Sabtu, 12 Desember 2015

Pendidikan yang Membebaskan



PENDIDIKAN PEMBEBASAN
(Telaah Terhadap Pemikiran Paulo Freire)
 Muh.Idris

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN  Manado
e-mail :idrispasca_uin@yahoo.co.id

Abstrak
 Pendidikan yang ada saat ini masih cenderung  mengabaikan nilai fitrah manusia yang memiliki kebebasan. Nilai kebebasan  yang ada di dalam diri individu manusia saat ini diambil alih  oleh individu yang lain dengan mengatasnamakan demokrasi. Lebih nyata dalam realitas kehidupan, mengambil hak-hak individu yang lain melalui lembaga dengan dalih demokrasi dan kualitas. Seorang pakar pendidikan Paulo Freire memberikan ilustrasi bahwa pendidikan dewasa ini melalui lembaga sekolah membentuk  insan-insan robot yang bekerja bagaikan mesin yang bekerja secara mekanik, manusia secara bertahap dipangkas kemerdekaan dan kebebasannya dalam bertindak.  Secara sederhana Freire menegaskan bahwa  “konsistensi yang absolut akan membuat hidup ini menjadi sebuah pengalaman yang tidak harum, tidak berwarna, dan tidak terasa”. Atas dasar tersebut Freire memiliki konsep deschooling, belajar tanpa sekolah. Sebab belajar dapat dilakukan di luar institusi sekolah bahkan dalam ruangan terbuka sekalipun.

 Kata kunci, Hubungan guru dan murid, Metode Pendidikan, Kurikulum pendidikan dan Tujuan pendidikan
A.  Pendahuluan
              Pendidikan,[1] telah menjadi icon yang selalu menarik untuk diperbincangkan dan dikritisi demi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.Baik di kalangan pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini siring dengan perkembangan zaman yang semakin pesat, yang syarat dengan kemajuan sains dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dirasakan manusia dewasa ini adalah buah dari kebebasan.   
Paulo Friere, salah satu tokoh pendidik yang sangat kritis mengenai pendidikan. Alam semesta sebagai ruang kelasnya, untuk dimanfaatkan sebagai proses pendidikan yang selaras dengan perkembangan zamannya baik perasaan, bahasa, maupun alam pikirannya.  Friere tak henti-hentinya mencari bentuk-bentuk baru kesadaran kritis dan menggali hubungan-hubungan baru antara penindasan dalam pelbagai bidang dengan konsistensi  (proses penyadaran) yang membebaskan. Benang merah yang menyatukan karyanya adalah kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi cultural.[2]  
            Situasi penindasan, salah satu akibatnya dapat melahirkan kebudayaan bisu, yakni munculnya ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan sendiri, sehingga sikap memilih diam sering tidak hanya dianggap sebagai sikap dan perilaku santun, tetapi juga menjadi situasi khas di kelas-kelas perkuliahan dan pembelajaran lainnya. Mensyiasati kondisi demikian, Friere memberikan solusi dengan apa yang disebutnya pendidikan sebagai praktek pembebasan yang lahir dari usaha-usaha kreatifnya dalam pemberantasan buta huruf orang dewasa di seluruh wilayah Brazil sebelum kudeta militer 1 April 1964 yang akhirnya menyebabkannya hidup dalam pengasingan.[3]
              Gagasan tersebut di atas, memberi inspirasi tentang muatan yang seharusnya ada dalam pendidikan, sekaligus sebagai landasan kesadaran kritis kita terhadap tendensi sistem pendidikan di negara-negara modern sekarang ini, khususnya di Indonesia. Sebab pada kenyataannya, ia tidak hanya membongkar kepentingan negara dalam pendidikan, tetapi juga berbagai kepentingan idiologi yang merasuk dan mematikan kesadaran manusia. Dalam konteks ini semua idiologi mempunyai potensi hegemoni bagi kebebasan manusia yang fithrah. Bahkan agama kalau sudah menjadi alat hegemoni juga masuk dalam ketagori menindas yang berada di bawah pemandu kekuasaan.
              Penindasan secara structural inilah yang pada gilirannya  melahirkan proses pemiskinan, baik pada lapangan ekonomi, politik, sosial budaya,  maupun idiologi.   Dengan demikian demoralisasi yang dilakukan oleh struktur negara melalui penyeragaman cara berfikir yang termuat dalam system pendidikan telah mengakibatkan suatu kondisi di mana kesadaran yang muncul dalam diri peserta didik bukanlah kesadaran kritis  sebagai manusia yang mempunyai akal pikiran, melainkan kesadaran naïf yang bertumpu pada pemikiran pragmatis.
           
B. Sejarah Singkat Kehidupan Paulo Freire
            Freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Brazil yang merupakan pusat salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di dunia ketiga, yaitu sebuah kota pelabuhan di sebelah Timur Laut negeri Brazil. Ia hidup dalam keluarga yang menyenangkan yang menjunjung tinggi dialog dan menghargai pilihan seseorang,[4] Berasal dari keluarga menengah dan terbiasa hidup sederhana. Kesederhanaan itu mengajarkannya sejak kecil apa artinya menahan rasa lapar. Pengalaman ini memotivasinya untuk mendedikasikan hidupnya bagi perjuangan melawan kelaparan. Ia mengatakan “jangan sampai anak-anak merasakan dan mengalami susahnya hidup seperti yang pernah saya alami.”.[5]
            Ketika berumur 10 tahun, keluarganya pindah ke Jabatao. Di kota ini ayahnya meninggal. Akhirnya ia harus bergelut dengan masa transisi dan kekuarangan finansial. Dalam kondisi ini ia menemukan dirinya sebagai bagian dari “kaum rombeng dari muka bumi”. Situasi seperti ini membuatnya tertatih-tatih menjalani studi. Walau demikian pelan-pelan  krisis finansial yang melanda keluarganya mulai teratasi, sehingga ia dapat menyelesaikan sekolah menengahnya. Kemudian ia masuk Fakultas Hukum di Universitas Recife, di samping itu ia juga belajar filsafat dan psikologi bahasa, dan disela-sela kuliahnya, ia mengajar bahasa portugis, sebagai part timer, pada sebuah sekolah menengah.[6]
            Setelah menikah dengan Elza Maia Costa Oliveira –seorang guru dari Recife- tahun 1944, mulai tumbuh minatnya mendalami buku-buku pendidikan (filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan) melebihi buku-buku tentang hukum. Walau begitu, ilmu hukumknya tetap berjasa. Berkat ijazah hukum, ia dapat menjabat Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebuah Lembanga Pelayanan Sosial di Pernambuco. Bekerja di lembaga sosial membuatnya sering berkontak secara langsung dengan orang-orang miskin kota. Pengalaman ini kelak juga ikut mempengaruhi filosofi pendidikannya.[7]
            Tahun 1961 Joao Goulart menggantikan Janio Quadros sebagai presiden Brazilia. Di masa presiden baru ini gerakan kaum petani dan kaum budayawan melakukan kampanye yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan baca tulis supaya rakyat dapat berpartisipasi aktif di bidang politik.[8] Freire sendiri mengembangkan program  literasi (melek huruf) bagi ribuan petani di daerah Recife dari Juni 1963 sampai Maret 1964. Program ini disambut dengan antusias besar oleh rakyat Brazilia.[9] Ia menggunakan metode conscientization (konsientasi: penyadaran) untuk membangkitkan kesadaran rakyat atas realitas yang menindas mereka, dan bangkitnya kesadaran rakyat menimpulkan dampak terhadap perubahan sosial. Tetapi kesadaran rakyat ini sekaligus membuat khawatir pihak militer dan tuan tanah.[10]
            Pada 1 April 1964, militer berhasil menggulingkan  rezim Goulart. Pada rezim militer ini gerakan kerakyatan ditekan. Freire ditangkap dan dimasukkan ke penjara selama 70 hari  dengan tuduhan  melakukan kegiatan subversif. Di penjara ia menulis karya pertamanya educacao Como Pratica da Liberdade (Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan). Pada tahun 1970, ia menjadi penasehat pendidikan pada kantor pendidikan dewan gereja-gereja se dunia di Janewa, Swiss. Sampai tahun 1979 ia tetap tidak diizinkan kembali ke Brazil, baru setelah itu ia diperbolehkan oleh pemerintahan Brazil untuk menetap kembali di Brazil. Pada tahun 1996 ia meninggal dunia dalam usia tujuh puluh lima tahun karena serangan jantung. Pada tahun 1970, ia menjadi penasehat pendidikan pada kantor pendidikan dewan gereja-gereja se dunia di Janewa, Swiss. Sampai tahun 1979 ia tetap tidak diizinkan kembali ke Brazil, baru setelah itu ia diperbolehkan oleh pemerintahan Brazil untuk menetap kembali di Brazil. Pada tahun 1996 ia meninggal dunia dalam usia tujuh puluh lima tahun karena serangan jantung.[11]
            Freire telah menulis berbagai buku dan makalah dalam bahasa Portugis dan spanyol. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan diantaranya adalah:
  1. Pedagogy of The Oppressed, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Kaum Tertindas
  2. Cultural Action For Freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul Aksi Kultural Untuk Pembebasan
  3. Education For Critical Consciousness, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Untuk Kesadaran Kritis
  4. Education: The Practice of freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan
  5. The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, terjemahan edisi Indonesia berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan
  6. Educacao Como Pratica de Liberdade, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan yang membebaskan
  7. Pedagogy in Process: The Letters to Guinea-Bissau, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Sebagai Proses
  8. Pedagogy of The Heart, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pedagogy Hati
  9. Pedagogy of The Hope, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pedagogy Pengharapan

C. Pendidikan Pembebasan Paulo Freire
            Inti dari bentuk pendidikan yang diajukan oleh Paulo freire adalah Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan memberikan tekanan khusus pada pentingnya pemunculan kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi kultural.
1. Hubungan guru dan murid
Guru adalah sosok manusia yang selayaknya dihormati dan dimuliakan dengan penghormatan dan pemuliaan yang setinggi-tingginya (sepantas dan sepatutnya) dari seorang murid, dan guru untuk mendapatkan hak-hak tersebut semaksimal mungkin berupaya menyeimbangkannya dengan senantiasa meningkatkan integritas, intelektualitas, kapabalitas, dan menjaga muruahnya (harga diri) agar kebutuhan murid untuk belajar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan ketauladanan akhlak yang baik dapat terpenuhi dengan baik dan proposional.
Dalam menjelaskan hubungan guru dan murid, Freire berpendapat pentingnya dialog dalam proses belajar mengajar karena dalam dialog itu mereka saling menghargai, saling belajar, saling menghindarkan dari tekanan penguasa.[12] Dialog secara kritis perlu diadakan, sehingga masing-masing dihargai sebagai manusia. Dialog mengembangkan kedua belah pihak, baik guru maupun murid. Dalam dialog itu masing-masing bukan hanya mempertahankan identitas mereka, tetapi juga berkembang bersama. Dalam dialog juga hak asasi manusia dihargai dan tidak dimatikan demi kemenangan satu pihak.
Satu Analisis yang cermat tentang hubungan guru dengan murid telah dikemukakan olehnya ketika ia mengemukakan kritik tajam atas konsep pendidikan gaya bank. Konsep gaya bank melahirkan adanya kontradiksi  dalam hubungan guru dengan murid. Bahkan lebih dari itu konsep pendidikan gaya bank juga memelihara dan mempertajamnya sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berfikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada diri murid.[13]
Konsep pendidikan gaya bank merupakan suatu gejala, dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang memperlakukan murid-muridnya sebagai tempat penyimpanan  -semacam bank- yang kosong dan karenanya perlu diisi. Dalam proses semacam ini murid tidak lebih sebagai gudang yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada dalam kebodohan absolut. Ini merupakan suatu penindasan kesadaran manusia. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Dalam hal ini yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh murid.  Ruang gerak yang disediakan untuk kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.   
Konsep pendidikan gaya bank tidak mengenal pemecahan masalah kontradiksi guru dan murid, sebaliknya memelihara dan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan yang mencerminkan  suatu keadaan masyarakat terindas (murid):
a)      Guru mengajar, murid belajar
b)      Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
c)      Guru berfikir, murid difikirkan
d)     Guru bercerita, murid patuh mendengarkan cerita
e)      Guru menentukan peraturan, murid patuh diatur
f)       Guru memilih dan memaksakan pilihannya
g)      Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya
h)      Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
i)        Guru mencampuradukkan kewenagnag ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
j)        Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid hanyalah objek belaka.[14]

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa guru yang menjadi pusat segalanya. Bagi murid, guru sebagai prototipe manusia ideal yang harus ditiru dan diteladani dalam semua hal. Konsep pendidikan ini sangat efektif membekukan kesaran kritis dan mereduksi keterlibatan murid dalam proses belajar mengajar baik di dalam maupun di luar kelas, di samping itu mengurangi dan menghapuskan daya kreasi pada murid serta menumbuhkan sikap mudah percaya.
Untuk mencari dan mendapatkan kebebasan sebagai wujud perlawanan terhadap penindasan, maka perlu ditemukan sumber penyebab terjadinya penindasan, kemudian melakukan tindakan perubahan yang memungkinkan terbentuknya manusia yang lebih utuh.[15]
Oleh karena itu mengajar bukannya memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak direduksi menjadi mengajar siswa saja, tetapi belajar akan menjadi valid bila siswa belajar untuk belajar (learn to learn).[16] Tindakan mengajar yang dilakukan guru adalah sama dengan yang dilakukan murid dengan tindakan mengerti dan memahami apa yang diajarkan. Maka jelas bahwa mengajar adalah tindakan kreatif dan kritis, bukan hanya mekanis belaka. Keingintahuan guru dan murid bertemu dalam proses belajar mengajar itu. Dalam mengajar, guru mengenal lebih dalam pengertiannya dari pengertian murid.[17]
Freire memberikan beberapa tawaran yang cukup signifikan untuk menjadikan siswa kreatif dan kritis dalam proses belajar:
a)      Pembaca harus mengetahui peran dirinya
b)      Pada dasarnya praktek belajar adalah bersikap terhadap dunia
c)      Kapan saja mempelajari sesuatu, kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami
d)     Prilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis antar pembaca dan penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut
e)      Prilaku belajar menuntut rasa rendah hati.[18]
Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pembebasan freire dalam kaitannya hubungan antara guru dan murid adalah berusaha melepaskan belenggu yang menjerat paradigma berfikir guru dan murid, untuk kemudian mereka dapat melepaskan keterkungkungan itu, lalu menjadi manusia yang mengerti akan arti kemanusiaanya. Freire menempatkan guru sebagai mitra murid dalam segi kemanusiaan dan demokrasi dan bahwa setiap murid pada dasarnya dapat berlaku aktif, mampu berbuat dan bertanggung jawab, serta mampu menjadi dirinya sendiri.
1.      Metode Pendidikan
Metode adalah seperangkat strategi dan cara tertentu yang digunakan untuk menghantarkan materi pendidikan yang telah disepakati bersama dalam proses belajar mengajar. Dalam mengajukan metode pendidikan Freire menggunakan istilah ”pendidikan hadap masalah” (Problem posing education)[19], Metode ini digunakan sebagai ilmu antagonistis dari konsep pendidikan gaya bank dan berorientasi pada pembebasan manusia. Pendidikan hadap masalah sebagai alat pembebasan, menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam prosese menjadi (becaming) sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai dan terus menerus mencari.
Pendidikan  hadap masalah,  dapat digunakan dalam mengatasi kontradiksi guru murid dengan hubungan dan situasi dan  situasi pembelajaran yang dialogis.[20] Dalam konsep ini, guru tidak lagi sebagai orang yang mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialog dengan  para murid, yang pada gilirannya, di samping diajar, mereka (para murid) juga mengajar. Dengan demikian, dalam hal ini, tidak ada lagi subyek maupun obyek, yang ada hanyalah subyek sekaligus obyek, manusia saling mengajar satu sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh obyek-obyek yang dapat diamati, yang dalam pendidikan gaya bank, hal itu dimilki oleh hanya para guru.
Di sisi lain, metode pendidikan hadap masalah juga tidak memicu dikotomi kegiatan murid-murid, sehingga  proses pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, dan oleh karenanya masing-masing harus berperan aktif dalam proses itu. Tak ada kewenangan guru dalam konsep pendidikan ini, kecuali kewenangan untuk terus-menerus malakukan dialog bersama murid dan berefleksi bersama mereka mengenai masalah-masalah yang dihadapi. Proses dialog yang berlangsung bukanlah sebuah proses yang dominatif dan hegemonik, akan tetapi sebuah proses yang mendasarkan diri pada kemanusiaan dan memicu secara konsisten munculnya kesadaran kritis, baik dari guru maupun murid.
Dalam kondisi ini Freire mengemukakan bahwa dengan gaya bank yang membius dan mematikan daya kreatif, maka pendidikan hadap masalah menyangkut suatu proses penyingkapan realitas secara terus menerus. Yang disebut pertama berusaha mempertahankan penenggelaman kesadaran, sementara yang disebut terakhir berjuang bagi kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas.[21]
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa guru menyajikan pelajarannya kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka dan menguji pemikirannya yang terdahulu ketika murid mengemukakan hasil pemikirannya sendiri. Peran pendidik hadap masalah adalah menciptakan bersama dengan murid suatu suasana di mana pengetahuan pada tahap mantera (doxa) diganti dengan pengetahuan pada tahap ilmu.[22]
Bagi Freire pendidikan hadap masalah merupakan sebuah metode pembebasan manusia. Oleh karenanya metode tersebut berisi laku-laku pemahaman (act of cognition) bukannya pengalihan informasi. Laku pemahaman itu sendiri hanya dapat dimunculkan dalam hubungan yang dialogis, yang menuntut adanya pemecahan terhadap masalah kontradiksi antara guru dengan murid. Murid diberikan kesempatan untuk melakukan dialog secara terbuka dan bebas, di mana setiap murid dihargai pendapatnya, jawaban masalah atas dasar pengalaman setiap murid dan setiap murid saling mendidik satu sama lain.
3. Kurikulum Pendidikan
            Persoalan isi pelajaran, secara sederhana menjadi konkret dalam kurikulum yang digunakan dalam pembalajaran.[23] Isi pelajaran harus ditentukan bersama antara guru, murid, atau bahkan masyarakat secara demokratis. Isi tidak pernah objektif, tidak pernah lepas nilai, tidak pernah netral, tetapi selalu ada muatan dari yang menentukannya. Dari sinilah sebenarnya sering terjadi pembodohan dari kaum penguasa terhadap kelas bawah (rakyat) dengan menentukan kurikulum yang sesuai dengan kepentingan penguasa saja, tanpa melihat nilai-nilai apa saja yang diperlukan dan dibutuhkan masyarakat. Di sinilah muncul penindasan dari penguasa terhadap rakyat dengan dalih menyampaikan nilai budaya yang harus dipelajari dan diterima masyarakat.
            Isi bukanlah magis dan tidak netral, maka isi kurikulum selalu harus dikritisi. Guru dan murid perlu bekerjasama dalam menentukan isi yang mau dipelajari. Di sini pula perlu adanya dialog. Dalam pendidikan problem posing dengan jelas bahan itu ditentukan murid bersama guru dengan mengambil keadaan dari situasi hidup siswa, maka bahan menjadi bahan penyadaran akan keadaan murid.[24]
            Pendidikan harus memberikan keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata guru. Atas dasar itulah Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan yang dilakukan pada tingkat paling awal sekali dari semua proses pendidikan, haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat yang telah tersusun secara mekanis.[25]
            Mereka sendiri perlu menciptakan  bahasa lewat kehidupan dan peristiwa yang mereka alami sehari-hari. Cara yang digunakan adalah dengan dialog dan kerjasama antara guru dengan murid.[26] Lewat bahasa mereka itulah mereka akan mengenal dunia lebih luas dan berkembang dan bahkan eksistensi kemanusiaan mereka dihargai. Perlu dimengeri bahwa bahasa di sini bukan hanya semata bahasa linguistik saja, tetapi juga mencakup budaya dan konteks hidup yang mereka hadapi. Dengan demikian mereka bukan hanya belajar berbahasa, tetapi sungguh mengenal dunia tempat mereka hidup dan berjuang. Dalam pengertian ini seorang pendidik harus masuk dan mengerti bahasa murid dan bukan memaksakan bahasanya kepada semua murid.[27]
            Dari penjelasan di atas tentang kurikulum, Freire cendrung memberi kesempatan kepada guru dan murid secara utuh, mulai merancang kurikulum, pemilihan tema-tema sampai kepada pelaksanaan kurikulum yang sudah mereka rancang bersama. Hal ini berdasarkan konsep Freire mengenai cara murid belajar dengan aktif, di mana setiap murid memberikan sumbangannya terhadap proses belajar melalui tindakan nyata dan diskusi bersama yang bertempat pada kehidupan nyata sehari-hari, tempat belajar adalah ajang kehidupan itu sendiri.
4. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan masalah sentral dalam pendidikan. Tujuan utama pendidikan menurut Freire adalah conscientizacao, konsientisasi,  penyadaran.[28] Yaitu peningkatan menuju kesadaran kritis sebagai fase kesadaran tertinggi. Kata konsientisasi berasal dari bahasa Brazil conscientizacao, suatu proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan,[29] tidak seharusnya dipahami sebagai manipulasi kaum idealis. Bahkan jika visi kita mengenai konsientasi bersifat dialogis, bukan subjektif atau mekanistik, maka kita tidak dapat memberi label pada kesadaran ini dengan sebuah peran yang tidak dimilikinya, yakni peran untuk melakukan perubahan terhadap dunia.
Munculnya kesadaran kritis manusia tidak bisa dipisahkan dari proses dialog yang sejati, yang tentu saja melibatkan pemikiran kritis yaitu pemikiran yang melihat suatu hubungan tak terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi antara keduanya. Pemikiran kritis melihat realitas sebagai proses dan perubahan, bukannya entitas yang statis.[30] Oleh karenanya pemikiran kritis tidak memisahkan dirinya dari tindakan, akan tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah dunia tanpa gentar dan selalu siap menghadapi resiko dalam kondisi bagaimanapun.
Untuk meningkatkan kesadaran menuju ke kesadaran tertinggi yakni kesadaran kritis, yang dilakukan Freire adalah dengan melakukan pemilihan tema-tema generatif,[31] yang merupakan upaya aktualisasi realitas rakyat secara sederhana, menggunakan bahasa rakyat dan sudut pandang mereka. Pemilihan tema-tema tersebut akan mempermudah rakyat dalam memahami persoalan yang dihadapinya. Oleh karenanya pemilihan dan pemilahan tema-tema tersebut dilakukan bersama dengan rakyat dalam proses yang dialogis
            Setelah pemilihan dan pemilahan tema-tema generatif yang disesuaikan dengan realitas obyektif, keinginan dan kebutuhan-kebutuhan rakyat- mereka kemudian dirangkaikan dengan kodifikasi, yaitu fisualisasi tema-tema terpilih secara eksternal. Artinya memberi pemahaman diri bersama rakyat atas realitas secara lebih mendalam, mendetail, dan memiliki kemampuan untuk menguak hal-hal substansial yang melingkupinya.
            Ketajaman pemilihan dan pemilahan tema-tema generatif serta kodifikasi yang dilakukan bersama rakyat, akan mengantarkan rakyat kepada pemahaman diri rakyat dan realitasnya secara utuh dan lengkap bahwa ia ada dalam dan bersama dengan dunia yang oleh karenanya ia bertanggung jawab atas proses kemanusiannya sendiri tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain (dalam hal ini adalah kaum penindas). Akhirnya kesadaran rakyat akan semakin meningkat dan semakin kritis, sebagai bentuk tertinggi dari tingkat kesadaran yang dibangun dan sekaligus dicita-citakan Freire, sehingga dengan sendirinya akan mengurangi bahkan bisa jadi dapat menghilangkan struktur penindas dan yang tertindas secara gradual dan alamiah.
Dalam pelaksanaannya konsep tersebut terdiri dari tiga tahapan utama:
Ø  Tahap kodifikasi dan dekodifikasi, merupakan tahap pendidikan mereka huruf elementer dalam konteks konkrit dan konteks teoritis (melalui gambar-gambar, cerita rakyat dan sebagainya)
Ø  Tahap diskusi kultural, merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan menggunakan kata-kata kunci (generatif words)
Ø  Tahap aksi kultural, merupakan tahap praksis yang sesungguhnya, di mana tindakan setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.

D. Kesimpulan
            Tujuan pendidikan yang membebaskan pada hakektanya adalah fitrah yang sejalan-dengan hukum-hukum alam. Setiap orang berupaya menjadi manusia sejati yang harus harus terwujud melalui dunia pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai wahana pengembangan ilmu dalam arti luas. Ilmu dapat berkembang dengan pesat dalam dunia pendidikan dengan beragam perbedaan baik itu interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner dalam kerangka akademik. Dengan demikain   dunia akademik semakin kaya khazanah keilmuan dari perbedaan tersebut. Pengkayaan keilmuan tersebut lahir dari kebebasan dan pembebasan berfikir. Tujuan pembebasan bermuara pada peningkatan pada daya kreativitas berfikir yang lebih produktif.  Kita tidak bisa belajar tentang teori demokrasi, multikulturalisme, dan pluralisme tanpa kebebasan. Tetapi kita harus berlatih dalam perbedaan dengan semangat kebebasan dan pembebasan menuju nilai kebaikan, maka masyarakat yang damai dan nyaman yang dirasakan akan terwujud.   Dunia pendidikan sendiri harus banyak melatih tentang kebebasan. Murid harus bebas dan aman supaya dapat belajar bagaimana berfikir kritis sekaligus toleran terhadap setiap perbedaan.
            Konsep pendidikan gaya bank mendapat kritikan dari Freire, karena konsep pendidikan seperti ini sangat efektif membekukan kesadaran kritis dan mereduksi keterlibatan murid dalam proses belajar mengajar. Di samping itu juga memiliki kemampuan untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi pada murid. Ini semua yang ingin di hapus oleh Freire dengan pendidikan pembebasannya.
            Kebebasan berfikir sesuatu nilai yang sangat dirindukan dan didambakan setiap insan pemikir. Sketsa pemikiran Friere mencoba mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan yang bebas dalam pendidikan. Nilai kemanusiaan yang bebas adalah yang bernafaskan kreativitas berfikir dalam membangun komunikasi yang positif, inovatif, kunstuktif dan produktif guna melahirkan amal saleh. Dengan pemikiran yang bebas tersebut, akan mampu melahirkan karaya-karya yang sangat spektakuler  dalam mengartikulasi nilai-nilai kehidupan yang penuh makna sehingga pemikiran tersebut akan membumi dan menjaman.
















DAFTAR PUSTAKA
A. Smith,  William, Conscientizacao;Tujuan Pendidikan Pendidikan Paulo Freire, 2001, dalam MATABACA, Vol.1, No. 9, 2003, h. 30
Dakhiri, Muhammad Hanif, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan Pena, 2000)
Dennis, E. Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though, (New York), Paulist Press, 1977)
Freire, Paulo, Pedagogy Pengharapan, Penerjemah Tim Penerbit Kanisius, (Yogyakarta:Kanisius, 2001)
----------------, Pendidikan Kaum Tertindas, Penerjemah Utomo Dananjaya, dkk, (Jakarta: LP3ES, 2000)
----------------, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Penerjemah Alois A. Nugroho , (Jakarta:Gramedia, 1984)
----------------, Politik Pendidikan,Kkebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Penerjemah Agung Prihantoro, dkk, (Yogyakarta:Read bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2000)
Mintara, Agustinus, dalam BASIS, Yogyakarta: Kanisius, No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari 2001
Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:Gramedia,2001)
Ramos, Myra Bergman, (ed), Education as The Practice of Freedom, (London:Writers 7 Readers Publishing Cooperative, 1974)
Shaull, Richard, Kata Pengantar dalam  Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya dkk., (Jakarta: LP3S, 1985)
Suparno, Paul, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke 50 Januari Februari, 2001
 Suwito dan Fausan (Ed),  Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, (Bandung: Angkasa, 2004)
----------------,(Ed), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung:Angkasa, 2003) 






§ Dosen tetap STAIN Manado pada Jurusan Tarbiyah dan Keguruan
[1] Pendidikan  sebagai sarana efektif dalam membentuk kepribadian seseorang dilihat dari sisi akhlak maupun keberhasilan seseorang dalam berusaha, suasana demikian akan mengharuskan lembaga pendidikan bisa menunjukkan kepada masyarakat akan keberhasilan dan prestasi yang pernah diraihnya. Keberhasilan suatu pendidikan bisa dikatakan sebagai keberhasilan sistem dimana antara unsur pendidikan yang satu dengan unsur pendidikan yang lain harus saling menunjang, baik keberhasilan secara kognitif, afektif, psikomotorik  maupun keberhasilan secara spiritual. Lihat Suwito dan Fauzan (Ed), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung:Angkasa, 2003), h.V-VI. Bandingkan pula,  Suwito dan Fausan (Ed),  Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, (Bandung: Angkasa, 2004).
 Pendidikan dapat dimaknai sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani bagi terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan budaya pendidikan sekurang-kurangnya mengandung lima  unsur penting, yaitu pertama, usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan (Pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar, kedua pendidikan atau bimbingan atau penolong, ketiga, ada yang didik atau siterdidik, keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan, kelima, dalam proses pendidikan terdapat alat-alat yang dipergunakan. Lihat, Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:Gramedia,2001), h. 5
[2] Lihat, Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam,  h. 5
                [3] Disarikan dari Richard Shaull, Kata Pengantar dalam  Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya dkk., (Jakarta: LP3S, 1985), h. xii
[4] Dennis E. Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though, (New York), Paulist Press, 1977), h. 5
[5] Bdk. Richard Shaull,  kata pengantar dalam Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta:LP3S, 2000), h. xi
[6] Agustinus Mintara dalam BASIS, Yogyakarta: Kanisius, No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari 2001, h. 30
[7]  Dennis E. Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though, h. 6
[8] Myra Bergman Ramos (ed), Education as The Practice of Freedom, (London:Writers 7 Readers Publishing Cooperative, 1974), h. 30-31
[9] Bagi Freire, pemecahan masalah yang menimpa masyarakat Brazilia harus diadakan bersama rakyat bukan untuk rakyat, juga bukan dengan memaksa rakyat. Yang diperlukan adalah terjun ke tengah rakyat dan mengajak mereka memasuki proses sejarah yang kritis. Myra Bergman Ramos (ed), Education as The Practice of Freedom, h. 16
[10] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Penerjemah Alois A. Nugroho , (Jakarta:Gramedia, 1984), h. 30
[11]  The New York Times 6 Mei 1997 dalam BASIS, h. 30
[12] Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke 50 Januari Februari, 2001, h. 26
[13] Muhammad Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan Pena, 2000), h. 47
[14] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Penerjemah Utomo Dananjaya, dkk, (Jakarta: LP3ES, 2000), h. 51-52
[15] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 52      
[16]Paulo Freire, Pedagogy Pengharapan, Penerjemah Tim Penerbit Kanisius, (Yogyakarta:Kanisius, 2001), h. 81
[17] Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke 50 Januari Februari, 2001, h. 25
[18] Paulo Freire, Politik Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Penerjemah Agung Prihantoro, dkk, (Yogyakarta:Read bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2000), h. 29-33
[19] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 52
[20] Muhammad Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, h. 69.
[21] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, h. 63
[22] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, h. 63
[23] Paulo Freire, Pedagogy Pengharapan, h. 109
[24] Paulo Freire, Pedagogy Pengharapan, h. 109
[25] Paulo Freire, Politik Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, h. xix
[26] Paulo Freire, Politik Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, h. 45-47
[27] Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke 50 Januari Februari, 2001, h. 26
[28] William A. Smith,  Conscientizacao;Tujuan Pendidikan Pendidikan Paulo Freire, 2001, dalam MATABACA, Vol.1, No. 9, 2003, h. 30
[29]  Paulo Freire, Politik Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, h. 183
[30] Muhammad Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, h. 72
[31] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar