Sabtu, 12 Desember 2015

Kalalah Menurut Al-Qur'an



KALALAH DALAM AL-QUR’AN
(Analisis Terhadap Kalalah Dalam Surat al-Nisa’: 176)

Evra Willya
Jurusan Ushuluddin STAIN Manado
Jl. DR. SH. Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado
e-mail: evrawillya@ymail.com

Abstrak
Persoalan kalalah berkaitan dengan status saudara baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris dari seseorang yang meninggal. Saudara berhak memperoleh harta warisan selama tidak ada walad. Kata walad disebutkan sehubungan dengan persyaratan seseorang pewaris menjadi kalalah. Dalam ayat disebutkan bahwa seorang pewaris dinamakan kalalah bila tidak meninggalkan walad. Hal ini berarti keberadaan walad  menyebabkan saudara-saudara tidak berhak menerima warisan. Pandangan umum memahami arti  walad secara isti’mali yang menunjukkan anak laki-laki saja. Tulisan ini akan menguraikan tentang keberadaan walad. Dengan menggunakan metode komparatif, kalalah akan dilihat dari perspektif sunni dan syi’ah. Kedua kelompok ini mempunyai pandangan yang berbeda ketika menafsirkan surat al-Nisa’ ayat 176. Penulis menyimpulkan bahwa ulama Sunni

Perbedaan pendapat dalam masalah ini telah terjadi semenjak masa sahabat. Hal ini disebabkan karena Nabi sendiri tidak pernah memberikan jawaban yang tuntas sehingga dalam satu riwayat dinyatakan bahwa umar pernah menanyakan arti kalalah kepada Nabi sampai beberapa kali, tetapi tidak pernah dijawab secara tegas. Menurut Nabi redaksi surat al-Nisa’ ayat 176 sudah cukup memadai. Sehingga dengan demikian Umar menggolongkan persoalan kalalah sebagai persoalan yang tidak pernah tuntas sampai akhir hayatnya. Jumhur ulama ahlu Sunnah berpendapat bahwa kalalah adalah orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Jumhur ulama memahami bahwa kata walad yang disebutkan dalam surat al-Nisa’ ayat 176 tersebut  adalah anak laki-laki saja. Dengan demikian  anak perempuan tidak menutup hak kewarisan saudara-saudara karena keberadaannya tidak mempengaruhi arti kalalah. Kedudukan saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah ketika ada anak perempuan menjadi ashabah. Mereka memperoleh haknya atas harta peninggalan tidak ditentukan dengan angka furud tetapi mendapat seberapapun dari sisa harta kalau ada.
            Kata kunci: waris, walad, kalalah
A. Pendahuluan

            Ajaran Islam tidak hanya  mengatur masalah-masalah  ibadah kepada Allah SWT. Islam juga mengatur hubungan manusia sesamanya, yang di dalamnya termasuk juga masalah kewarisan. Nabi Muhammad  SAW  membawa hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris masa jahiliyah yang sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil. Hak waris hanya diberikan kepada laki-laki  dewasa yang sudah mampu memanggul senjata  untuk berperang dan dengan itu dapat memperoleh harta rampasan. Sementara laki-laki yang belum dewasa dan perempuan tidak mempunyai hak waris. Dalam  hukum waris Islam, setiap pribadi apakah dia laki-laki atau perempuan berhak memiliki harta benda.
            Pelaksanaan hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan dengan sistim kekeluargaan. Dari seluruh hukum yang berlaku dalam masyarakat, hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistim   kekeluargaan. Menurut Hazairin bentuk kekeluargaan  berpokok   pangkal   kepada sistem   keturunan. Pada pokoknya   ada   tiga   macam sistem keturunan, yaitu: patrilineal[1], matrilineal[2], dan parental atau bilateral.[3]
            Di samping mencerminkan sistim kekeluargaan, -kewarisan-, sebagaimana pada bidang-bidang fikih lainnya materinya di samping dijadikan sebagai jawaban  terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi juga menyediakan persediaan jawaban terhadap kemungkinan kasus-kasus yang bermunculan dikemudian hari. Kejadian yang muncul kemudian ada yang memang langsung  terjawab oleh jawaban yang telah disediakan dan banyak pula yang tidak tertampung dalam jawaban yang ada. Dengan  begitu hukum kewarisan yang  mulanya sederhana menjadi semakin rumit.[4]
            Demikianlah halnya dengan ayat kalalah yang diatur dalam  surat al-Nisa’ ayat 12 dan 176.
وان كان رجل  يورث كلا لة  او امراءة  وله اخ او اخت  فلكل واحد  منهما السدس  فان كانوا  اكثر من ذلك  فهم شركاء في الثلث 
Artinya:  Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan mewarisi dalam keadaan  kalalah, mempunyai seorang saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, maka  masing-masing dari keduanya mendapat seperenam. Jika mereka itu lebih dari satu orang, maka mereka berserikat dalam sepertiga. ( al-Nisa’ : 12).

Selanjutnya ayat 176 menyatakan :
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة  ان امرؤ هلك ليس له ولد  وله اخت  فلها نصف  ما ترك وهو يرثها  ان لم يكن لها ولد فان كانتا  اثنتين  فلهما  الثلثان  مما ترك وان كانوا اخوة  رجالا ونساء فللذكر  مثل  حظ الانثيين
Artinya:  Mereka minta fatwa kepadamu (tentang kalalah) katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah yaitu seorang yang meninggal dunia dan ia  tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagian saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan) jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka bagian saudara laki-laki sebanyak bagian  dua orang saudara perempuan. (al-Nisa’ 176).

Persoalan kalalah dalam konteks kewarisan tidak terlepas dari pembicaraan  tentang status saudara baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris dari seseorang yang meninggal. Saudara  berhak memperoleh harta warisan  sesuai dengan furudnya selama tidak ada walad. Ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam ayat 176. Kata walad disebutkan di sini sehubungan dengan persyaratan seseorang pewaris menjadi kalalah. Dalam ayat disebutkan bahwa seorang pewaris dinamakan kalalah bila tidak meninggalkan walad. Hal ini berarti keberadaan walad  menyebabkan saudara-saudara tidak berhak menerima warisan.
            Keberadaan walad membawa persoalan kalalah sebagai salah satu persoalan kewarisan berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah dan tampaknya sudah menjadi sunnatullah bahwa persoalan ijtihadiyah ini melahirkan  perbedaan di kalangan ulama. Munculnya perbedaan pandangan tersebut dilatarbelakangi oleh  perkataan walad  yang ternyata mempunyai multi interpretasi. Apakah arti walad menunjukkan arti hakikat yang mencakup pengertian untuk anak laki-laki dan anak perempuan atau arti isti’mali yang menunjukkan anak laki-laki saja.
            Perbedaan pendapat dalam masalah ini telah terjadi semenjak masa sahabat. Hal ini disebabkan karena Nabi sendiri tidak pernah memberikan jawaban yang tuntas sehingga dalam satu riwayat dinyatakan bahwa umar pernah menanyakan arti kalalah kepada Nabi sampai beberapa kali, tetapi tidak pernah dijawab secara tegas. Menurut Nabi redaksi ayat  176 sudah cukup memadai. Sehingga dengan demikian Umar menggolongkan persoalan kalalah sebagai persoalan yang tidak pernah tuntas sampai akhir hayatnya.[5]
            Jumhur ulama ahlu Sunnah berpendapat bahwa kalalah adalah orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah.[6] Jumhur ulama memahami bahwa kata walad yang disebutkan dalam ayat 176 tersebut  adalah anak laki-laki saja. Dengan demikian  anak perempuan tidak menutup hak kewarisan saudara-saudara karena keberadaannya tidak mempengaruhi arti kalalah. Kedudukan saudara perempuan kandung atau saudara perempuan seayah ketika ada anak perempuan menjadi ashabah. Mereka memperoleh haknya atas harta peninggalan tidak ditentukan dengan angka furud tetapi mendapat seberapapun dari sisa harta kalau ada.
            Dari pemahaman Jumhur tentang pengertian  kalalah ini dapat diketahui bahwa pengaruh dan pola pikir Arab Jahiliyah tidak secara serta merta ditinggalkan. Bahkan terlihat  pengaruh sistim kekerabatan patrilineal Arab ketika membicarakan kalalah. 

B. Sistem Kekerabatan Arab

            Semenjak dahulu sistem-sistem kekerabatan menarik perhatian para ahli ilmu social maupun kalangan-kalangan lainnya. Hal ini terutama disebabkan karena manusia ingin mengetahui sejarah perkembangan kehidupan keluarga dalam masyarakat sebagai suatu system yang menyeluruh.
            System kekerabatan sebenarnya merupakan terjemahan  dari istilah kinship system yang diartikan sebagai : “The social recognition and expresseion of genealogical relationship, both consangguneal and affinal”,[7]yaitu ungkapan dan pengakuan social terhadap hubungan yang didasarkan kepada keturunan  baik dalam bentuk hubungan darah  maupun hubungan perkawinan.
            Untuk mendapatkan suatu gambaran yang analitik mengenai kekerabatan, dapat dilihat dari analisa klasik yang berasal dari karya antropolog terkemuka yaitu George Peter Murdock. Murdock sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto, mengatakan  bahwa system kekerabatan  bukanlah suatu kelompok  social di dalam masyarakat serta tidak dikaitkan dengan suatu kumpulan individu-individu yang terorganisasikan. Suatu system kekerabatan tidak lain merupakan system hubungan yang terstruktur di mana setiap individu terikat satu sama lain dengan suatu keterikatan yang komplek dan ikatan yang bercabang-cabang.
            Titik tolak analisa Murdock terhadap system kekerabatan adalah keluarga batuh (nuclear family). Secara umum di dalam keluarga batih seorang anak mula-mula mengembangkan kebiasaan-kebiasaan untuk untuk mengadakan hubungan timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi. Di dalam keluaraga batih tersebut anak untuk pertama kalinya mengalami hubungan  antar manusia. Dengan cara-cara tertentu anak belajar untuk memberi tanggapan terhadap ayah, ibu atau saudara-saudaranya. Tanggapan tersebut semakin lama semakin berkembang sesuai dengan proses sosialisasi yang dialaminya, yang lazimnya memberi petunjuk-petunjuk mengenai  nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku di dalam masyarakat atau budaya.[8]
            Keluarga inti dalam pandangan Murdock mempunyai dua fungsi pokok yaitu:
  1. Keluarga inti merupakan kelompok di mana individu pada dasarnya dapat menikkmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidup.
  2. Keluarga inti merupakan kelompok dimana individu, waktu sebagai anak-anak masih belum berdaya, mendapat pengasuhan dan permulaan dari pendidikannya.[9]
Ikatan kekerabatan antara anggota-anggota keluarga terdiri atas 3 ketagori :
  1. Ikatan antara pasangan kawin yaitu hubungan suami istri
  2. Ikatan antara pasangan yang kawin dengan anak-anaknya yaitu hubungan orang tua – anak
  3. Ikatan antara anak-anak dari pasangan yang kawin yaitu hubungan saudara.[10]
Sistem kekerabatan merupakan sebuah mekanisme atau cara di mana menghubungkan keluarga-keluaraga melalui perkawinan dalam  berbagai bentuk. Hal ini mempengaruhi kesatuan struktur social umum  namun juga akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk membentuk suatu mode atau tatanan yang teratur dalam lingkungan mereka.[11]
Dari semua penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kekerabatan adalah unit social yang orang-orangnya masih mempunyai hubungan keturunan . Keluarga adalah sebab terbentuknya kekerabatan. Suatu keluarga yang tadinya  berbentuk keluarga inti atau keluarga batih yang hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak apabila  telah berkembang maka keluarga inti tadi akan berubah bentuknya menjadi keluarga yang besar dan jumlahnya tidak lagi hanya terdiri dari bapak, ibu dan anak, akan tetapi sudah lebih dari itu. Bahkan dari setiap anak sudah mempunyai keturunan-keturunan sendiri. Namun demikian dari keturunan-keturunan tadi jika ditarik garis keturunan ke atas, maka itu tetap satu saudara yang masih mempunyai hubungan darah. Apabila keturunan-keturunan yang mempunyai hubungan  darah ini dikelompokkan maka akan terbentuk suatu unit social yang dinamakan kekerabatan.
Bentuk kekerabatan seperti ini nampaknya berlaku pada setiap masyarakat di mana saja berada tidak terkecuali  masyarakat Arab.  Menurut Hisyam Syarabi sebagaimana yang dikutib oleh Nasaruddin Umar bahwa bentuk kekerabatan keluarga masyarakat Arab pra-Islam atau permulaan Islam dapat dibedakan atas lima bentuk:
·         Kabilah (qabilah)
·         Subkabilah ( ‘ashirah)
·         Suku (hamulah)
·         Keluarga besar (‘a-ilah)
·         Keluarga kecil (usrah)
Kelima bentuk keluarga ini ditemukan di daerah tertentu di kawasan jazirah Arab. Namun kelima bentuk tersebut tidak dianut secara identik karena sesuai dengan watak dasar bangsa Arab yang nomaden[12], sudah barang tentu mereka akan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi di mana mereka berada. Ada kemungkinan di suatu tempat mereka hidup secara qabilah atau sub kabilah, tetapi di tempat lain mereka hidup sebagai keluarga besar atau keluarga kecil.
Apapun nama dan bentuk kesatuan sosialnya kedudukan laki-laki di dalam lima kelompok masyarakat tersebut tetap sentral sifatnya.  Segala kebijakan prinsip, baik dalam lingkungan keluarga terkecil sampai kepada lingkungan keluarga terbesar berada di tangan laki-laki. Sebaliknya perempuan berada dalam posisi yang subordinatif. Yang bertindak sebagai pimpinan dalam kelompok-kelompok tersebut adalah laki-laki.[13]
Ciri system kekerabatan secara umum dikenal ada dua bentuk yaitu  ketentuan yang berhubungan dengan tempat tinggal dan ketentuan yang berhubungan dengan keturunan. Hampir seluruh masyarakat tradisional menggunakan kedua pola ini di dalam mengorganisasi individu ke berbagai tipe kelompok kekerabatan. Ketentuan-ketentuan ini mengatur siapa dan dengan siapa seseorang harus tinggal sesudah melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan ini dikenal beberapa bentuk aturan tempat tinggal sesudah perkawinan, yaitu :
1.      Patrilokalitas, pasangan nikah tinggal dalam rumah tangga ayah suami
2.      Matrilokalitas,  pasangan nikah tinggal tinggal dalam rumah tangga ibu istri.
3.      Avunkulokalitas, pasangan nikah tinggal dalam rumah tangga saudara laki-laki ibu suami
4.      Bilokalitas,  pasangan nikah bergantian tinggal diantara kelompok kerabat suami  dan istri
5.      Ambilokalitas, pasangan nikah dapat memilih untuk tinggal dengan kelompok kerabat suami atau istri
6.      Natolokalitas,  suami dan istri tidak tinggal bersama; masing-masing tinggal di rumah tangga tempat masing-masing dilahirkan
7.      Neolokalitas, pasangan nikah menentukan sendiri suatu tempat tinggal yang bebas. [14]
Seperti pada umumnya masyarakat di kawasan Timur Tengah ketika itu, masyarakat Arab menganut sistim Patriarki (al-mujtama’ al-abawi). Otoritas bapak atau suami menempati posisi yang dominan dalam keluarga. Bapak atau suamilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh keutuhan, keselamatan dan kelangsungan keluarga. Ibu atau Istri hanya ikut terlibat sebagai anggota keluarga dalam suatu rumah tangga. Untuk itu bapak dan kaum laki-laki pada umumnya mendapatkan beberapa hak istimewa sebagai konsekwensi dari tanggung jawab mereka yang sedemikian besar dibanding  pihak istri atau perempuan secara umum. Nama keluarga bagi anak-anaknya diambil dari nama bapaknya.
Sebagai masyarakat patrilineal, bangsa Arab menentukan silsilah keturunan berdasarkan ayah. Asal-usul genealogis bangsa Arab dapat dilacak sampai ke tingkat tinggi, dan inilah salah satu kekhususan masyarakat Arab yang senantiasa memelihara keutuhan dan eksistensi garis keturunannya, sekalipun unsur  kekeliruan dan rekayasa dalam silsilah sering ditemukan. Dalam bentuk kekeluargaan seperti ini perempuan tidak pernah dicantumkan sebagai nama marga atau nasab betapapun hebatnya seorang perempuan itu. Tinggi rendahnya status social berdasarkan garis genealogis ditentukan oleh pihak bapak. Martabat seseorang diukur dari garis keturunan bapaknya.[15]
Kemudian Islam datang  dengan semangat egaliter kemanusiaan di antaranya telah ditunjukkan Rasul SAW dalam upaya memperbaiki nasib kaum perempuan, baik dalam bidang keagamaan maupun aspek social kemasyarakatan. Namun demikian gagasan Islam  tentang perempuan kelihatannya tidak selalu dapat terwujudkan dalam sejarah. Dalam masyarakat kesukuan yang patrilineal, pembagian tugas dan fungsi antara laki-laki dan perempuan sebagai lanjutan dari kebudayaan pra-Islam terus berlangsung. Beberapa perubahan yang tegas tercantum dalam al-Qur’an atau hadis telah mengubah tradisi yang ada seperti dalam hak kewarisan. Namun banyak ayat dan hadis yang kemudian diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga lebih dekat dengan tradisi pra-Islam.[16]

C. Kalalah
            Kata kalalah adalah bentuk masdar dari kata “kalla”  yang secara bahasa berarti letih atau lemah. Kata kalalah  ini pada asalnya digunakan untuk menunjuk pada sesuatu yang melingkarinya, yang tidak berujung ke atas dan ke bawah seperti kata “iklil” yang berarti mahkota, karena  ia melingkari kepala.  Seseorang dapat disebut kalalah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan leluhur (anak dan ayah. Kerabat garis sisi disebut kalalah karena berada disekelilingnya bukan di atas atau di bawah.[17] Kata kalalah kemudian dipergunakan  untuk seseorang yang tidak punya ayah dan anak.[18]
            Istilah kalalah penggunaannya bisa untuk pewaris dan bisa juga untuk ahli waris. Ada pendapat beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalalah, yaitu:
1.      Orang yang tidak punya anak dan orang tua
2.      orang yang tidak punya keluarga dan kerabat
3.      orang yang tidak punya anak, orang tua dan saudara.[19]
Sedangkan ahli waris yang kalalah adalah saudara sebapak, saudara seibu atau saudara kandung.
Terdapat  tiga pendapat dalam menjelaskan fungsi kata  kalalah  yang terdapat di dalam ayat 12 (wa in kana  rajulun yuratsu kalalatan)
1.      Beberapa ahli nahwu Bashrah  mengatakan  bahwa kalalatan  sebagai khabar dari kana sehingga berarti orang yang tidak meninggalkan orang tua dan anak, sedangkan yuratsu  menjadi sifat dari rajul yang berarti orang yang orang lain mewarisi darinya.
2.      Sebagian ulama Bashrah yang lainnya berpendapat bahwa kalalatan  adalah hal yang berarti  jika seseorang yang darinya diwarisi sedangkan ia tidak meninggalkan orang tua dan anak.
3.      Al-Thabari berpendapat bahwa kalalatan adalah mashdar  dari bacaan wa in kana rajulun yuritsu mutakalillahu al-nisbi kalalatan. Bacaan yuritsu diubah menjadi yuratsu dengan membuangkan mutakalillahu al-nisbi.[20]
Al-Thabari menjelaskan bahwa memang terdapat perbedaan  terhadap bacaan  yuratsu. Pada umumnya umat Islam membaca wa in kana rajulun yuratsu kalalatan. Sebagian yang lain membaca waa in kana rajulun yuritsu kalalatan. Arti  kedua bacaan ini tidak berbeda tetap memberikan bagian kepada saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu.[21]
Menanggapi ahli waris yang kalalah ini, David S. Powers menyatakan bahwa ahli waris yang kalalah adalah  menantu perempuan  bukan saudara perempuan. Menurutnya akar kata k-l-l  muncul pada sejumlah bahasa Semitis, selain bahasa Arab, termasuk bahasa Akkad, Aram, Syiria dan Ibrani. Dalam empat bahasa terakhir ini, kata yang cocok dengan bahasa Arab kalalah  berfungsi sebagai istilah untuk kerabat perempuan. Dalam bahasa Aram, kallatu, yang muncul pada sejumlah prasasti hukum berarti seorang perempuan muda yang di dapat oleh kepala sebuah rumah tangga sebagai istri untuk anak laki-laki yang hidup di dalam rumah tangga itu,  karenanya ia adalah seorang  menantu perempuan. Dalam keadaan tertentu kata kallatu juga berarti saudari ipar. Sementara bahasa Aram dan Syiria kallta  dan bahasa Ibrani kallah berarti  menantu perempuan dan juga seorang pengantin putri.
Kesangatmiripan antara kata-kata kallatu, kallta dan kallah di satu pihak dengan kalalah di pihak lain melahirkan kemungkinan yang menarik bahwa istilah Arab kalalah  yang artinya tidak jelas bagi khalifah Umar, sebenarnya adalah kosa kata pinjaman dari bahasa Semitis lainnya. Dalam kasus ini, selama masa hidup Muhammad dan segera sesudah kemangkatannya, kata kalalah mungkin berfungsi sebagai istilah untuk kerabat perempuan yang nilai semantisnya mencakup satu atau lebih dari konsep pengantin perempuan, menantu perempuan dan saudari ipar.[22]
David S. Powers  berpendapat bacaan  yuratsu yang ada pada ayat 12 adalah yuritsu, menurutnya ayat 12 ini berarti seseorang yang mati dengan tidak meninggalkan orang tua dan anak. Ayat ini membicarakan sebuah kasus di mana kerabat sedarah almarhum yang terdekat yang masih hidup menerima bagian yang jumlahnya tidak ditentukan.
Kemudian ayat 176 Surat al-Nisa’ dibuka dengan menyinggung suatu pertanyaan ” yang  tidak disebutkan tentang apa” kepada  Nabi oleh para sahabatnya: yastaftunaka. Allah tiba-tiba memerintahkan kepada Nabi tentang bagaimana Nabi menjawab pertanyaan sahabat tersebut dengan :qul: Allahu yuftikum fi al-kalalah. Perujukan pertanyaan ini kepada kalalah menunjukkan hubungan antara ayat ini dengan ayat 12.[23] Hubungan kedua ayat ini dapat dilihat  dari riwayat   yang  menyatakan  tentang kebingungan Umar tentang maksud kalalah.
Di antaranya adalah riwayat dari  Sa’id bin al-Musayyab yang menyatakan bahwa Umar telah menulis sebuah dokumen mengenai kakek dan kalalah, ia melakukan yang demikian sambil berdoa kepada Allah:Ya, Allah  jika engkau mengetahui kebaikan dokumen ini, maka tetapkanlah ia”, sampai ketika ia ditikam, ia meminta dokumen tersebut dan menghapus tulisannya. Dan tidak seorangpun yang mengetahui apa yang telah ia tulis. Umar berkata: “ Aku telah menulis dokumen sambil berdoa tentang itu, sebagai hasilnya aku  telah memutuskan untuk membiarkan kalian mempercayai apa yang sudah kalian percaya.”
Selanjutnya adalah riwayat Thariq bin Syihab, ia berkata: Umar mengambil sebuah tulang belikat, mengumpulkan para sahabat Muhammad Saw kemudian berkata: saya pasti akan mengatakan sebuah keputusan tentang kalalah  yang akan dibicarakan kaum wanita dikediamannya”. Pada saat itulah tiba-tiba seekor ular muncul di ruangan dan menyebabkan mereka bubar. Seandainya, kata Umar: “ Allah menghendaki agar masalah ini diselesaikan, Dia pasti menyelesaikannya.”[24]
Berdasarkan hal di atas David S. Powers menyatakan bahwa makna ayat  12 dan 176 surat al-Nisa’ bukanlah  tipe saudara/saudari yang berubah dari ayat yang pertama ke ayat berikutnya seperti yang umum dipercaya, tetapi keadaan yang dihadapi oleh saudara/saudari itu yang berubah. Ayat pertama memberikan kompensasi kepada saudara/saudari yang terhapus hak warisnya dengan memberi mereka  fard  kecil warisan: sementara ayat kedua membenarkan pemberian itu  dengan cara menunjukkan hak waris saudara/saudari atas warisan. Oleh karena itu tidak perlu lagi diadakan pembedaan antara saudara/saudari seibu dengan  saudara/saudari seayah dan sekandung.[25]
Jadi setiap petunjuk yang ditarik dari riwayat-riwayat tersebut memberikan kontribusi signifikan pada penjelasan alternatif yang diusulkan bagi ayat 12 dan 176: Bukanlah pidato yang gagal yang disampaikan Umar ketika  ia  memegang tulang belikat, bukan pula dokumen yang ia hapuskan saat menjelang wafat, tetapi pembacaan dan pemahaman terhadap teks al-Qur’an itu sendiri itulah yang menjadi pokok  pembicaraan. Indikasi yang diberikan Umar bahwa jika makna kalalah  telah diketahui para wanita, maka mereka akan membicarakannya dikediaman mereka, mungkin dapat dikaitkan dengan  pernyataan bahwa  kalalah sebenarnya adalah sebuah istilah untuk kerabat perempuan dan bahwa ayat 12 berisi tentang  penunjukan seorang menantu (perempuan) atau istri sebagai ahli waris. Akhirnya jawaban Nabi atas pertanyaan Umar yang bertubi-tubi tentang kalalah dengan sendirinya menjadi jawaban yang jelas dan terus terang atas pertanyaan mengapa para saudara/saudari dalam ayat 12 menerima bagian warisan meskipun ada orang lain yang telah ditunjuk sebagai ahli waris.[26]
Selanjutnya tentang kata  walad. Ibn al-Arabi menyatakan bahwa zhahir al-Qur’an menjelaskan kalalah  dengan orang yang tidak punya ayah dan anak laki-laki serta meninggalkan saudara. Kalalah adalah nama yang ditetapkan secara bahasa. Di antara makna kalalah yang ditetapkan secara bahasa itu salah satunya dipakai untuk pengertian secara syara’. Ayat 176 surat al-Nisa’ menamakan pewaris itu dengan kalalah  dan menyebutkan bagian-bagian yang akan diterima oleh para ahli waris. Bapak dan anak tidak disebutkan dalam ayat tersebut. Ibn al-Arabi yakin  bahwa inilah yang dimaksud oleh Allah dengan  kalalah.  Pengertian yang seperti ini menunjukkan bahwa sesungguhnya pengertian musytaq (makna-makna kalalah yang lain) menghendaki itu seluruhnya dan pengertian secara bahasa pun mutlak menghendaki demikian.[27]
Yang dapat dipahami dari penjelasan ini adalah pengertian kalalah secara istilah tersebut mengikuti pengertian kalalah secara  bahasa, dalam arti  makna kalalah itu diambil dari pengertiannya secara bahasa bukan secara istilah. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa kalalah  adalah seseorang yang meninggal yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
Sebenarnya persoalan kalalah  telah menjadi diskusi yang luas di kalangan sahabat dan ulama sesudahnya. Mereka berbeda dalam menanggapi lafal walad yang terdapat dalam  ayat 176. Ada yang mengartikan dengan anak laki-laki dan anak perempuan, sedangkan yang lain mengartikannya dengan anak laki-laki saja. Di samping itu ada yang memperluas makna walad itu kepada walid ( ayah ).
Dalam al-Qur’an ditemukan kata walad  sekitar tiga puluh tiga kali, sedangkan dalam bentuk jamak sekitar dua puluh tiga kali. Khusus dalam ayat-ayat warisan yang menyebutkan hak anak-anak, terdapat delapan kali kata walad dan satu kali kata awlad. Keseluruhan kata itu berartti untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Meskipun digunakan kata Ibnu , namun tidak ada hubungannya dengan kewarisan seperti ibnu Maryam yang lebih dua puluh tiga kali disebutkan dalam al-Qur’an. Ibnu sabil sekitar delapan kali dan Ibnu Allah   sebanyak dua kali.  Sedangkan  kata anak perempuan secara khusus digunakan sebanyak dua kali, tetapi tidak ada hubungannya dengan hak-hak yang diperoleh seperti ibnatu Imran , Penggunaan Ibnu sabil  menunjukkan bahwa meskipun menurut lahirnya digunakan kata muzakkar namun artinya tetap menjangkau kepada perempuan juga.[28]
Ulama telah sepakat dalam memahami kata walad yang enam kali tersebut dalam surat al-Nisa’ ayat 11 dan 12 dan satu kali kata awlad   adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Dengan demikian walad   yang dapat mengurangi hak ibu dari sepertiga meenjadi seperenam, hak suami dari seperdua menjadi seperempat dan hak istri dari seperempat menjadi seperdelapan adalah anak laki-laki dan anak perempuan. Begitu pula yang  menetapkan  ayah mendapat seperenam waktu tidak ada walad maksudnya adalah anak laki-laki dan anak perempuan.
Namun dalam memahami kata walad  yang disebutkan dua kali dalam ayat 176 ulama tidak sepakat. Kata walad disebutkan di sini sehubungan dengan persyaratan seseorang pewaris menjadi kalalah.  Dalam ayat disebutkan bahwa seorang pewaris disebut kalalah bila tidak meninggalkan walad. Hal ini berarti keberadaan walad menyebabkan saudara-saudara tidak berhak menerima warisan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa telah terjadi diskusi yang luas di kalangan sahabat tentang kalalah ini. Bahkan Umar sendiri pernah bertanya kepada Rasul mengenai kalalah. Rasul  menjawab : cukup engkau memahami sendiri akhir surat al-Nisa’ ayat 176. Sebab turun ayat 176 ini adalah ketika Jabir bin Abdillah mengadukan masalahnya kepada  Nabi sementara ia tidak mempunyai anak dan orang tua lagi.[29]
Ibn al-Arabi menyatakan bahwa ketika Umar menanyakan tentang kalalah kepada Rasul, rasul menjawab bahwa kalalah itu cukup dipahami dari ayat terakhir surat al-Nisa’. Mendengar jawaban Rasul tersebut Umar menyatakan: kalau aku sempat berumur panjang aku akan menghukum kalalah  dengan hukum yang dipahami oleh orang yang bisa dan orang yang tidak bisa membaca al-Qur’an, kalalah adalah orang yang tidak punya anak.[30]Di sini terlihat  Umar tidak mempunyai keyakinan yang pasti tentang kalalah apakah tidak punya anak saja atau juga tidak punya ayah. Ketidakyakinan Umar ini terlihat  ketika pendapatnya berbeda dengan pendapat Abu Bakar yang menyatakan kalalah  adalah orang yang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak, karena inilah arti kalalah  yang mashur di kalangan orang Arab.[31] Rasyid Ridha menyatakan dalam tafsirnya tentang keragu-raguan Umar  ini dan menguatkan pendapat jumhur yang menganggap kalalah sebagai orang yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah.[32]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya Umar berpendapat kalalah  adalah orang yang tidak punya anak, berdasarkan ayat 176 surat al-Nisa’, tetapi kemudian pendapat Umar dikritik oleh Abu Bakar yang memahami kalalah berdasarkan pemahaman yang sudah ada di kalangan orang Arab yaitu anak laki-laki dan ayah. Kuat dugaan Umar merasa bahwa kalalah  adalah orang yang tidak punya anak tapi masih mempunyai orang tua seperti yang ditunjukkan oleh zhahir ayat 176.
Apabila dihubungkan dengan peristiwa yang mendahuluinya yaitu  orang-orang yang meminta penjelasan kepada Nabi tentang maksud kalalah yang ada pada ayat 12 dapat dipahami bahwa orang sama sekali tidak mengetahui maksud kalalah, karena kalalah belum pernah terjadi pada waktu itu. Di samping itu dapat juga dipahami bahwa orang Arab mengetahui maksud kalalah, tetapi pemahaman mereka salah sehingga turunlah surat al-Nisa’ ayat 176 untuk menjelaskan maksud kalalah.
Menanggapi pertanyaan Umar kepada Rasul tentang kalalah,  al-Jasshas berkesimpulan bahwa :
1.      kalalah tidak boleh dipahami berdasarkan arti lughawi tetapi perlu kepada penelitian. Kalau merupakan istilah biasa tentu langsung dapat dipahami oleh Umar karena ia adalah seorang ahli bahasa.
2.      Jawaban Rasul tersebut merupakan izin kepada sahabat untuk mengijtihadkan lafal-lafal yang kurang jelas, di samping itu sebagai petunjuk bahwa Rasul tidak menjelaskan semua persoalan secara detil.
3.      jawaban tidak tegas ini memberikan petunjuk juga bahwa kasus kalalah tidak terjadi pada masa Rasul. Pertanyaan Umar tersebut sekedar untuk menambah pengetahuan serta pemahaman terhadap maksud ayat bukan untuk menyelesaikan suatu kasus.[33]
Sahabat yang menyatakan bahwa anak perempuan termasuk ke dalam pengertian walad adalah Ibn Abbas dan Zubair. Jika orang yang meninggal meninggalkan anak perempuan dan saudara perempuan, maka saudara perempuan tidak mendapatkan harta warisan karena ayat 176 menyebutkan bahwa  saudara akan mewarisi harta apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak. Maka bukankah anak perempuan itu dinamakan juga anak sehingga saudara perempuan tidak mendapatkan apa-apa. Berbeda dengan kedua sahabat ini, jumhur berpendapat bahwa dalam kasus bersamanya anak perempuan dengan saudara perempuan, maka anak perempuan mendapat seperdua sebagai furud dan saudara perempuan mendapat seperdua sebagai ashabah.[34] Pendapat ini tidak terlepas dari pemahaman mereka yang menyatakan  bahwa walad itu adalah anak laki-laki saja.
 Rasyid Ridha menjelaskan bahwa penyebab terjadinya perbedaan pemahaman tersebut karena saudara perempuan tidak mendapat apa-apa jika bersama anak laki-laki secara ijma’ dan jika bersama anak perempuan ia mewaris, sedangkan yang lain berpendapat  bahwa anak mencakup anak laki-laki dan anak perempuan sehingga saudara perempuan tidak mewaris jika bersama dengan anak perempuan.[35] Alasan yang dipakai oleh Jumhur dalam menetapkan bahwa hanya anak laki-laki saja yang masuk ke dalam pengertian walad  adalah hadis Ibn Mas’ud.
عن ابي موسى  رضى الله عنه انه سئل  عن ا بنة وا بنة  ابن و اخت  فقال لابنة  النصف  وللا خت  النصف وائتى  ابن مسعود فسيتابعنى  فسئل ابن مسعود واخبر بقول ابي موسى فقال لقد ضللت  اذا وما انا  من المهتدين  اقضى فيها بما قضى النبي ص م للابن  النصف ولابنة ابن السدس  تكملة  الثلثين  وما بقي فلاخت فاء تيان  ابا موسى فاخبرناه  بقول ابن مسعود فقال  لا تسئلوني ما دام هذا الخبر فيكم ( رواه البخارى)[36] 
Artinya:  Dari Abu Musa r.a sesungguhnya ia ditanya tentang bagian seorang anak perempuan, cucu perempuan (melalui anak laki-laki yang telah meninggal) dan seorang saudara perempuan. Beliau menjawab : untuk  anak perempuann seperdua, untuk saudara perempuan seperdua. Pergilah kepada Ibn Mas’ud tentu iapun akan mengikuti aku. Ketika diajukan kepada Ibn Mas’ud, dia menjawab: “kalau begitu saya telah keliru dan tidak termasuk orang yang dapat petunjuk. Saya akan menyelesaikannya berdasarkan keputusan Nabi, untuk seorang anak perempuan seperdua, untuk seorang cucu perempuan seperenam untuk menggenapkan dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan. “ Setelah itu kami  kembali kepada Abu Musa dan menceritakan penjelasan Ibn Mas’ud tersebut, Abu Musa menjawab : “jangan tanyai aku selama orang alim itu masih ada”. (HR al-Bukhari)

 Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa anak perempuan  mewaris bersama-sama dengan  cucu perempuan  dari anak laki-laki yang telah meninggal dan seorang saudara perempuan. Maka Ibn Mas’ud menetapkan untuk seorang anak perempuan seperdua, untuk seorang cucu perempuan seperenam untuk menggenapkan dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan.
Di samping hadis ini, ada lagi hadis lain yang  dipakai oleh jumhur ulama dalam menjelaskan  bahwa anak yang dimaksud adalah anak laki-laki, yaitu hadis  Jabir bin Abdillah yang menyatakan bahwa istri  Sa’ad bin Rabi’ datang menemui rasulullah bersama dengan dua orang anak perempuannya. Istri Rabi’ ini mengadu kepada Rasul tentang harta suaminya yang telah syahid yang diambil oleh saudara  laki-laki suaminya.  Maka rasul memberikan kepada dua orang anak perempuan Sa’ad itu dua pertiga bagian , untuk ibu mereka seperdelapan dan sisanya untuk  paman.
عن جابر بن عبد الله قال  جاءت امراءة  سعد ابن الربيع  بابنتيهما  من سعد الى رسول الله  ص م فقالت  يا رسول الله هاتان  ابنتا سعد بن الربيع  قتل ابو هما  معك يوم احد شهيدا  وان عمهما اخذ ما لهما فلم يدع لهما مالا  ولا تنكحهان  الا ولهما  مال قال  يقضى الله في ذلك فنزلت  اية الميراث    فبعث  رسول الله  الى عمهما  فقال اعط ابنتى سعد الثلثين واعط  أمهما الثمن  وما بقي  فهو لك (رواه  ابو داود) [37]
Artinya: Jabir bin ‘Abd Allah mengatakan bahwa istri Sa’ad bin Rabi’  beserta dua orang anak perempuannya datang kepada  Rasul, ia berkata: “Ya  Rasul ini dua orang anak  perempuan Sa’ad, ayahnya telah syahid dalam perang Uhud, paman mereka telah mengambil semua hartanya tanpa ada yang tersisa. Keduanya tidak akan menikah sekiranya tidak mempunyai harta. Rasul menjawab: Allah akan memberikan keputusan, lalu turun ayat kewarisan. Rasul memanggil paman  kedua anak tersebut dan berkata: berikan kepada kedua orang anak perempuan Sa’ad itu dua pertiga, untuk ibu mereka seperdelapan dan sisanya untukmu.(HR. Abu Dawud)                       
Alasan selanjutnya adalah karena nasab anak ditarik melalui garis laki-laki, sebagaimana yang  terdapat dalam sebuah syair Arab
بنونا بنو ابنائنا وبنا تنا  بنو هن  ابناء الرجال الا باعد[38]
“ keturunan kita adalah adalah anak laki-laki dan anak perempuan dari anak laki-laki kita, sedangkan anak dari anak perempuan adalah keturunan dari laki-laki lain.

Dari pemahaman Jumhur tentang pengertian walad, terlihat bahwa walad itu  hanya untuk anak laki-laki saja serta keturunan dari anak laki-laki tersebut. Anak perempuan serta keturunannya tidak termasuk ke dalam pengertian walad. Pembatasan pewarisan hanya kepada keturunan melalui garis laki-laki adalah aturan tentang nasab sedangkan keturunan dari anak perempuan dimasukkan ke dalam kelompok zawil arham.
Pandangan Jumhur ulama ahlu Sunnah yang memasukkan keturunan dari anak perempuan sebagai zawil arham, menurut Hazairin tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kultur Arab yang patrilineal.[39] Di samping para pemikir muslim klasik  hidup dalam sosio kultural patrilineal.[40]
Oleh karena Itu Amir Syarifuddin melihat ada dua hal yang menyebabkan ulama ahlu Sunnah mengartikan walad  dengan anak laki-laki saja:
1.      Penggunaan secara urfi dari kata walad.  Dalam adat berbahasa Arab walad  diartikan  dengan anak laki-laki saja. Mereka terpengaruh oleh adat  jahiliyah dalam penggunaan kata sehingga terdorong untuk mengartikan kata walad tidak menurut umumnya.
2.      Terpengaruh oleh hadis Nabi yang disampaikan oleh Ibn Mas’ud tentang pembagian warisan untuk kasus anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan.[41]
Persoalan selanjutnya adalah dimasukkannya ayah ke dalam pengertian kalalah. Memang dalam penjelasan kata kalalah  yang terdapat pada ayat 176 tidak disebutkan ayah, tapi tampaknya ulama ahlu sunnah memahami pengertian ayah dari pengembangan pengertian anak karena dekatnya kata walad dengan walid.[42] Sulit menemukan argumen yang rasional yang digunakan oleh mufassir dan jumhur ulama untuk  memasukkan kata-kata walid atau ayah. Dalam hal ini kelihatannya jumhur ulama pada  waktu menghadapi ayat kalalah  yang zhahirnya menjelaskan seseorang yang tidak meninggalkan anak memahaminya menjadi seorang yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Karena sebelumnya mereka telah  mempunyai konsep tentang arti kalalah  itu sendiri. Karena sullit menemukan argumentasi yang tepat kelihatannya mereka berbelit-belit dalam menjelaskan arti kalalah secara  lughawi  dan urfi  dan menyimpulkan arti syar’i mengikut kepada arti lughawi.[43]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kalalah  dalam pandangan ahlu sunnah adalah orang yang meninggal yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Konsekwensinya adalah apabila seseorang meninggal dalam keadaan kalalah maka saudara akan mendapat warisan meskipun anak perempuan ada. Karena menurut Jumhur ulama ahlu Sunnah anak perempuan tidak mempengaruhi atau menghijab  saudara dalam keadaan pewaris kalalah.
Munculnya pemikiran yang menyatakan bahwa kewarisan jumhur ahlu Sunnah adalah patrilineal didasari pada bentuk ajaran atau pemahaman yang dihasilkan  dari ajaran tersebut. Ajaran tersebut sudah mulai memberikan penafsiran terhadap suatu ayat di mana terdapat kesempatan menafsirkan demikian. Dalam menafsirkan inilah secara jelas ditemukan bahwa penafsiran-penafsiran itu dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat pada waktu menafsirkan itu dan sekitar tempatss dilakukan penafsiran adalah masyarakat patrilineal . Penamaan sistim kewarisan patrilineal tersebut tidak dapat diartikan sebagai sebagai sistim kewarisan patrilineal penuh seperti sistim kewarisan patrilineal  yang ada di Indonesia. Patrilineal ajaran tersebut adalah semacam sistim pengutamaan kepada pihak laki-laki di mana terdapat kesempatan  untuk menetapkan demikian, dengan tetap memberikan warisan kepada kaum wanita yang tegas-tegas ditunjuk menjadi ahli waris menurut ayat-ayat al-Qur’an.[44]



D.  Kesimpulan
             Perkembangan pemikiran umat Islam tentang kewarisan yang diatur dalam al-Qur’an ternyata amat beragam. Hal ini terjadi karena berbagai faktor antara lain hukum adat, sistem kekeluargaan dan bahkan juga metode penafsiran yang dipakai dalam mendekati ayat-ayat kewarisan dalam al-Qur’an.
            Persoalan kalalah berasal dari perbedaan ulama tentang pengertian walad yang terdapat dalam ayat  12 dan  176 surat al-Nisa’. Ulama sepakat bahwa walad yang terdapat pada ayat 12 adalah anak laki-laki dan anak perempuan, tetapi dalam memahami walad yang ada pada ayat  176 mereka berbeda.
            Jumhur ulama  berpendapat bahwa walad yang terdapat pada ayat 176 adalah anak laki-laki saja. Pemahaman jumhur ini dilatarbelakangi oleh ‘urf atau berdasarkan pengertian yang sudah biasa dipahami oleh orang Arab bahwa walad  itu adalah  anak laki-laki, didukung oleh hadis-hadis yang menjelaskan tentang ashabah ( saudara laki-laki atau saudara perempuan mewarisi ketika bersama-sama dengan anak perempuan), terutama sekali hadis Ibn mas’ud. Ayat 176 menurut Jumhur belum dapat menjelaskan arti kalalah, oleh karena itu diperlukan hadis-hadis yang akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan kalalah. Oleh karenanya terlihat di sini pengaruh sistim kekerabatan patrilineal  dalam memahami ayat kalalah.









[1]Patrilineal adalah prinsip keturunan yang setiap orang selalu menghubungkan dirinya hanya kepada ayahnya dan seterusnya menurut garis laki-laki. Kalau seseorang hanya dapat menjadi keturunan ayahnya saja seperti ditemukan dalam masyarakat Batak, maka system kekeluargaan seperti ini disebut dengan patrilineal murni. Dalam sebagian masyarakat patrilineal, penarikan garis keturunan ini tidak mutlak. Seseorang bisa saja menghubungkan dirinya kepada ibu atau ayahnya tergantung kepada bentuk perkawinan orang tuanya itu sehingga ia mungkin menjadi keturunan ayahnya atau mungkin keturunan ibunya. Sistem ini disebut patrilineal yang beralih-alih, Misalnya system kekerabatan dalam masyarakat Rejang dan Lampung.  Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, (Jakarta : Tintamas, 1982), h. 11
[2]Matrilineal, dalam bentuk ini setiap orang selalu menghubungkan dirinya  hanya kepada ibunya dan karena itu ia menjadi anggota klan ibunya. Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, h. 11
[3]Parental atau bilateral,  dalam  bentuk ini setiap orang menghubungkan dirinya kepada ibunya maupun kepada ayahnya seperti masyarakat Jawa.Lihat Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, h. 11
[4]Amir Syarifuddin,Permasalahan Dalam Pelaksanaan faraid, (Padang: IAIN IB Press, 1999), h. 3
[5]Abu Bakar Al-Jasshash, Ahkam al-Qur”an,( Bairut: Dar al-Fikr, 1993), jilid 2, h. 87
[6]Al-Thabari,Tafsir al-Thabari, (Mesir: Musthafa al-Babi, 1968), juz IV, h. 194
[7] Charles Winick, Dictionary of Antropology,(New Jersey: Liilefield, Adams and co, 1975, h. 302. Walaupun dalam antropologi lazimnya istilah kekerabatan digunakan dalam arti kekerabatan dan perkawinan, akan tetapi kedua hal itu dapat dibedakan. Di mana kekerabatan merupakan hubungan darah, sedangkan hubungan perkawinan diberi istilah ”affinity”. Oleh karena itu dalam bahasa Inggris orang tua dengan anak diberi istilah  kin , sedangkan suami dan istri adalah affines. Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), h. 51
[8] Soerjono soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 53-54
[9] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial,(Jakarta: Dian  Rana, 1990), h. 110-111
[10]Sidi Gazalba,Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka  Antara , t.th), h.230
[11]Edgar F. Borgatta dan Marie L. Borgatta, Encyclopedia of Sociology,( New York: Library of Congress Catalog in Publication Data, 1991), Vol 2, h. 1035
[12]Orang-orang yang berpindah-pindah ini hidup dalam ikatan kelompok kekerabatan, keluarga yang patriakat yang terdiri dari seorang ayah, anak laki-lakinya dan keluarga mereka. Keluarga-keluarga ini selanjutnya berkelompok menjadi sebuah klan yang terdiri dari ratusan tenda, yang mana secara bersama mereka berpindah, memiliki padang rumput  dan bertempur sebagai satu kesatuan di medan perang.  Secara fundamental, masing-masing klan merupakan sebuah kesatuan yang mandiri. Seluruh kesetiaan terserap oleh kelompok yang bertindak sebagai sebuah kolektivitas untuk mempertahankan individu warganya dan untuk  menghadapi tanggung jawab bersama.  Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,Bagian kesatu & dua Penerjemah Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999), h. 18-19
[13]Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina,1999), h. 124-125
[14] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an,h. 127. Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,penerjemah farid Wajidi dan S.Meno,(Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 430. Koentjaraningrat , melihat ada tiga macam keluarga luas yang semuanya berdasarkan adat menetap sesudah nikah, yaitu: 1). Kelu7-9arga luas utrolokal, yang berdasarkan adat utrolokal yaitu memberikan kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau disekitar pusat kediaman kaum kerabat Istri. 2). Keluarga luas virilokal, yang berdasarkan adat virilokal. Biasa disebut juga dengan adat patrilokal  yaitu adat yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. Dan yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari anak laki-laki.  3). Keluarga luas uxorilokal, yang berdasarkan adat uxorilokal, adat yang menetukan bahwa pengantin baru menetap sekitar kediaman kaum kerabat istri. Koentjaaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial h. 106-107
[15] Nasaruddin  Umar, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an, h. 133-134. Dalam masyarakat Arab pra-Islam dasar kesatuan keluarga adalah patriarchal-agnatic,  di mana sekelompok masyarakat menurun secara langsung melalui  garis laki-laki dari seorang nenek moyang dan berada di bawah otoritas laki-laki yang tua atau laki-laki kepala keluarga. System ini melahirkan sebuah keluarga yang melebar sampai beberapa generasi dan sampai beberapa kelompok dari sejumlah pasangan perkawinan dan cabang-cabang mereka  dengan sejumlah keturunan atau klien yang semuanya mengaku sebagai bagian dari sebuah rumah tangga. Status perempuan merupakan kelompok yang inferior sehingga mereka bukan merupakan warga yang penuh. Ira M. Lapidus, op.cit., h. 42
[16] Taufik Abdullah, ed, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002) jilid 3, h. 283.
[17] Ibn Manzur, Lisan al-Arabi, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), jilid XV, h. 142. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dan Hamid Shadiq Qunaibi ,Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, ( Bairut : Dar al-Nafs, 1998),h. 50. Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, (Mesir : Dar al-Kitab al-Arabi, 1959), h. 201
[18] Al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani, (T.t: Dar al-Fikr, t.th), h. 358
[19]  Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, (Bairut: Dar al-fikr, 1998), juz 2, h. 448
[20]Abu Ja’far  Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, (Bairut Dar al-Fikr, 1988), Juz 4,h. 285
[21]Abu Ja’far  Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Juz 4,h. 283

[22] David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law of Inheritance,( London: University of California Press, 1979), h. 41. Pendapatnya ini didukung oleh  penemuannya tentang penggunaan kata kalalah dalam sebuah konteks yang hanya bisa berarti  menantu perempuan. Kitab al-Aghani, 9: 2300-2304, yang memuat kisah cinta antara seorang penyair yang bernama Qais bin Dzarih dengan Lubna binti  al-Hubab al-Ka’biyah. Qais jatuh cinta pada Lubna dan menikahinya dengan menentang kebijakan orang tuanya yang ingin menikahkannya dengan dengan salah seorang sepupu paternalnya. Ibu Qaii cemburu pada Lubna dengan menuduh Qais lebih peduli terhadap istrinya dari pada ibunya. Setelah qais sembuh dari suatu penyakit yang sangat parah, ibu Qais memanfaatkan kemandulan Lubna sebagai dalih untuk mendepak perempuan itu, dan berkata kepada suaminya, “ aku khawatir bila Qais mati dan tidak meninggalkan keturunan, karena perempuan itu mandul. Engkau adalah orang yang kaya dan jika Qais mati kekayaanmu akan beralih kepada  al-kallalah. Oleh sebab itu nikahkanlah Qais dengan wanita lain barangkali tuhan akan mengaruniainya anak. Konteks di sini mengharuskan kalalah   menunjuk ke Lubna, menantu perempuan umm Qais. Apalagi kalalah  di sini tidak dapat menunjuk kepada  orang yang mati dengan tidak meninggalkan orang tua atau anak, makna yang dipilih oleh para  leksikografer muslim, sebab jika begitu kalimat tersebut akan menjadi tidak jelas maksudnya,. Tidak mungkin pula kata kalalah  berarti mereka semua  kecuali orang tua dan anak, yaitu para sepupu dan seterusnya sebab orang tua Qais sebenarnya berusaha menikahkan qais dengan salah seorang sepupunya. David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law of Inheritance, h. 51
[23]David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law of Inheritance.h. 28
[24]Abu Ja’far  Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Juz 4, h. 43
[25]David S. Powers, David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law of Inheritanc., h. 44
[26] Abu Ja’far  Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Juz 4,h. 44-45
[27] Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, Juz 2, h. 449
[28] Amir Syarifuddin, Permasalahan Dalam Pelaksanaan faraid, h. 21
[29] Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), juz 2, h. 635
[30] Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, h. 450,653
[31] Abu Bakar al-Jasshas, Ahkam al-Qur”an, h. 86
[32]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-hakim al-Syahir bi al-Manar, (Kairo: Maktabah al-Bakarah, t.th), juz 4, h. 423 . Muhammad  Ali al-Sais,Tafsir Ayat al-Ahkam,(t.t: t,p, t.th), Juz 2, h. 49. Abu Bakar al-Jasshas, Ahkam al-Qur’an, h. 86
[33]Abu Bakar al-Jasshas, Ahkam al-Qur”an, h. 88
[34] Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, h. 593
[35] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-hakim al-Syahir bi al-Manar, Juz 4, h. 109-110
[36] Al-Kirmani, Shahih al-Bukhari bi Syarh al-kirmani, (Kairo: al-Bahiyyah al-Mishriyyah, 1937), jilid 23, h. 162. Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, (T.tp, Al-Maktabah al-Salafiyah, t.th), juz 12, h. 17
[37] Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Kairo: Mustafa al-Bab, 1952), h. 109.  Menurut Ibn  Kasir, dalam hadis ini terdapat nama Abdullah Ibn Muhammad ibn Aqil yang tidak diketahui keadaannya. Tidak ada riwayat apapun tentang kualitas pribadinya. Nama ini hanya dikenal melalui hadis yang diriwayatkannya. Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, h. 212
[38]  Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-hakim al-Syahir bi al-Manar,  juz 4, h. 405
[39] Menurut Hazairin, masyarakat Arab baik  suku Quraisy, maupun suku-suku Baadui menarik garis keturunan semata-mata melalui penghubung laki-laki, sehingga menimbulkan ‘ushbah-‘ushbah, bani-bani dan sebagainya yang semuanya bersifat klan yang berdasarkan garis keturunan patrilineal. Dalam hubungan itu umumnya perkawinan  orang Arab adalah exogam, artinya dilarang mengawini anggota se -bani atau se-ushbah, walaupun di beberapa tempat sewaktu turunnya al-Qur’an telah dijumpai pula kemungkinan endogamy di tanah Arab itu sebagai pengecualian. Seperti perkawinan endogamy antara orang tua Muhammad, antara Muhammad dengan Khadijah dan sebagainya. Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 11-12. Berbeda dengan  pendapat Hazairin ini ilmuwan Barat di antaranya Reuben Levy menjelaskan tentang kehidupan bangsa Arab sekitar turunnya al-Qur’an bahwa pada masa pra-Islam suatu bentuk kawin endogamy, yang diberlakukan dalam kawin antar saudara sepupu, berlaku di sebagian besar bangsa Arab, Seorang anak perempuan dari saudara laki-laki ayahnya, menurut peraturan merupakan istri pertama laki-laki itu yang selalu menjadi nyonya rumah tangga, sekalipun suatu waktu ada wanita lain yang mungkin lebih disayang masuk rumah itu. Perkawinan yang semacam itu lebih disukai di kalangan rumpun itu.  Reuben Levy, The Social Structure of Islam, (Cambridge: The University Press, 1971), h. 102.  Sementara itu Belyaev melaporkan  bahwa abad kelima dan keenam bangsa Arab membolehkan kawin exsogam dan endogamy secara serentak, meskipun pada garis besarnya memang yang pertama yang lebih baik setelah terbukti bahwa keturunan dari kawin yang pertama itu yang lebih sehat dan lebih kuat. E.A Belyaev, Arabs Islam and The Arab caliphate in the Early Middle Ages, (London: Pall-mall Press, 1969), h. 65.
[40] A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 4
[41]  Amir Syarifuddin, Permasalahan Dalam Pelaksanaan faraid, h. 22
[42] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dalam Lingkungan Adat  Minangkabau,(Jakarta : Gunung Agung, 1984), h. 61
[43] Amir Syarifuddin, Permasalahan Dalam Pelaksanaan Faraid, h. 24
[44] Sajuti Thalib,hukum Kewarisan Islam di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 112





























DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, ed, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002,  jilid 3
Abu Daud, Sunan Abi Daud, Kairo: Mustafa al-Bab, 1952
Al-‘Asqalani, Ibn Hajar, Fath al-Bari, T.tp, Al-Maktabah al-Salafiyah, t.th, juz 12

Al-Baghdadi, Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, T.t: Dar al-Fikr, t.th

Al-Jasshash, Abu Bakar, Ahkam al-Qur”an, Bairut: Dar al-Fikr, 1993, jilid 2

Al-Kirmani, Shahih al-Bukhari bi Syarh al-kirmani, Kairo: al-Bahiyyah al-Mishriyyah, 1937, jilid 23
Al-Sais, Muhammad  Ali, Tafsir Ayat al-Ahkam, t.t: t,p, t.th, Juz 2
Al-Thabari, Abu Ja’far  Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy al-Qur’an, Bairut Dar al-Fikr, 1988, Juz 4
E.A Belyaev, Arabs Islam and The Arab caliphate in the Early Middle Ages, London: Pall-mall Press, 1969
F. Borgatta, Edgar dan Marie L. Borgatta, Encyclopedia of Sociology, New York: Library of Congress Catalog in Publication Data, 1991, Vol 2

Gazalba, Sidi, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta: Pustaka  Antara , t.th
Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976

---------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadis, Jakarta : Tintamas, 1982
Ibn al-Arabi, Ahkam al-Qur’an, Bairut: Dar al-fikr, 1998, juz 2
Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Bairut: Dar al-Fikr, t.th, juz 2

Ibn Manzur, Lisan al-Arabi, Bairut: Dar al-Fikr, t.th, jilid XV.

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian  Rana, 1990
Levy, Reuben, The Social Structure of Islam, Cambridge: The University Press, 1971
M. Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam,Bagian kesatu & dua Penerjemah Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999

Musa, Muhammad Yusuf, Al-Tirkah wa al-Miras fi al-Islam, Mesir : Dar al-Kitab al-Arabi, 1959

Qal’ah Ji, Muhammad Rawwas dan Hamid Shadiq Qunaibi ,Mu’jam Lughah al-Fuqaha’,  Bairut : Dar al-Nafs, 1998
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Manar, Kairo: Maktabah al-, t.th, juz 4
S. Powers, David, Studies in Qur’an and Hadith The Formation of The Islamic Law of Inheritance, London: University of California Press, 1979
Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial,Penerjemah farid Wajidi dan S.Meno, Jakarta: Rajawali Pers, 1993

Sarmadi, A. Sukris, Transendensi Keadilan Hukum waris Islam Transformatif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1986
Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dalam Lingkungan Adat  Minangkabau, Jakarta : Gunung Agung, 1984
----------,Permasalahan Dalam Pelaksanaan faraid, Padang: IAIN IB Press, 1999
Thalib, Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Jender perspektif al-Qur’an ,Jakarta : Paramadina,1999
Winick, Charles, Dictionary of Antropology, New Jersey: Liilefield, Adams and co, 1975


















1 komentar:

  1. Harrah's Cherokee Casino & Hotel - JamBase
    Harrah's Cherokee 안산 출장안마 Casino & 남양주 출장안마 Hotel, 경주 출장마사지 Cherokee, NC. 777 Casino Ave, Cherokee, NC 28719, United States. 영주 출장샵 The 경산 출장샵 casino and resort are:.

    BalasHapus