PEMBAHARUAN HUKUM KEWARISAN DI DUNIA ISLAM
(Studi terhadap radd dalam Fikih dan UU
Hukum Keluarga di Mesir, Syiria, Sudan, dan
Tunisia)
Oleh Evra Willya[1]
Abstrak
Dalam kaitannya dengan
reformasi, maka negara-negara Islam di dunia pada dasarnya terbagi kepada tiga
ketagori. Pertama, negara Islam yang sama sekali tidak mau
melakukan pembaharuan dan masih tetap memperlaukan hukum keluarga sebagaimana
yang tertuang dalam kitab-kitab fikih
dari mazhab yang dianut. Kedua, negara
Islam yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai
gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Ketiga,
negara Islam yang berusaha
memperlakukan hukum keluarga Islam tetapi setelah mengadakan pembaharuan di
sana sini. Menurut penelitian Tahir Mahmood, ada tigabelas aspek dalam UU
Keluarga Muslim kontemporer yang mengalami pembaharuan. Salah satunya adalah
masalah kewarisan suami istri dalam kasus terjadinya kelebihan harta setelah
harta dibagi-bagikan kepada ahli waris yang ada. Harta dapat dikatakan melebihi
jumlah pembagian bila ahli waris terdiri dari dzû al-furûdh. Kelebihan harta ini akan dikembalikan kepada mereka
sesuai dengan saham atau bagian masing-masing. Dalam hukum Islam klasik apabila
harta masih bersisa setelah diberikan kepada dzû al-furûdh sementara ahli waris ashabah tidak ada, maka sisa harta tersebut akan dikembalikan
kepada dzû al-furûdh kecuali suami
istri. Sisa harta tidak akan diberikan kepada mereka walaupun hanya mereka yang
ada, sisa harta itu diserahkan ke kas Perbendaharaan Negara. Pembahasan dilakukan
terhadap beberapa negara Islam yang telah melakukan reformasi pada hukum
kekeluargaan mereka. Negara yang akan dibahas adalah negara Mesir yang
mayoritas penduduknya pengikut mazhab Syafi’i, Syiria bermazhab Hanafi, Sudan
dan Tunisia bermazhab Maliki.
Kata kunci: kewarisan, sisa
harta, suami istri
Pendahuluan
Islam
yang kini sudah berusia lebih dari 14 abad, merupakan agama dinamis yang
memandu manusia untuk berubah dari masa ke masa dan berkembang sepanjang
perjalanan sejarah. Dalam hal ini Islam telah memperkenalkan konsep tajdid dan sejarah Islam telah pula
mencatat tampilnya tokoh-tokoh mujaddid dari
waktu ke waktu.[2]
Gelombang
pembaharuan hukum di dunia Islam pada zaman moderen sebenarnya telah dimulai
sejak pertengahan abad ke-19 ketika kerajaan Turki Usmani mengadopsi
hukum-hukum perdagangan dan pidana Barat. Dengan gelombang ini, maka
wilayah-wilayah di Timar Tengah yang berdasa di bawah kekuasaan Turku Usmani
–seperti Jordania, Palestina, Syiria, dan Libanon- praktis diatur dengan hukum
baru itu. Akan tetapi gerakan pembaharuan dalam hukum keluarga baru terjadi
pada abad ke-20.[3]
Dalam kaitannya dengan reformasi, maka
negara-negara Islam di dunia pada dasarnya terbagi kepada tiga ketagori. Pertama, negara Islam yang sama sekali tidak mau melakukan
pembaharuan dan masih tetap memperlaukan hukum keluarga sebagaimana yang
tertuang dalam kitab-kitab fikih dari
mazhab yang dianut. Kedua, negara
Islam yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai
gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Ketiga,
negara Islam yang berusaha
memperlakukan hukum keluarga Islam tetapi setelah mengadakan pembaharuan di
sana sini.[4]
Menurut
penelitian Tahir Mahmood, ada tigabelas aspek dalam UU Keluarga Muslim
kontemporer yang mengalami pembaharuan.[5]
Salah satunya adalah masalah kewarisan suami istri dalam kasus terjadinya
kelebihan harta setelah harta dibagi-bagikan kepada ahli waris yang ada. Harta
dapat dikatakan melebihi jumlah pembagian bila ahli waris terdiri dari dzû al-furûdh. Kelebihan harta ini akan
dikembalikan kepada mereka sesuai dengan saham atau bagian masing-masing.
Dalam
hukum Islam klasik apabila harta masih bersisa setelah diberikan kepada dzû al-furûdh sementara ahli waris ashabah tidak ada, maka sisa harta
tersebut akan dikembalikan kepada dzû al-furûdh kecuali suami istri. Sisa
harta tidak akan diberikan kepada mereka walaupun hanya mereka yang ada, sisa
harta itu diserahkan ke kas Perbendaharaan Negara.[6]
Oleh
karena itu tulisan ini akan membahas tentang sisa harta untuk suami istri pada
beberapa negara Islam yang telah melakukan reformasi pada hukum kekeluargaan
mereka. Negara yang akan dibahas adalah negara Mesir yang mayoritas penduduknya
pengikut mazhab Syafi’i, Syiria bermazhab Hanafi, Sudan dan Tunisia bermazhab
Maliki. Pembaharuan pemikiran Islam yang dituangkan dalam bentuk UU ini
seringkali bertentangan dengan apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih yang
ada dari mazhab yang mereka anut.
Radd dalam fikih
Apabila
jumlah saham ahli waris lebih kecil dari asal masalah yang akan dibagi, maka
diperlukan penyelesaian setepat-tepatnya agar harta peninggalan yang akan
dibagi tidak ada sisa lebih yang tidak terbagi. Dalam ilmu waris sisa lebih itu
harus dikembalikan lagi kepada para ahli waris yang berhak menerima tambahan. Pengembalian
sisa lebih kepada mereka yang berhak menerima kelebihan itu dikenal dengan nama
radd.
Secara
etimologi radd berarti mengembalikan[7]
atau memulangkan kembali.[8]
Sedangkan pengertian radd secara
terminologi adalah pengembaliah harta yang tersisa dari bagian dzû al-furûdh nasabiyah kepada mereka
sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada ahli waris lain yang
berhak menerimanya,[9] di
mana dalam suatu pembagian kewarisan, sehubungan dengan kondisi ahli tertentu
dan tidak ada ashabah sehingga harta
tidak habis terbagi meskipun pembagian telah sesuai dengan kadar masing-masing.[10]
Berangkat
dari devinisi yang telah dikemukakan tersebut dapat diketahui bahwa radd itu hanya bisa terjadi apabila ada shahih al-furudh, ada sisa harta, dan
tidak adanya ahli waris ashabah.
Ketiganya ini harus ada, sebab kalau salah satu dari ketiga hal tersebut tidak
ada tentu masalah radd tidak akan
terjadi. Seperti jika para ahli waris semuanya terdiri dari ashabah, atau beberapa orang ashab al-furudh dan seorang ashabah, maka harta waris itu tidak akan
bersisa. Demikian juga apabila jumlah saham dari para ahli waris adalah sebesar
jumlah asal masalah sehingga tidak ada kelebihan sedikitpun, tentu tidak akan
terjadi masalah radd.
Terdapat
perbedaan di kalangan ulama tentang ada tidaknya radd dalam pembagian harta warisan karena tidak adanya nash yang
menjadi rujukan dalam masalah radd. Pendapat pertama, mengingkari adanya radd. Zaid bin Tsabit dan sebagian kecil
sahabat mengingkari adanya radd.
Menurut Zaid bin Tsabit bahwa sisa harta tidak bisa dikembalikan kepada
siapapun di antara dzu al-furudh. Sisa harta yang ada itu diserahkan ke
baitul mal.. Urwah. Al-Zuhri, Imam al-Syafi’i dan Imam Malik sependapat dengan
pendapat Zaid bin Tsabit ini.[11]
Fuqaha’
Malikiyah dan fuqaha’ Syafi’iyah berpendirian bahwa kelebihan harta peninggalan
tersebut tidak boleh dikembalikan kepada dzu
al-furudh tetapi harus diserahkan kepada baitul mal. Demikian juga tidak
boleh diserahkan kepada dzu al-arham
baik keadaan kas negara twratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak. Karena hak Lusaka terhadap kelebihan itu
hádala di tangan orang-orang muslim pada umumnya. Tetapi fuqaha’ Malikiyah dan
fuqaha’ Syafi’iyah mutaakkhirin menfatwakan bahwa apabila
keadaan kas perbendaharaan negara sudah tidak menjalankan fungsinya lagi
sebagai tempat dana social umat Islam, maka dibolehkan kelebihan harta itu
dikembalikan kepada dzu al-furudh dan dzu
al-arham menurut perbandingan besar kcilnya saham mereka.[12]
Alasan
yang dikemukakan dalam menolak radd ini
adalah:
- Allah telah menetapkan bagian dzu al-furudh dengan nash yang zhahir dalam surat al-Nisa’ ayat 176. dalam ayat ini dijelaskan apabila hanya saudara perempuan saja yang ada (menjadi ahli waris) maka ia menerima separoh dari harta warisan dan apabila hanya saudara laki-laki yang ada, ia menerima semuanya. Selanjutnya ayat menyatakan apabila yang hidup itu saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka saudara laki-laki mendapat dua bagian dari saudara perempuan. Oleh karena itu tidak boleh menambah bagian yang telah ditetapkan secara tegas oleh al-Qur’an. Menambah bagian mereka berarti melampaui batas ketentuan Allah dalam bidang kewarisan.[13]
- Hadis Rasul setelah turunnya ayat mawaris[14]:
Dari Umamah al-Babili ia berkata: Saya telah mendengar Rasul berkhutbah
pada haji Wada’: Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada pemegang hak,
ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris.(H.R. al-Tarmizi)
- Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris dzu al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk memilikinya. Oleh karena itu harus diserahkan ke baitul mal, sama halnya dengan harta orang yang meninggal yang tidak ada ahli warisnya.[15]
Pendapat kedua menyetujui adanya radd. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn
Hanbal, ulama mutakkhirin dari Malikiyah dan Syafiiyah, Syi’ah Zaidiyah, dan
Imamiyah.[16]
Mereka berpendapat bahwa kelebihan harta dikembalikan kepada ahli waris yang
ada sesuai dengan kadar masing-masing.
Tentang siapa yang berhak
menerima pengembalian ini terdapat perbedaan di kalangan ulama yang mengakui
adanya radd.
Menurut Usman r.a bahwa radd dapat diberikan kepada seluruh ahli
waris dzu al-furudh sekalipun kepada
suami istri menurut bagian mereka masing-masing.[17]
Alasan yang dikemukakan adalah andaikata
jumlah saham-saham para ahli waris itu lebih banyak dari asal masalah, mereka
semuanya kena pengurangan dalam penerimaan menurut perbandingan bagian mereka masing-masing. Maka demikian
pula halnya apabila terdapat kelebihan dari harta waris. Semuanya harus
mendapat tambahan menurut perbandingan saham mereka masing-masing.[18]
Ibn Mas’ud berpendapat bahwa
tidak semua ahli waris dzu al-furudh
dapat menerima radd. Mereka adalah
suami, istri, dan mereka yang menurut kasus furudhnya
1/6, karena dalil yang mendukung hak 1/6 ini lemah, yaitu saudara perempuan
seayah, saudara perempuan, atau saudara laki-laki seibu dan nenek.[19]
Sementara itu mayoritas
fuqaha’ sahabat, ulama Hanafiyah, dan Hanabalah berpendapat bahwa sisa harta
diberikan kepada dzu al-furudh sesuai
dengan bagian mereka kecuali suami istri.[20] Pendapat ini diikuti oleh ulama Malikiyah
dan Syafiiyah bila baitul mal tidak terurus.[21]
Suami istri tidak dapat menerima radd
karena radd itu hanya berlaku untuk
ahli waris yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan dan tidak berlaku untuk
ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan.[22]
Di samping itu nash yang mengatur hak suami istri mengenai kewarisan telah
demikian tegas dan diatur hanya dalam ayat kewarisan saja. Tetapi untuk kerabat
selain diatur dalam ayat waris juga diatur dalam ayat-ayat yang lain. Di dalam
ayat itu terdapat ketentuan yang bisa dipandang memberi petunjuk adanya hak
kewarisan untuk mereka. Di antaranya adalah surat al-Anfal ayat 75:
Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya dari pada yang bukan kerabat dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Sebelum
ayat ini turun orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk saling mewarisi
berdasarkan perjanjian, sumpah, dan hijrah. Kemudian Islam datang membatalkan
bentuk kewarisan seperti ini.[23]
Oleh
karena itu adalah logis kiranya setelah dzu
al-furudh diberi bagiannsesuai dengan saham mereka masing-masing seperti
yang dijelaskan dalam surat al-Nisa’, kemudian ternyata masih ada sisa lebih,
maka sisa lebih itu lebih pantas diberikan kepada ahli waris dzu al-furudh yang mempunyai hubungan
kekerabatan yang lebih dekat kepada orang yang meninggal. Di samping itu sisa
hartabdikembalikan kepad dzu al-furudh tidak
diserahkan ke baitul mal karena hubungan agama dan hubungan nasab lebih utama
dibanding sekedar hubungan agama saja. Dzu
al-furudh mengumpulkan dua sebabbyaitu hubungan agama dan hubungan nasab,
sementara kaum muslimin hanya memiliki satu sebab saja yaitu hubungan agama.[24]
Di
kalangan Syiah Imamiyah terdapat perbedaan pendapat tentang memberikan sisa
harta kepada suami istri pada waktu ahli waris yang lain tidak ada. Pertama, sisa harta dikembalikan kepada
suami, tidak kepada istri. Pandangan ini yang lebih masyhur di kalangan ulama
mazhab Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua, sisa harta dikembalikan kepada suami atau istri secara
mutlak dan dalam semua keadaan. Ketiga,
sisa harta dikembalikan kepada suami atau istri manakala tidak ada imam yang
adil. Kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan kepada suami dan
tidak kepada istri. Alasannya adalah terdapat beberapa riwayat yang menyatakan
bahwa diserahkan kepada istri dan ada pula yang tidak. Maka riwayat pertama
diartikan bila tidak ada imam yang adil, sedangkan yang kedua bila ada imam
yang adil.[25]
Sisa harta Untuk Suami Istri di Dunia Islam
1. Mesir
Mesir terletak di Timur Laut
Afrika[26]
yang hampir 90 persen penduduknya adalah muslim sunni.[27]
Pada mulanya mayoritas penduduk Mesir bermazhab
Syafi’i, tetapi setelah adanya pengaruh kekuasaan Turki, sistem hukum
yang dipakai adalah sistem hukum Hanafi.[28]Terdapat
beberapa minoritas religius di Mesir, yang terbesar adalah minoritas Kristen
pribumi yang merupakan gereja Kopti. Pada tahun 1990 perkiraan jumlah penduduk
Kopti antara 3 sampai 7 juta, sedangkan
pemeluk Kristen lainnya mencakup sekitar 350.000 pengikut gereja ortodok
Yunani, 175.000 Katolik Ritus Latin dan Timur, serta 200.000 Protestan. Selain
itu diperkirakan sekitar 1000 orang Yahudi masih tinggal di Mesir pada tahun
1990.[29]
Sejarah modernisasi hukum di
Mesir berawal sejak tahun 1874 ketika Mesir mendapat kebebasan dari segi
jurisdiksi, meskipun masih tetap merupakan
bagian kerajaan Turki Usmani. Periode 1875-1883 diisi dengan pembaharuan
administrasi hukum dengan memperkenalkan peradilan mukhtalath (campuran) dan pengadilan ahli (pribumi). Setelah Mesir
berada di bawah pengaruh Inggris pada penghujung abad itu sejumlah
undang-undang yang diberlakukan langsung berkiblat ke Barat seperti hukum pidana,
perdagangan, kelautan, dan lain-lain. Hukum perorangan sampai tahun 1920 belum
terjamah perubahan-perubahan itu meskipun Qudri Pasya telah mencoba
mengusahakannya dengan menoleh kepada mazhab Hanafi.[30]
Usaha pembaharuan hukum
keluarga di Mesir pertama dimulai dengan mengangkat panitia pada tahun 1915[31]
yang dipimpin oleh rektor al-Azhar, Syekh al-Maraghi. Antara tahun 1920-1952
terdapat beberapa undang-undang yang dihasilkan, yaitu: 1) UU No. 25 tahun 1920
tentang nafkah dn perceraian. 2) UU No. 56 tahun 1923 tentang umur
perkawinan. 3) UU No. 25 tahun 1929 tentang perceraian. 4) UU No. 77 tahun 1943
tentang kewarisan. 5) UU No. 71 tahun 1946 tentang wasiat.[32]
Pada tahun 1977 Mesir
memberlakukan undang-undang baru menggantikan undang-undang lama tahun 1923.
Dalam undang-undang baru ini dinyatakan bahwa syari’at Islam merupakan sumber
utama perundangan di negara itu, yang antara lain pada tahun 1979 menghasilkan Jihan Law yang melakukan perubahan besar
terhadap undang-undang tentang status perorangan sebelumnya, meskipun Jihan Law ini pada tahun 1979 dicabut
oleh Mahkamah Agung karena dinilai melampaui wewenang yang diberikan
undang-undang. Tetapi dengan undang-undang
hukum keluarga tahun 1985 sebagian besar isinya dimunculkan kembali.[33]
Pada dekade tahun 1950-an dan
dekade tahun 1960-an rezim Nasser telah berusaha memasukkan aktivitas keagamaan
muslim ke dalam pengawasan negara. Sejumlah gerakan oposisi seperti ikhwan al-muslimin dinyatakan sebagai
organisasi terlarang dan otonomi lembaga-lembaga keagamaan lainnya dibatasi.
Tanah wakaf diambil alih ke dalam penguasaan negara pada tahun 1960 dan 173,
mesjid-mesjid pribadi diambil alih ke dalam pengawasan kementrian negara. Pada
tahun 1961 al-Azhar dijadikan sebagai
universitas negara dengan perubahan kurikulum. Pada tahun 1955
pemerintahan Mesir menggabungkan peradilan syari’ah dengan peradilan sipil yang
menangani hukum keluarga. Meskipun syariat Islam tetap diberlakukan,
kitab-kitab hukum muslim (fikih) telah dimasukkan ke dalam yurisdiksi
pemerintahan. Secara umum pemerintah berusaha mengendalikan kehidupan
keagamaan, memanfaatkan ulama untuk mendukung kebijakan pemerintah dan
mengidentifikasikan Islam dengan
program-program sosialis dan nasionalis.[34]
Sebagaimana dijelaskan di
atas, salah satu bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh Mesir adalah hukum
kewarisan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 77 tahun 1943. sebelumnya
pada tahun 1936 pemerintah menunjuk sebuah komisi yang bertugas nerancang hukum
perorangan secara komprehensif. Secara bertahap komisi ini membuat rancangan
hukum keewarisan, wasiat dan wakaf. Rancangan tersebut kemudian
diundangkan pada tahun 1943 untuk hukum
kewarisan dan tiga tahun kemudian diundangkan hukum tentang wasiat. Kedua
undang-undang ini memuat ketentuan baru yang bermanfaat bagi ahli waris
tertentu yang tidak mendapat bagian
dalam ketentuan hukum yang sudah baku. Sedangkan hukum wakaf pertama kali
dikidifikasikan dalam Undang-Undang Dasar Wakaf. Hukum baru mengenai wakaf
tahun 1952 mengamandemen hukum wakaf tahun 1946 dan pada tahun 1960 hukum wakaf
1952 diamandemen untuk mengatir wakaf dengan wasiat.[35]
Undang-Undang No. 77 tahun
1943 tentang kewarisan ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Hanafi. Dalam
beberapa kasus yang ditetapkan oleh
undang-undang ini terdapat perbedaan dengan hukum Islam atau mazhab fikih yang
mereka anut. Di antaranya
adalah kasus radd atau sisa harta
untuk suami istri. Dalam pasal 30 UU No. 77 tahun 1943 dinyatakan:
“Apabila furudh tidak dapat menghabiskan harta peninggalan dan tidak
terdapat asahabah nasab, maka sisanya
dikembalikan kepada selain suami istri dari golongan dzu al-furudh menurut perbandingan bagian mereka. Sisa harta
dikembalikan kepada salah seorang suami orang asahabah nasab atau salah seorang dzu al-furud nasabiyah atau seorang dzu al-arham”.[36]
2. Syria
Syria terletak di kawasan Asia
Barat,[37] 85% penduduknya adalah muslim Sunni[38]
dan empat sekte Syiah minoritas. Posisi Islm dalam masyarakat Syria telah
berobah secara mendasar pada masa-masa modern. Pada awal abad ke-19 kaum elit
politik dan sosial dari kesulthanan Utsmaniyah mempersatukan
institusi-institusi, simbol-simbol dan kaum ulama. Pada paro kedua bad ke-20
kecendrungan sekuler mendominasi syria dan gerakan-gerakan pemulihan keduduka
tertinggi Islam menjadi alasan bagi pembangkangan politik.[39]
Di antara mazhab-mazhab hukum
Islam yang utama adalah mazhab Syafi’i memiliki akar yang dalam di Syria,
tetapi mazhab Hanafi lebih luas diterima ulama-ulama berstatus tinggi pada abad
ke-18 dan ke-19 karena statusnya sebagai mazhab resmi kesultanan Utsmaniyah.
Pada dekade-dekade abad ke-19 kemapanan keagamaan Syria memperlihatkan
kesetiannya kepada sulthan Ustmaniyah dengan menolak seruan untuk memberontak
yang dikeluarkan oleh para propagandis gerakan pembaharu agama Wahhabiyah di
Arab Tengah.
Pada dekade-dekade akhir
pemerintahan Utsmaniyah, kemapanan agama menerima dukungan terakhir dari
Sulthan Abdul Hamid II (1876-1909. Penguasa ini menangkal penyusupan
orang-orang Eropa dan perselisihan politik dalam negri dengan sebuah kebijakan
yang menekankan status keagamaannya sebagai khalifah seluruh muslim. Selain itu
Abdul Hamid juga mendanai penghidupan kembali institusi keagamaan, terutama
mesjid dan pondok sufi. Salah seorang kepala penasehat agamanya untuk jangka
waktu tertentu adalah syekh sufi asal Syria Abu al-Huda al-Sayyadi (1849-1909)
dari terekat Rifaiyah, dan tarekat inipun menjadi pendukung utama sang sulthan.
Pada bulan Juli 1920 perancis menyerbu Syria dan berdasarkan sebuah mandat dari
Liga Bangsa-Bangsa membentuk pemerintahan langsung yang berakhir pada tahun
1946. Selama seperempat abad itu, nasionalisme Arab bangkit sebagai pemimpin
idiologi oposisi terhadap kekuasaan asing. Idiologi ini memungkinkan
orang-orang Syria dari semua agama bersatu melawan kekuasaan Eropa.[40]
Dari saat kemerdekaan pada
tahun 1946 hingga 1963, perpolitikan Syria mengalami serangkaian kudeta
militer, kabinet-kabinet sipil yang berumur singkat dan periode singkat
penyatuan dengan Mesir. Kekuatan-kekuatan politik yang paling dinamis adalah
partai-partai nasionalis Arab sekuler, seperti para Ba’ts dan partai kiri
lainnya. Pada tanggal 8 Maret 1963 sebuah kudeta militer meresmikan era pemerintahan Ba’ts. Karena komposisinya
yang sangat didominasi oleh minoritas, karena sekularismenya, dan karena agenda
sosialisnya, reaksi politik terhadap partai inipun mengambil warna sektarian.
Akibatnya tantangan paling keras datang dari kelompok-kelompok Islam terutama
dari Ikhwan al-Muslimin. Pemberontakan Islam pertama terjadi pada tahun 1964
dan menyusul pergolakan sektarian pada tahun 1967. protes-protes berikutnya
meledak pada tahun 1973 ketika sebuah konstitusi baru menghilangkan penyebutan
Islam sebagai agama negara. Pemerintahan mencoba berkompromi dengan menambahkan
pasal-pasal bahwa kepala negara haruslah orang muslim dan hukum Islam menjadi
sumber utama perundang-undangan. Tetapi langkah ini tidak memuaskan para
kritikus dari kelompok Islam, terutama karena presiden Hafiz al-Asad berasal
dari sekte minoritas Alawiyah yang oleh banyak muslim dipandang menyimpang.[41]
Selama berada di bawah
kekuasan Turki Utsmani, di Syria berlaku hukum dan sistem peradilan Utsmani.
Undang-undang dan sistem hukum yang berlaku tersebut adalah code civil 1876 dan
hukum hak-hak keluarga 1917. Setelah perang dunia I, Syria berada di bawah hukum
Perancis. Hukum Anglo Perancis telah memberi pengaruh yang besar terhadap hukum
perdata dan hukum pidana. Meskipun demikian hukum keluarga Islam tetap dijaga
dan dipertahankan. Setelah Syria merdeka, nasionalisme dan reformasi sistem hukum mulai dilaksanakan. Sejumlah
hukum baru diundangkan yang meliputi hukum perdata, pidana, dan perdagangan
tahun 1949. Undang-undang hukum acara pidana yang baru diundangkan pada tahun
1950 dan undang-undang hukum acara perdata yang baru diundangkan pada tahun
1953. sedangkan untuk hukum perorangan yaitu hukum tentang hak-hak keluarga
1917 masih tetap dipakai di Syria sampai tahun 1953. di bawah program
nasionalisasi sistem hukum, hukum
Utsmani 1917 dicabut dan diganti hukum
baru.[42]
Selanjutnya pada tanggal 17
September 1953 pemerintahan Syria mengundangkan undang-undang tentang hukum
perorangan. Pengundangan ini disertai dengan momerandum resmi yang menyatakan
bahwa ketetapan-ketetapan dalam undang-undang ini berasal dari hukum tentang
hak-hak keluarga tahun 1917, hukum tentang perorangan dan kewarisan tahun
1920-1046, dan karya-karya dari Qudri Pasya dari Mesir serta Ali al-Tantawi
dari damaskus. Undang-undang 1953 ini terdiri dari 308 pasal yang terdapat
dalam enam buku dan masing-masing buku memuat beberapa pasal[43]
yang didominasi oleh mazhab Hanafi. Setelah 22 tahun sejak pengundangannya
sejumlah pasal dari buku pertama dari undang-undang perorangan 1953
diperbaharui dengan undang-undang perorangan tahun 1975. Undang-undang ini
mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan sebanyak 22 pasal berdasarkan
rekomendasi dari parlemen untuk meninjau ulang undang-undang 1953.[44]
Buku ke VI dari undang-undang
1953 mengatur tentang kewarisan yang pada umumnya berdasarkan kepada mazhab
Hanafi. Di samping itu juga berdasarkan hukum kewarisan Mesir 1943 sehingga
dalam persoalan radd atau kelebihan
harta untuk suami istri Syria menetapkan hukum yang sama dengan Mesir.[45]
Ketentuan yang sama juga di atur dalam undaang-undang perorangan 1953 yang
diperbaharui oleh undang-undang no. 34 tahun 1975. Dalam pasal 288
undang-undang no 34 tahun 1975 dinyatakan bahwa:
a.
Sisa
harta dikembalikan kepada ahli waris dzu
al-furudh selain suami istri apabila tidak ada ashabah
b. Sisa harta dapat dikembalikan kepada suami
istri ketika ahli waris dzu al-furudh,
ashabah dan dzu al-arham tidak
ada
3. Sudan
Sudan
terletak di kawasan Afrika.[46]
Islam masuk ke wilayah Sudan pada abad ke-16 dewasa ini kurang lebih 70% dari
22 juta penduduk Sudan adalah muslim yang tinggal di dua pertiga wilayah utara
dari negri terbesar di Afrika. Rakyat minoritas non muslim dijumpai
dipegunungan Nuba dan Sudan Selatan. Tempat mereka mengikuti agama animisme
pribumi, berdampingan atau bercampur dengan
berbagai sekte Kristen yang masuk selama kolonial.[47]
Sebuah pola budaya khas Islam Afrika yang berakar pada tradisi Maliki[48]
yang menyebar dari wilayah Barat tempat kerajaan Afrika telah diislamkan sejak
abad ke-12. Dari utara, Islam juga datang dari Mesir setelah runtuhnya
kerajaan-kerajaan Kristen di Nuba pada abad ke-15.
Pada
abad ke-19 beberapa wilayah yang menyusun negara modern Sudan mempunyai sejarah
panjang sebagai kesulthanan muslim. Pada abad ini proses unifikasi teritorial
dan konsilidasi kekuasaan negara berlangsung secara keras. Proses ini dimulai
dengan penaklukkan kekuasaan negara eropa terhadap Sudan oleh Muhammad Ali,
yang secara resmi merupakan gubernur Usmani di Mesir, tetapi belakangan menjadi
seorang penguasa yang independen yang menaklukkan kesulthanan Funj.
Setelah
melalui perjalanan panjang sejak Sudan dikuasai oleh Mesir-Inggris dan setelah
menaklukkan beberapa pemberontakan Mahdi maka sebuah kemapanan hukum
”Mohammedan” dikembangkan agar memiliki sistem peradilan, daya tarik dan
yurisdiksi sendiri yang terpisah dari peradilan serta hukum sipil dan kriminal
turunan Inggris.[49] Yurisdiksi
peradilan syari’ah akhirnya dibatasi oleh Sudan
Mohammedan Law Court Ordinance (Ordonansi Sudan tentang Peradilan Hukum Islam)
tahun 1902. Ordonansi ini menyatakan bahwa peradilan syariah dalam kasus yang
melibatkan penuntut muslim berwenang untuk menangani setiap perkaea menyangkut
perkawinan, perceraian, perwalian terhadap anak yang belum dewasa atau
perwalian nikah...., wakaf, hibah, waris, wasiat, pengampunan, dan perwalian
untuk orang yang hilang.[50] Qadhi Agung dan peradilan syariat
ditunjuk oleh gubernur jenderal Sudan dan bertugas di bawah otoritas langsung
dari seorang pejabat kolonial. Hak untuk mengeluarkan edaran hukum yang akan
mengatur keputusan-keputusan dan prosedur peradilan diserahkan kepada Qadhi
Agung.
Dalam
prakteknya edaran ini berfungsi menentukan arah perkembangan hukum Islam di
Sudan. Pada keseluruhan abad ke-20 hingga terjadinya islamisasi hukum 1983
perkembangan signifikan dalam periode ini meliputi pembaharuan dalam
undang-undang perceraian dengan memperkenalkan perceraian yudisial untuk kasus
wanita yang terbukti disakiti atau diperlakukan dengan kejam, perluasan hak-hak
wanita atas nafkah setelah perceraian dan atas pemeliharaan anak menurut
keadaan-keadaan khusus, penegasan atas hak wali nikah (biasanya ayah) yang dikeluarkan
pada tahun 1930-an untuk mengikat perjanjian pernikahan bagi seorang waanita,
akhirnya diakui oleh edaran yang dikeluarkan pada tahun 1960-an dan pengaturan
wakaf dengan menyebut nama-nama anggota keluarga guna menghindari pemihakan
kepada kerabat-kerabat tertentu yang jika itu terjadi akan melanggar hukum
al-Qur’an mengenai kewarisan.[51]
Analiss
terhadap edaran-edaran ini menunjukkan bahwa peran ulama di bawah pemerintahan
pemerintahan kolonial bukanlah peran yang sepenuhnya tersubordinasi dan kemerdekaan
pemikiran serta tindakan yang diberikan oleh mekanisme edaran hukum itu pada
kenyataannya dikejar oleh mereka sebagai satu-satunya golongan yang absah
sebagai penjaga keimanan di bawah pemerintahan asing.
Sudan
merdeka pada bulan Januari 1956. Negara Sudan merdeka menghadapi problem besar
untuk menegakkan sebuah rezim nasional yang stabil. Perpecahan agama, beberapa
benturan keras antara gerakan orang-orang yang komitmen terhadap konsep
Islam-Arab sehubungan identitas Sudan dan elit militer yang komitmen terhadap
konsep sekuler kebangsaan Sudan, menjadikan negara Sudan merdeka sulit
menstabilisasikan rezim politik. Perselisihan sekitar konsep nasionalisme
diperparah oleh perpecahan muslim-Arab Utara dan muslim-Arab selatan.[52]
Islam
Sudan pernah mengalami pembongkaran besar-besaran terhadap tembok pembatas
geografis yang dibangun di zaman pertengahan oleh mazhab-mazhab yang
berbeda-beda. Dukungan resmi oleh pemerintahan pusat Utsamani terhadap doktrin
Hanafi telah mengakibatkan mapannya peradilan Hanafi di propinsi-propinsi
kerajaan ini. Padahal penduduknya adalah penganut mazhab lain. Praktek
peradilan di Sudan pelan-pelan menelorkan penggabungan antara sistem hukum
Hanafi dan sistem hukum Maliki.[53]
Sudan
yang mayoritas penduduknya bermazhab Maliki dan Syafi’i sebelum dikuasai oleh
Mesir, belum memiliki undang-undang keluarga yang terkodifikasi. Peraturan
tentang hukum perkawinan dan perceraian diatur dalam bentuk ketetapan-ketetapan
hakim yang terpisah-pisah.[54]
Sama
halnya dengan Syria, pembaharuan yang dilakukan dalam bidang kewarisan juga
berdasarkan undang-undang kewarisan Mesir tahun 1943, dimana berdasarkan
undang-undang ini suami istri tidak mendapat sisa harta apabila ahli waris dzu al-furudh, ashabah, dan dzu al-arham
tidak ada. Tetapi berdasarkan surat edaran no 26 tahun 1925 tentang kewarisan
terdapat sedikit perbedaan dengan negara Mesir dan Syria. Dalam out line 395
surat edaran tersebut dinyatakan bahwa: suami istri hanya bisa mendapatkan sisa
harta jika yang meninggal itu mempunyai keturunan yang tidak diketahui.[55]
4. Tunisia
Tunisia terletak di daerah
Afrika Utara, mayoritas penduduk muslim adalah bermazhab Maliki.[56]
Kaum Hanafi membentuk minoritas kecil, tetapi istimewa termasuk dinasti Bey
terakhir. Mereka hampir semuanya keturunan bangsa Turki yang membawa mazhab
hanafi ke Tunisia dan yang memberi pengaruh penting di negri ini sejak awal
abad ke-16 sampai protektorat Perancis datang. Ketika protektorat Prancis
datang pada tahun 1883, sekolah mesjid Zaitunnah lama dianggap sebagai salah
satu pusat kajian keislaman klasik terkemuka. Pada waktu ini, baik mazhab
Hanafi maupun Maliki sudah terkukuhkan dengan baik di Tunisia. Sepanjang
periode protektorat, Perancis menyerahkan soal-soal status perorangan seperti
perkawinan, perceraian, waris, dan kepemilikan tanah pada yurisdiksi pengadilan
syari’at yang dikepalai oleh hakim-hakim Maliki dan Hanafi.[57]
Pada bulan Maret 1956 Perancis
secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama, presiden baru
Habib Bouguiba teguh menjalankan sekularisasi masyarakat Tunisia secara
drastis, mirip dengan program Mustafa al-Taruk. Kitab hukum perorangan
diberlakukan pada tahun 1956 yang melarang poligami dan memasukkan perkawinan
dan perceraian ke dalam perkara sipil. Kitab hukum tersebut juga memberikan persamaan
hak kepada wanita (istri). Pada tahun 1960 puasa ramadhan dikecam sebagai
penghambat produktifitas.[58]
Undang-undang hukum keluarga
pertama yang berlaku di Tunisia adalah undang-undang hukum keluarga tahun 1956.
Undang-undang ini terdiri dari 170 pasal yang mulai diberlakukan pertama kali
tanggal 1 Januari 1957. Undang-undang tahun 1956 mengalami perubahan dan
penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru sebanyak enam kali.[59]
Pada tahun 1981 ditetapkan
sebuah undang-undang baru yang merupakan modifikasi dari undang-undang tahun
1956. Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari sebuah komite
yang terdiri dari ahli hukum yaitu pengacara, hakim, dan pengajar hukum yang
diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini berdasarkan kepada interpretasi
bebas terhadap hukum syari’ah yang berhubungan dengan hak-hak keluarga.[60]
Persoalan radd diatur dalam pasal 143 A undang-undang hukum keluarga 1956.
Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa apabila ashabah tidak ada untuk menghabiskan sisa harta, maka sisa harta
tersebut dikembalikan kepda seluruh dzu
al-furudh sesuai dengan saham mereka masing-masing.[61]
Analisis komparatif
Terlihat
adanya perkembangan yang cukup menarik untuk dikaji lebih jauh terhadap
perundang-undangan hukum keluarga yang terdapat di negara Mesir, Syria, Sudan,
dan Tunisia. Secara horizontal terdapat perbedaan yang cukup beragam mengenai radd atau sisa harta untuk suami istri
dalam kewarisan. Kitab undang-undang hukum waris Mesir menetapkan adanya radd untuk dzu al-furudh selain suami istri. Menurut undang-undang ini pada
prinsipnya suami istri tidak bisa menerima radd
kecuali kalau salah seorang suami istri meninggal dan tidak meninggalkan
seorang ahli waris ashabah, atau dzu al-furudh, atau salah seorang dzu al-arham, maka salah seorang suami
istri itu dapat menerima radd.
Pemberian radd pada salah seorang
suami istri itu –menurut undang-undang- harus diakhirkan dari pada kewarisan dzu al-arham.
Ketetapan
yang sana tentang radd ini juga
dilakukan oleh negara Syria. Karena dalam masalah kewarisan Syria masih memakai hukum kewarisan Mesir yaitu
undang-undang tahun 1943. oleh karena itu kedua negara itu menghasilkan hukum
yang sama tentang raddi untuk suami
istri.
Berbeda
halnya dengan Sudan yang walaupun juga memakai hukum waris Mesir, menetapkan
hukum yang sedikit perlainan dengan negara Mesir dan Syria. Suami istri baru
bisa mendapatkan sisa harta jika yang meninggal itu mempunyai keturunan yang
tidak diketahui ( bisa juga dikatakan tidak mempunyai keturunan). Di sinilah
letaknya perbedaan antara Mesir, Syria, dengan sudan. Nampaknya undang-undang
kewarisan Sudan melihat bahwa keturunan yang tidak diketahui dianggap tidak
ada, sehingga sisa harta bisa diberikan kepada suami istri.
Keberanjakan
horizontal tentang radd untuk
suami istri terlihat sangat jelas jika dibandingkan dengan negara Tunisia.
Sebagai negara jajahan Perancis, Tunisia melalulan usaha pembaharuan yang
paling radikal. Bahkan Tunisia adalh negara Timur Tengah yang pertama kali
menawarkan beberapa gagasan pembaharuan hukum keluarga Islam yang sama sekali
berbeda dengan kitab-kitab fikih. Hal ini tidak terlepas dari kondisi
sosio-politik pada saat itu di mana pemerintah menginginkan sekularisasi dan memperlemah posisi ulama
yang selama ini memiliki pengaruh dan basis kekuatan politik sendiri, dengan
cara memisahkan ulama dari sumber-sumber materil independen dan meletakkannya
di bawah kontrol pemerintah.[62]
Oleh karena itu dalam undang-undang kewarisan Tunisia menetapkan bahwa suami
istri mempunyai kedudukan yang sama dengan dzu
al-furudh lainnya sehingga merekapun berhak untuk mendapatkan sisa harta dalam kewarisan.
Secara
vertikal keberanjakan hukum dalam perundang-undangan di empat negara
ini jug terlihat dengan jelas. Dapat dikatakan ketentuan tentang radd ini bertentaangan dengan doktrin
tradisional dari mazhab fikih yang ada. Mayoritas ulama sepakat untuk tidak
memberikan sisa harta kepada suami istri, nahkan Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya radd. Hanya Usman bin Affan saja yang memberikan sisa harta kepa dzu al-furudh secara mutlak.
Pemberian
sisa harta kepada suami istri ketika tidak ada dzu al-furudh, ashabah, dan dzu al-arham dalam undang-undang Mesir
yang menganut mazhab Syafi’i, bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam
fikih Syafi’i. Dalam fikih Syafi’i ditetapkan apabila terdapat sisa harta, maka
harta itu dikembalikan kepada dzu al-furudh selain suami istri. Inipun
apabila baitul mal tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Bahkan menurut Imam
al-Syafi’i sendiri apabila terdapat sisa harta, harus dikembalikan ke baitul
mal tidak dikembalikan kepada dzu
al-furudh.
Syria
yang bermazhab Hanafi juga memperlihatkan keberanjakan vertikal yang cukup
jelas. Dalam mazhab Hanafi, suami istri tidak mendapat radd, sedangkan Syria menetapkan hukum yang berbeda di mana suami
istri mendapat sisa harta apabila tidak ada ahli waris lain.
Sudan
yang bermazhab Maliki menetapkan ketentuan yang juga berbeda dengan mazhab yang
dianutnya. Sama halnya dengan Imam al-Syafi’i, Imam Malik juga tidak menerima
adanya radd walaupun kemudian
pengikiyt Imam Malik belakangan menerima
adanya radd tetapi tidak untuk suami
istri. Ketentuan ini sangat berbeda dengan undang-undang Sudan yang memberikan
sisa harta kepada suami istri jika mereka satu-satunya ahli waris yang ada.
Tunisia
yang juga bermazhab Maliki menetapkan hukum yang sangat berbeda dengan mazhab
fikih yang dianutnya. Tunisia mengesampingkan aturan Maliki yang menetapkan
bahwa sisa harta jika tidak ada ashabah akan dikembalikan ke baitul mal.
Sebagai gantinya Tunisia mengambil doktrin radd,
dimana sisa harta dikembalikan kepada ahli waris. Undang-undang Tunisia
membolehkan suami istri mengambil bagian dari sisa harta, memberikan sisa harta
kepada seluruh ahli waris secara mutlak. Nampaknya dalam kasus radd ini Tunisia memakai pendapat Usman
bin Affan yang memberikan sisa harta kepada seluruh dzu al-furudh.
Dari
empat negara tersebut dapat diketahui bahwa tiga negara yaitu Mesir, Syria, dan
Sudan dalam menetapkan kasus radd
lebih mendekati pendapat mayoritas ulama. Pada prinsipnya ketiga negara ini
tidak memberikan radd kepada suani
istri. Tetapi ketiga negara ini melangkah lebih maju sedikit bahwa suami istri
bisa mengambil sisa harta dengan memberikan persyaratan. Mesir dan Syria
mensyaratkan harus merekalah satu-satunya
ahli waris yang ada. Sementara itu Sudan melangkah lebih mau lagi dari pada
Mesir dan Syria. Sudan mensyaratkan bahwa suami istri bisa memperoleh sisa
harta apabila yang meninggal itu mempunyai keturunan yang tidak diketahui.
Tunisia merupakan negara yang paling berani berbeda dengan pendapat mayoritas
ulama. Undang-undang kewarisan Tunisia memberikan radd kepada suami istri
tanpa persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh UU di tiga negara
sebelumnya.
Dari
penetapan Undang-Undang ke empat negara di atas terlihat selimut taklid yang
hingga saat itu menyelubungi aktifitas para pembaharu, mulai nampak usang.
Dalam rangka mencari pengabsahan dari sejumlah spekulasi pemikiran hukum , para
pembuat undang-undang melangkah lebih jauh melewati batas-batas sah yang
ditetapkan oleh yurisprudensi hukum tradisional. Pandangan-pandangan
perseorangan dan dari sudut ortodok, eksentrik yang dikemukakan oleh
ulama-ulama silam, dibangunkan dan dibangkitkan kembali setelah dicampakkan
oleh kesepakatan pendapat mayoritas ulama.
Secara
diagonal dapat dilihat bahwa Tunisia melangkah paling depan dengan
memberikan sisa harta kepada seluruh ahli waris secara mutlal. Keberanjakan
yang dilakukan Tunisia ini sangat liberal dihadapan doktrin fikih yang
dianutnya. Karean membolehkan sesuatu yang berbeda dengan mazhab Maliki. Hal
ini juga sedikit terlihat di negara Sudan. Mesir dan syria walaupun memberikan
sisa harta kepada salah seorang suami istri, tetapi dengan syarat harus
merekalah satu-satunya ahli waris yang ada.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa empat negara yang menjadi kajian dalam
tulisan ini telah melakukan pembaharuan hukum keluarga. Terkait dengan masalah
kelebihan harta dalam kewarisan sementara ahli waris ashabah tidak ada untuk menghabiskan harta yang berlebih, yang ada
hanya dzu al-furud termasuk suami
istri, maka keempat negara menetapkan bahwa suami istri mendapatkan sisa harta
walaupun ada negara yang menetapkan
syarat-syarat tertentu. Mesir dan Syria mensyaratkan harus merekalah
–suami atau istri- satu-satunya ahli waris yang ada, Sudan mensyaratkan apabila
yang meninggal mempunyai keturunan yang tidak diketahu, sedangkan Tunisia tidak
memberikan syarat apapun dalam arti sisa harta diberikan kepada seluruh ahli
waris. Pembaharuan kewarisan dalam masalah radd yang dilakukan oleh keempat negara ini
berbeda dengan mazhab fikih yang mereka anut.
Oleh
karena itu terlihat metode pembaharuan yang digunakan oleh keempat negara Islam
di atas adalah intra-doctrinal reform
yaitu reformasi hukum keluarga Islam dengan mengambil pendapat lain selain dari
mazhab utama yang mereka anut.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mughni, Syafiq,
(ed), An Anthologi of Contemporary Middle
Eastern History, Canada:
Montreal, t.th
Abdullah, Taufik, (ed), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002
Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam wa Tirkah
wa al-Mawaris, Cairo: Dar al-Fikr, 1963
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut; Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, t.th
Ibn Qudamah, al-Mughni, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
t.th
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, T.tp: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1969
J. Coulson,Noel, Hukum Islam dalam
Perspektif Sejarah, pent. Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987
L. Esposito,
John, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Terj. Eva YN, dkk, Bandung:
Mizan, 2001
M. Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, pent. Ghufran A.Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
M. Zein, Satria
Effendi, Munawir Sjadzali dan
Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,
MA, Jakarta: Paramadina, 1995
Mahmood,Tahir, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Times Press,
1987
------- Family Law Reform in The Muslim World, New Delhi: India
Press, 1972
Al-Mawardi, Muhammad ibn Habib, Al-Hawi
al-kabir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999
Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang
Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998
Mughniyah, Muhammad Jawad ,Fiqih Lima
Mazhab, Terj. Afif Muhammad, Yakarta: Basri Press,
1994
Mujieb, M. Abdul dkk, Kamus Istilah
Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995
Musa, Muhammad Yusuf, al-Tirkah wa
al-Mirats fi al-Islam, Cairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1959
Nasution,Khairuddin, Status Wanita di
Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer
di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002
Peretz, Don, The Middle East Today,(New
York: Ibnghamtom, 1983
Qal’ah Ji, M.
Rawwas dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam
Lughah al-Fuqaha’, Bairut: Dar al-Nafais, 1998
Rahman, Fatchur,
Ilmu Waris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975
Al-Sabiq,Sayid, Fiqh al-Sunnah,
T.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th
Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Abd al-Rahman ibn Abi Bakar, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2000
Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris,Al-Umm,
Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993
-------, Al-Risalah, Beirut:
Maktabah al-Ilmiyah, t.th
Syarifuddin,Amir, Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta; Gunung Agung,
1984
-------, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta:
Kencana, 2004
Al-Tarmizi, Muhammad ibn Isa Surah, Sunan
al-Tarmizi, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2000
Yafie,Ali, Reaktualisasi Hukum Islam
di Indonesia dalam Kontekstualisasi
Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta:
Paramadina, 1995
Al-Zuhaili,Wahbah, Al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989
[1] Penulis adalah Tenaga Pengajar pada STAIN Bukittinggi
[2] Ali Yafie, Reaktualisasi
Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi
Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 300-301. Terdapat
dua sisi tajdid dalam kehidupan
beragama umat Islam, yaitu sisi defensive dan sisi efensif. Sisi defensive bertujuan
untuk memelihara dan mempertahankan kemurnian ajaran Islam dan sisi efensif
bertujuan untuk memberi ruang gerak bagi dinamika kehidupan dalam rangka
penerapan dan penjabaran asas-asas kepercayaan atau keimanan dan bimbingan
keagamaan dalam tata pergaulan kehidupan. Di sinilah berperan lembaga ijtihad
yang merupakan sarana sekaligus sebagai pengendali gerak masyarakat dan
dinamika kehidupannya supaya tetap berkembang di atas prinsip dan dalam pola
umum kehidupan beragama. Lihat Ali Yafie, Reaktualisasi
Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi
Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, h. 302
[3] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998), h. 175
[4] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang
Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 174-175. hal yang sama juga
dikemukakan oleh Satria Efendi, bahwa pada abad ke-19 hubungan negara-negara
Islam seperti Turku Usmani dan Mesir dengan dunia Barat berpengaruh besar
terhadap sikap umat Islam. Perubahan-perubahan di kalangan mereka membuat hukum
Islam yang dipahami secara kaku tersebut menjadi lebih terpojok. Ada yang mengatakan bahwa umat Islam waktu
itu sedang berada di persimpangan jalan. Satu jalan bertahan dalam bentuk fikih
semula, satu jalan lagi umat Islam perlu mengadakan perubahan pemaham fikih
sejauh yang menyangkut ijtihad dan satu jalan lagi hukum Islam harus
disingkirkan dan digantikan oleh hukum lain. Lihat Satria Effendi M. Zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam
di Indonesia dalam Kontekstualisasi
Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, h. 287
[5] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, (New Delhi: Times Press, 1987), h. 12. Tiga belas
aspek UU yang diperbaharui itu adalah 1) batasan umur pasangan yang hendak
kawin; 2) Pembatasan peran wali dalam perkawinan; 3) Keharusan pencatatan
perkawinan; 4) Kemampuan ekonomi dalam perkawinan; 5) Poligami dan hak-hak
istri dalam poligami; 60 Nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal; 7) Talak
di muka pengadilan; 8) Hak-hak wanita yang dicerai suaminya; 9) Masa kehamilan
dan implikasinya; 10) Hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi
perceraian; 11) Hak waris keluarga dekat –suami, istri, anak perempuan, saudara
laki-laki dan perempuan, kakek, dan anak dari anak yang telah terlebih dahulu
meninggal; 12) Wasiat wajibah; 13) Keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga.
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic
Countries, h. 12. Lihat juga Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, h. 178.
Khairuddin Nasution, Status Wanita di
Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer
di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 6
[6] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in The Muslim World, (New Delhi: India Press, 1972), h. 289-290
[7] M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus
Istilah Fiqh, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1995), h. 288. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta;
Gunung Agung, 1984), h. 103. Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
(T.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), Jilid III, h. 306
[9] Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 306
[10] Taufik Abdullah, (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta:
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Jilid 3, h. 116. M. Rawwas Qal’ah Ji dan
Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah
al-Fuqaha’, (Bairut: Dar al-Nafais, 1998), h. 358. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 358.
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1975), h. 616
[11] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1993), Juz 4, h. 100. Lihat juga Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risalah, (Beirut: Maktabah
al-Ilmiyah, t.th), h. 586. Muhammad ibn Habib al-Mawardi, Al-Hawi al-kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Juz 8,
h. 183. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, (T.tp: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1969), Juz
2, h. 380. Muhammad Abu Zahrah, Ahkam wa
Tirkah wa al-Mawaris, (Cairo: Dar al-Fikr, 1963), h. 202. Muhammad Yusuf
Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam,
(Cairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1959), h. 326. Muhammad Ali al-Sais, Tafsir Ayat al-Ahkam, (T.tp: t.pn,
t.th), Juz II, h. 53. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuh, h. 358. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 105
[13] Muhammad bin Idris
al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 4, h. 100.
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risalah,
h. 586. Muhammad Abu Zahrah, Ahkam wa
Tirkah wa al-Mawaris, h. 202. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah
wa al-Mirats fi al-Islam, h. 327
[14] Muhammad ibn Isa Surah al-Tarmizi, Sunan al-Tarmizi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), Jilid
3, h. 178-179. hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Ibn Majah. Lihat Ibn
Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut; Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz 2, h. 905
[16] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 426. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h. 328. Muhammad Ali al-Sais, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz II, h. 53.
[17] Ibn Qudamah, al-Mughni, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz 7, h. 46
[19] Muhammad Abu Zahrah, Ahkam wa
Tirkah wa al-Mawaris, h. 202
[22] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam
Lingkungan Adat Minangkabau, h. 103. Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 306
[23] Jalal al-Din, Abd al-Rahman ibn Abi Bakar
al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi
al-Tafsir al-Ma’tsur, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), Jilid 3, h.
373
[24] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa
Nihayah al-Muqtashid, Juz 2, h. 381,
Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 7,
h. 47
[25] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, ( Yakarta: Basri Press,
1994), h. 357
[26] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 27
[27] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Terj. Eva YN, dkk, (Bandung:
Mizan, 2001), Jilid 4, h. 48
[28] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in The Muslim World, h. 48
[29] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, h. 49
[30] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 115. Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic
Countries, h. 27. Mesir semenjak tahun 1875 melangkah lebih jauh dalam
mengambil hokum perancis sebab di samping mengundangkan undang-undang hokum
pidana, dagang, dan maritim serta
membentuk sistim peradilan sekuler guna menerapkan semua undang-undang ini,
Mesir juga mengundangkan kode sipil (hokum perdata) yang pada dasarnya disusun
dengan meniru undang-undang Perancis dan hanya beberapa saja yang diambil dari
syari’ah. Lihat Noel J.
Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif
Sejarah, pent. Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987), h. 178
[31] Usaha pembaharuan ini terhambat setelah
meletusnya perang dunia I. Perang dunia I memusatkan keinginan Mesir untuk
bebas dari belenggu asing. Deklarasi tentang pemerintahan protektorat Inggris, hukum keluarga, dan merebaknya
kesengsaraan hidup, meningkatkan perlawanan bangsa Mesir terhadap pemerintahan
Inggris. Pada akhir perang dunia ini, sebuah delegasi (wafd) dipimpin oleh Sa’ad Zaghul yang diilhami oleh proklamasi
Woodrow Wilson, menuntut kemerdekaan penuh. Zaghul mampu memobilisir dukungan
massa dan dalam rentang masa 3 tahun pertempuran dari tahun 1919 sampai 1922
memaksa pihak Inggris untuk mengakhiri protektoratnya. Pada tahun 1922 Mesir
berobah sebagai negara semi independen di bawah bimbingan Inggris. Seorang raja
mesir dari sebuah dinasti yang didirikan oleh Muhammad Ali dan sebuah parlemen,
menjalankan urusan dalam negeri Mesir. Sedangkan kebijakan luar negeri, urusan
militer, urusan yang berkaitan dengan Sudan dan yurisdiksi atas segala orang
asing berada dalam kewenangan Inggris. Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, pent. Ghufran
A.Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 114
[32] Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 94
[33] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 116. Terdapat
beberapa poin yang cukup menarik yang tidak mengacu lagi kepada kitab fikih
atau pendapat ulama klasik, di antaranya adalah pengucapan talak secara tidak
sengaja, tidak sah, talak tiga dianggap
tidak ada sama sekali, wasiat wajibah diberlakukan, istri yang dicerai dan
anak-anaknya harus diberi rumah tempat tinggal, saudara seibu dan sebapak tidak
boleh dihijab oleh kakek, sistem wakaf dihapuskan sama sekali. Lihat Atho
Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad :
Antara Tradisi dan Liberasi,h. 116.
[34] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 129. Upaya untuk menciptakan identitas
dan negara Islam hanya sebagian saja yang berhasil. Sentimen muslim di negara
ini tetap besar pengaruhnya dan bebas dari pengendalian negara. Hal ini disebabkan karena: 1) Latar
belakang loyalitas keislaman yang mendalam sehingga tidak dapat dibasmi melainkan
hanya sekedar tersisih di kalangan elit pemerintahan. Loyalitas keislaman tidak
dapat diganti sepenuhnya dengan loyalitas nasional, sekuler dan sosialis 2) Meskipun
ulama dan lembaga islam yang resmi berada di bawah kontrol negara, namun para
juru dakwah, misionaris, dan guru-guru yang independen secara aktif berusaha
membangkitkan komitmen terhadap Islam. 3) Situasi sosial politik akhir dekade
1960-an dan 1970-an memberikan tumpuan
baru bagi loyalitas keagamaan. Kekalahan dalam perang tahun 1967 dengan Israel,
kegagalan dalam menyelesaikan problem Palestina dan kegagalan dalam pembangunan
ekonomi menghantarkan pada penghapusan kebijakan sekuler dan sosialis. Lihat Ira
M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam,
h. 130. Ketika kelompok free officer
yang dipimpin oleh Nasser berkuasa pada tahun 1952, Mesir berada di bawah
institusi Islam. Depertemen wakaf digunakan untuk memetapkan kebijakan melebihi
ulama, khutbah jumat dipersiapkan oleh pemerintah. Isi khutbah berhubungan
dengan kesehatan, pendidikan, persoalan-persoalan baru dan hal-hal yang
berhubungan dengan pendidikan kaum tani.
Lihat Don Peretz, The
Middle East Today, (New York: Ibnghamtom,
1983), h. 256
[35] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 29-30
[36] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 55. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 427. Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 307. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 360. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h.
330-331.
[37] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 139
[38] Don Peretz, The Middle East Today, h. 396
[39] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 269
[40] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 270
[41] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 272-273. Lihat juga Syafiq A.Mughni, (ed), An Anthologi of Contemporary Middle Eastern
History, (Canada: Montreal, t.th), h.3-4
[42] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 139-140
[43] Buku pertama tentang
perkawinan berisi: perkawinan dan pertunangan, unsur-unsur dan syarat-syarat
perkawinan. Buku kedua tentang
pembubaran perkawinan, berisi: talak, khuluk, perceraian di depan pengadilan
dan akibat bubarnya perkawinan. Buku
ketiga tentang melahirkan dan akibatnya, berisi: nasab, pengasuhan anak,
susuan, dan nafkah keluarga. Buku keempat
tentang kecakapan dan perwalian hukum. Buku
kelima tentang wasiat berisi: prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan
wasiat. Buku keenam tentang kewarisan
berisi: prinsip-prinsip umum, penghalang kewarisan, zul furudh, ashabah, radd, zul arham, anak angkat, dan peraturan
kewarisan lainnya. Lihat Tahir Mahmood, Personal
Law in Islamic Countries, h. 140-141
[44] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 141
[45] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in The Muslim World, h. 90-91
[46] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in The Muslim World, h. 129
[47] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 201
[48] Mazhab Hanafi diaplikasikan di Sudan untuk penetapan hukun Islam,
walaupun mayoritas muslim bermazhab Maliki. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h.
141
[49] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 204
[51] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 204
[52] Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, h. 478. Selama sebagian besar periode pasca kemerdekaan Sudan
diperintah oleh rezim-rezim nasionalis dan militeris sekuler yang membuat
persoalan tentang hukum Islam dan institusi-institusi muslim keluar secara
resmi dari arena politik. Sungguhpun demikian, isu-isu tentang status dan masa
depan Islam telah menjadi bagian hakiki dari agenda-agenda politik, entah dari
mereka yang mengusahakan sebuah negara sekuler, multi bangsa, dan multi agama
yang diakhiri dengan perang saudara antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan,
maupun di antara mereka yang mengupayakan peran yang lebih besar bagi
pemerintahan dan hokum Islam di dalam sebuah negri yang didominasi oleh kaum
muslimin. Lihat John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 5, h. 205
[54] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in The Muslim World, h. 69. Diantara ketetapan-ketetapan hakim itu
adalah: 1) Hukum tentang nafkah dan perceraian di depan pengadilan dalam manshur 17 tahun 1916. 2) Hukum tentang orang-orang yang hilang
dalam manshur 24 tahun 1921. 3) Hukum
tentang kewarisan dalam manshur 26
tahun 1925. 4) hukum tentang nafkah dan perceraian di depan pengadilan dalam manshur 28 tahun 1927. 5) Hukum tentang
pemeliharaan anak dalam manshur 34
tahun 1932. 6) Hukum tentang talak,
syiqaq, dan hibah dalam manshur 41
tahun 1935. 7) hukum tentang perwalian harta dalam manshur 48 tahun 1937. 8) Hukum tentang kewarisan dalam manshur
51 tahun 1943. 9) Hukum tentang wasiat dalam manshur 53 tahun 1945. 10)
Hukum tentang wali nikah dalam manshur 54 tahun 1960. Dalam
perkembangan hukum Islam selanjutnya, pada tahun 1983-1984 diundangkan sejumlah
hukum baru, di antaranya adalah: 1) UU Pidana tahun 1983. 2) UU Hukum Acara Pidana tahun 1983. 3) UU Saksi
tahun 1983. 4) UU Pengadilan tahun 1983. 5) UU Hukum Acara Perdata tahun
1983. 6) UU tentang Pengambilan
Keputusan di pengadilan tahun 1983. 7) UU Perdagangan tahun 1984.Undang-undang baru ini dibuat berdasarkan berbagai macam mazhab dalam Islam. Lihat Tahir Mahmood, Personal
Law in Islamic Countries, h. 130-131 dan 133
[55] Tahir Mahmood, Family Law
Reform in The Muslim World, h. 68
[56] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 151
[57] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 6, h. 56-57
[58] Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, h. 236
[59] Perubahan tersebut adalah: UU No. 70
tahun 1958. yang dirubah adalah pasal 13 tentang poligami, UU No. 77 tahun
1959. Pasal yang dirubah adalah pasal 143 A tentang radd, buku IX tentang kewarisan, buku XI tentang wasiat, UU No 41
tahu 1961. Pasal yang dirubah adalah pasal 32 tentang perceraian adalah, UU No.
17 tahun 1964 yang dirubah adalah buku XII tentang hibah, terakhir UU No. 49 tahun 1966 yang dirubah adalah
pasal 57, 64, dan 67 tentang pemeliharaan anak. Lihat Tahir
Mahmood, Personal Law in Islamic
Countries, h. 152-155
[60] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h.154-155
[61] Tahir Mahmood, Personal Law
in Islamic Countries, h. 155. Lihat juga Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,
h. 104
[62] John L. Esposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia
Islam, Jilid 6, h. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar