KALALAH DALAM AL-QUR’AN
(Analisis Terhadap Kalalah
Dalam Surat al-Nisa’: 176)
Evra Willya
Jurusan Ushuluddin STAIN Manado
Jl. DR. SH. Sarundajang Kawasan Ringroad I
Manado
e-mail: evrawillya@ymail.com
Abstrak
Persoalan kalalah berkaitan dengan status saudara baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris dari
seseorang yang meninggal. Saudara berhak memperoleh harta warisan selama tidak
ada walad. Kata walad disebutkan sehubungan dengan persyaratan
seseorang pewaris menjadi kalalah. Dalam ayat disebutkan bahwa seorang
pewaris dinamakan kalalah bila tidak meninggalkan walad. Hal ini
berarti keberadaan walad
menyebabkan saudara-saudara tidak berhak menerima warisan. Pandangan umum memahami arti walad secara isti’mali yang menunjukkan anak laki-laki saja. Tulisan ini akan menguraikan tentang keberadaan walad. Dengan menggunakan metode
komparatif, kalalah akan dilihat dari
perspektif sunni dan syi’ah. Kedua kelompok ini mempunyai pandangan yang
berbeda ketika menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 176. Penulis menyimpulkan bahwa
ulama Sunni
Perbedaan pendapat
dalam masalah ini telah terjadi semenjak masa sahabat. Hal ini disebabkan
karena Nabi sendiri tidak pernah memberikan jawaban yang tuntas sehingga dalam
satu riwayat dinyatakan bahwa umar pernah menanyakan arti kalalah kepada
Nabi sampai beberapa kali, tetapi tidak pernah dijawab secara tegas. Menurut
Nabi redaksi surat al-Nisa’ ayat 176 sudah cukup memadai. Sehingga dengan
demikian Umar menggolongkan persoalan kalalah sebagai persoalan yang
tidak pernah tuntas sampai akhir hayatnya. Jumhur ulama ahlu Sunnah berpendapat
bahwa kalalah adalah orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan
ayah. Jumhur ulama memahami bahwa kata walad yang disebutkan dalam surat
al-Nisa’ ayat 176 tersebut adalah anak
laki-laki saja. Dengan demikian anak
perempuan tidak menutup hak kewarisan saudara-saudara karena keberadaannya
tidak mempengaruhi arti kalalah. Kedudukan saudara perempuan kandung
atau saudara perempuan seayah ketika ada anak perempuan menjadi ashabah.
Mereka memperoleh haknya atas harta peninggalan tidak ditentukan dengan angka
furud tetapi mendapat seberapapun dari sisa harta kalau ada.
Kata kunci: waris, walad, kalalah
A. Pendahuluan
Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah-masalah ibadah kepada Allah SWT. Islam juga mengatur
hubungan manusia sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan.
Nabi Muhammad SAW membawa hukum waris Islam untuk mengubah
hukum waris masa jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan
yang menurut Islam tidak adil. Hak waris hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang sudah mampu memanggul
senjata untuk berperang dan dengan itu
dapat memperoleh harta rampasan. Sementara laki-laki yang belum dewasa dan
perempuan tidak mempunyai hak waris. Dalam
hukum waris Islam, setiap pribadi apakah dia laki-laki atau perempuan
berhak memiliki harta benda.
Pelaksanaan
hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan dengan sistim kekeluargaan. Dari
seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, hukum perkawinan dan kewarisanlah
yang menentukan dan mencerminkan sistim
kekeluargaan. Menurut Hazairin bentuk kekeluargaan berpokok
pangkal kepada sistem keturunan. Pada pokoknya ada
tiga macam sistem keturunan,
yaitu: patrilineal[1], matrilineal[2], dan parental atau bilateral.[3]
Di
samping mencerminkan sistim kekeluargaan, -kewarisan-, sebagaimana pada
bidang-bidang fikih lainnya materinya di samping dijadikan sebagai jawaban terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi juga
menyediakan persediaan jawaban terhadap kemungkinan kasus-kasus yang
bermunculan dikemudian hari. Kejadian yang muncul kemudian ada yang memang
langsung terjawab oleh jawaban yang
telah disediakan dan banyak pula yang tidak tertampung dalam jawaban yang ada.
Dengan begitu hukum kewarisan yang mulanya sederhana menjadi semakin rumit.[4]
Demikianlah
halnya dengan ayat kalalah yang diatur dalam surat al-Nisa’ ayat 12 dan 176.
وان كان رجل يورث كلا
لة او امراءة وله اخ او اخت
فلكل واحد منهما السدس فان كانوا
اكثر من ذلك فهم شركاء في
الثلث …
Artinya: Jika
seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan mewarisi dalam
keadaan kalalah, mempunyai seorang
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, maka masing-masing dari keduanya mendapat
seperenam. Jika mereka itu lebih dari satu orang, maka mereka berserikat dalam
sepertiga. ( al-Nisa’ : 12).
Selanjutnya ayat 176 menyatakan :
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة ان امرؤ هلك ليس له ولد وله اخت
فلها نصف ما ترك وهو يرثها ان لم يكن لها ولد فان كانتا اثنتين
فلهما الثلثان مما ترك وان كانوا اخوة رجالا ونساء فللذكر مثل حظ
الانثيين…
Artinya: Mereka
minta fatwa kepadamu (tentang kalalah) katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah yaitu seorang yang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagian saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara
perempuan) jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua
orang maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan dan jika
mereka ahli waris itu terdiri dari saudara laki-laki dan saudara perempuan,
maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian
dua orang saudara perempuan. (al-Nisa’
176).
Persoalan kalalah
dalam konteks kewarisan tidak terlepas dari pembicaraan tentang status saudara baik laki-laki maupun
perempuan sebagai ahli waris dari seseorang yang meninggal. Saudara berhak memperoleh harta warisan sesuai dengan furudnya selama tidak ada walad.
Ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam ayat 176. Kata walad
disebutkan di sini sehubungan dengan persyaratan seseorang pewaris menjadi kalalah.
Dalam ayat disebutkan bahwa seorang pewaris dinamakan kalalah bila tidak
meninggalkan walad. Hal ini berarti keberadaan walad menyebabkan saudara-saudara tidak berhak
menerima warisan.
Keberadaan
walad membawa persoalan kalalah sebagai salah satu persoalan kewarisan
berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah dan tampaknya sudah menjadi sunnatullah
bahwa persoalan ijtihadiyah ini melahirkan
perbedaan di kalangan ulama. Munculnya perbedaan pandangan tersebut
dilatarbelakangi oleh perkataan walad yang ternyata mempunyai multi interpretasi.
Apakah arti walad menunjukkan arti hakikat yang mencakup pengertian
untuk anak laki-laki dan anak perempuan atau arti isti’mali yang
menunjukkan anak laki-laki saja.
Perbedaan
pendapat dalam masalah ini telah terjadi semenjak masa sahabat. Hal ini
disebabkan karena Nabi sendiri tidak pernah memberikan jawaban yang tuntas
sehingga dalam satu riwayat dinyatakan bahwa umar pernah menanyakan arti kalalah
kepada Nabi sampai beberapa kali, tetapi tidak pernah dijawab secara tegas.
Menurut Nabi redaksi ayat 176 sudah
cukup memadai. Sehingga dengan demikian Umar menggolongkan persoalan kalalah
sebagai persoalan yang tidak pernah tuntas sampai akhir hayatnya.[5]
Jumhur ulama ahlu Sunnah berpendapat bahwa kalalah adalah
orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah.[6] Jumhur ulama memahami bahwa kata walad yang
disebutkan dalam ayat 176 tersebut
adalah anak laki-laki saja. Dengan demikian anak perempuan tidak menutup hak kewarisan
saudara-saudara karena keberadaannya tidak mempengaruhi arti kalalah.
Kedudukan saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah ketika ada
anak perempuan menjadi ashabah. Mereka memperoleh haknya atas harta
peninggalan tidak ditentukan dengan angka furud tetapi mendapat seberapapun
dari sisa harta kalau ada.
Dari
pemahaman Jumhur tentang pengertian kalalah
ini dapat diketahui bahwa pengaruh dan pola pikir Arab Jahiliyah tidak
secara serta merta ditinggalkan. Bahkan terlihat pengaruh sistim kekerabatan patrilineal Arab
ketika membicarakan kalalah.
B. Sistem Kekerabatan Arab
Semenjak
dahulu sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu social maupun
kalangan-kalangan lainnya. Hal ini terutama disebabkan karena manusia ingin
mengetahui sejarah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat sebagai
suatu system yang menyeluruh.
System
kekerabatan sebenarnya merupakan terjemahan
dari istilah kinship system yang diartikan sebagai : “The
social recognition and expresseion of genealogical relationship, both
consangguneal and affinal”,[7]yaitu ungkapan dan pengakuan social terhadap hubungan yang didasarkan
kepada keturunan baik dalam bentuk
hubungan darah maupun hubungan
perkawinan.
Untuk
mendapatkan suatu gambaran yang analitik mengenai kekerabatan, dapat dilihat
dari analisa klasik yang berasal dari karya antropolog terkemuka yaitu George
Peter Murdock. Murdock sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto, mengatakan bahwa system kekerabatan bukanlah suatu kelompok social di dalam masyarakat serta tidak
dikaitkan dengan suatu kumpulan individu-individu yang terorganisasikan. Suatu
system kekerabatan tidak lain merupakan system hubungan yang terstruktur di
mana setiap individu terikat satu sama lain dengan suatu keterikatan yang
komplek dan ikatan yang bercabang-cabang.
Titik
tolak analisa Murdock terhadap system kekerabatan adalah keluarga batuh (nuclear
family). Secara umum di dalam keluarga batih seorang anak mula-mula
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk untuk mengadakan hubungan timbal balik
yang saling pengaruh mempengaruhi. Di dalam keluaraga batih tersebut anak untuk
pertama kalinya mengalami hubungan antar
manusia. Dengan cara-cara tertentu anak belajar untuk memberi tanggapan
terhadap ayah, ibu atau saudara-saudaranya. Tanggapan tersebut semakin lama
semakin berkembang sesuai dengan proses sosialisasi yang dialaminya, yang
lazimnya memberi petunjuk-petunjuk mengenai
nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat atau
budaya.[8]
Keluarga
inti dalam pandangan Murdock mempunyai dua fungsi pokok yaitu:
- Keluarga inti merupakan kelompok di mana individu pada dasarnya dapat menikkmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidup.
- Keluarga inti merupakan kelompok dimana individu, waktu sebagai anak-anak masih belum berdaya, mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikannya.[9]
Ikatan kekerabatan antara
anggota-anggota keluarga terdiri atas 3 ketagori :
- Ikatan antara pasangan kawin yaitu hubungan suami istri
- Ikatan antara pasangan yang kawin dengan anak-anaknya yaitu hubungan orang tua – anak
- Ikatan antara anak-anak dari pasangan yang kawin yaitu hubungan saudara.[10]
Sistem kekerabatan merupakan sebuah
mekanisme atau cara di mana menghubungkan keluarga-keluaraga melalui perkawinan
dalam berbagai bentuk. Hal ini
mempengaruhi kesatuan struktur social umum
namun juga akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membentuk suatu
mode atau tatanan yang teratur dalam lingkungan mereka.[11]
Dari semua penjelasan di atas dapat
diketahui bahwa kekerabatan adalah unit social yang orang-orangnya masih
mempunyai hubungan keturunan . Keluarga adalah sebab terbentuknya kekerabatan.
Suatu keluarga yang tadinya berbentuk
keluarga inti atau keluarga batih yang hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak
apabila telah berkembang maka keluarga
inti tadi akan berubah bentuknya menjadi keluarga yang besar dan jumlahnya
tidak lagi hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak, akan tetapi sudah lebih dari
itu. Bahkan dari setiap anak sudah mempunyai keturunan-keturunan sendiri. Namun
demikian dari keturunan-keturunan tadi jika ditarik garis keturunan ke atas,
maka itu tetap satu saudara yang masih mempunyai hubungan darah. Apabila
keturunan-keturunan yang mempunyai hubungan
darah ini dikelompokkan maka akan terbentuk suatu unit social yang
dinamakan kekerabatan.
Bentuk kekerabatan seperti ini
nampaknya berlaku pada setiap masyarakat di mana saja berada tidak
terkecuali masyarakat Arab. Menurut Hisyam Syarabi sebagaimana yang
dikutib oleh Nasaruddin Umar bahwa bentuk kekerabatan keluarga masyarakat Arab
pra-Islam atau permulaan Islam dapat dibedakan atas lima bentuk:
·
Kabilah
(qabilah)
·
Subkabilah
( ‘ashirah)
·
Suku
(hamulah)
·
Keluarga
besar (‘a-ilah)
·
Keluarga
kecil (usrah)
Kelima bentuk keluarga ini ditemukan di
daerah tertentu di kawasan jazirah Arab. Namun kelima bentuk tersebut tidak
dianut secara identik karena sesuai dengan watak dasar bangsa Arab yang nomaden[12], sudah
barang tentu mereka akan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi di mana mereka
berada. Ada kemungkinan di suatu tempat mereka hidup secara qabilah atau sub
kabilah, tetapi di tempat lain mereka hidup sebagai keluarga besar atau
keluarga kecil.
Apapun nama dan bentuk kesatuan
sosialnya kedudukan laki-laki di dalam lima kelompok masyarakat tersebut tetap
sentral sifatnya. Segala kebijakan
prinsip, baik dalam lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan
keluarga terbesar berada di tangan laki-laki. Sebaliknya perempuan berada dalam
posisi yang subordinatif. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam
kelompok-kelompok tersebut adalah laki-laki.[13]
Ciri system kekerabatan secara umum
dikenal ada dua bentuk yaitu ketentuan
yang berhubungan dengan tempat tinggal dan ketentuan yang berhubungan dengan
keturunan. Hampir seluruh masyarakat tradisional menggunakan kedua pola ini di
dalam mengorganisasi individu ke berbagai tipe kelompok kekerabatan. Ketentuan-ketentuan ini mengatur siapa
dan dengan siapa seseorang harus tinggal sesudah melangsungkan perkawinan.
Dalam hubungan ini dikenal beberapa bentuk aturan tempat tinggal sesudah
perkawinan, yaitu :
1.
Patrilokalitas, pasangan nikah tinggal dalam rumah tangga
ayah suami
2.
Matrilokalitas,
pasangan nikah tinggal tinggal dalam rumah tangga ibu istri.
3.
Avunkulokalitas, pasangan nikah tinggal dalam rumah
tangga saudara laki-laki ibu suami
4. Bilokalitas, pasangan nikah bergantian tinggal diantara
kelompok kerabat suami dan istri
5. Ambilokalitas, pasangan nikah dapat
memilih untuk tinggal dengan kelompok kerabat suami atau istri
6.
Natolokalitas,
suami dan istri tidak tinggal bersama; masing-masing tinggal di rumah
tangga tempat masing-masing dilahirkan
7. Neolokalitas, pasangan nikah menentukan
sendiri suatu tempat tinggal yang bebas. [14]
Seperti pada umumnya masyarakat di
kawasan Timur Tengah ketika itu, masyarakat Arab menganut sistim Patriarki (al-mujtama’
al-abawi). Otoritas bapak atau suami menempati posisi yang dominan dalam
keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan,
keselamatan dan kelangsungan keluarga. Ibu atau Istri hanya ikut terlibat
sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Untuk itu bapak dan kaum
laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekwensi
dari tanggung jawab mereka yang sedemikian besar dibanding pihak istri atau perempuan secara umum. Nama
keluarga bagi anak-anaknya diambil dari nama bapaknya.
Sebagai masyarakat patrilineal, bangsa
Arab menentukan silsilah keturunan berdasarkan ayah. Asal-usul genealogis
bangsa Arab dapat dilacak sampai ke tingkat tinggi, dan inilah salah satu
kekhususan masyarakat Arab yang senantiasa memelihara keutuhan dan eksistensi
garis keturunannya, sekalipun unsur
kekeliruan dan rekayasa dalam silsilah sering ditemukan. Dalam bentuk
kekeluargaan seperti ini perempuan tidak pernah dicantumkan sebagai nama marga
atau nasab betapapun hebatnya seorang perempuan itu. Tinggi rendahnya status social
berdasarkan garis genealogis ditentukan oleh pihak bapak. Martabat seseorang
diukur dari garis keturunan bapaknya.[15]
Kemudian Islam datang dengan semangat egaliter kemanusiaan di
antaranya telah ditunjukkan Rasul SAW dalam upaya memperbaiki nasib kaum
perempuan, baik dalam bidang keagamaan maupun aspek social kemasyarakatan.
Namun demikian gagasan Islam tentang
perempuan kelihatannya tidak selalu dapat terwujudkan dalam sejarah. Dalam
masyarakat kesukuan yang patrilineal, pembagian tugas dan fungsi antara
laki-laki dan perempuan sebagai lanjutan dari kebudayaan pra-Islam terus
berlangsung. Beberapa perubahan yang tegas tercantum dalam al-Qur’an atau hadis
telah mengubah tradisi yang ada seperti dalam hak kewarisan. Namun banyak ayat
dan hadis yang kemudian diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga lebih dekat
dengan tradisi pra-Islam.[16]
C. Kalalah
Kata kalalah adalah bentuk
masdar dari kata “kalla” yang
secara bahasa berarti letih atau lemah. Kata kalalah ini pada asalnya digunakan untuk menunjuk pada
sesuatu yang melingkarinya, yang tidak berujung ke atas dan ke bawah seperti
kata “iklil” yang berarti mahkota, karena ia melingkari kepala. Seseorang dapat disebut kalalah
manakala ia tidak mempunyai keturunan dan leluhur (anak dan ayah. Kerabat garis
sisi disebut kalalah karena berada disekelilingnya bukan di atas atau di
bawah.[17]
Kata kalalah kemudian dipergunakan
untuk seseorang yang tidak punya ayah dan anak.[18]
Istilah kalalah penggunaannya
bisa untuk pewaris dan bisa juga untuk ahli waris. Ada pendapat beberapa ahli
bahasa tentang pewaris yang kalalah, yaitu:
1.
Orang yang tidak
punya anak dan orang tua
2.
orang yang tidak
punya keluarga dan kerabat
3.
orang yang tidak
punya anak, orang tua dan saudara.[19]
Sedangkan ahli waris yang kalalah
adalah saudara sebapak, saudara seibu atau saudara kandung.
Terdapat tiga pendapat dalam menjelaskan fungsi kata kalalah yang terdapat di dalam ayat 12 (wa in
kana rajulun yuratsu kalalatan)
1.
Beberapa ahli
nahwu Bashrah mengatakan bahwa kalalatan sebagai khabar dari kana
sehingga berarti orang yang tidak meninggalkan orang tua dan anak, sedangkan yuratsu
menjadi sifat dari rajul yang
berarti orang yang orang lain mewarisi darinya.
2.
Sebagian ulama
Bashrah yang lainnya berpendapat bahwa kalalatan adalah hal yang berarti jika seseorang yang darinya diwarisi
sedangkan ia tidak meninggalkan orang tua dan anak.
3.
Al-Thabari
berpendapat bahwa kalalatan adalah mashdar dari bacaan wa in kana rajulun yuritsu
mutakalillahu al-nisbi kalalatan. Bacaan yuritsu diubah menjadi yuratsu
dengan membuangkan mutakalillahu al-nisbi.[20]
Al-Thabari menjelaskan bahwa memang
terdapat perbedaan terhadap bacaan yuratsu. Pada umumnya umat Islam
membaca wa in kana rajulun yuratsu kalalatan. Sebagian yang lain membaca
waa in kana rajulun yuritsu kalalatan. Arti kedua bacaan ini tidak berbeda tetap
memberikan bagian kepada saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.[21]
Menanggapi ahli waris yang kalalah
ini, David S. Powers menyatakan bahwa ahli waris yang kalalah adalah menantu perempuan bukan saudara perempuan. Menurutnya akar kata
k-l-l muncul pada sejumlah bahasa
Semitis, selain bahasa Arab, termasuk bahasa Akkad, Aram, Syiria dan Ibrani.
Dalam empat bahasa terakhir ini, kata yang cocok dengan bahasa Arab kalalah berfungsi sebagai istilah untuk kerabat
perempuan. Dalam bahasa Aram, kallatu, yang muncul pada sejumlah
prasasti hukum berarti seorang perempuan muda yang di dapat oleh kepala sebuah
rumah tangga sebagai istri untuk anak laki-laki yang hidup di dalam rumah
tangga itu, karenanya ia adalah seorang menantu perempuan. Dalam keadaan tertentu
kata kallatu juga berarti saudari ipar. Sementara bahasa Aram dan Syiria
kallta dan bahasa Ibrani kallah
berarti menantu perempuan dan juga
seorang pengantin putri.
Kesangatmiripan antara kata-kata kallatu,
kallta dan kallah di satu pihak dengan kalalah di pihak lain
melahirkan kemungkinan yang menarik bahwa istilah Arab kalalah yang artinya tidak jelas bagi khalifah Umar,
sebenarnya adalah kosa kata pinjaman dari bahasa Semitis lainnya. Dalam kasus
ini, selama masa hidup Muhammad dan segera sesudah kemangkatannya, kata kalalah
mungkin berfungsi sebagai istilah untuk kerabat perempuan yang nilai
semantisnya mencakup satu atau lebih dari konsep pengantin perempuan, menantu
perempuan dan saudari ipar.[22]
David S. Powers berpendapat bacaan yuratsu yang ada pada ayat 12 adalah yuritsu,
menurutnya ayat 12 ini berarti seseorang yang mati dengan tidak meninggalkan
orang tua dan anak. Ayat ini membicarakan sebuah kasus di mana kerabat sedarah
almarhum yang terdekat yang masih hidup menerima bagian yang jumlahnya tidak
ditentukan.
Kemudian ayat 176 Surat al-Nisa’ dibuka
dengan menyinggung suatu pertanyaan ” yang
tidak disebutkan tentang apa” kepada
Nabi oleh para sahabatnya: yastaftunaka. Allah tiba-tiba
memerintahkan kepada Nabi tentang bagaimana Nabi menjawab pertanyaan sahabat
tersebut dengan :qul: Allahu yuftikum fi al-kalalah. Perujukan
pertanyaan ini kepada kalalah menunjukkan hubungan antara ayat ini
dengan ayat 12.[23]
Hubungan kedua ayat ini dapat dilihat
dari riwayat yang
menyatakan tentang kebingungan
Umar tentang maksud kalalah.
Di antaranya adalah riwayat dari Sa’id bin al-Musayyab yang menyatakan bahwa
Umar telah menulis sebuah dokumen mengenai kakek dan kalalah, ia
melakukan yang demikian sambil berdoa kepada Allah:Ya, Allah jika engkau mengetahui kebaikan dokumen ini,
maka tetapkanlah ia”, sampai ketika ia ditikam, ia meminta dokumen tersebut dan
menghapus tulisannya. Dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang telah ia
tulis. Umar berkata: “ Aku telah menulis dokumen sambil berdoa tentang itu,
sebagai hasilnya aku telah memutuskan
untuk membiarkan kalian mempercayai apa yang sudah kalian percaya.”
Selanjutnya adalah riwayat Thariq bin
Syihab, ia berkata: Umar mengambil sebuah tulang belikat, mengumpulkan para
sahabat Muhammad Saw kemudian berkata: saya pasti akan mengatakan sebuah
keputusan tentang kalalah yang
akan dibicarakan kaum wanita dikediamannya”. Pada saat itulah tiba-tiba seekor
ular muncul di ruangan dan menyebabkan mereka bubar. Seandainya, kata Umar: “
Allah menghendaki agar masalah ini diselesaikan, Dia pasti menyelesaikannya.”[24]
Berdasarkan hal di atas David S. Powers
menyatakan bahwa makna ayat 12 dan 176
surat al-Nisa’ bukanlah tipe
saudara/saudari yang berubah dari ayat yang pertama ke ayat berikutnya seperti
yang umum dipercaya, tetapi keadaan yang dihadapi oleh saudara/saudari itu yang
berubah. Ayat pertama memberikan kompensasi kepada saudara/saudari yang
terhapus hak warisnya dengan memberi mereka
fard kecil warisan:
sementara ayat kedua membenarkan pemberian itu
dengan cara menunjukkan hak waris saudara/saudari atas warisan. Oleh
karena itu tidak perlu lagi diadakan pembedaan antara saudara/saudari seibu
dengan saudara/saudari seayah dan
sekandung.[25]
Jadi setiap petunjuk yang ditarik dari
riwayat-riwayat tersebut memberikan kontribusi signifikan pada penjelasan
alternatif yang diusulkan bagi ayat 12 dan 176: Bukanlah pidato yang gagal yang
disampaikan Umar ketika ia memegang tulang belikat, bukan pula dokumen
yang ia hapuskan saat menjelang wafat, tetapi pembacaan dan pemahaman terhadap
teks al-Qur’an itu sendiri itulah yang menjadi pokok pembicaraan. Indikasi yang diberikan Umar
bahwa jika makna kalalah telah
diketahui para wanita, maka mereka akan membicarakannya dikediaman mereka,
mungkin dapat dikaitkan dengan
pernyataan bahwa kalalah sebenarnya
adalah sebuah istilah untuk kerabat perempuan dan bahwa ayat 12 berisi
tentang penunjukan seorang menantu
(perempuan) atau istri sebagai ahli waris. Akhirnya jawaban Nabi atas pertanyaan
Umar yang bertubi-tubi tentang kalalah dengan sendirinya menjadi jawaban
yang jelas dan terus terang atas pertanyaan mengapa para saudara/saudari dalam
ayat 12 menerima bagian warisan meskipun ada orang lain yang telah ditunjuk
sebagai ahli waris.[26]
Selanjutnya tentang kata walad. Ibn al-Arabi menyatakan bahwa
zhahir al-Qur’an menjelaskan kalalah
dengan orang yang tidak punya ayah dan anak laki-laki serta meninggalkan
saudara. Kalalah adalah nama yang ditetapkan secara bahasa. Di antara
makna kalalah yang ditetapkan secara bahasa itu salah satunya dipakai
untuk pengertian secara syara’. Ayat 176 surat al-Nisa’ menamakan pewaris itu
dengan kalalah dan menyebutkan
bagian-bagian yang akan diterima oleh para ahli waris. Bapak dan anak tidak
disebutkan dalam ayat tersebut. Ibn al-Arabi yakin bahwa inilah yang dimaksud oleh Allah
dengan kalalah. Pengertian yang seperti ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya pengertian musytaq (makna-makna kalalah yang lain)
menghendaki itu seluruhnya dan pengertian secara bahasa pun mutlak menghendaki
demikian.[27]
Yang dapat dipahami dari penjelasan ini
adalah pengertian kalalah secara istilah tersebut mengikuti pengertian kalalah
secara bahasa, dalam arti makna kalalah itu diambil dari
pengertiannya secara bahasa bukan secara istilah. Oleh karena itu dapat
dipahami bahwa kalalah adalah
seseorang yang meninggal yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
Sebenarnya persoalan kalalah telah menjadi diskusi yang luas di kalangan
sahabat dan ulama sesudahnya. Mereka berbeda dalam menanggapi lafal walad yang
terdapat dalam ayat 176. Ada yang
mengartikan dengan anak laki-laki dan anak perempuan, sedangkan yang lain
mengartikannya dengan anak laki-laki saja. Di samping itu ada yang memperluas
makna walad itu kepada walid ( ayah ).
Dalam al-Qur’an ditemukan kata walad
sekitar tiga puluh tiga kali,
sedangkan dalam bentuk jamak sekitar dua puluh tiga kali. Khusus dalam
ayat-ayat warisan yang menyebutkan hak anak-anak, terdapat delapan kali kata walad
dan satu kali kata awlad. Keseluruhan kata itu berartti untuk anak
laki-laki dan anak perempuan. Meskipun digunakan kata Ibnu , namun tidak
ada hubungannya dengan kewarisan seperti ibnu Maryam yang lebih dua
puluh tiga kali disebutkan dalam al-Qur’an. Ibnu sabil sekitar delapan
kali dan Ibnu Allah sebanyak dua
kali. Sedangkan kata anak perempuan secara khusus digunakan
sebanyak dua kali, tetapi tidak ada hubungannya dengan hak-hak yang diperoleh
seperti ibnatu Imran , Penggunaan Ibnu sabil menunjukkan bahwa meskipun menurut lahirnya
digunakan kata muzakkar namun artinya tetap menjangkau kepada perempuan
juga.[28]
Ulama telah sepakat dalam memahami kata
walad yang enam kali tersebut dalam surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 dan
satu kali kata awlad adalah anak
laki-laki dan anak perempuan. Dengan demikian walad yang dapat mengurangi hak ibu dari sepertiga
meenjadi seperenam, hak suami dari seperdua menjadi seperempat dan hak istri
dari seperempat menjadi seperdelapan adalah anak laki-laki dan anak perempuan.
Begitu pula yang menetapkan ayah mendapat seperenam waktu tidak ada walad
maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan.
Namun dalam memahami kata walad yang disebutkan dua kali dalam ayat 176 ulama
tidak sepakat. Kata walad disebutkan di sini sehubungan dengan
persyaratan seseorang pewaris menjadi kalalah. Dalam ayat disebutkan bahwa seorang pewaris
disebut kalalah bila tidak meninggalkan walad. Hal ini berarti
keberadaan walad menyebabkan saudara-saudara tidak berhak menerima
warisan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di
atas bahwa telah terjadi diskusi yang luas di kalangan sahabat tentang kalalah
ini. Bahkan Umar sendiri pernah bertanya kepada Rasul mengenai kalalah.
Rasul menjawab : cukup engkau memahami
sendiri akhir surat al-Nisa’ ayat 176. Sebab turun ayat 176 ini adalah ketika Jabir
bin Abdillah mengadukan masalahnya kepada
Nabi sementara ia tidak mempunyai anak dan orang tua lagi.[29]
Ibn al-Arabi menyatakan bahwa ketika
Umar menanyakan tentang kalalah kepada Rasul, rasul menjawab bahwa kalalah
itu cukup dipahami dari ayat terakhir surat al-Nisa’. Mendengar jawaban
Rasul tersebut Umar menyatakan: kalau aku sempat berumur panjang aku akan
menghukum kalalah dengan hukum
yang dipahami oleh orang yang bisa dan orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an,
kalalah adalah orang yang tidak punya anak.[30]Di
sini terlihat Umar tidak mempunyai
keyakinan yang pasti tentang kalalah apakah tidak punya anak saja atau
juga tidak punya ayah. Ketidakyakinan Umar ini terlihat ketika pendapatnya berbeda dengan pendapat
Abu Bakar yang menyatakan kalalah
adalah orang yang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak, karena
inilah arti kalalah yang mashur
di kalangan orang Arab.[31]
Rasyid Ridha menyatakan dalam tafsirnya tentang keragu-raguan Umar ini dan menguatkan pendapat jumhur yang
menganggap kalalah sebagai orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki
dan ayah.[32]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui
bahwa pada awalnya Umar berpendapat kalalah adalah orang yang tidak punya anak,
berdasarkan ayat 176 surat al-Nisa’, tetapi kemudian pendapat Umar dikritik
oleh Abu Bakar yang memahami kalalah berdasarkan pemahaman yang sudah
ada di kalangan orang Arab yaitu anak laki-laki dan ayah. Kuat dugaan Umar
merasa bahwa kalalah adalah orang
yang tidak punya anak tapi masih mempunyai orang tua seperti yang ditunjukkan
oleh zhahir ayat 176.
Apabila dihubungkan dengan peristiwa
yang mendahuluinya yaitu orang-orang
yang meminta penjelasan kepada Nabi tentang maksud kalalah yang ada pada
ayat 12 dapat dipahami bahwa orang sama sekali tidak mengetahui maksud kalalah,
karena kalalah belum pernah terjadi pada waktu itu. Di samping itu
dapat juga dipahami bahwa orang Arab mengetahui maksud kalalah, tetapi
pemahaman mereka salah sehingga turunlah surat al-Nisa’ ayat 176 untuk
menjelaskan maksud kalalah.
Menanggapi pertanyaan Umar kepada Rasul
tentang kalalah, al-Jasshas
berkesimpulan bahwa :
1.
kalalah tidak boleh
dipahami berdasarkan arti lughawi tetapi perlu kepada penelitian. Kalau
merupakan istilah biasa tentu langsung dapat dipahami oleh Umar karena ia
adalah seorang ahli bahasa.
2.
Jawaban Rasul
tersebut merupakan izin kepada sahabat untuk mengijtihadkan lafal-lafal yang
kurang jelas, di samping itu sebagai petunjuk bahwa Rasul tidak menjelaskan
semua persoalan secara detil.
3.
jawaban tidak
tegas ini memberikan petunjuk juga bahwa kasus kalalah tidak terjadi
pada masa Rasul. Pertanyaan Umar tersebut sekedar untuk menambah pengetahuan
serta pemahaman terhadap maksud ayat bukan untuk menyelesaikan suatu kasus.[33]
Sahabat yang menyatakan bahwa anak
perempuan termasuk ke dalam pengertian walad adalah Ibn Abbas dan
Zubair. Jika orang yang meninggal meninggalkan anak perempuan dan saudara
perempuan, maka saudara perempuan tidak mendapatkan harta warisan karena ayat
176 menyebutkan bahwa saudara akan
mewarisi harta apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak. Maka bukankah
anak perempuan itu dinamakan juga anak sehingga saudara perempuan tidak
mendapatkan apa-apa. Berbeda dengan kedua sahabat ini, jumhur berpendapat bahwa
dalam kasus bersamanya anak perempuan dengan saudara perempuan, maka anak
perempuan mendapat seperdua sebagai furud dan saudara perempuan mendapat
seperdua sebagai ashabah.[34]
Pendapat ini tidak terlepas dari pemahaman mereka yang menyatakan bahwa walad itu adalah anak laki-laki
saja.
Rasyid Ridha menjelaskan bahwa penyebab
terjadinya perbedaan pemahaman tersebut karena saudara perempuan tidak mendapat
apa-apa jika bersama anak laki-laki secara ijma’ dan jika bersama anak
perempuan ia mewaris, sedangkan yang lain berpendapat bahwa anak mencakup anak laki-laki dan anak
perempuan sehingga saudara perempuan tidak mewaris jika bersama dengan anak
perempuan.[35]
Alasan yang dipakai oleh Jumhur dalam menetapkan bahwa hanya anak laki-laki
saja yang masuk ke dalam pengertian walad adalah hadis Ibn Mas’ud.
عن ابي موسى رضى
الله عنه انه سئل عن ا بنة وا بنة ابن و اخت
فقال لابنة النصف وللا خت
النصف وائتى ابن مسعود
فسيتابعنى فسئل ابن مسعود واخبر بقول ابي
موسى فقال لقد ضللت اذا وما انا من المهتدين
اقضى فيها بما قضى النبي ص م للابن
النصف ولابنة ابن السدس تكملة الثلثين
وما بقي فلاخت فاء تيان ابا موسى
فاخبرناه بقول ابن مسعود فقال لا تسئلوني ما دام هذا الخبر فيكم ( رواه
البخارى)[36]
Artinya: Dari Abu Musa r.a sesungguhnya ia ditanya
tentang bagian seorang anak perempuan, cucu perempuan (melalui anak laki-laki
yang telah meninggal) dan seorang saudara perempuan. Beliau menjawab :
untuk anak perempuann seperdua, untuk
saudara perempuan seperdua. Pergilah kepada Ibn Mas’ud tentu iapun akan
mengikuti aku. Ketika diajukan kepada Ibn Mas’ud, dia menjawab: “kalau begitu
saya telah keliru dan tidak termasuk orang yang dapat petunjuk. Saya akan
menyelesaikannya berdasarkan keputusan Nabi, untuk seorang anak perempuan
seperdua, untuk seorang cucu perempuan seperenam untuk menggenapkan dua pertiga
dan sisanya untuk saudara perempuan. “ Setelah itu kami kembali kepada Abu Musa dan menceritakan
penjelasan Ibn Mas’ud tersebut, Abu Musa menjawab : “jangan tanyai aku selama
orang alim itu masih ada”. (HR
al-Bukhari)
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa anak
perempuan mewaris bersama-sama
dengan cucu perempuan dari anak laki-laki yang telah meninggal dan
seorang saudara perempuan. Maka Ibn Mas’ud menetapkan untuk seorang anak
perempuan seperdua, untuk seorang cucu perempuan seperenam untuk menggenapkan
dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan.
Di samping hadis ini, ada lagi hadis
lain yang dipakai oleh jumhur ulama
dalam menjelaskan bahwa anak yang
dimaksud adalah anak laki-laki, yaitu hadis
Jabir bin Abdillah yang menyatakan bahwa istri Sa’ad bin Rabi’ datang menemui rasulullah
bersama dengan dua orang anak perempuannya. Istri Rabi’ ini mengadu kepada
Rasul tentang harta suaminya yang telah syahid yang diambil oleh saudara laki-laki suaminya. Maka rasul memberikan kepada dua orang anak
perempuan Sa’ad itu dua pertiga bagian , untuk ibu mereka seperdelapan dan
sisanya untuk paman.
عن جابر بن عبد الله قال
جاءت امراءة سعد ابن الربيع بابنتيهما
من سعد الى رسول الله ص م
فقالت يا رسول الله هاتان ابنتا سعد بن الربيع قتل ابو هما
معك يوم احد شهيدا وان عمهما اخذ
ما لهما فلم يدع لهما مالا ولا
تنكحهان الا ولهما مال قال
يقضى الله في ذلك فنزلت اية
الميراث فبعث رسول الله
الى عمهما فقال اعط ابنتى سعد الثلثين
واعط أمهما الثمن وما بقي
فهو لك (رواه ابو داود) [37]
Artinya: Jabir
bin ‘Abd Allah mengatakan bahwa istri Sa’ad bin Rabi’ beserta dua orang anak perempuannya datang
kepada Rasul, ia berkata: “Ya Rasul ini dua orang anak perempuan Sa’ad, ayahnya telah syahid dalam
perang Uhud, paman mereka telah mengambil semua hartanya tanpa ada yang tersisa.
Keduanya tidak akan menikah sekiranya tidak mempunyai harta. Rasul menjawab:
Allah akan memberikan keputusan, lalu turun ayat kewarisan. Rasul memanggil
paman kedua anak tersebut dan berkata:
berikan kepada kedua orang anak perempuan Sa’ad itu dua pertiga, untuk ibu
mereka seperdelapan dan sisanya untukmu.(HR. Abu Dawud)
Alasan selanjutnya adalah karena nasab
anak ditarik melalui garis laki-laki, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah syair Arab
“ keturunan kita
adalah adalah anak laki-laki dan anak perempuan dari anak laki-laki kita,
sedangkan anak dari anak perempuan adalah keturunan dari laki-laki lain.
Dari pemahaman Jumhur tentang
pengertian walad, terlihat bahwa walad itu hanya untuk anak laki-laki saja serta
keturunan dari anak laki-laki tersebut. Anak perempuan serta keturunannya tidak
termasuk ke dalam pengertian walad. Pembatasan pewarisan hanya kepada
keturunan melalui garis laki-laki adalah aturan tentang nasab sedangkan
keturunan dari anak perempuan dimasukkan ke dalam kelompok zawil arham.
Pandangan Jumhur ulama ahlu Sunnah yang
memasukkan keturunan dari anak perempuan sebagai zawil arham, menurut Hazairin
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kultur Arab yang patrilineal.[39]
Di samping para pemikir muslim klasik
hidup dalam sosio kultural patrilineal.[40]
Oleh karena Itu
Amir Syarifuddin melihat ada dua hal yang menyebabkan ulama ahlu Sunnah
mengartikan walad dengan anak
laki-laki saja:
1.
Penggunaan secara urfi
dari kata walad. Dalam adat
berbahasa Arab walad diartikan
dengan anak laki-laki saja. Mereka terpengaruh oleh adat jahiliyah dalam penggunaan kata sehingga
terdorong untuk mengartikan kata walad tidak menurut umumnya.
2.
Terpengaruh oleh
hadis Nabi yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud tentang pembagian warisan untuk
kasus anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan.[41]
Persoalan
selanjutnya adalah dimasukkannya ayah ke dalam pengertian kalalah.
Memang dalam penjelasan kata kalalah yang terdapat pada ayat 176 tidak disebutkan
ayah, tapi tampaknya ulama ahlu sunnah memahami pengertian ayah dari
pengembangan pengertian anak karena dekatnya kata walad dengan walid.[42]
Sulit menemukan argumen yang rasional yang digunakan oleh mufassir dan jumhur
ulama untuk memasukkan kata-kata walid
atau ayah. Dalam hal ini kelihatannya jumhur ulama pada waktu menghadapi ayat kalalah yang zhahirnya menjelaskan seseorang yang
tidak meninggalkan anak memahaminya menjadi seorang yang tidak meninggalkan
anak laki-laki dan ayah. Karena sebelumnya mereka telah mempunyai konsep tentang arti kalalah itu sendiri. Karena sullit menemukan
argumentasi yang tepat kelihatannya mereka berbelit-belit dalam menjelaskan
arti kalalah secara lughawi dan urfi dan menyimpulkan arti syar’i mengikut kepada
arti lughawi.[43]
Dari penjelasan di
atas dapat diketahui bahwa kalalah dalam pandangan ahlu sunnah adalah orang yang
meninggal yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Konsekwensinya
adalah apabila seseorang meninggal dalam keadaan kalalah maka saudara
akan mendapat warisan meskipun anak perempuan ada. Karena menurut Jumhur ulama
ahlu Sunnah anak perempuan tidak mempengaruhi atau menghijab saudara dalam keadaan pewaris kalalah.
Munculnya
pemikiran yang menyatakan bahwa kewarisan jumhur ahlu Sunnah adalah patrilineal
didasari pada bentuk ajaran atau pemahaman yang dihasilkan dari ajaran tersebut. Ajaran tersebut sudah
mulai memberikan penafsiran terhadap suatu ayat di mana terdapat kesempatan menafsirkan
demikian. Dalam menafsirkan inilah secara jelas ditemukan bahwa
penafsiran-penafsiran itu dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat
sekelilingnya. Masyarakat pada waktu menafsirkan itu dan sekitar tempatss
dilakukan penafsiran adalah masyarakat patrilineal . Penamaan sistim kewarisan
patrilineal tersebut tidak dapat diartikan sebagai sebagai sistim kewarisan
patrilineal penuh seperti sistim kewarisan patrilineal yang ada di Indonesia. Patrilineal ajaran
tersebut adalah semacam sistim pengutamaan kepada pihak laki-laki di mana
terdapat kesempatan untuk menetapkan
demikian, dengan tetap memberikan warisan kepada kaum wanita yang tegas-tegas
ditunjuk menjadi ahli waris menurut ayat-ayat al-Qur’an.[44]
D. Kesimpulan
Perkembangan pemikiran umat Islam tentang
kewarisan yang diatur dalam al-Qur’an ternyata amat beragam. Hal ini terjadi
karena berbagai faktor antara lain hukum adat, sistem kekeluargaan dan bahkan
juga metode penafsiran yang dipakai dalam mendekati ayat-ayat kewarisan dalam
al-Qur’an.
Persoalan kalalah berasal
dari perbedaan ulama tentang pengertian walad yang terdapat dalam
ayat 12 dan 176 surat al-Nisa’. Ulama sepakat bahwa walad
yang terdapat pada ayat 12 adalah anak laki-laki dan anak perempuan, tetapi
dalam memahami walad yang ada pada ayat
176 mereka berbeda.
Jumhur ulama berpendapat bahwa walad yang terdapat
pada ayat 176 adalah anak laki-laki saja. Pemahaman jumhur ini dilatarbelakangi
oleh ‘urf atau berdasarkan pengertian yang sudah biasa dipahami oleh
orang Arab bahwa walad itu
adalah anak laki-laki, didukung oleh
hadis-hadis yang menjelaskan tentang ashabah ( saudara laki-laki atau saudara
perempuan mewarisi ketika bersama-sama dengan anak perempuan), terutama sekali
hadis Ibn mas’ud. Ayat 176 menurut Jumhur belum dapat menjelaskan arti kalalah,
oleh karena itu diperlukan hadis-hadis yang akan menjelaskan apa yang dimaksud
dengan kalalah. Oleh karenanya terlihat di sini pengaruh sistim kekerabatan
patrilineal dalam memahami ayat kalalah.
[1]Patrilineal adalah prinsip keturunan yang setiap orang selalu
menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya dan seterusnya menurut garis
laki-laki. Kalau seseorang hanya dapat menjadi keturunan ayahnya saja seperti
ditemukan dalam masyarakat Batak, maka system kekeluargaan seperti ini disebut
dengan patrilineal murni. Dalam
sebagian masyarakat patrilineal, penarikan garis keturunan ini tidak mutlak.
Seseorang bisa saja menghubungkan dirinya kepada ibu atau ayahnya tergantung
kepada bentuk perkawinan orang tuanya itu sehingga ia mungkin menjadi keturunan
ayahnya atau mungkin keturunan ibunya. Sistem ini disebut patrilineal yang
beralih-alih, Misalnya system kekerabatan dalam masyarakat Rejang dan
Lampung. Hazairin, Hukum Kewarisan
Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, (Jakarta : Tintamas, 1982), h. 11
[2]Matrilineal, dalam bentuk
ini setiap orang selalu menghubungkan dirinya
hanya kepada ibunya dan karena itu ia menjadi anggota klan ibunya. Lihat
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, h. 11
[3]Parental atau
bilateral, dalam bentuk ini setiap orang menghubungkan dirinya
kepada ibunya maupun kepada ayahnya seperti masyarakat Jawa.Lihat Hazairin,
Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, h. 11
[4]Amir Syarifuddin,Permasalahan Dalam
Pelaksanaan faraid, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 3
[5]Abu Bakar Al-Jasshash, Ahkam al-Qur”an,(
Bairut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 2, h. 87
[6]Al-Thabari,Tafsir al-Thabari,
(Mesir: Musthafa al-Babi, 1968), juz IV, h. 194
[7] Charles Winick, Dictionary of Antropology,(New Jersey: Liilefield, Adams and co, 1975,
h. 302. Walaupun dalam antropologi lazimnya istilah kekerabatan digunakan dalam
arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan. Di mana kekerabatan merupakan hubungan
darah, sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah ”affinity”. Oleh
karena itu dalam bahasa Inggris orang tua dengan anak diberi istilah kin , sedangkan suami dan istri adalah affines.
Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986),
h. 51
[10]Sidi Gazalba,Pengantar Kebudayaan
Sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka
Antara , t.th), h.230
[11]Edgar F. Borgatta dan Marie L. Borgatta, Encyclopedia of
Sociology,( New York: Library of Congress Catalog in Publication Data,
1991), Vol 2, h. 1035
[12]Orang-orang yang berpindah-pindah ini hidup dalam ikatan kelompok
kekerabatan, keluarga yang patriakat yang terdiri dari seorang ayah, anak
laki-lakinya dan keluarga mereka. Keluarga-keluarga ini selanjutnya berkelompok
menjadi sebuah klan yang terdiri dari ratusan tenda, yang mana secara bersama
mereka berpindah, memiliki padang rumput dan bertempur sebagai satu kesatuan di medan perang. Secara fundamental, masing-masing klan merupakan sebuah kesatuan yang
mandiri. Seluruh kesetiaan terserap oleh kelompok yang bertindak sebagai sebuah
kolektivitas untuk mempertahankan individu warganya dan untuk menghadapi tanggung jawab bersama. Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat
Islam,Bagian kesatu & dua Penerjemah Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1999), h. 18-19
[13]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina,1999), h. 124-125
[14] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan
Jender perspektif al-Qur’an,h. 127. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah
Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,penerjemah farid Wajidi dan
S.Meno,(Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 430. Koentjaraningrat , melihat ada
tiga macam keluarga luas yang semuanya berdasarkan adat menetap sesudah nikah,
yaitu: 1). Kelu7-9arga luas utrolokal, yang berdasarkan adat utrolokal yaitu
memberikan kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat
kediaman kaum kerabat suami atau disekitar pusat kediaman kaum kerabat Istri.
2). Keluarga luas virilokal, yang berdasarkan adat virilokal. Biasa disebut
juga dengan adat patrilokal yaitu adat
yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum
kerabat suami. Dan yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga
inti dari anak laki-laki. 3). Keluarga
luas uxorilokal, yang berdasarkan adat uxorilokal, adat yang menetukan bahwa
pengantin baru menetap sekitar kediaman kaum kerabat istri. Koentjaaraningrat, Beberapa
Pokok Antropologi Sosial h. 106-107
[15] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif
al-Qur’an, h. 133-134. Dalam masyarakat Arab pra-Islam dasar
kesatuan keluarga adalah patriarchal-agnatic, di mana sekelompok masyarakat menurun secara
langsung melalui garis laki-laki dari
seorang nenek moyang dan berada di bawah otoritas laki-laki yang tua atau
laki-laki kepala keluarga. System ini melahirkan sebuah keluarga yang melebar
sampai beberapa generasi dan sampai beberapa kelompok dari sejumlah pasangan
perkawinan dan cabang-cabang mereka
dengan sejumlah keturunan atau klien yang semuanya mengaku sebagai
bagian dari sebuah rumah tangga. Status perempuan merupakan kelompok yang
inferior sehingga mereka bukan merupakan warga yang penuh. Ira M. Lapidus, op.cit.,
h. 42
[16] Taufik Abdullah, ed, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) jilid 3, h.
283.
[17] Ibn Manzur, Lisan al-Arabi, (Bairut:
Dar al-Fikr, t.th), jilid XV, h. 142. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dan Hamid
Shadiq Qunaibi ,Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, ( Bairut : Dar al-Nafs,
1998),h. 50. Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, (Mesir
: Dar al-Kitab al-Arabi, 1959), h. 201
[18] Al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani,
(T.t: Dar al-Fikr, t.th), h. 358
[19]
Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Bairut: Dar al-fikr, 1998), juz
2, h. 448
[20]Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy
al-Qur’an, (Bairut Dar al-Fikr, 1988), Juz 4,h. 285
[21]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’
al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Juz 4,h. 283
[22] David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of
The Islamic Law of Inheritance,( London: University of California Press,
1979), h. 41. Pendapatnya ini didukung oleh
penemuannya tentang penggunaan kata kalalah dalam sebuah konteks
yang hanya bisa berarti menantu
perempuan. Kitab al-Aghani, 9: 2300-2304, yang memuat kisah cinta antara
seorang penyair yang bernama Qais bin Dzarih dengan Lubna binti al-Hubab al-Ka’biyah. Qais jatuh cinta pada
Lubna dan menikahinya dengan menentang kebijakan orang tuanya yang ingin
menikahkannya dengan dengan salah seorang sepupu paternalnya. Ibu Qaii cemburu
pada Lubna dengan menuduh Qais lebih peduli terhadap istrinya dari pada ibunya.
Setelah qais sembuh dari suatu penyakit yang sangat parah, ibu Qais
memanfaatkan kemandulan Lubna sebagai dalih untuk mendepak perempuan itu, dan
berkata kepada suaminya, “ aku khawatir bila Qais mati dan tidak meninggalkan
keturunan, karena perempuan itu mandul. Engkau adalah orang yang kaya dan jika
Qais mati kekayaanmu akan beralih kepada
al-kallalah. Oleh
sebab itu nikahkanlah Qais dengan wanita lain barangkali tuhan akan
mengaruniainya anak. Konteks di sini mengharuskan kalalah menunjuk ke Lubna, menantu perempuan umm
Qais. Apalagi kalalah di sini
tidak dapat menunjuk kepada orang yang
mati dengan tidak meninggalkan orang tua atau anak, makna yang dipilih oleh
para leksikografer muslim, sebab jika
begitu kalimat tersebut akan menjadi tidak jelas maksudnya,. Tidak mungkin pula
kata kalalah berarti mereka semua kecuali orang tua dan anak, yaitu para sepupu
dan seterusnya sebab orang tua Qais sebenarnya berusaha menikahkan qais dengan
salah seorang sepupunya. David S. Powers, Studies in
Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law of Inheritance, h. 51
[23]David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of
The Islamic Law of Inheritance.h.
28
[24]Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’
al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Juz 4, h. 43
[25]David S. Powers, David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith
The Formation of The Islamic Law of Inheritanc., h. 44
[26] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’
al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Juz 4,h. 44-45
[27] Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, Juz 2, h. 449
[28] Amir Syarifuddin, Permasalahan Dalam
Pelaksanaan faraid, h. 21
[29] Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,
(Bairut: Dar al-Fikr, t.th), juz 2, h. 635
[30] Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, h.
450,653
[31] Abu Bakar al-Jasshas, Ahkam al-Qur”an,
h. 86
[32]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an
al-hakim al-Syahir bi al-Manar, (Kairo: Maktabah al-Bakarah, t.th), juz 4,
h. 423 . Muhammad Ali al-Sais,Tafsir
Ayat al-Ahkam,(t.t: t,p, t.th), Juz 2, h. 49. Abu Bakar al-Jasshas, Ahkam
al-Qur’an, h. 86
[33]Abu Bakar al-Jasshas, Ahkam al-Qur”an, h.
88
[34] Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim,
h. 593
[35] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir
al-Qur’an al-hakim al-Syahir bi al-Manar, Juz 4, h. 109-110
[36] Al-Kirmani, Shahih al-Bukhari bi Syarh
al-kirmani, (Kairo: al-Bahiyyah al-Mishriyyah, 1937), jilid 23, h. 162. Ibn
Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, (T.tp, Al-Maktabah al-Salafiyah,
t.th), juz 12, h. 17
[37] Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Kairo:
Mustafa al-Bab, 1952), h. 109. Menurut
Ibn Kasir, dalam hadis ini terdapat nama
Abdullah Ibn Muhammad ibn Aqil yang tidak diketahui keadaannya. Tidak ada riwayat
apapun tentang kualitas pribadinya. Nama ini hanya dikenal melalui hadis yang
diriwayatkannya. Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, h. 212
[38]
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-hakim al-Syahir bi
al-Manar, juz 4, h. 405
[39] Menurut Hazairin, masyarakat Arab
baik suku Quraisy, maupun suku-suku
Baadui menarik garis keturunan semata-mata melalui penghubung laki-laki,
sehingga menimbulkan ‘ushbah-‘ushbah, bani-bani dan sebagainya yang
semuanya bersifat klan yang berdasarkan garis keturunan patrilineal. Dalam
hubungan itu umumnya perkawinan orang
Arab adalah exogam, artinya dilarang mengawini anggota se -bani atau se-ushbah,
walaupun di beberapa tempat sewaktu turunnya al-Qur’an telah dijumpai pula
kemungkinan endogamy di tanah Arab itu sebagai pengecualian. Seperti perkawinan endogamy antara orang
tua Muhammad, antara Muhammad dengan Khadijah dan sebagainya. Hazairin, Hendak
Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 11-12. Berbeda
dengan pendapat Hazairin ini ilmuwan
Barat di antaranya Reuben Levy menjelaskan tentang kehidupan bangsa Arab
sekitar turunnya al-Qur’an bahwa pada masa pra-Islam suatu bentuk kawin
endogamy, yang diberlakukan dalam kawin antar saudara sepupu, berlaku di
sebagian besar bangsa Arab, Seorang anak perempuan dari saudara laki-laki
ayahnya, menurut peraturan merupakan istri pertama laki-laki itu yang selalu
menjadi nyonya rumah tangga, sekalipun suatu waktu ada wanita lain yang mungkin
lebih disayang masuk rumah itu. Perkawinan yang semacam itu lebih disukai di
kalangan rumpun itu. Reuben Levy, The Social Structure of Islam, (Cambridge: The
University Press, 1971), h. 102.
Sementara itu Belyaev melaporkan
bahwa abad kelima dan keenam bangsa Arab membolehkan kawin exsogam dan
endogamy secara serentak, meskipun pada garis besarnya memang yang pertama yang
lebih baik setelah terbukti bahwa keturunan dari kawin yang pertama itu yang
lebih sehat dan lebih kuat. E.A Belyaev, Arabs Islam and The Arab caliphate
in the Early Middle Ages, (London: Pall-mall Press, 1969), h. 65.
[40] A. Sukris Sarmadi, Transendensi
Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997), h. 4
[41]
Amir Syarifuddin, Permasalahan Dalam Pelaksanaan faraid, h. 22
[42] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dalam Lingkungan Adat Minangkabau,(Jakarta : Gunung Agung,
1984), h. 61
[44] Sajuti Thalib,hukum Kewarisan Islam di
Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 112
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
Taufik, ed, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
2002, jilid 3
Abu
Daud, Sunan Abi Daud, Kairo: Mustafa al-Bab, 1952
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari, T.tp,
Al-Maktabah al-Salafiyah, t.th, juz 12
Al-Baghdadi, Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, T.t:
Dar al-Fikr, t.th
Al-Jasshash, Abu Bakar, Ahkam al-Qur”an,
Bairut: Dar al-Fikr, 1993, jilid 2
Al-Kirmani, Shahih al-Bukhari bi Syarh
al-kirmani, Kairo: al-Bahiyyah al-Mishriyyah, 1937, jilid 23
Al-Sais, Muhammad
Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, t.t: t,p, t.th, Juz 2
Al-Thabari, Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy
al-Qur’an, Bairut Dar al-Fikr, 1988, Juz 4
E.A
Belyaev, Arabs Islam and The Arab caliphate in the Early Middle Ages, London: Pall-mall Press,
1969
F.
Borgatta, Edgar dan Marie L. Borgatta, Encyclopedia of Sociology, New York: Library of
Congress Catalog in Publication Data, 1991, Vol 2
Gazalba, Sidi, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta:
Pustaka Antara , t.th
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta:
Tintamas, 1976
---------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, Jakarta :
Tintamas, 1982
Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-fikr, 1998, juz 2
Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Bairut: Dar
al-Fikr, t.th, juz 2
Ibn Manzur, Lisan al-Arabi, Bairut: Dar
al-Fikr, t.th, jilid XV.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi
Sosial, Jakarta: Dian Rana, 1990
Levy,
Reuben, The Social Structure of Islam, Cambridge: The University Press, 1971
M.
Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam,Bagian kesatu & dua
Penerjemah Ghufron A. Mas’adi, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 1999
Musa, Muhammad Yusuf, Al-Tirkah wa al-Miras fi
al-Islam, Mesir : Dar al-Kitab al-Arabi, 1959
Qal’ah Ji, Muhammad Rawwas dan Hamid Shadiq Qunaibi ,Mu’jam
Lughah al-Fuqaha’, Bairut : Dar
al-Nafs, 1998
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim
al-Syahir bi al-Manar, Kairo: Maktabah al-, t.th, juz 4
S.
Powers, David, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law
of Inheritance, London: University of California
Press, 1979
Sanderson,
Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,Penerjemah
farid Wajidi dan S.Meno, Jakarta:
Rajawali Pers, 1993
Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum
waris Islam Transformatif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997
Soekanto,
Soerjono, Hukum Adat Indonesia,
Jakarta:
Rajawali Pers, 1986
Syarifuddin,
Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984
----------,Permasalahan Dalam Pelaksanaan faraid,
Padang: IAIN IB Press, 1999
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Umar,
Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an ,Jakarta : Paramadina,1999
Winick,
Charles, Dictionary of Antropology,
New Jersey: Liilefield, Adams and co, 1975
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - JamBase
BalasHapusHarrah's Cherokee 안산 출장안마 Casino & 남양주 출장안마 Hotel, 경주 출장마사지 Cherokee, NC. 777 Casino Ave, Cherokee, NC 28719, United States. 영주 출장샵 The 경산 출장샵 casino and resort are:.