PENDIDIKAN PEMBEBASAN
(Telaah
Terhadap Pemikiran Paulo Freire)
Muh.Idris
Dosen Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
e-mail
:idrispasca_uin@yahoo.co.id
Abstrak
Pendidikan yang ada saat ini masih
cenderung mengabaikan nilai fitrah
manusia yang memiliki kebebasan. Nilai
kebebasan yang ada di dalam diri
individu manusia saat ini diambil alih
oleh individu yang lain dengan mengatasnamakan demokrasi. Lebih nyata
dalam realitas kehidupan, mengambil hak-hak individu yang lain melalui lembaga
dengan dalih demokrasi dan kualitas. Seorang pakar pendidikan Paulo Freire
memberikan ilustrasi bahwa pendidikan dewasa ini melalui lembaga sekolah
membentuk insan-insan robot yang bekerja
bagaikan mesin yang bekerja secara mekanik, manusia secara bertahap dipangkas
kemerdekaan dan kebebasannya dalam bertindak.
Secara sederhana Freire menegaskan bahwa
“konsistensi yang absolut akan membuat hidup ini menjadi sebuah
pengalaman yang tidak harum, tidak berwarna, dan tidak terasa”. Atas dasar
tersebut Freire memiliki konsep deschooling,
belajar tanpa sekolah. Sebab belajar dapat dilakukan di luar institusi
sekolah bahkan dalam ruangan terbuka sekalipun.
Kata kunci, Hubungan
guru dan murid, Metode Pendidikan, Kurikulum pendidikan dan Tujuan pendidikan
A. Pendahuluan
Pendidikan,[1] telah menjadi icon yang selalu menarik untuk diperbincangkan
dan dikritisi demi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan.Baik di kalangan
pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan dan lain sebagainya. Hal ini siring dengan perkembangan zaman
yang semakin pesat, yang syarat dengan kemajuan sains dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dirasakan manusia dewasa ini adalah buah dari
kebebasan.
Paulo
Friere, salah satu tokoh pendidik yang sangat kritis mengenai pendidikan. Alam
semesta sebagai ruang kelasnya, untuk dimanfaatkan sebagai proses pendidikan yang
selaras dengan perkembangan zamannya baik perasaan, bahasa, maupun alam pikirannya.
Friere tak henti-hentinya mencari
bentuk-bentuk baru kesadaran kritis dan menggali hubungan-hubungan baru antara
penindasan dalam pelbagai bidang dengan konsistensi (proses penyadaran) yang membebaskan. Benang merah
yang menyatukan karyanya adalah kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi
cultural.[2]
Situasi
penindasan, salah satu akibatnya dapat melahirkan kebudayaan bisu, yakni
munculnya ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan sendiri,
sehingga sikap memilih diam sering tidak hanya dianggap sebagai sikap dan
perilaku santun, tetapi juga menjadi situasi khas di kelas-kelas perkuliahan
dan pembelajaran lainnya. Mensyiasati kondisi demikian, Friere memberikan
solusi dengan apa yang disebutnya pendidikan sebagai praktek pembebasan yang
lahir dari usaha-usaha kreatifnya dalam pemberantasan buta huruf orang dewasa
di seluruh wilayah Brazil sebelum kudeta militer 1 April 1964 yang akhirnya
menyebabkannya hidup dalam pengasingan.[3]
Gagasan
tersebut di atas, memberi inspirasi tentang muatan yang seharusnya ada dalam
pendidikan, sekaligus sebagai landasan kesadaran kritis kita terhadap tendensi
sistem pendidikan di negara-negara modern sekarang ini, khususnya di Indonesia.
Sebab pada kenyataannya, ia tidak hanya membongkar kepentingan negara dalam
pendidikan, tetapi juga berbagai kepentingan idiologi yang merasuk dan
mematikan kesadaran manusia. Dalam konteks ini semua
idiologi mempunyai potensi hegemoni bagi kebebasan manusia yang fithrah. Bahkan
agama kalau sudah menjadi alat hegemoni juga masuk dalam ketagori menindas yang
berada di bawah pemandu kekuasaan.
Penindasan
secara structural inilah yang pada gilirannya melahirkan proses pemiskinan, baik pada
lapangan ekonomi, politik, sosial budaya,
maupun idiologi. Dengan demikian demoralisasi yang
dilakukan oleh struktur negara melalui penyeragaman cara berfikir yang termuat
dalam system pendidikan telah mengakibatkan suatu kondisi di mana kesadaran
yang muncul dalam diri peserta didik bukanlah kesadaran kritis sebagai manusia yang mempunyai akal pikiran,
melainkan kesadaran naïf yang bertumpu pada pemikiran pragmatis.
B. Sejarah Singkat Kehidupan Paulo Freire
Freire
lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife, Brazil yang merupakan pusat
salah satu daerah paling miskin dan terbelakang di dunia ketiga, yaitu sebuah
kota pelabuhan di sebelah Timur Laut negeri Brazil. Ia hidup dalam keluarga
yang menyenangkan yang menjunjung tinggi dialog dan menghargai pilihan
seseorang,[4]
Berasal dari keluarga menengah dan terbiasa hidup sederhana. Kesederhanaan itu
mengajarkannya sejak kecil apa artinya menahan rasa lapar. Pengalaman ini
memotivasinya untuk mendedikasikan hidupnya bagi perjuangan melawan kelaparan.
Ia mengatakan “jangan sampai anak-anak merasakan dan mengalami susahnya hidup
seperti yang pernah saya alami.”.[5]
Ketika
berumur 10 tahun, keluarganya pindah ke Jabatao. Di kota ini ayahnya meninggal. Akhirnya ia harus bergelut dengan masa
transisi dan kekuarangan finansial. Dalam kondisi ini ia menemukan dirinya sebagai bagian dari “kaum rombeng
dari muka bumi”. Situasi seperti ini membuatnya tertatih-tatih menjalani studi.
Walau demikian pelan-pelan krisis
finansial yang melanda keluarganya mulai teratasi, sehingga ia dapat
menyelesaikan sekolah menengahnya. Kemudian ia masuk Fakultas Hukum di
Universitas Recife, di samping itu ia juga belajar filsafat dan psikologi
bahasa, dan disela-sela kuliahnya, ia mengajar bahasa portugis, sebagai part
timer, pada sebuah sekolah menengah.[6]
Setelah menikah dengan Elza Maia Costa Oliveira –seorang
guru dari Recife- tahun 1944, mulai tumbuh minatnya mendalami buku-buku
pendidikan (filsafat pendidikan dan sosiologi pendidikan) melebihi buku-buku
tentang hukum. Walau begitu, ilmu hukumknya tetap berjasa. Berkat ijazah hukum,
ia dapat menjabat Direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebuah
Lembanga Pelayanan Sosial di Pernambuco. Bekerja di lembaga sosial membuatnya
sering berkontak secara langsung dengan orang-orang miskin kota. Pengalaman ini
kelak juga ikut mempengaruhi filosofi pendidikannya.[7]
Tahun
1961 Joao Goulart menggantikan Janio Quadros sebagai presiden Brazilia. Di masa
presiden baru ini gerakan kaum petani dan kaum budayawan melakukan kampanye
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan baca tulis supaya
rakyat dapat berpartisipasi aktif di bidang politik.[8]
Freire sendiri mengembangkan program literasi
(melek huruf) bagi ribuan petani di daerah Recife dari Juni 1963 sampai Maret
1964. Program ini disambut
dengan antusias besar oleh rakyat Brazilia.[9] Ia menggunakan metode conscientization
(konsientasi: penyadaran) untuk membangkitkan kesadaran rakyat atas realitas
yang menindas mereka, dan bangkitnya kesadaran rakyat menimpulkan dampak
terhadap perubahan sosial. Tetapi kesadaran rakyat ini sekaligus membuat
khawatir pihak militer dan tuan tanah.[10]
Pada
1 April 1964, militer berhasil menggulingkan
rezim Goulart. Pada rezim militer ini gerakan kerakyatan ditekan. Freire
ditangkap dan dimasukkan ke penjara selama 70 hari dengan tuduhan melakukan kegiatan subversif. Di penjara ia
menulis karya pertamanya educacao Como Pratica da Liberdade (Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan). Pada tahun 1970, ia menjadi penasehat pendidikan
pada kantor pendidikan dewan gereja-gereja se dunia di Janewa, Swiss. Sampai
tahun 1979 ia tetap tidak diizinkan kembali ke Brazil, baru setelah itu ia
diperbolehkan oleh pemerintahan Brazil untuk menetap kembali di Brazil. Pada
tahun 1996 ia meninggal dunia dalam usia tujuh puluh lima tahun karena serangan
jantung. Pada tahun 1970, ia menjadi penasehat pendidikan pada kantor
pendidikan dewan gereja-gereja se dunia di Janewa, Swiss. Sampai tahun 1979 ia
tetap tidak diizinkan kembali ke Brazil, baru setelah itu ia diperbolehkan oleh
pemerintahan Brazil untuk menetap kembali di Brazil. Pada tahun 1996 ia
meninggal dunia dalam usia tujuh puluh lima tahun karena serangan jantung.[11]
Freire
telah menulis berbagai buku dan makalah dalam bahasa Portugis dan spanyol.
Beberapa karyanya yang telah diterbitkan diantaranya adalah:
- Pedagogy of The Oppressed, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Kaum Tertindas
- Cultural Action For Freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul Aksi Kultural Untuk Pembebasan
- Education For Critical Consciousness, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Untuk Kesadaran Kritis
- Education: The Practice of freedom, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan
- The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, terjemahan edisi Indonesia berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan
- Educacao Como Pratica de Liberdade, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan yang membebaskan
- Pedagogy in Process: The Letters to Guinea-Bissau, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pendidikan Sebagai Proses
- Pedagogy of The Heart, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pedagogy Hati
- Pedagogy of The Hope, terjemahan edisi Indonesia berjudul Pedagogy Pengharapan
C. Pendidikan Pembebasan Paulo Freire
Inti dari bentuk
pendidikan yang diajukan oleh Paulo freire adalah Pendidikan Sebagai
Praktek Pembebasan memberikan tekanan khusus pada pentingnya pemunculan
kesadaran kritis sebagai penggerak emansipasi kultural.
1. Hubungan guru dan murid
Guru adalah sosok manusia yang selayaknya dihormati dan
dimuliakan dengan penghormatan dan pemuliaan yang setinggi-tingginya (sepantas
dan sepatutnya) dari seorang murid, dan guru untuk mendapatkan hak-hak tersebut
semaksimal mungkin berupaya menyeimbangkannya dengan senantiasa meningkatkan
integritas, intelektualitas, kapabalitas, dan menjaga muruahnya (harga diri)
agar kebutuhan murid untuk belajar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
ketauladanan akhlak yang baik dapat terpenuhi dengan baik dan proposional.
Dalam menjelaskan hubungan guru dan murid, Freire
berpendapat pentingnya dialog dalam proses belajar mengajar karena dalam dialog
itu mereka saling menghargai, saling belajar, saling menghindarkan dari tekanan
penguasa.[12]
Dialog secara kritis perlu diadakan, sehingga masing-masing dihargai sebagai
manusia. Dialog mengembangkan kedua belah pihak, baik guru maupun murid. Dalam
dialog itu masing-masing bukan hanya mempertahankan identitas mereka, tetapi
juga berkembang bersama. Dalam
dialog juga hak asasi manusia dihargai dan tidak dimatikan demi kemenangan satu
pihak.
Satu Analisis yang cermat
tentang hubungan guru dengan murid telah dikemukakan olehnya ketika ia
mengemukakan kritik tajam atas konsep pendidikan gaya bank. Konsep gaya bank
melahirkan adanya kontradiksi dalam
hubungan guru dengan murid. Bahkan lebih dari itu konsep pendidikan gaya bank
juga memelihara dan mempertajamnya sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berfikir
dan tidak munculnya kesadaran kritis pada diri murid.[13]
Konsep pendidikan gaya bank merupakan
suatu gejala, dimana guru berlaku sebagai penyimpan yang memperlakukan
murid-muridnya sebagai tempat penyimpanan
-semacam bank- yang kosong dan karenanya perlu diisi. Dalam proses
semacam ini murid tidak lebih sebagai gudang yang tidak kreatif sama sekali.
Murid dianggap berada dalam kebodohan absolut. Ini merupakan suatu penindasan kesadaran
manusia. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana murid
adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Dalam hal ini yang terjadi
bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh
murid. Ruang gerak yang disediakan untuk
kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.
Konsep pendidikan gaya bank
tidak mengenal pemecahan masalah kontradiksi guru dan murid, sebaliknya
memelihara dan mempertajam kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan yang
mencerminkan suatu keadaan masyarakat
terindas (murid):
a)
Guru
mengajar, murid belajar
b)
Guru
mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
c)
Guru
berfikir, murid difikirkan
d)
Guru
bercerita, murid patuh mendengarkan cerita
e)
Guru
menentukan peraturan, murid patuh diatur
f)
Guru
memilih dan memaksakan pilihannya
g)
Guru
berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya
h)
Guru
memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
i)
Guru
mencampuradukkan kewenagnag ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia
lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
j)
Guru
adalah subjek dalam proses belajar, murid hanyalah objek belaka.[14]
Dari penjelasan di atas dapat
dilihat bahwa guru yang menjadi pusat segalanya. Bagi murid, guru sebagai prototipe
manusia ideal yang harus ditiru dan diteladani dalam semua hal. Konsep
pendidikan ini sangat efektif membekukan kesaran kritis dan mereduksi
keterlibatan murid dalam proses belajar mengajar baik di dalam maupun di luar
kelas, di samping itu mengurangi dan menghapuskan daya kreasi pada murid serta
menumbuhkan sikap mudah percaya.
Untuk mencari dan mendapatkan
kebebasan sebagai wujud perlawanan terhadap penindasan, maka perlu ditemukan
sumber penyebab terjadinya penindasan, kemudian melakukan tindakan perubahan
yang memungkinkan terbentuknya manusia yang lebih utuh.[15]
Oleh karena itu mengajar
bukannya memindahkan pengetahuan dengan hafalan. Mengajar tidak direduksi
menjadi mengajar siswa saja, tetapi belajar akan menjadi valid bila siswa
belajar untuk belajar (learn to learn).[16]
Tindakan mengajar yang dilakukan guru adalah sama dengan yang dilakukan murid
dengan tindakan mengerti dan memahami apa yang diajarkan. Maka jelas bahwa
mengajar adalah tindakan kreatif dan kritis, bukan hanya mekanis belaka.
Keingintahuan guru dan murid bertemu dalam proses belajar mengajar itu. Dalam
mengajar, guru mengenal lebih dalam pengertiannya dari pengertian murid.[17]
Freire memberikan beberapa
tawaran yang cukup signifikan untuk menjadikan siswa kreatif dan kritis dalam
proses belajar:
a) Pembaca harus mengetahui peran dirinya
b) Pada dasarnya praktek belajar adalah
bersikap terhadap dunia
c) Kapan saja mempelajari sesuatu, kita
dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga
bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami
d) Prilaku belajar mengasumsikan hubungan
dialektis antar pembaca dan penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema
teks tersebut
e) Prilaku belajar menuntut rasa rendah hati.[18]
Dari semua penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa konsep pembebasan freire dalam kaitannya hubungan
antara guru dan murid adalah berusaha melepaskan belenggu yang menjerat
paradigma berfikir guru dan murid, untuk kemudian mereka dapat melepaskan
keterkungkungan itu, lalu menjadi manusia yang mengerti akan arti
kemanusiaanya. Freire menempatkan guru sebagai mitra murid dalam segi
kemanusiaan dan demokrasi dan bahwa setiap murid pada dasarnya dapat berlaku
aktif, mampu berbuat dan bertanggung jawab, serta mampu menjadi dirinya
sendiri.
1. Metode Pendidikan
Metode adalah seperangkat
strategi dan cara tertentu yang digunakan untuk menghantarkan materi pendidikan
yang telah disepakati bersama dalam proses belajar mengajar. Dalam mengajukan
metode pendidikan Freire menggunakan istilah ”pendidikan hadap masalah” (Problem
posing education)[19],
Metode ini digunakan sebagai ilmu antagonistis dari konsep pendidikan gaya bank
dan berorientasi pada pembebasan manusia. Pendidikan hadap masalah sebagai alat
pembebasan, menegaskan manusia sebagai makhluk yang berada dalam prosese
menjadi (becaming) sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai dan terus
menerus mencari.
Pendidikan hadap masalah, dapat digunakan dalam mengatasi kontradiksi
guru murid dengan hubungan dan situasi dan
situasi pembelajaran yang dialogis.[20]
Dalam konsep ini, guru tidak lagi sebagai orang yang mengajar, tetapi orang
yang mengajar dirinya melalui dialog dengan
para murid, yang pada gilirannya, di samping diajar, mereka (para murid)
juga mengajar. Dengan demikian, dalam hal ini, tidak ada lagi subyek maupun
obyek, yang ada hanyalah subyek sekaligus obyek, manusia saling mengajar satu
sama lain, ditengahi oleh dunia, oleh obyek-obyek yang dapat diamati, yang
dalam pendidikan gaya bank, hal itu dimilki oleh hanya para guru.
Di sisi lain, metode
pendidikan hadap masalah juga tidak memicu dikotomi kegiatan murid-murid, sehingga proses pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama, dan oleh karenanya masing-masing harus berperan aktif dalam proses
itu. Tak ada kewenangan guru dalam konsep pendidikan ini, kecuali kewenangan
untuk terus-menerus malakukan dialog bersama murid dan berefleksi bersama
mereka mengenai masalah-masalah yang dihadapi. Proses dialog yang berlangsung
bukanlah sebuah proses yang dominatif dan hegemonik, akan tetapi sebuah proses
yang mendasarkan diri pada kemanusiaan dan memicu secara konsisten munculnya kesadaran
kritis, baik dari guru maupun murid.
Dalam kondisi ini Freire
mengemukakan bahwa dengan gaya bank yang membius dan mematikan daya kreatif,
maka pendidikan hadap masalah menyangkut suatu proses penyingkapan realitas
secara terus menerus. Yang disebut pertama berusaha mempertahankan
penenggelaman kesadaran, sementara yang disebut terakhir berjuang bagi
kebangkitan kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas.[21]
Lebih lanjut ia menyatakan
bahwa guru menyajikan pelajarannya kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka
dan menguji pemikirannya yang terdahulu ketika murid mengemukakan hasil
pemikirannya sendiri. Peran pendidik hadap masalah adalah menciptakan bersama
dengan murid suatu suasana di mana pengetahuan pada tahap mantera (doxa)
diganti dengan pengetahuan pada tahap ilmu.[22]
Bagi Freire pendidikan hadap
masalah merupakan sebuah metode pembebasan manusia. Oleh karenanya metode
tersebut berisi laku-laku pemahaman (act of cognition) bukannya pengalihan
informasi. Laku pemahaman itu sendiri hanya dapat dimunculkan dalam hubungan
yang dialogis, yang menuntut adanya pemecahan terhadap masalah kontradiksi
antara guru dengan murid. Murid diberikan kesempatan untuk melakukan dialog
secara terbuka dan bebas, di mana setiap murid dihargai pendapatnya, jawaban
masalah atas dasar pengalaman setiap murid dan setiap murid saling mendidik
satu sama lain.
3. Kurikulum Pendidikan
Persoalan isi pelajaran, secara sederhana menjadi konkret
dalam kurikulum yang digunakan dalam pembalajaran.[23]
Isi pelajaran harus ditentukan bersama antara guru, murid, atau bahkan
masyarakat secara demokratis. Isi tidak pernah objektif, tidak pernah lepas
nilai, tidak pernah netral, tetapi selalu ada muatan dari yang menentukannya.
Dari sinilah sebenarnya sering terjadi pembodohan dari kaum penguasa terhadap
kelas bawah (rakyat) dengan menentukan kurikulum yang sesuai dengan kepentingan
penguasa saja, tanpa melihat nilai-nilai apa saja yang diperlukan dan
dibutuhkan masyarakat. Di sinilah muncul penindasan dari penguasa terhadap
rakyat dengan dalih menyampaikan nilai budaya yang harus dipelajari dan
diterima masyarakat.
Isi bukanlah magis dan tidak netral, maka isi kurikulum
selalu harus dikritisi. Guru dan murid perlu bekerjasama dalam menentukan isi
yang mau dipelajari. Di sini pula perlu adanya dialog. Dalam pendidikan problem
posing dengan jelas bahan itu ditentukan murid bersama guru dengan
mengambil keadaan dari situasi hidup siswa, maka bahan menjadi bahan penyadaran
akan keadaan murid.[24]
Pendidikan harus memberikan keleluasaan bagi setiap orang
untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus
diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata
guru. Atas dasar itulah Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan
keterbacaan yang dilakukan pada tingkat paling awal sekali dari semua proses
pendidikan, haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan
sekedar suatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta
merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat yang telah tersusun secara
mekanis.[25]
Mereka sendiri perlu menciptakan bahasa lewat kehidupan dan peristiwa yang
mereka alami sehari-hari. Cara
yang digunakan adalah dengan dialog dan kerjasama antara guru dengan murid.[26]
Lewat bahasa mereka itulah mereka akan mengenal dunia lebih luas dan berkembang
dan bahkan eksistensi kemanusiaan mereka dihargai. Perlu dimengeri bahwa bahasa
di sini bukan hanya semata bahasa linguistik saja, tetapi juga mencakup budaya
dan konteks hidup yang mereka hadapi. Dengan demikian mereka bukan hanya
belajar berbahasa, tetapi sungguh mengenal dunia tempat mereka hidup dan
berjuang. Dalam pengertian ini seorang pendidik harus masuk dan mengerti bahasa
murid dan bukan memaksakan bahasanya kepada semua murid.[27]
Dari
penjelasan di atas tentang kurikulum, Freire cendrung memberi kesempatan kepada
guru dan murid secara utuh, mulai merancang kurikulum, pemilihan tema-tema
sampai kepada pelaksanaan kurikulum yang sudah mereka rancang bersama. Hal ini
berdasarkan konsep Freire mengenai cara murid belajar dengan aktif, di mana
setiap murid memberikan sumbangannya terhadap proses belajar melalui tindakan
nyata dan diskusi bersama yang bertempat pada kehidupan nyata sehari-hari,
tempat belajar adalah ajang kehidupan itu sendiri.
4. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan
masalah sentral dalam pendidikan. Tujuan utama pendidikan menurut Freire adalah
conscientizacao, konsientisasi, penyadaran.[28]
Yaitu peningkatan menuju kesadaran kritis sebagai fase kesadaran tertinggi.
Kata konsientisasi berasal dari bahasa Brazil conscientizacao, suatu
proses di mana manusia berpartisipasi secara kritis dalam aksi perubahan,[29]
tidak seharusnya dipahami sebagai manipulasi kaum idealis. Bahkan jika visi
kita mengenai konsientasi bersifat dialogis, bukan subjektif atau mekanistik,
maka kita tidak dapat memberi label pada kesadaran ini dengan sebuah peran yang
tidak dimilikinya, yakni peran untuk melakukan perubahan terhadap dunia.
Munculnya kesadaran kritis
manusia tidak bisa dipisahkan dari proses dialog yang sejati, yang tentu saja
melibatkan pemikiran kritis yaitu pemikiran yang melihat suatu hubungan tak
terpisahkan antara manusia dan dunia tanpa melakukan dikotomi antara keduanya.
Pemikiran kritis melihat realitas sebagai proses dan perubahan, bukannya
entitas yang statis.[30]
Oleh karenanya pemikiran kritis tidak memisahkan dirinya dari tindakan, akan
tetapi senantiasa bergumul dengan masalah-masalah dunia tanpa gentar dan selalu
siap menghadapi resiko dalam kondisi bagaimanapun.
Untuk meningkatkan kesadaran
menuju ke kesadaran tertinggi yakni kesadaran kritis, yang dilakukan Freire
adalah dengan melakukan pemilihan tema-tema generatif,[31]
yang merupakan upaya aktualisasi realitas rakyat secara sederhana, menggunakan
bahasa rakyat dan sudut pandang mereka. Pemilihan tema-tema tersebut akan
mempermudah rakyat dalam memahami persoalan yang dihadapinya. Oleh karenanya
pemilihan dan pemilahan tema-tema tersebut dilakukan bersama dengan rakyat
dalam proses yang dialogis
Setelah
pemilihan dan pemilahan tema-tema generatif yang disesuaikan dengan realitas
obyektif, keinginan dan kebutuhan-kebutuhan rakyat- mereka kemudian
dirangkaikan dengan kodifikasi, yaitu fisualisasi tema-tema terpilih secara
eksternal. Artinya memberi pemahaman diri bersama rakyat atas realitas secara
lebih mendalam, mendetail, dan memiliki kemampuan untuk menguak hal-hal
substansial yang melingkupinya.
Ketajaman
pemilihan dan pemilahan tema-tema generatif serta kodifikasi yang dilakukan
bersama rakyat, akan mengantarkan rakyat kepada pemahaman diri rakyat dan
realitasnya secara utuh dan lengkap bahwa ia ada dalam dan bersama dengan dunia
yang oleh karenanya ia bertanggung jawab atas proses kemanusiannya sendiri
tanpa harus menggantungkan diri pada orang lain (dalam hal ini adalah kaum penindas).
Akhirnya kesadaran rakyat akan semakin meningkat dan semakin kritis, sebagai
bentuk tertinggi dari tingkat kesadaran yang dibangun dan sekaligus
dicita-citakan Freire, sehingga dengan sendirinya akan mengurangi bahkan bisa
jadi dapat menghilangkan struktur penindas dan yang tertindas secara gradual
dan alamiah.
Dalam pelaksanaannya konsep
tersebut terdiri dari tiga tahapan utama:
Ø Tahap kodifikasi dan dekodifikasi,
merupakan tahap pendidikan mereka huruf elementer dalam konteks konkrit dan
konteks teoritis (melalui gambar-gambar, cerita rakyat dan sebagainya)
Ø Tahap diskusi kultural, merupakan tahap
lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis
dengan menggunakan kata-kata kunci (generatif words)
Ø Tahap aksi kultural, merupakan tahap
praksis yang sesungguhnya, di mana tindakan setiap orang atau kelompok menjadi
bagian langsung dari realitas.
D. Kesimpulan
Tujuan
pendidikan yang membebaskan pada hakektanya adalah fitrah yang sejalan-dengan
hukum-hukum alam. Setiap orang berupaya menjadi manusia sejati yang harus harus
terwujud melalui dunia pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai wahana
pengembangan ilmu dalam arti luas. Ilmu dapat berkembang dengan pesat dalam
dunia pendidikan dengan beragam perbedaan baik itu interdisipliner,
multidisipliner dan transdisipliner dalam kerangka akademik. Dengan
demikain dunia akademik semakin kaya
khazanah keilmuan dari perbedaan tersebut. Pengkayaan keilmuan tersebut lahir
dari kebebasan dan pembebasan berfikir. Tujuan pembebasan bermuara pada
peningkatan pada daya kreativitas berfikir yang lebih produktif. Kita tidak bisa belajar tentang teori
demokrasi, multikulturalisme, dan pluralisme tanpa kebebasan. Tetapi kita harus
berlatih dalam perbedaan dengan semangat kebebasan dan pembebasan menuju nilai
kebaikan, maka masyarakat yang damai dan nyaman yang dirasakan akan
terwujud. Dunia pendidikan sendiri
harus banyak melatih tentang kebebasan. Murid harus bebas dan aman supaya dapat
belajar bagaimana berfikir kritis sekaligus toleran terhadap setiap perbedaan.
Konsep
pendidikan gaya bank mendapat kritikan dari Freire, karena konsep pendidikan
seperti ini sangat efektif membekukan kesadaran kritis dan mereduksi
keterlibatan murid dalam proses belajar mengajar. Di samping itu juga memiliki
kemampuan untuk mengurangi atau menghapuskan daya kreasi pada murid. Ini semua
yang ingin di hapus oleh Freire dengan pendidikan pembebasannya.
Kebebasan
berfikir sesuatu nilai yang sangat dirindukan dan didambakan setiap insan
pemikir. Sketsa pemikiran Friere mencoba mengintegrasikan nilai-nilai
kemanusiaan yang bebas dalam pendidikan. Nilai kemanusiaan yang bebas adalah
yang bernafaskan kreativitas berfikir dalam membangun komunikasi yang positif,
inovatif, kunstuktif dan produktif guna melahirkan amal saleh. Dengan
pemikiran yang bebas tersebut, akan mampu melahirkan karaya-karya yang sangat
spektakuler dalam mengartikulasi
nilai-nilai kehidupan yang penuh makna sehingga pemikiran tersebut akan membumi
dan menjaman.
DAFTAR PUSTAKA
A. Smith, William, Conscientizacao;Tujuan
Pendidikan Pendidikan Paulo Freire, 2001, dalam MATABACA, Vol.1, No.
9, 2003, h. 30
Dakhiri, Muhammad Hanif, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan,
(Jakarta: Djambatan Pena, 2000)
Dennis, E.
Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though, (New York), Paulist
Press, 1977)
Freire, Paulo, Pedagogy Pengharapan, Penerjemah Tim Penerbit
Kanisius, (Yogyakarta:Kanisius, 2001)
----------------, Pendidikan Kaum Tertindas, Penerjemah Utomo
Dananjaya, dkk, (Jakarta: LP3ES, 2000)
----------------, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, Penerjemah Alois A. Nugroho , (Jakarta:Gramedia, 1984)
----------------, Politik Pendidikan,Kkebudayaan, Kekuasaan dan
Pembebasan, Penerjemah Agung Prihantoro, dkk, (Yogyakarta:Read bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, 2000)
Mintara, Agustinus, dalam BASIS, Yogyakarta: Kanisius, No. 01-02,
Tahun ke-50, Januari-Februari 2001
Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:Gramedia,2001)
Ramos, Myra
Bergman, (ed), Education as The Practice of Freedom, (London:Writers 7
Readers Publishing Cooperative, 1974)
Shaull, Richard, Kata Pengantar dalam Paulo Friere, Pendidikan Kaum Tertindas,
terj. Utomo Dananjaya dkk., (Jakarta: LP3S, 1985)
Suparno, Paul, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis,
No.01-02 Tahun ke 50 Januari Februari, 2001
Suwito dan Fausan (Ed), Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara,
(Bandung: Angkasa, 2004)
----------------,(Ed), Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (Bandung:Angkasa,
2003)
[1] Pendidikan sebagai sarana efektif dalam membentuk
kepribadian seseorang dilihat dari sisi akhlak maupun keberhasilan seseorang
dalam berusaha, suasana demikian akan mengharuskan lembaga pendidikan bisa menunjukkan
kepada masyarakat akan keberhasilan dan prestasi yang pernah diraihnya. Keberhasilan suatu pendidikan bisa dikatakan sebagai keberhasilan
sistem dimana antara unsur pendidikan yang satu dengan unsur pendidikan yang
lain harus saling menunjang, baik keberhasilan secara kognitif, afektif,
psikomotorik maupun keberhasilan secara
spiritual. Lihat Suwito dan Fauzan (Ed), Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan, (Bandung:Angkasa,
2003), h.V-VI. Bandingkan pula, Suwito
dan Fausan (Ed), Perkembangan Pendidikan
Islam di Nusantara, (Bandung:
Angkasa, 2004).
Pendidikan dapat dimaknai
sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani bagi terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama. Berdasarkan budaya pendidikan sekurang-kurangnya mengandung
lima unsur penting, yaitu pertama, usaha
(kegiatan) yang bersifat bimbingan (Pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan
secara sadar, kedua pendidikan atau bimbingan atau penolong, ketiga, ada yang
didik atau siterdidik, keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan,
kelima, dalam proses pendidikan terdapat alat-alat yang dipergunakan. Lihat,
Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:Gramedia,2001), h. 5
[4] Dennis E. Collins, SJ, Paulo Freire: His Life, Works and Though,
(New York),
Paulist Press, 1977), h. 5
[5] Bdk. Richard Shaull, kata pengantar dalam Pendidikan Kaum
Tertindas, (Jakarta:LP3S, 2000), h. xi
[6] Agustinus Mintara dalam BASIS,
Yogyakarta: Kanisius, No. 01-02, Tahun ke-50, Januari-Februari 2001, h. 30
[7] Dennis E. Collins, SJ, Paulo
Freire: His Life, Works and Though, h. 6
[8] Myra Bergman Ramos (ed), Education as The Practice of Freedom, (London:Writers
7 Readers Publishing Cooperative, 1974), h. 30-31
[9] Bagi Freire, pemecahan masalah yang menimpa masyarakat Brazilia
harus diadakan bersama rakyat bukan untuk rakyat, juga bukan dengan memaksa
rakyat. Yang diperlukan adalah terjun ke tengah rakyat dan mengajak mereka
memasuki proses sejarah yang kritis. Myra Bergman Ramos (ed), Education as
The Practice of Freedom, h. 16
[10] Paulo Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, Penerjemah
Alois A. Nugroho , (Jakarta:Gramedia, 1984), h. 30
[11] The New York Times 6 Mei
1997 dalam BASIS, h. 30
[12] Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi
Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke 50 Januari Februari,
2001, h. 26
[13] Muhammad Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan,
(Jakarta:
Djambatan Pena, 2000), h. 47
[14] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Penerjemah Utomo
Dananjaya, dkk, (Jakarta:
LP3ES, 2000), h. 51-52
[15] Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, h. 52
[16]Paulo Freire, Pedagogy
Pengharapan, Penerjemah Tim Penerbit Kanisius, (Yogyakarta:Kanisius, 2001),
h. 81
[17] Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02
Tahun ke 50 Januari Februari, 2001, h. 25
[18] Paulo Freire, Politik
Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Penerjemah Agung
Prihantoro, dkk, (Yogyakarta:Read bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2000), h.
29-33
[19] Paulo Freire, Pendidikan Kaum
Tertindas, h. 52
[20] Muhammad Hanif Dhakiri, Paulo Freire,
Islam dan Pembebasan, h. 69.
[21] Paulo Freire, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, h. 63
[22] Paulo Freire, Pendidikan
Sebagai Praktek Pembebasan, h. 63
[25] Paulo Freire, Politik
Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, h. xix
[26] Paulo Freire, Politik
Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, h. 45-47
[27] Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02
Tahun ke 50 Januari Februari, 2001, h. 26
[28] William A. Smith, Conscientizacao;Tujuan Pendidikan Pendidikan
Paulo Freire, 2001, dalam MATABACA, Vol.1, No. 9, 2003, h. 30
[29]
Paulo Freire, Politik Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan,
h. 183
[30] Muhammad Hanif Dhakiri, Paulo
Freire, Islam dan Pembebasan, h. 72
Tidak ada komentar:
Posting Komentar