Pimpinan Lembaga Perguruan Tinggi  seyogyanya menyadari tanpa pengembangan kualitas para dosen pada jenjang akademik (S2 dan S3), maka  cita-cita pengembangan ilmu dari berbagai aspek guna membudayakan khazanah berfikir yang kreatif, inovatif dan produktif  dalam membangun perdaban Islam  yang luhur merupakan hayalan.
  3. Seyogyanya para mahasiswa lebih diberi porsi dalam memberikan preferensi prodi yang dikembangkannya sehingga lebih aspiratif dan representatif sejalan dengan semangat pendidikan Islam.
Gagasan tersebut atas, seharusnya disikapi dengan cermat bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa maju dan berkembang tanpa ada lembaga dan keterlibatan dengan lembaga lain. Oleh karena  itu sudah saatnya kita mengintegralkan  Ilmu Barat dan Ilmu Arab dalam pendidikan, artinya ada pendauran antara metode dan esensi berfikirnya. Adapun implementasinya bisa saja seorang mahasiswa kuliah di Perguruan tinggi Islam dan perguruan tinggi non Islam, baik dalam negeri maupun luar negeri  sesuai  dengan keahlian dan ilmu yang digelutinya. Dengan demikian akan menambah wawasan dan cakrawala berfikir yang signifikan. Produk seperti inilah akan memenuhi logika persaingan ke depan dan buah-pikirannya akan membumi dan menjaman.


E. Pendidikan Liberal Sebagai Arah Baru Dinamika  Islam
            Secara historis, pemikir-pemikir Pendidik Islam liberal banyak yang mendukung demokrasi, menentang teokrasi, jaminan pada hak-hak kaum perempuan, hak-hak non muslim di negara Islam, pembebasan terhadap kebebasan berfikir dan kepercayaan terhadap potensi manusia. Tema-tema ini merupakan tema yang bisa bias buat diri mereka yang menyuarakan, sekaligus bagi negara yang memformalkan negara Islam. Mereka inilah yang secara tradisi seringkali diabaikan oleh para pengamat dan media di Indonesia. Padahal mereka inilah yang bisa dikategorikan sebagai  kelompok Pendidik Islam yang mempertahankan tradisi liberal  sebagaimana dalam Islam.[65]
            Salah satu tema yang paling hangat dibahas oleh komunitas pemikir pendidik Liberal Islam adalah perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik, atau agama dan negara dalam pandangan pendidikan  liberal Islam, agama berbeda dengan politik. Agama berurusan langsung dengan Tuhan dan berimbas  pada manusia, sedangkan politik adalah urusan antara manusia yang imbasnya juga antar-manusia. Tidak ada sakralitas dalam politik, yang ada hanya etika, sementara dalam agama ada hal-hal yang sakral. Memang keduanya bisa bertemu dalam etika universal bukan doktrin.
Soekarno (sebelum jadi Presiden) pernah menulis sebuah artikel berjudul ”memudahkan Islam”. Menurut Soekarno langkah-langkah pemikiran liberalisasi yang dijalankan oleh Kemal Attaturk adalah “tindakan paling modern” dan tindakan “paling radikal”. Katanya “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri dan tidak kepada negara. Oleh karena itu, salahlah kita  kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia”. [66]
            Frances Woodmall, sebagaimana yang dikutb Soekarno menyatakan bahwa perilaku Turki modern terhadap Islam adalah sikap anti-ortodoksi, atau anti-institusi keagamaan, ketimbang disebut sebagai anti agama… Validitas Islam sebagai agama yang menjadi persoalan keyakinan pribadi tidak ditolak. Tidak ada penghentian  pelaksanaan ritual agama di masjid, atau lebih-lebih pelaksanaa kegiatan kegamaan.[67]
            Sementara itu Munir Mulkhan, menyatakan bahwa jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa syurga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki syurga  ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sisni kerja sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[68]
Pemikiran di atas yang telah mengeksplorasikan gagasan-gagasanya merupakan kesadaran kolektif dan konstruktif dalam membangun horizon berfikir yang tercerahkan dengan mengangkat langit keilmuan yang lebih dinamis dan praksis. Hal tersebut disesuaikan dengan suasana kultur dan struktural pemahaman keagamaan yang lebih kompetitif dan itu suatu  keharusan sebagai anak bangsa yang memilki kesadaran moral berfikir dalam membangun tata nilai  beragama. Dengan demikian revitalisasi dan realisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat dimaknai sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan–perubahan yang terjadi yang dirasakan oleh umat manusia secara cepat (massif).
Umat Islam harus berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. Islamnya di madinah adalah  satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah salah satu diantaranya, keadaan Islam yang hadir di muka bumi. Olehnya itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Baginya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Al-Qur’an, tetapi wahyu non verbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
            Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat, yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Oleh karena itu dapat dikatakan liberal selalu membuka diri pada  pengembangan wawasan pendidikan keislaman yang lebih dinamis sebagai berikut: 
a. Keterbukaan pintu ijtihad  pada semua aspek.
            Pendidikan  liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atau teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan generasi Islam terus bisa bertahan dalam segala suasana dan keadaan. Penutupan pintu ijtihad secara terbatas atau secara keseluruhan adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Pendidikan  liberal percaya bahwa ijtihad dapat diselenggarakan dalam hampir semua segi Ilahiyat (teologi), Ubudiyat (ritual) atau Muamalat (interaksi sosial). Ruang ijtihad dalam bidang ubudiyat memang lebih sempit jika dibandingkan dengan ijtihad di dua bidang yang lain.
b. Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks.
            Ijtihad yang dikembangkan oleh Pendidik  liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio etik al-Qur’an dan sunnah nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan membunuh perkembangan Islam. Hanya dengan penafsiran yang mendasarkan diri pada semangat religio etik, Islam akan dapat hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan yang universal.
c. Kebenaran yang relatif terbuka dan plural
            Islam liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu, terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar “plural,”  sebab sebuah penafsiran keagamaan dalam satu akan lain cara adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir disuatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Pemihakan pada minoritas dan tertindas
            Pendidik liberal berdasarkan diri pada suatu penafsiran keislaman yang memihak kepada yang kecil tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial politik yang melaksanakan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas yang dipahami dalam makna yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, budaya, politik, ekonomi, orientasi seksual dan lain-lain. Dalam konteks tersebut, diatas pendidik liberal mencoba memperluas wawasan berfikir yang lebih toleran dan saling menyapah diantara sesama ciptaan Tuhan dari beragam lapisan masyarakat, guna mewujudkan tatanan berfikir yang lebih sehat dan dinamis dalam membentuk budaya dan peradaban yang lebih anggun dan elok.
e. Kebebasan beragama dan berkepercayaan
            Pendidik liberal menganggap bahwa urusan beragama adalah hak perorangan yang harus dilindungi. Pendidik liberal tidak bisa membenarkan dasar suatu pendapat atau kepercayaan. Kepercayaan kepada agama dalam perspektif ini  adalah sesuatu yang pokok, jelas dan universal yang mampu membentuk karakter pribadi yang yang lebih elegan dan mampu mengimplementasikan mana ajaran yang bersifat dasar dan mana yang non dasar, dengan suasana demikian akan membentuk nilai-nilai budaya berfikir yang lebih inofatif dan kreatif yang berujung terciptanya suasana masyarakat   yang lebih humanis dan harmonis.
f. Pemisahan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas agama dan politik.
            Pendidik liberal percaya pada keniscayaan pemisahan antara kekuasaan keagamaan dan politik. Pendidik liberal tidak membenarkan gagasan tentang negara agama  yang otoritas seseorang ulama atau kiyai dipandang sebagai kekuasaan tertinggi yang tidak bisa salah. Bentuk negara yang sehat untuk pertumbuhan agama dan politik adalah suatu negara yang dua wewenang yang dipisahkan agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak serta merta mempunyai “privelse transendental” yang tidak bisa disangkal untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya adalah bekerja pada ruang privat dan perorangan. Urusan publik haruslah diselenggarakan melalui proses “ijtihad kolektif”, dimana pelbagai pihak boleh saling menyangkal kebenaran ditentukan secara induktif melalui uji pendapat.[69]
            Pendidik liberal menggambarkan prinsip yang dianut yang menekankan kebebasan pribadi (sesuai dengan doktrin kaum Mu’tazilah tentang kebebasan manusia) dan pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas. Arah Islam liberal mempunyai dua makna sekaligus; kebebasan (kebebasan being liberal) dan pembebasan (liberating).
Dengan tidak menafikan bidang yang lain, pendidikan Islam   dianggap sebagai bentuk pendidikan yang paling potensial dan paling praksis, bahkan paling besar pengaruhnya bagi manusia untuk menarik mereka kepada kebaikan dan petunjuk yang benar. Menurut pendapat ini, hasil pendidikan dengan bentuk lisan termasuk di dalamnya metode  pengembangan   kualitas umat yang menyentuh   hati dan perasaan umat lewat ketauladanan pendidik. 
Ketauladanan mengubah pandangan dari teori kepada realita yang dapat disaksikan dan dirasakan serta dari perkataan kepada pelaksanaan dan pada waktu yang sama, keteladanan merupakan metode pendidikan Islam   yang disertai dalil dan bukti nyata bahwa apa yang disampaikan itu,  dapat dipraktekkan dalam kehidupan.[70]
H.A.R. Tilaar dalam pengamatannya di dunia pendidikan mengatakan, pendidikan merupakan jiwanya suatu masyarakat.[71] Karena pendidikan itulah yang memberdayakan  masyarakat dengan nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Nilai-nilai kualitas intelektual itulah yang telah hidup, menghidupi, dan mengarahkan kehidupan masyarakat kini dan masa depan. Sejarah memang ciptaan manusia. Kepribadian dan prilaku manusia yang hidup di dalamnya ditentukan oleh sejarah. Manusia dalam sejarahnya pernah mengalami masa kegelapan, kesuraman, pencerahan bahkan era madani yang penuh peradaban. Setiap zaman memiliki paradigma tersendiri dalam memandang dan melaksanakan pembangunan.[72] Hal ini sesuai   dengan sifat  kodrati manusia sebagai makhluk yang terus berfikir  dan berzikir dalam menentukan arah peradabannya. Zikir dan fikir adalah dua pilar yang  tahan bantingan di dalam  sejarah.[73]
            Peradaban modern yang mengandung ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa melangkah ke depan (perubahan dan perombakan secara asasi, susunan dan corak), suatu masyarakat dari statis ke dinamis, dari tradisionalis ke rasionalis, dari feodalis ke populis dan dari pesimis ke optimis.[74]  Di lain sisi, kita harus menyadari sebagai insan pendidik, bahwa di balik modernisasi itu, mengandung unsur sekularisme, westernisme, kristenisme, materialisme, ateisme dan lain sebagainya yang merupakan tantangan pendidikan Islam.
            Berkaitan dengan itu, Khursid Ahmad pernah melontarkan pernyataannya mengenai refleksi  masa depan dunia Islam dalam relevansinya dengan pendidikan. Beliau menuturkan: “Of all the problems that confront muslim, the muslim world to day the education problem is the most challenging the fuiture of the muslim world will depen upon the way is respons to this challnging”[75]  
            Fenomena tersebut di atas, merupakan tantangan pemikiran bagi pendidikan Islam. Untuk itu,  peran pendidikan Islam mutlak diperlukan dalam  memberdayakan umat demi  untuk menyeimbangkan kepentingan bangsa dan rakyat, kepentingan individu dan masyarakat, dunia dan akhirat. Sejarah kehidupan manusia diberbagai negara telah membuktikan bahwa pemujaan terhadap iptek semata telah meluluhlantakkan ikatan bathin antara manusia dengan Tuhannya. Akibatnya berbagai krisis telah melanda dunia mulai dari krisis ekologi sampai ke krisis moral, ini diakibatkan oleh karena kebodohan manusia. Hal ini dapat diamati dari pemikiran  Yakub Matondang di dalam meneropong perkembangan iptek bahwa :Pada dasarnya pengetahuan adalah kebudayaan dan kebudayaan adalah mu’amalah sehingga rumusan semata boleh kecuali yang dilarang dapat diterapkan untuk ilmu pengetahuan. Namun ilmu pengetahuan dapat menjadi sangat egoistik dan secara berlebihan merujuk kepada dirinya sendiri sehingga melampaui batas-batas posisinya dari sekedar pengetahuan. Dalam keadaan demikian hilanglah statusnya sebagai mu’amalah. Kadang-kadang pengetahuan mengklaim dirinya sebagai kebenaran. Biotek dengan teori evolusinya dengan cloning misalnya sering mengaku sebagai kebenaran mutlak yang terlepas dari Tauhid. Di sinilah perlunya keseimbangan iptek dan imtak dalam menjaga keseimbangan kehidupan manusia.[76]
Di sinilah diharapkan peran pendidikan Islam untuk senantiasa diaktualisasikan sehingga   bisa menjadi petunjuk  sesuai dengan fungsinya antara lain sebagai faktor pembimbing, pembina,  pengimbang, penyaring dan pemberi arah dalam hidup menuju masyarakat yang di dalamnya tecipta persemakmuran intelektual di dalam bingkai agama (madani). Tidak ada obat yang dapat menyembuhkan kecuali syari’at Islam itu sendiri yang di dalamnya sarat dengan petunjuk ke arah kebaikan.[77]
Pendidikan Islam merupakan pangkal ketaatan dan kebenaran, merupakan sarana untuk menciptakan manusia menjadi mukmin yang sempurna[78] serta menjadikan manusia sebagai hamba Allah yang shaleh dalam seluruh segi kehidupannya.[79] Sejalan dengan itu M. Natsir pernah mengeluarkan statemen dalam rapat persatuan Islam Bogor. Statemen tampak sederhana, tetapi kajiannya cukup mendasar yaitu “ideologi pendidikan Islam” dikatakannya bahwa :“Maju atau mundurnya salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka”.[80]
            Dari statemen tersebut di atas, memberi isyarat bahwa  majunya suatu bangsa atau  negara sangat bergantung pada kepedulian pimpinan bangsa tersebut kepada pendidikan guna memberdayakan kualitas umat  manusia dari berbagai lini.
            Pembentukan masyarakat madani sangatlah ditentukan oleh dunia pendidikan, dalam artian, pendidikanlah yang mengakomodir tantangan–tantangan  tersebut, baik dari dalam maupun dari luar terutama di era globalisasi. Pendidikan Islam dengan demikian haruslah didasarkan pada  paradigma-paradigma baru yang bertolak dari pengembangan intelektual yang dibingkai dengan agama sehingga dapat berkarya dan mengambil keputusan yang manusiawi.
            Hal tersebut di atas, disebabkan antara lain, karena menyentuh mereka dari ajaran agama selama ini baru segi-segi ibadah ritual, sedangkan segi lainnya walaupun sudah disentuh dan dilaksanakan masih terbatas hanya dalam bentuk individual, tidak dalam bentuk kolektif sehingga hasilnya pun belum sesuai dengan yang dicita-citakan.[81]
            Seharusnya materi pendidikan Islam   yang disampaikan oleh pendidik dapat memenuhi beberapa kriteria konsumtif dan aplikatif. Konsumtif dalam arti disesuaikan dengan kemampuan dan tingkat berfikir anak didik. Materi harus aplikatif dalam arti bahwa materi tersebut dapat memberikan bahan atau pelayanan masyarakat sesuai dengan keperluan hidupnya. Materi yang disampaiakan mampu memberikan tuntunan hidup yang selaras dan seimbang antara kebutuhan duniawi dan ukhrawi.
F. Kesimpulan
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran manusia sama di depan Tuhan. Tujuan manusia dalam pendidikan adalah kebebasan menuangkan ide-ide, yang tidak memungkinkan suatu individu memikul beban individu yang lain dan hanya berhak atas hasil kerjanya sendiri.  Umat Islam adalah umat yang dinamis, orentasi dunia tidak boleh dikalahkan oleh orientasi akhirat sehingga produktifitas umat dalam berbagai bidang meningkat karena adanya antusiasme. Antusiasme adalah prasyarat kebebasan sehingga akan melahirkan kemakmuran intelektual.
            Terkait dengan liberalisasi pendidikan Islam, maka  seorang pendidik liberal selalu berusaha membuka diri pada pengembangan wawasan pendidikan keislaman yang dinamis salah satu di antaranya adalah dengan  mendasarkan diri pada suatu penafsiran keislaman yang memihak kepada yang kecil, tertindas dan yang dipinggirkan. Pendidik liberal mencoba memperluas wawasan berfikir yang lebih toleran guna mewujudkan  tatanan berfikir yang lebih sehat dan dinamis dalam membentuk budaya dan peradaban yang lebih elok dan anggun.
            Bagi seorang pendidik liberal kebaikan tertinggi adalah kecerdasan kritis yang dirumuskan dalam pemecahan masalah secara efektif baik ditingkat personal maupun social. Tujuan jangka panjang yang diinginkan dari pendidikan adalah melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan social yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap peserta didik untuk mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif.











KEPUSTAKAAN


Abdillah, Maskuri, Islam dan Politik Orde Baru,  Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998

Ahmad,Khursid,  ”Islam and The Problem Of Education,”  al Jami’ah,  no 5 tahun 1979.

Al-Abrasyi, Moh. ‘Atiyah, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam , Penerjemah Bustani A. Gani dan Johar Bahri, Jakarta: Bulan Bintang, 1970

-------, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1975

-------, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, T.t;, t.pn, t.th

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Al-Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: Dar al-Ma'arif, t.th

Al-Ainain, Abu Khalil Abu, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim, T.t: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980

Al-Anshori,  Fauzan, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003

Al-Din, Abd al-Amir Syams, Al-Fikr al-Tarbawi inda Ibn Khaldun wa Ibn Azraq, Libanon: Dar Iqra, 1983

-------, Mazhab al-Tarbawi inda Ibn Jama'ah, Libanon: Dar Iqra, 1983

Ali, Mukti, dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Yogyayakarta: Tiara Wacana, 1998  

Al-Raziy, Muhammad ibn. Abi Bakr ibn Abd. al-Qadir, Mukhtar al-Sihah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1414/1994

Al-Wakil, Muhammad Sayyid, Wajah Dunia Islam:   Dari Dinasti Bani Umaiyah hingga Imprilisme Modern, Penerjemah Fadli Bahri, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998

Amin, Qasim, Tharir al-Mar”ah, Kairo: Dar al-Ma’arif,  t.th

Andi Rasdiyanah,  Butir-butir pengarahan Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan agama Islam  , dalam pelatihan  Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Bagi Dosen Pendidikan Agama Islam  di Perguruan Tinggi Umum, Bandung: 11 September 1995

Anshari,  H. Endang Saifuddin, Kuliah Al-Islam ,Jakarta: Rajawali, 1989

Anwar, M. Syafii, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995

Arnold, Mathew, Cultyure and Anarchy, London: Cambride University Press, t.th

Ashraf, New Horizon in Muslim Education, London:The Islamic Academy, Cambridge University, 1985

Azra, Azyumardi, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta: PT.    Logos Wacana Ilmu, 1999

-------, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000

Efendy, Djohan, Adam, Khudi, dan Insan Kamil Pandangan Islam tentang Manusia dalam M. Dawam Raharjo, (Penj), Insan Kamil dan Konsep Manusia menurut Islam,   Jakarta: Garafitti Press, 1985
     
Effendy,  Bahtiar, Islam dan Negara,  Jakarta: Paramadina, 1998

-------, yang memberi pengantar, pada Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik,              Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996


Fachri Aly dan Bahtiar Effendy,  Merambah jalan Baru Islam, Bandung: Mizan, 1987

Fadjar, A. Malik, Reorintasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999

Fakih, Mansur, Mencari Teologi Untuk Kaum Tertindas dalam 70 Tahun Harun Nasution.   

Freire,  Paulo, Pendidikan Masyarakat Kota, Jogjakarta: LKiS., 2003

-------, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho, Jakarta Gramedia, 1984

-------, The Politic of Education; Culture, Power, Libaration yang dialih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad  Arif fudiyarto, Dalam Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan. Dan Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1999

George Khan, “Indonesia Politiks and Nationalism” dalam William L. Holland (ed.) Asian Nationalism and the West, New York: Macmillan, 1953

Graudy,  Roger,   Janji-Janji Islam, Terjemahan Rasyidi, Jakarta: Bulan Bintang 1982

 H. A.R.  Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999 

Haji Abdullah, Abdul Rahman, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran Jakarta: Gema Insani Press, 1997

Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat, Jakarta: Rajawali, 1986

Hidayat, Komaruddin, “Reposisi Peran Agama,Kompas,  No. 164  Tahun-35,  27 April 1999.

Iqbal, Muhammad, The Reconstruction of Religions Thought in Islam, New Delhi: Kitab Bhavan, 1981

Karim,  M. Rusly, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde Baru, Yogyakarta:Tiara Wacana, 1998.

Kurzaman, Charles (Edt), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer    Tentang Isu-Isu Global,  Jakarta: Paramadina, 2003

Kurzaman, Charles, Liberal Islam:A Sourcebook, Oxford University Press,1988

L. Stoddard, The New World of  Islam, diterjemahkan oleh H.M. Muljadi Djojomardjono, dkk., Dunia Baru Islam, Jakarta:t, tp.,1966  

Leonard, Binder, Introduktion Islamic Liberalism, Chicago: University Press, 1988

M. Imran, al-Amal al-Kamlat yang dirujuk oleh Arbiah Lubis Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh salah satu studi perbandingan, Jakarta; Bulan Bintang, 1993  

M.Thalib dan Haris Fajar,  Dialog Bung Karno- A.Hassan, Yogyakarta: Sumber Ilmu,1985

Maarif,  Ahmad Syafii, Peta Bumi Intelektual Islam Di Indonesia, Bandung: Mizan, 1993

-------, Peta BumiPemikiran Islam di Indonesia,  Bandung: Mizan, 1992

-------,  Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3S, 1985

Madjid, Nurcholis, Cita-cita politik dalam Aspirasi umat Islam   Indonesia  (Jakarta: Leppenas, 1993) ,  Karim, M. RusliPendidikan Islam   Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam   di Indonesia Antara Cita dan Falta, Yogyakarta: tiara Wacana, 1991

-------, Islam Kemoderenan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989

Mahmud, Ali Abd. al-Hamid, Fiqh al-Dakwah al Fardiyyah, dialih bahasa As’ad Yasin dengan judul Dakwah Fardiyah Metode Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta: Gema Insani Press, 1992

Mansur, Amril, Paradiqma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: UI Press, 2006

Mastuhu,  Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam,  Jakarta: Bumi Aksara, 1991

Matondang,  Yakub,  Perguruan Tinggi Islam Sebagai Subjek Dan Dan Objek Moral Akademik Di Era Globalisasi,  Dalam, Perguruan Tinggi Islam Di Era Globalisasi, oleh Syahirin Harahap (Ed.), Yogyakarta: Tira Wacana, 1998

Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2002

Nasr, Seyyed Hossein, A.Young Muslim Guide To The Modern World, diterjemah oleh, Hasti Tarekat,   Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim,  Bandung : Mizan, 1994

Nasution, Harun dan Azumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985

-------, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995

-------, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam, Jakarta:Gramedia,2001

Nuh, Sayyid Muhammad, Manhaj ahl al Sunnah Waal Jama’ah Fi Qadiyyat al-Taqayyur Bi Janibaih al-Tarbawi Wa al-Da’awiy ,t.tp: Dar al- Wafa al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1991

O'neil, William F., Ideologi Ideologi Pendidikan, Penerjemah  Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

 Raharjo,  M. Dawam, Intelektual Intelegensi dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Islam,  Bandung: Mizan, 1999

Rahman,  Fazlur, Islam and Modernit, Transformation of an IntelectualTradition Chicago: The University of Chicago Press, 1982  

Sadili, Hasan,  Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jilid IV, 1983

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan 1995

-------, Wawasan Al-Qur’ān,   Bandung: Mizan, 1996

Soedjatmoko,  Etika Pembebasan,  Jakarta:LP3S, 1984

-------,  Pembangunan dan Pembebasan , Jakarta: LP3S, 1984

Suwito dan Fauzan (Ed),  Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Bandung: Angkasa, 2004

-------, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Bandung:Angkasa, 2003

Suwito, Pada Pidato Pengukuhan  Pendidikan Yang Memberdayakan,  IAIN  Syarif Hidayatullah  Jakarta 2002, h.10

Syekh Ali Mahfuz, Hidayat al-Musyidin, Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah, 1958

Thahir,  Lukman S., Gagasan Islam Liberal Muhammad Iqbal, Jakarta: Ilmu Jaya, 2002

Wahid, Sayed Abdul, Thought and Reflektions of Iqbal, Lahore:Muhammad Ashraf. 1964

Zai'ur, Syaqiq Muhammad, Al-Fikr al-Tarbawi inda Al-'Almawi,  T.t: Dar Iqra, t.th


[1] Pendidikan  sebagai sarana efektif dalam membentuk kepribadian seseorang dilihat dari sisi akhlak maupun keberhasilan seseorang dalam berusaha, suasana demikian akan mengharuskan lembaga pendidikan bisa menunjukkan kepada masyarakat akan keberhasilan dan prestasi yang pernah diraihnya. Keberhasilan suatu pendidikan bisa dikatakan sebagai keberhasilan sistem dimana antara unsur pendidikan yang satu dengan unsur pendidikan yang lain harus saling menunjang, baik keberhasilan secara kognitif, afektif, psikomotorik  maupun keberhasilan secara spiritual. Lihat Suwito dan Fauzan (Ed), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung:Angkasa, 2003), h.V-VI. Bandingkan pula,  Suwito dan Fausan (Ed),  Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, (Bandung: Angkasa, 2004).
 Pendidikan dapat dimaknai sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani bagi terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan budaya pendidikan sekurang-kurangnya mengandung lima  unsur penting, yaitu pertama, usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan (Pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar, kedua pendidikan atau bimbingan atau penolong, ketiga, ada yang didik atau siterdidik, keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan, kelima, dalam proses pendidikan terdapat alat-alat yang dipergunakan. Lihat, Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:Gramedia,2001), h. 5
[2] Terminologi Liberalisme (Latin=liber, bebas) adalah suatu faham atau aliran yang tumbuh di Eropa Barat pada abad ke-18 dan 19. Aliran yang dirintis oleh Locke, Rousseau, Adam Smith dan J.S, Miil ini, berpangkal pada kebebasan individu dan usaha perjuangannya adalah menuju kebebasan. Di lain sisi aliran ini dibedakan anatara liberalisme politik dan rohaniah dan di lain pihak liberalisme ekonomi dan pendidikan. Liberalisme rohaniah dan pendidikan berdasarkan pada pemikiran dan keyakinan bahwa sumber kemajuan terletak pada perkembangan kepribadian manusia yang bebas yang masyarakatnya dapat menuai keuntungan sepenuhnya dari daya cipta manusia melalui proses pendidikan.Lihat Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1986), h.55. Lihat pula Hasan Sadili,  Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, Jilid IV, 1983),h. 2005.
[3] Suwito,  Pendidikan Yang Memberdayakan, Pidato pengukuhan Guru Besar  IAIN  Syarif Hidayatullah  Jakarta Tanggal 3 Januari  2002, h.10
 [4] Paulo Freire,  Pendidikan Masyarakat Kota, (Jogjakarta: LKiS., 2003), h.12.
[5] Charles Kurzaman, Liberal Islam:A Sourcebook, (Oxford University Press,1988). Lebih lanjut Kurzaman mendefenisikan “Islam Liberal” sebagai kelompok yang secara kontras berbeda dengan Islam adat (customary Islam) dan Islam revivalis (evivalis Islam).
Customary Islam  adalah sebuah Islam yang ditandai dengan kombinasi kebiasaan-kebiasaan kedaerahan dan kebiasaan yang juga dilakukan diseluruh dunia Islam. Misalnya penghormatan  terhadap orang-orang  yang dianggap suci, juga pertunjukan-pertunjukan ritual yang mengapresiasikan tradisi-tradisi di daerah, seperti  membunyikan bedug, tradisi musikal, menghormati ruh-ruh, perayaan tahun baru Islam dan sebagainya.
Revivalis Islam adalah, sebuah kelompok Islam yang bisa dikatakan  sebagai “Islam Fundementalis” atau “Wahabisme”. Islam revivalis menyerang Customary Islam, karena Islam Custumary dianggap kurang memberi perhatian pada inti doktrin Islam. Sementara tradisi Islam Liberal adalah tradisi Islam yang menghadirkan masa lalu dalam konteks modernitas, dan menyatakan bahwa  Islam jika dipahami secara benar maka ia akan sejalan dengan liberalisme barat. Tentang bentuk-bentuk Islam Liberal  dapat dibedakan menjadi tiga.
Islam liberal secara eksplisit didukung oleh syari’ah, silent syariah,  yaitu sikap liberal yang dibiarkan oleh syariah, karena syari’ah boleh diinterpertasikan secara terbuka oleh siapa saja, ketika interpertasi atas syari’ah (hukum) Islam sehingga siapa saja bisa melakukannya. Pendek kata, Liberal Islam dapat dikategorikan menjadi tiga; Liberal Syari’ah, Silent Syariah dan Interpreted Syariah.
Sementara itu, Leonard Binder mengemukakan bahwa bagi kaum muslim liberal, bahasa al-Qur’an sebenarnya merupakan hal yang sederajat dengan hakekat wahyu, namun isi dan pewahyuannya tidak bersifat verbal. Karena al-Qur’an tidak secara langsung mengungkapkan makna pewahyuan. Naka diperlukan upaya pemahaman yang berbasisi kata-kata, namun bukan hanya terbatas pada kata-kata namun harus mencari apa yang hendak disampaikan oleh bahasa wahyu tersebut. Lihat Leonard Binder, Introduction Islamic Liberalism, (Chicago: University Press, 1988).
                [6] William F. O'neil, Ideologi Ideologi Pendidikan, Penerjemah  Omi Intan Naomi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 374
                [7] William F. O'neil, Ideologi Ideologi Pendidikan, Penerjemah  Omi Intan Naomi, h. 412
                [8] Sikap seperti ini bertitik tolak dari konsepsi Al-Qur’an, bahwa manusia pada dasarnya baik, suci dan cinta kepada kebenaran dan kemajuan. Manusia diciptakan Allah dalam keadaan fitrah dan berwatak hanif. Olehnya itu salah satu manifestasi adanya gagasan maju, ialah kepercayaan akan masa depan manusiadalam perjalanan sejarahnya. Lihat Al-Qur’an, antara lain Surah, 8:53; 13:11; 16:78.
               
[9] Pandangan dan kesan seperti ini, lebih jelas diungkapkan Roger Graudy, bahwa  salah satu tidak berkembangmnya filsafa dan ilmu-ilmu yang beruatan pendidikan dan lainnya dalam kebudayaan Islam, adalah sikap penolakan mereka terhadap perkembangan pemikiran manusia yang kreatif. Lihat Janji-Janji Islam, Terjemahan Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang 1982), h.167.
               
[10] Menurut Fazlur Rahman, hilangnya semangat tersebut karena adanya pemahaman yang dikotomik, antara ilmu-ilmu sekuler isuatu pihak dan ilmu-ilmu agama dipihak lain sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ghazali. Lihat Fazlur Rahman,  Islam and Modernitas, Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h.48  
                [11] Mathew Arnold, Cultyure and Anarchy, (London: Cambride University Press, t.th.),h.54
                [12] L. Stoddard, The New World of  Islam, diterjemahkan oleh H.M. Muljadi Djojomardjono, dkk., Dunia Baru Islam, (Jakarta:t, tp.,1966), h.18  
                [13] Pembaharuan revivalis pra-modernis, khususnya gerakan Ibn, Abd al-Wahhab, dengan tepat digambarkan sebagai “denyut pertama kehidupan” dalam Islam setelah kemorosotannya yang pesat dalam beberapa abad sebelumnya. Ciri-ciri umum gerakan ini, dijelaskan oleh Fazlur Rahman, anatara lain: 1) Suatu keprihatinan yang mendalam dan berubah tarhadap kemorosotan sosial –moral masyarakat Muslim, 2) Suatu himbauan untuk kembali ke Islam orisinil, meninggalkan takhyul-takhyul yang dinamakan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional dan berusaha melaksanakan ijtihad. Untuk lebih lengkapnya, lihat Harun Nasution dan Azumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), h.21-22
[14] Pada umumnya kaum Modernis mempunyai latar belakang revivalis, seperti Sayyid  Akhmad Khan, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Pandangan-pandangan mereka tidak jauh berbeda dengan dengan kaum revivalis pra modernis. Yang baru pada kaum modernis, adalah perluasan mereka pada isi  ijtihad. Lingkungan mental mereka secara radikal telah terbuka dari apa yang dihadapi kaum revivalis dan mereka telah terbuka pada gagasan-gagasan Barat, berkat kontak mereka dengan pemikiran dan masyarakat Barat. Lihat  Harun Nasution dan Azumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam, h. 26-27 
                [15] Fazlur Rahman, Islam and Modernitas, Transformation of an Intelectual Tradition, h. 183-184
                [16] Syed Abdul Wahid, Thought and Reflektions of Iqbal, (Lahore:Muhammad Ashraf. 1964), h.60
                [17] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religions Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), h.156
               
[18]Lukman S. Thahir,  Gagasan Islam Liberal Muhammad Iqbal, (Jakarta: Ilmu Jaya, 2002),74
[19] Harun Nasution merinci ciri-ciri teologi sunnatullāh yaitu: 1. Kedudukan akal yang tinggi. 2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan. 3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam   al-Qur’ān dah hadis yang sedikit sekali jumlahnya. 4. Percaya adanya sunnatullāh dan kausalitas . 5. Mengambil arti metaforis dari teks wahyu. 6. Dinamika dalam sikap berfikir. Harun Nasution, op. cit., h 112. Lihat Pula , Mukti Ali dkk, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer, (Yogyayakarta: Tiara Wacana, 1998), h.253-256. 
[20] Harun Nasution dan Azumardi Azra (Penyunting), Perkembangan Modern dalam Islam, 112.  Lihat Pula, Seyyed Hossein Nasr, A.Young Muslim Guide To The Modern World, diterjemah oleh, Hasti Tarekat,   Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim  (Bandung : Mizan, 1994), h. 93.
[21] Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam:   Dari Dinasti Bani Umaiyah hingga Imprilisme Modern, Penerjemah Fadli Bahri, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 127. Lihat pula Moh. ‘Atijah al-Abrasi, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam , Penerjemah Bustani A. Gani dan Johar Bahri (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 19.          
[22]Djohan Efendy, Adam, Khudi, dan Insan Kamil Pandangan Islam tentang Manusia dalam M. Dawam Raharjo, (Penj), Insan Kamil dan Konsep Manusia menurut Islam   (Jakarta: Garafitti Press, 1985), h, 135      
[23]Nurcholis Madjid, Cita-cita politik dalam Aspirasi umat Islam   Indonesia  (Jakarta: Leppenas, 1993), h. 9.
[24] M. Rusli Karim, Pendidikan Islam   Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam   di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: tiara Wacana, 1991), h. 32.   
[25] Fachri Aly dan Bahtiar Effendy,  Merambah jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1987), Lihat Pula Bahtiar Effendy, yang memberi pengantar, pada Oliver Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996)
[26] Tipe pertama pemikiran formalistik dari kalangan cendikiawan Muslim merupakan tipologi pemikiran Islam yang mengutamakan dan menehguhkan ketaatan secara ketat pada format-format ajaran Islam.  Tipe kedua, pemikiran subtansialistik, pola pemikiran ini mengajukan argumen bahwa yang paling penting dari seseorang adalah aksentuasi substansi iman atau peribadatan, bukan hal-hal yang sifatnya simbolik formalistik dan ketaatan literal kepada teks wahyu Tuhan dalam keberagamaan. Al-Qur’an dan al-Hadis Nabi harus ditafsirkan kembali secara runut berdasarkan generasi kegenerasi, tidak mandeg pada suatu tafsir saja, atau satu mazhab saja. Tipe ketiga, pemikiran transformatik, sebuah pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan. Oleh sebab itu secara terus menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang dapat melakukan motivasi dan menstransformasi ,masyarakat dari pelbagai aspeknya dalam skala teoritis maupun praksis.  Tipe keempat, pemikiran totalistik, adalah sebuah pola pemikiran yang mendasarkan bahwa Islam merupakan doktrin yang  kaffah (total), mengandung wawasan dan nilai-nilai yang bersifat komplit dan langgeng yang meliputi seluruh aspek sosial, politik, ekonomi, segi-segi individu, kolektif maupun masyarakat, menurutnya tidak ada ruang kosong untuk menerima partikularistik dan kemajemukan dengan dasar Islam. Hanya dengan dasar Islam inilah problem kemanusiaan akan dapat diselesaikan dan kehancuran manusia akan dapat diselamatkan. Tipe kelima, pemikiran idealistik, sebuah pemikiran Islam yang mengarah  pada “Islam cita-cita” (ideal Islam) sebagai dasar perjuangannya. Islam cita-cita itu tercermin dalam dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi, namun tidak banyak dipraktekkan dalam tingkah laku politik umat Islam. Keenam, Pemikiran realistik. Pemikiran ini berusaha menempatkan antara Islam doktrin (ajaran Islam) sebagai ajaran subtansialis dengan realitas sosial kultural yang ada dan terus berkembang sesuai dengan kontek masyarakatnya. Islam sebagai sebagai agama harus dihadirkan secara kontekstual dan realistik dalam keragaman, yang diwarnai situasi sosial kesejarahan para pemeluknya. Uraian lengkap dapat dilihat, M. Syafii Anwar  Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995).
  
[27] Ahmad Syafii Ma'arif,  Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia,  (Bandung: Mizan, 1992), h.12-13.

[28] M. Dawam Raharjo,  Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik Bangsa,  (Bandung: Mizan, 1992), h.23-41
[29] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989). h.172.
[30] Bahtiar Effendy,  Islam dan Negara,  (Jakarta: Paramadina, 1998). A.Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S, 1985). M. Rusly Karim,  Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1998). Maskuri Abdillah, Islam dan Politik Orde Baru,  (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
[31] Komaruddin Hidayat, “Reposisi Peran Agama,” Kompas,  No. 164  Tahun-35,  27 April 1999, h. 6.
[32] A. Malik Fadjar, Reorintasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999) h. 7.
[33] A. Malik Fadjar, Reorintasi Pendidikan Islam,  h.  53.
[34] A. Malik Fadjar, Reorintasi Pendidikan Islam, h. .7
[35] Muhammad ibn. Abi Bakr ibn Abd. al-Qadir al-Raziy, Mukhtar al-Sihah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1414/1994), h. 647.
[36] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ān  (Cet.III; Bandung: Mizan, 1996), h. 428.
[37] Lihat Q.S. al-Dukhān (44): 13.
[38] A. Malik Fadjar, Reorintasi Pendidikan Islam, h. 35.
[39] Di antara kritik yang dilontarkan adalah kurikulin al-Azhar banyak menekankan kepada perbedaan pendapat daripada mempelajari nilai argumentasi, perbedaan bahasa daripada arti dan tujuan gramatika bahasa, hukum-hukum fiqih yang timbul dalam saat tertentudaripada metode penilaian hukum-hukum tersebut untuk dijadikan pedoman. Olehnya itu Abduh mencariilmu-ilmu yang disebut  oleh Syekh Darwisy di luar al-Azhar. Ilmu-ilmu itu ia jumpai pada seseorang ulama bernama Syaikh Hasan Thawil yang mengetahui falsafat. Logika ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik. Akan tetapi Abduh kurang puas dengan pelajaran yang diberikannya. Kepuasan dalam mempelajari falsafat, matematika, teologi dan sebagainya ia peroleh dari Jamal al-Din al-Afghani yang datang ke Mesir pada tahun 1870.. Lihat Pidato Pengukuhan Suwito,  Pendidikan Yang Memberdayakan,  h.1-2
[40] Harun Nasution,  Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 65. Bandingkan  pula Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h.8.
[41] Bidang-bidang lain yang dimaksud adalah: 1) Kemunduran dibidang agama, 2)keterbelakangan dalam akhlak, 3) keterbelakangan di bidangilmu pengetahuan, 4) keterbelakangan dalam bidang teknologi, 5) keterbelakangan dalam bidang ekonomi, 6) keterbelakangan dalam bidang sosial, 7) keterbelakangan dalam bidang kesehatan, 8) keterbelakangan dalam bidang politik, dan 9) keterbelakangan dalam bidang manajemen. Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, h.3-4.
[42] Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, h.10
[43] Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, h. 12                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                         
                [44] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 31
                [45] Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 23
[46] Paulo Friere, The Politic of Education; Culture, Power, Libaration yang dialih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad  Arif fudiyarto, Dalam Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan. Dan Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Jaya, 1999), h. 172.      
[47] Paulo Friere, The Politic of Education; Culture, Power, Libaration yang dialih bahasa Agung Prihantoro dan Fuad  Arif fudiyarto, Dalam Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan. Dan Pembebasan,  h. 173.
[48] Ahmad Syafii Ma'arif, Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia, h. 29.
[49] Syahrun Harahap, Islam Dinamis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 118.
[50] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho (Jakarta Gramedia, 1984),  h. 6-7. Lihat Juga Ahmad  Syafii Ma'arif, Peta Bumi Pemikiran Islam di Indonesia, h. 29.
[51] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terjemahan A.A. Nugroho (Jakarta Gramedia, 1984),  h. 7
[52] Soedjatmoko, Etika Pembebasan  (Jakarta:LP3S, 1984) h. V.
[53] Soedjatmoko,  Pembangunan dan Pembebasan ,( Jakarta: LP3S, 1984) h. 5.
                [54] Ini sama dengan tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh al-Ghazali dalam Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah, (T.t: t.pn, t.th), h. 9. Ibn Khaldun sebagaimana yang dikutip oleh Athiyah merumuskan dua tujuan pendidikan, 1). Tujuan yang berorientasi akhirat yaitu membentuk hamba-hamba Allah yang dapat melaksanakan kewajibannya kepada Allah. 2). Tujuan yang berorientasi dunia yaitu membentuk manusia-manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfat bagi orang lain. Lihat M. Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falsafatuha, (Mesir: Isa al-Babi al-halabi, 1975), h. 277.
[55] Lihat Q.S. ar- Al-Rād   (13): 11.
[56]M. Dawam Raharjo,  Intelektual Intelegensi dan Prilaku Politik Bangsa: Risalah Cendikiawan Islam   (Cet. IV; Bandung: Mizan, 1999), h. 450. Lihat Juga Qasim Amin, Tharir al-Mar”ah (Kairo: Dar al-Ma’arif,  t.th). h. 38.
[57]Mansur Fakih, Mencari Teologi Untuk Kaum Tertindas dalam 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat: Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, h. 176
[58]Andi Rasdiyanah,  Butir-butir pengarahan Direktur Jendral Pembinaan Kelembagaan agama Islam  , dalam pelatihan  Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan Bagi Dosen Pendidikan Agama Islam  di Perguruan Tinggi Umum (Bandung: 11 September 1995), h. 4-7.
[59] M. Imran, al-Amal al-Kamlat yang dirujuk oleh Arbiah Lubis Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh salah satu studi perbandingan (Jakarta; Bulan Bintang, 1993), h. 153.  
[60]M. Imran, al-Amal al-Kamlat yang dirujuk oleh Arbiah Lubis Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh salah satu studi perbandingan, h. 153.  Lihat pula, Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),h.198-199.
[61]Rusli Karim, M. Rusli Karim, Pendidikan Islam   Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam   di Indonesia Antara Cita dan Fakta, h.34.
[62]Rusli Karim, M. Rusli Karim, Pendidikan Islam   Sebagai Upaya Pembebasan Manusia dalam Muslim Usa (Ed.) Pendidikan Islam   di Indonesia Antara Cita dan Fakta, h.34.
[63] Hoyle, Strategi Of Curiculum Change, h-36-37.
[64] Ashraf, New Horizon in Muslim Education, (London:The Islamic Academy, Cambridge University, 1985), h.31.Lihat pula, Amril Mansur, Paradigma Baru Reformasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press, 2006), h. 274-275.
[65] Charles Kurzaman (Edt), Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2003),  h.xxiii, Bandingkan Juga, Leonard Binder, Islamic Liberalism A. Critique of Development Ideologis,  h. 4
[66] M.Thalib dan Haris Fajar,  Dialog Bung Karno- A. Hassan, (Yogyakarta: Sumber Ilmu,1985), h.75-89.
[67] M.Thalib dan Haris Fajar,  Dialog Bung Karno- A. Hassan,  h.75-89.
[68] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2002), h. 44.  
[69] Fauzan al-Anshori,  Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003).
[70] Ali Abd. al-Hamid Mahmud, Fiqh al-Dakwah al Fardiyyah, dialih bahasa As’ad Yasin dengan judul Dakwah Fardiyah Metode Membentuk Pribadi Muslim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 170.
   [71] H. A.R.  Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h.17. 
[72] Mastuhu,  Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, ( Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 5.
                 [73] A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), h. 25.
[74] H. Endang Saifuddin Anshari,  Kuliah Al-Islam (Jakarta: Rajawali, 1989), h 176-177.
                 [75]Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana Islam meresponi dan memecahkan tantangan itu. Lihat Khursid Ahmad,”Islam and The Problem Of Education,”  al Jami’ah,  no 5 tahun 1979, h. 1. 
     [76] Yakub Matondang,  Perguruan Tinggi Islam Sebagai Subjek Dan Dan Objek Moral Akademik Di Era Globalisasi,  Dalam, Perguruan Tinggi Islam Di Era Globalisasi, oleh Syahirin Harahap (Ed.) (Yogyakarta: Tira Wacana, 1998), h.13.
 [77]Syekh Ali Mahfuz, Hidayat al-Musyidin (Cet. VI; Kairo: al-Matba’at al-Usmaniyyah al-Misiyyah, 1958), h. 69-70.
 [78] Sayyid Muhammad Nuh, Manhaj ahl al Sunnah Waal Jama’ah Fi Qadiyyat al-Taqayyur Bi Janibaih al-Tarbawi Wa al-Da’awiy (Cet. II;t.tp: Dar al- Wafa al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1991), h. 29.
                [79] Abu Khalil Abu al-Ainain, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qur'an al-Karim, (T.t: Dar al-Fikr al-Arabi, 1980), h. 154
   [80]George Khan, “Indonesia Politiks and Nationalism” dalam William L. Holland (ed.) Asian Nationalism and the West (New York: Macmillan, 1953), h. 109.
[81]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan 1995),h. 243-244.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar