Sabtu, 12 Desember 2015

Hukum Kewarisan



PEMBAHARUAN HUKUM KEWARISAN DI DUNIA ISLAM
(Studi terhadap radd dalam Fikih dan UU
Hukum Keluarga di Mesir, Syiria, Sudan, dan Tunisia)

Oleh Evra Willya[1]
Abstrak
Dalam kaitannya dengan reformasi, maka negara-negara Islam di dunia pada dasarnya terbagi kepada tiga ketagori. Pertama,  negara Islam yang sama sekali tidak mau melakukan pembaharuan dan masih tetap memperlaukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam  kitab-kitab fikih dari mazhab yang dianut. Kedua, negara Islam yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Ketiga,  negara Islam yang berusaha memperlakukan hukum keluarga Islam tetapi setelah mengadakan pembaharuan di sana sini. Menurut penelitian Tahir Mahmood, ada tigabelas aspek dalam UU Keluarga Muslim kontemporer yang mengalami pembaharuan. Salah satunya adalah masalah kewarisan suami istri dalam kasus terjadinya kelebihan harta setelah harta dibagi-bagikan kepada ahli waris yang ada. Harta dapat dikatakan melebihi jumlah pembagian bila ahli waris terdiri dari dzû al-furûdh. Kelebihan harta ini akan dikembalikan kepada mereka sesuai dengan saham atau bagian masing-masing. Dalam hukum Islam klasik apabila harta masih bersisa setelah diberikan kepada dzû al-furûdh sementara ahli waris ashabah tidak ada, maka sisa harta tersebut akan dikembalikan kepada dzû al-furûdh kecuali suami istri. Sisa harta tidak akan diberikan kepada mereka walaupun hanya mereka yang ada, sisa harta itu diserahkan ke kas Perbendaharaan Negara. Pembahasan dilakukan terhadap beberapa negara Islam yang telah melakukan reformasi pada hukum kekeluargaan mereka. Negara yang akan dibahas adalah negara Mesir yang mayoritas penduduknya pengikut mazhab Syafi’i, Syiria bermazhab Hanafi, Sudan dan Tunisia bermazhab Maliki.
Kata kunci: kewarisan, sisa harta, suami istri
Pendahuluan
            Islam yang kini sudah berusia lebih dari 14 abad, merupakan agama dinamis yang memandu manusia untuk berubah dari masa ke masa dan berkembang sepanjang perjalanan sejarah. Dalam hal ini Islam telah memperkenalkan konsep tajdid dan sejarah Islam telah pula mencatat tampilnya tokoh-tokoh mujaddid dari waktu ke waktu.[2]
            Gelombang pembaharuan hukum di dunia Islam pada zaman moderen sebenarnya telah dimulai sejak pertengahan abad ke-19 ketika kerajaan Turki Usmani mengadopsi hukum-hukum perdagangan dan pidana Barat. Dengan gelombang ini, maka wilayah-wilayah di Timar Tengah yang berdasa di bawah kekuasaan Turku Usmani –seperti Jordania, Palestina, Syiria, dan Libanon- praktis diatur dengan hukum baru itu. Akan tetapi gerakan pembaharuan dalam hukum keluarga baru terjadi pada abad ke-20.[3]
            Dalam kaitannya dengan reformasi, maka negara-negara Islam di dunia pada dasarnya terbagi kepada tiga ketagori. Pertama,  negara Islam yang sama sekali tidak mau melakukan pembaharuan dan masih tetap memperlaukan hukum keluarga sebagaimana yang tertuang dalam  kitab-kitab fikih dari mazhab yang dianut. Kedua, negara Islam yang sama sekali telah meninggalkan hukum keluarga Islam dan sebagai gantinya mengambil hukum sipil Eropa. Ketiga,  negara Islam yang berusaha memperlakukan hukum keluarga Islam tetapi setelah mengadakan pembaharuan di sana sini.[4]
            Menurut penelitian Tahir Mahmood, ada tigabelas aspek dalam UU Keluarga Muslim kontemporer yang mengalami pembaharuan.[5] Salah satunya adalah masalah kewarisan suami istri dalam kasus terjadinya kelebihan harta setelah harta dibagi-bagikan kepada ahli waris yang ada. Harta dapat dikatakan melebihi jumlah pembagian bila ahli waris terdiri dari dzû al-furûdh. Kelebihan harta ini akan dikembalikan kepada mereka sesuai dengan saham atau bagian masing-masing.
            Dalam hukum Islam klasik apabila harta masih bersisa setelah diberikan kepada dzû al-furûdh sementara ahli waris ashabah tidak ada, maka sisa harta tersebut akan dikembalikan  kepada dzû al-furûdh kecuali suami istri. Sisa harta tidak akan diberikan kepada mereka walaupun hanya mereka yang ada, sisa harta itu diserahkan ke kas Perbendaharaan Negara.[6]
            Oleh karena itu tulisan ini akan membahas tentang sisa harta untuk suami istri pada beberapa negara Islam yang telah melakukan reformasi pada hukum kekeluargaan mereka. Negara yang akan dibahas adalah negara Mesir yang mayoritas penduduknya pengikut mazhab Syafi’i, Syiria bermazhab Hanafi, Sudan dan Tunisia bermazhab Maliki. Pembaharuan pemikiran Islam yang dituangkan dalam bentuk UU ini seringkali bertentangan dengan apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih yang ada dari mazhab yang mereka anut.

Radd dalam fikih
            Apabila jumlah saham ahli waris lebih kecil dari asal masalah yang akan dibagi, maka diperlukan penyelesaian setepat-tepatnya agar harta peninggalan yang akan dibagi tidak ada sisa lebih yang tidak terbagi. Dalam ilmu waris sisa lebih itu harus dikembalikan lagi kepada para ahli waris yang berhak menerima tambahan. Pengembalian sisa lebih kepada mereka yang berhak menerima kelebihan itu dikenal dengan nama radd.
            Secara etimologi radd berarti mengembalikan[7] atau memulangkan kembali.[8] Sedangkan pengertian radd secara terminologi adalah pengembaliah harta yang tersisa dari bagian dzû al-furûdh nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada ahli waris lain yang berhak menerimanya,[9] di mana dalam suatu pembagian kewarisan, sehubungan dengan kondisi ahli tertentu dan tidak ada ashabah sehingga harta tidak habis terbagi meskipun pembagian telah sesuai dengan kadar masing-masing.[10]
            Berangkat dari devinisi yang telah dikemukakan tersebut dapat diketahui bahwa radd itu hanya bisa terjadi apabila ada shahih al-furudh, ada sisa harta, dan tidak adanya ahli waris ashabah. Ketiganya ini harus ada, sebab kalau salah satu dari ketiga hal tersebut tidak ada tentu masalah radd tidak akan terjadi. Seperti jika para ahli waris semuanya terdiri dari ashabah, atau beberapa orang ashab al-furudh dan seorang ashabah, maka harta waris itu tidak akan bersisa. Demikian juga apabila jumlah saham dari para ahli waris adalah sebesar jumlah asal masalah sehingga tidak ada kelebihan sedikitpun, tentu tidak akan terjadi masalah radd.
            Terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang ada tidaknya radd dalam pembagian harta warisan karena tidak adanya nash yang menjadi rujukan dalam masalah radd. Pendapat pertama, mengingkari adanya radd. Zaid bin Tsabit dan sebagian kecil sahabat mengingkari adanya radd. Menurut Zaid bin Tsabit bahwa sisa harta tidak bisa dikembalikan kepada siapapun di antara dzu al-furudh. Sisa harta yang ada itu diserahkan ke baitul mal.. Urwah. Al-Zuhri, Imam al-Syafi’i dan Imam Malik sependapat dengan pendapat Zaid bin Tsabit ini.[11]
            Fuqaha’ Malikiyah dan fuqaha’ Syafi’iyah berpendirian bahwa kelebihan harta peninggalan tersebut tidak boleh dikembalikan kepada dzu al-furudh tetapi harus diserahkan kepada baitul mal. Demikian juga tidak boleh diserahkan kepada dzu al-arham baik keadaan kas negara twratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak. Karena hak Lusaka terhadap kelebihan itu hádala di tangan orang-orang muslim pada umumnya. Tetapi fuqaha’ Malikiyah dan fuqaha’ Syafi’iyah  mutaakkhirin menfatwakan bahwa apabila keadaan kas perbendaharaan negara sudah tidak menjalankan fungsinya lagi sebagai tempat dana social umat Islam, maka dibolehkan kelebihan harta itu dikembalikan kepada dzu al-furudh  dan dzu al-arham menurut perbandingan besar kcilnya saham mereka.[12]
            Alasan yang dikemukakan dalam menolak radd ini adalah:
  1. Allah telah menetapkan bagian dzu al-furudh dengan nash yang zhahir dalam surat al-Nisa’ ayat 176. dalam ayat ini dijelaskan apabila  hanya saudara perempuan saja yang ada (menjadi ahli waris) maka ia menerima separoh dari harta warisan dan apabila hanya saudara laki-laki yang ada, ia menerima semuanya. Selanjutnya ayat menyatakan apabila yang hidup itu saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka saudara laki-laki mendapat dua bagian dari saudara perempuan. Oleh karena itu tidak boleh menambah bagian yang telah ditetapkan secara tegas oleh al-Qur’an. Menambah bagian mereka berarti melampaui batas ketentuan Allah dalam bidang kewarisan.[13]
  2. Hadis Rasul setelah turunnya ayat mawaris[14]:
Dari Umamah al-Babili ia berkata: Saya telah mendengar Rasul berkhutbah pada haji Wada’: Sesungguhnya Allah telah memberi hak kepada pemegang hak, ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris.(H.R. al-Tarmizi)

  1. Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris dzu al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk memilikinya. Oleh karena itu harus diserahkan ke baitul mal, sama halnya dengan harta orang yang meninggal yang tidak ada ahli warisnya.[15]
Pendapat kedua  menyetujui adanya radd. Pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal, ulama mutakkhirin dari Malikiyah dan Syafiiyah, Syi’ah Zaidiyah, dan Imamiyah.[16] Mereka berpendapat bahwa kelebihan harta dikembalikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar masing-masing.
Tentang siapa yang berhak menerima pengembalian ini terdapat perbedaan di kalangan ulama yang mengakui adanya radd.
Menurut Usman r.a bahwa radd dapat diberikan kepada seluruh ahli waris dzu al-furudh sekalipun kepada suami istri menurut bagian mereka masing-masing.[17] Alasan yang dikemukakan adalah  andaikata jumlah saham-saham para ahli waris itu lebih banyak dari asal masalah, mereka semuanya kena pengurangan dalam penerimaan menurut perbandingan  bagian mereka masing-masing. Maka demikian pula halnya apabila terdapat kelebihan dari harta waris. Semuanya harus mendapat tambahan menurut perbandingan saham mereka masing-masing.[18]
Ibn Mas’ud berpendapat bahwa tidak semua ahli waris dzu al-furudh dapat menerima radd. Mereka adalah suami, istri, dan mereka yang menurut kasus furudhnya 1/6, karena dalil yang mendukung hak 1/6 ini lemah, yaitu saudara perempuan seayah, saudara perempuan, atau saudara laki-laki seibu dan nenek.[19]
Sementara itu mayoritas fuqaha’ sahabat, ulama Hanafiyah, dan Hanabalah berpendapat bahwa sisa harta diberikan kepada dzu al-furudh sesuai dengan bagian mereka kecuali suami istri.[20] Pendapat ini diikuti oleh ulama Malikiyah dan Syafiiyah bila baitul mal tidak terurus.[21] Suami istri tidak dapat menerima radd karena radd itu hanya berlaku untuk ahli waris yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan dan tidak berlaku untuk ahli waris yang disebabkan oleh hubungan perkawinan.[22] Di samping itu nash yang mengatur hak suami istri mengenai kewarisan telah demikian tegas dan diatur hanya dalam ayat kewarisan saja. Tetapi untuk kerabat selain diatur dalam ayat waris juga diatur dalam ayat-ayat yang lain. Di dalam ayat itu terdapat ketentuan yang bisa dipandang memberi petunjuk adanya hak kewarisan untuk mereka. Di antaranya adalah surat al-Anfal ayat 75:
Orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
           
            Sebelum ayat ini turun orang-orang Arab mempunyai tradisi untuk saling mewarisi berdasarkan perjanjian, sumpah, dan hijrah. Kemudian Islam datang membatalkan bentuk kewarisan seperti ini.[23]
            Oleh karena itu adalah logis kiranya setelah dzu al-furudh diberi bagiannsesuai dengan saham mereka masing-masing seperti yang dijelaskan dalam surat al-Nisa’, kemudian ternyata masih ada sisa lebih, maka sisa lebih itu lebih pantas diberikan kepada ahli waris dzu al-furudh yang mempunyai hubungan kekerabatan yang lebih dekat kepada orang yang meninggal. Di samping itu sisa hartabdikembalikan kepad dzu al-furudh tidak diserahkan ke baitul mal karena hubungan agama dan hubungan nasab lebih utama dibanding sekedar hubungan agama saja. Dzu al-furudh mengumpulkan dua sebabbyaitu hubungan agama dan hubungan nasab, sementara kaum muslimin hanya memiliki satu sebab saja yaitu hubungan agama.[24]
            Di kalangan Syiah Imamiyah terdapat perbedaan pendapat tentang memberikan sisa harta kepada suami istri pada waktu ahli waris yang lain tidak ada. Pertama, sisa harta dikembalikan kepada suami, tidak kepada istri. Pandangan ini yang lebih masyhur di kalangan ulama mazhab Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua, sisa harta dikembalikan kepada suami atau istri secara mutlak dan dalam semua keadaan. Ketiga, sisa harta dikembalikan kepada suami atau istri manakala tidak ada imam yang adil. Kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan kepada suami dan tidak kepada istri. Alasannya adalah terdapat beberapa riwayat yang menyatakan bahwa diserahkan kepada istri dan ada pula yang tidak. Maka riwayat pertama diartikan bila tidak ada imam yang adil, sedangkan yang kedua bila ada imam yang adil.[25]
Sisa harta Untuk Suami Istri di Dunia Islam
1.      Mesir
Mesir terletak di Timur Laut Afrika[26] yang hampir 90 persen penduduknya adalah muslim sunni.[27] Pada mulanya mayoritas penduduk Mesir bermazhab  Syafi’i, tetapi setelah adanya pengaruh kekuasaan Turki, sistem hukum yang dipakai adalah sistem hukum Hanafi.[28]Terdapat beberapa minoritas religius di Mesir, yang terbesar adalah minoritas Kristen pribumi yang merupakan gereja Kopti. Pada tahun 1990 perkiraan jumlah penduduk Kopti  antara 3 sampai 7 juta, sedangkan pemeluk Kristen lainnya mencakup sekitar 350.000 pengikut gereja ortodok Yunani, 175.000 Katolik Ritus Latin dan Timur, serta 200.000 Protestan. Selain itu diperkirakan sekitar 1000 orang Yahudi masih tinggal di Mesir pada tahun 1990.[29]
Sejarah modernisasi hukum di Mesir berawal sejak tahun 1874 ketika Mesir mendapat kebebasan dari segi jurisdiksi, meskipun masih tetap merupakan  bagian kerajaan Turki Usmani. Periode 1875-1883 diisi dengan pembaharuan administrasi hukum dengan memperkenalkan peradilan mukhtalath (campuran) dan pengadilan ahli (pribumi). Setelah Mesir berada di bawah pengaruh Inggris pada penghujung abad itu sejumlah undang-undang yang diberlakukan langsung berkiblat ke Barat seperti hukum pidana, perdagangan, kelautan, dan lain-lain. Hukum perorangan sampai tahun 1920 belum terjamah perubahan-perubahan itu meskipun Qudri Pasya telah mencoba mengusahakannya dengan menoleh kepada mazhab Hanafi.[30]
Usaha pembaharuan hukum keluarga di Mesir pertama dimulai dengan mengangkat panitia pada tahun 1915[31] yang dipimpin oleh rektor al-Azhar, Syekh al-Maraghi. Antara tahun 1920-1952 terdapat beberapa undang-undang yang dihasilkan, yaitu: 1) UU No. 25 tahun 1920 tentang nafkah dn perceraian. 2) UU No. 56 tahun 1923 tentang  umur perkawinan. 3) UU No. 25 tahun 1929 tentang perceraian. 4) UU No. 77 tahun 1943 tentang kewarisan. 5) UU No. 71 tahun 1946  tentang wasiat.[32]
Pada tahun 1977 Mesir memberlakukan undang-undang baru menggantikan undang-undang lama tahun 1923. Dalam undang-undang baru ini dinyatakan bahwa syari’at Islam merupakan sumber utama perundangan di negara itu, yang antara lain pada tahun 1979 menghasilkan Jihan Law yang melakukan perubahan besar terhadap undang-undang tentang status perorangan sebelumnya, meskipun Jihan Law ini pada tahun 1979 dicabut oleh Mahkamah Agung karena dinilai melampaui wewenang yang diberikan undang-undang. Tetapi dengan undang-undang  hukum keluarga tahun 1985 sebagian besar isinya dimunculkan kembali.[33]
Pada dekade tahun 1950-an dan dekade tahun 1960-an rezim Nasser telah berusaha memasukkan aktivitas keagamaan muslim ke dalam pengawasan negara. Sejumlah gerakan oposisi seperti ikhwan al-muslimin dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan otonomi lembaga-lembaga keagamaan lainnya dibatasi. Tanah wakaf diambil alih ke dalam penguasaan negara pada tahun 1960 dan 173, mesjid-mesjid pribadi diambil alih ke dalam pengawasan kementrian negara. Pada tahun 1961 al-Azhar dijadikan sebagai  universitas negara dengan perubahan kurikulum. Pada tahun 1955 pemerintahan Mesir menggabungkan peradilan syari’ah dengan peradilan sipil yang menangani hukum keluarga. Meskipun syariat Islam tetap diberlakukan, kitab-kitab hukum muslim (fikih) telah dimasukkan ke dalam yurisdiksi pemerintahan. Secara umum pemerintah berusaha mengendalikan kehidupan keagamaan, memanfaatkan ulama untuk mendukung kebijakan pemerintah dan mengidentifikasikan Islam dengan  program-program sosialis dan nasionalis.[34]
Sebagaimana dijelaskan di atas, salah satu bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh Mesir adalah hukum kewarisan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 77 tahun 1943. sebelumnya pada tahun 1936 pemerintah menunjuk sebuah komisi yang bertugas nerancang hukum perorangan secara komprehensif. Secara bertahap komisi ini membuat rancangan hukum keewarisan, wasiat dan wakaf. Rancangan tersebut kemudian diundangkan  pada tahun 1943 untuk hukum kewarisan dan tiga tahun kemudian diundangkan hukum tentang wasiat. Kedua undang-undang ini memuat ketentuan baru yang bermanfaat bagi ahli waris tertentu  yang tidak mendapat bagian dalam ketentuan hukum yang sudah baku. Sedangkan hukum wakaf pertama kali dikidifikasikan dalam Undang-Undang Dasar Wakaf. Hukum baru mengenai wakaf tahun 1952 mengamandemen hukum wakaf tahun 1946 dan pada tahun 1960 hukum wakaf 1952 diamandemen untuk mengatir wakaf dengan wasiat.[35]
Undang-Undang No. 77 tahun 1943 tentang kewarisan ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Hanafi. Dalam beberapa kasus yang ditetapkan  oleh undang-undang ini terdapat perbedaan dengan hukum Islam atau mazhab fikih yang mereka anut. Di antaranya adalah kasus radd atau sisa harta untuk suami istri. Dalam pasal 30 UU No. 77 tahun 1943 dinyatakan:
“Apabila furudh tidak dapat menghabiskan harta peninggalan dan tidak terdapat asahabah nasab, maka sisanya dikembalikan kepada selain suami istri dari golongan dzu al-furudh menurut perbandingan bagian mereka. Sisa harta dikembalikan kepada salah seorang suami orang asahabah nasab atau salah seorang dzu al-furud nasabiyah atau seorang dzu al-arham”.[36]


2. Syria
Syria terletak di kawasan Asia Barat,[37] 85% penduduknya adalah muslim Sunni[38] dan empat sekte Syiah minoritas. Posisi Islm dalam masyarakat Syria telah berobah secara mendasar pada masa-masa modern. Pada awal abad ke-19 kaum elit politik dan sosial dari kesulthanan Utsmaniyah mempersatukan institusi-institusi, simbol-simbol dan kaum ulama. Pada paro kedua bad ke-20 kecendrungan sekuler mendominasi syria dan gerakan-gerakan pemulihan keduduka tertinggi Islam menjadi alasan bagi pembangkangan politik.[39]
Di antara mazhab-mazhab hukum Islam yang utama adalah mazhab Syafi’i memiliki akar yang dalam di Syria, tetapi mazhab Hanafi lebih luas diterima ulama-ulama berstatus tinggi pada abad ke-18 dan ke-19 karena statusnya sebagai mazhab resmi kesultanan Utsmaniyah. Pada dekade-dekade abad ke-19 kemapanan keagamaan Syria memperlihatkan kesetiannya kepada sulthan Ustmaniyah dengan menolak seruan untuk memberontak yang dikeluarkan oleh para propagandis gerakan pembaharu agama Wahhabiyah di Arab Tengah.
Pada dekade-dekade akhir pemerintahan Utsmaniyah, kemapanan agama menerima dukungan terakhir dari Sulthan Abdul Hamid II (1876-1909. Penguasa ini menangkal penyusupan orang-orang Eropa dan perselisihan politik dalam negri dengan sebuah kebijakan yang menekankan status keagamaannya sebagai khalifah seluruh muslim. Selain itu Abdul Hamid juga mendanai penghidupan kembali institusi keagamaan, terutama mesjid dan pondok sufi. Salah seorang kepala penasehat agamanya untuk jangka waktu tertentu adalah syekh sufi asal Syria Abu al-Huda al-Sayyadi (1849-1909) dari terekat Rifaiyah, dan tarekat inipun menjadi pendukung utama sang sulthan. Pada bulan Juli 1920 perancis menyerbu Syria dan berdasarkan sebuah mandat dari Liga Bangsa-Bangsa membentuk pemerintahan langsung yang berakhir pada tahun 1946. Selama seperempat abad itu, nasionalisme Arab bangkit sebagai pemimpin idiologi oposisi terhadap kekuasaan asing. Idiologi ini memungkinkan orang-orang Syria dari semua agama bersatu melawan kekuasaan Eropa.[40]
Dari saat kemerdekaan pada tahun 1946 hingga 1963, perpolitikan Syria mengalami serangkaian kudeta militer, kabinet-kabinet sipil yang berumur singkat dan periode singkat penyatuan dengan Mesir. Kekuatan-kekuatan politik yang paling dinamis adalah partai-partai nasionalis Arab sekuler, seperti para Ba’ts dan partai kiri lainnya. Pada tanggal 8 Maret 1963 sebuah kudeta militer meresmikan  era pemerintahan Ba’ts. Karena komposisinya yang sangat didominasi oleh minoritas, karena sekularismenya, dan karena agenda sosialisnya, reaksi politik terhadap partai inipun mengambil warna sektarian. Akibatnya tantangan paling keras datang dari kelompok-kelompok Islam terutama dari Ikhwan al-Muslimin. Pemberontakan Islam pertama terjadi pada tahun 1964 dan menyusul pergolakan sektarian pada tahun 1967. protes-protes berikutnya meledak pada tahun 1973 ketika sebuah konstitusi baru menghilangkan penyebutan Islam sebagai agama negara. Pemerintahan mencoba berkompromi dengan menambahkan pasal-pasal bahwa kepala negara haruslah orang muslim dan hukum Islam menjadi sumber utama perundang-undangan. Tetapi langkah ini tidak memuaskan para kritikus dari kelompok Islam, terutama karena presiden Hafiz al-Asad berasal dari sekte minoritas Alawiyah yang oleh banyak muslim dipandang menyimpang.[41]
Selama berada di bawah kekuasan Turki Utsmani, di Syria berlaku hukum dan sistem peradilan Utsmani. Undang-undang dan sistem hukum yang berlaku tersebut adalah code civil 1876 dan hukum hak-hak keluarga 1917. Setelah perang dunia I, Syria berada di bawah hukum Perancis. Hukum Anglo Perancis telah memberi pengaruh yang besar terhadap hukum perdata dan hukum pidana. Meskipun demikian hukum keluarga Islam tetap dijaga dan dipertahankan. Setelah Syria merdeka, nasionalisme dan reformasi  sistem hukum mulai dilaksanakan. Sejumlah hukum baru diundangkan yang meliputi hukum perdata, pidana, dan perdagangan tahun 1949. Undang-undang hukum acara pidana yang baru diundangkan pada tahun 1950 dan undang-undang hukum acara perdata yang baru diundangkan pada tahun 1953. sedangkan untuk hukum perorangan yaitu hukum tentang hak-hak keluarga 1917 masih tetap dipakai di Syria sampai tahun 1953. di bawah program nasionalisasi  sistem hukum, hukum Utsmani  1917 dicabut dan diganti hukum baru.[42]
Selanjutnya pada tanggal 17 September 1953 pemerintahan Syria mengundangkan undang-undang tentang hukum perorangan. Pengundangan ini disertai dengan momerandum resmi yang menyatakan bahwa ketetapan-ketetapan dalam undang-undang ini berasal dari hukum tentang hak-hak keluarga tahun 1917, hukum tentang perorangan dan kewarisan tahun 1920-1046, dan karya-karya dari Qudri Pasya dari Mesir serta Ali al-Tantawi dari damaskus. Undang-undang 1953 ini terdiri dari 308 pasal yang terdapat dalam enam buku dan masing-masing buku memuat beberapa pasal[43] yang didominasi oleh mazhab Hanafi. Setelah 22 tahun sejak pengundangannya sejumlah pasal dari buku pertama dari undang-undang perorangan 1953 diperbaharui dengan undang-undang perorangan tahun 1975. Undang-undang ini mengubah dan menambah ketentuan-ketentuan sebanyak 22 pasal berdasarkan rekomendasi dari parlemen untuk meninjau ulang undang-undang 1953.[44]
Buku ke VI dari undang-undang 1953 mengatur tentang kewarisan yang pada umumnya berdasarkan kepada mazhab Hanafi. Di samping itu juga berdasarkan hukum kewarisan Mesir 1943 sehingga dalam persoalan radd atau kelebihan harta untuk suami istri Syria menetapkan hukum yang sama dengan Mesir.[45] Ketentuan yang sama juga di atur dalam undaang-undang perorangan 1953 yang diperbaharui oleh undang-undang no. 34 tahun 1975. Dalam pasal 288 undang-undang no 34 tahun 1975 dinyatakan bahwa:
a.      Sisa harta dikembalikan kepada ahli waris dzu al-furudh selain suami istri apabila tidak ada ashabah
b.      Sisa harta dapat dikembalikan kepada suami istri ketika ahli waris dzu al-furudh, ashabah dan dzu al-arham tidak ada

3. Sudan
            Sudan terletak di kawasan Afrika.[46] Islam masuk ke wilayah Sudan pada abad ke-16 dewasa ini kurang lebih 70% dari 22 juta penduduk Sudan adalah muslim yang tinggal di dua pertiga wilayah utara dari negri terbesar di Afrika. Rakyat minoritas non muslim dijumpai dipegunungan Nuba dan Sudan Selatan. Tempat mereka mengikuti agama animisme pribumi, berdampingan atau bercampur dengan  berbagai sekte Kristen yang masuk selama kolonial.[47] Sebuah pola budaya khas Islam Afrika yang berakar pada tradisi Maliki[48] yang menyebar dari wilayah Barat tempat kerajaan Afrika telah diislamkan sejak abad ke-12. Dari utara, Islam juga datang dari Mesir setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan Kristen di Nuba pada abad ke-15.
            Pada abad ke-19 beberapa wilayah yang menyusun negara modern Sudan mempunyai sejarah panjang sebagai kesulthanan muslim. Pada abad ini proses unifikasi teritorial dan konsilidasi kekuasaan negara berlangsung secara keras. Proses ini dimulai dengan penaklukkan kekuasaan negara eropa terhadap Sudan oleh Muhammad Ali, yang secara resmi merupakan gubernur Usmani di Mesir, tetapi belakangan menjadi seorang penguasa yang independen yang menaklukkan kesulthanan Funj.
            Setelah melalui perjalanan panjang sejak Sudan dikuasai oleh Mesir-Inggris dan setelah menaklukkan beberapa pemberontakan Mahdi maka sebuah kemapanan hukum ”Mohammedan” dikembangkan agar memiliki sistem peradilan, daya tarik dan yurisdiksi sendiri yang terpisah dari peradilan serta hukum sipil dan kriminal turunan Inggris.[49] Yurisdiksi peradilan syari’ah akhirnya dibatasi oleh Sudan Mohammedan Law Court Ordinance (Ordonansi Sudan tentang Peradilan Hukum Islam) tahun 1902. Ordonansi ini menyatakan bahwa peradilan syariah dalam kasus yang melibatkan penuntut muslim berwenang untuk menangani setiap perkaea menyangkut perkawinan, perceraian, perwalian terhadap anak yang belum dewasa atau perwalian nikah...., wakaf, hibah, waris, wasiat, pengampunan, dan perwalian untuk orang yang hilang.[50] Qadhi Agung dan peradilan syariat ditunjuk oleh gubernur jenderal Sudan dan bertugas di bawah otoritas langsung dari seorang pejabat kolonial. Hak untuk mengeluarkan edaran hukum yang akan mengatur keputusan-keputusan dan prosedur peradilan diserahkan kepada Qadhi Agung.
            Dalam prakteknya edaran ini berfungsi menentukan arah perkembangan hukum Islam di Sudan. Pada keseluruhan abad ke-20 hingga terjadinya islamisasi hukum 1983 perkembangan signifikan dalam periode ini meliputi pembaharuan dalam undang-undang perceraian dengan memperkenalkan perceraian yudisial untuk kasus wanita yang terbukti disakiti atau diperlakukan dengan kejam, perluasan hak-hak wanita atas nafkah setelah perceraian dan atas pemeliharaan anak menurut keadaan-keadaan khusus, penegasan atas hak wali nikah (biasanya ayah) yang dikeluarkan pada tahun 1930-an untuk mengikat perjanjian pernikahan bagi seorang waanita, akhirnya diakui oleh edaran yang dikeluarkan pada tahun 1960-an dan pengaturan wakaf dengan menyebut nama-nama anggota keluarga guna menghindari pemihakan kepada kerabat-kerabat tertentu yang jika itu terjadi akan melanggar hukum al-Qur’an mengenai kewarisan.[51]
            Analiss terhadap edaran-edaran ini menunjukkan bahwa peran ulama di bawah pemerintahan pemerintahan kolonial bukanlah peran yang sepenuhnya tersubordinasi dan kemerdekaan pemikiran serta tindakan yang diberikan oleh mekanisme edaran hukum itu pada kenyataannya dikejar oleh mereka sebagai satu-satunya golongan yang absah sebagai penjaga keimanan di bawah pemerintahan asing.
            Sudan merdeka pada bulan Januari 1956. Negara Sudan merdeka menghadapi problem besar untuk menegakkan sebuah rezim nasional yang stabil. Perpecahan agama, beberapa benturan keras antara gerakan orang-orang yang komitmen terhadap konsep Islam-Arab sehubungan identitas Sudan dan elit militer yang komitmen terhadap konsep sekuler kebangsaan Sudan, menjadikan negara Sudan merdeka sulit menstabilisasikan rezim politik. Perselisihan sekitar konsep nasionalisme diperparah oleh perpecahan muslim-Arab Utara dan muslim-Arab selatan.[52]
            Islam Sudan pernah mengalami pembongkaran besar-besaran terhadap tembok pembatas geografis yang dibangun di zaman pertengahan oleh mazhab-mazhab yang berbeda-beda. Dukungan resmi oleh pemerintahan pusat Utsamani terhadap doktrin Hanafi telah mengakibatkan mapannya peradilan Hanafi di propinsi-propinsi kerajaan ini. Padahal penduduknya adalah penganut mazhab lain. Praktek peradilan di Sudan pelan-pelan menelorkan penggabungan antara sistem hukum Hanafi dan sistem hukum Maliki.[53]
            Sudan yang mayoritas penduduknya bermazhab Maliki dan Syafi’i sebelum dikuasai oleh Mesir, belum memiliki undang-undang keluarga yang terkodifikasi. Peraturan tentang hukum perkawinan dan perceraian diatur dalam bentuk ketetapan-ketetapan hakim yang terpisah-pisah.[54]
            Sama halnya dengan Syria, pembaharuan yang dilakukan dalam bidang kewarisan juga berdasarkan undang-undang kewarisan Mesir tahun 1943, dimana berdasarkan undang-undang ini suami istri tidak mendapat sisa harta apabila ahli waris dzu al-furudh, ashabah, dan dzu al-arham tidak ada. Tetapi berdasarkan surat edaran no 26 tahun 1925 tentang kewarisan terdapat sedikit perbedaan dengan negara Mesir dan Syria. Dalam out line 395 surat edaran tersebut dinyatakan bahwa: suami istri hanya bisa mendapatkan sisa harta jika yang meninggal itu mempunyai keturunan yang tidak diketahui.[55]
4.      Tunisia      
Tunisia terletak di daerah Afrika Utara, mayoritas penduduk muslim adalah bermazhab Maliki.[56] Kaum Hanafi membentuk minoritas kecil, tetapi istimewa termasuk dinasti Bey terakhir. Mereka hampir semuanya keturunan bangsa Turki yang membawa mazhab hanafi ke Tunisia dan yang memberi pengaruh penting di negri ini sejak awal abad ke-16 sampai protektorat Perancis datang. Ketika protektorat Prancis datang pada tahun 1883, sekolah mesjid Zaitunnah lama dianggap sebagai salah satu pusat kajian keislaman klasik terkemuka. Pada waktu ini, baik mazhab Hanafi maupun Maliki sudah terkukuhkan dengan baik di Tunisia. Sepanjang periode protektorat, Perancis menyerahkan soal-soal status perorangan seperti perkawinan, perceraian, waris, dan kepemilikan tanah pada yurisdiksi pengadilan syari’at yang dikepalai oleh hakim-hakim Maliki dan Hanafi.[57]
Pada bulan Maret 1956 Perancis secara resmi mengakui kemerdekaan Tunisia. Pada tahun yang sama, presiden baru Habib Bouguiba teguh menjalankan sekularisasi masyarakat Tunisia secara drastis, mirip dengan program Mustafa al-Taruk. Kitab hukum perorangan diberlakukan pada tahun 1956 yang melarang poligami dan memasukkan perkawinan dan perceraian ke dalam perkara sipil. Kitab hukum tersebut juga memberikan persamaan hak kepada wanita (istri). Pada tahun 1960 puasa ramadhan dikecam sebagai penghambat produktifitas.[58]
Undang-undang hukum keluarga pertama yang berlaku di Tunisia adalah undang-undang hukum keluarga tahun 1956. Undang-undang ini terdiri dari 170 pasal yang mulai diberlakukan pertama kali tanggal 1 Januari 1957. Undang-undang tahun 1956 mengalami perubahan dan penambahan dengan ketentuan-ketentuan baru sebanyak enam kali.[59]
Pada tahun 1981 ditetapkan sebuah undang-undang baru yang merupakan modifikasi dari undang-undang tahun 1956. Undang-undang tahun 1981 ini berdasarkan rekomendasi dari sebuah komite yang terdiri dari ahli hukum yaitu pengacara, hakim, dan pengajar hukum yang diketuai oleh menteri hukum. Proposal komite ini berdasarkan kepada interpretasi bebas terhadap hukum syari’ah yang berhubungan dengan hak-hak keluarga.[60]
Persoalan radd diatur dalam pasal 143 A undang-undang hukum keluarga 1956. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa apabila ashabah tidak ada untuk menghabiskan sisa harta, maka sisa harta tersebut dikembalikan kepda seluruh dzu al-furudh sesuai dengan saham mereka masing-masing.[61]

Analisis komparatif
            Terlihat adanya perkembangan yang cukup menarik untuk dikaji lebih jauh terhadap perundang-undangan hukum keluarga yang terdapat di negara Mesir, Syria, Sudan, dan Tunisia. Secara horizontal terdapat perbedaan yang cukup beragam mengenai radd atau sisa harta untuk suami istri dalam kewarisan. Kitab undang-undang hukum waris Mesir menetapkan adanya radd untuk dzu al-furudh selain suami istri. Menurut undang-undang ini pada prinsipnya suami istri tidak bisa menerima radd kecuali kalau salah seorang suami istri meninggal dan tidak meninggalkan seorang ahli waris ashabah, atau dzu al-furudh, atau salah seorang dzu al-arham, maka salah seorang suami istri itu dapat menerima radd. Pemberian radd pada salah seorang suami istri itu –menurut undang-undang- harus diakhirkan dari pada kewarisan dzu al-arham.
            Ketetapan yang sana tentang radd ini juga dilakukan oleh negara Syria. Karena dalam masalah kewarisan Syria  masih memakai hukum kewarisan Mesir yaitu undang-undang tahun 1943. oleh karena itu kedua negara itu menghasilkan hukum yang sama tentang raddi untuk suami istri.
            Berbeda halnya dengan Sudan yang walaupun juga memakai hukum waris Mesir, menetapkan hukum yang sedikit perlainan dengan negara Mesir dan Syria. Suami istri baru bisa mendapatkan sisa harta jika yang meninggal itu mempunyai keturunan yang tidak diketahui ( bisa juga dikatakan tidak mempunyai keturunan). Di sinilah letaknya perbedaan antara Mesir, Syria, dengan sudan. Nampaknya undang-undang kewarisan Sudan melihat bahwa keturunan yang tidak diketahui dianggap tidak ada, sehingga sisa harta bisa diberikan kepada suami istri.
            Keberanjakan horizontal tentang radd untuk suami istri terlihat sangat jelas jika dibandingkan dengan negara Tunisia. Sebagai negara jajahan Perancis, Tunisia melalulan usaha pembaharuan yang paling radikal. Bahkan Tunisia adalh negara Timur Tengah yang pertama kali menawarkan beberapa gagasan pembaharuan hukum keluarga Islam yang sama sekali berbeda dengan kitab-kitab fikih. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosio-politik pada saat itu di mana pemerintah menginginkan  sekularisasi dan memperlemah posisi ulama yang selama ini memiliki pengaruh dan basis kekuatan politik sendiri, dengan cara memisahkan ulama dari sumber-sumber materil independen dan meletakkannya di bawah kontrol pemerintah.[62] Oleh karena itu dalam undang-undang kewarisan Tunisia menetapkan bahwa suami istri mempunyai kedudukan yang sama dengan dzu al-furudh lainnya sehingga merekapun berhak untuk mendapatkan  sisa harta dalam kewarisan.
            Secara vertikal keberanjakan hukum dalam perundang-undangan di empat negara ini jug terlihat dengan jelas. Dapat dikatakan ketentuan tentang radd ini bertentaangan dengan doktrin tradisional dari mazhab fikih yang ada. Mayoritas ulama sepakat untuk tidak memberikan sisa harta kepada suami istri, nahkan Imam Malik dan Imam Syafi’i  tidak mengakui adanya radd. Hanya Usman bin Affan saja yang memberikan sisa harta kepa dzu al-furudh secara mutlak.
            Pemberian sisa harta kepada suami istri ketika tidak ada dzu al-furudh,  ashabah, dan dzu al-arham dalam undang-undang Mesir yang menganut mazhab Syafi’i, bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam fikih Syafi’i. Dalam fikih Syafi’i ditetapkan apabila terdapat sisa harta, maka harta itu dikembalikan kepada     dzu al-furudh selain suami istri. Inipun apabila baitul mal tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Bahkan menurut Imam al-Syafi’i sendiri apabila terdapat sisa harta, harus dikembalikan ke baitul mal tidak dikembalikan kepada dzu al-furudh.
            Syria yang bermazhab Hanafi juga memperlihatkan keberanjakan vertikal yang cukup jelas. Dalam mazhab Hanafi, suami istri tidak mendapat radd, sedangkan Syria menetapkan hukum yang berbeda di mana suami istri mendapat sisa harta apabila tidak ada ahli waris lain.
            Sudan yang bermazhab Maliki menetapkan ketentuan yang juga berbeda dengan mazhab yang dianutnya. Sama halnya dengan Imam al-Syafi’i, Imam Malik juga tidak menerima adanya radd walaupun kemudian pengikiyt Imam Malik belakangan  menerima adanya radd tetapi tidak untuk suami istri. Ketentuan ini sangat berbeda dengan undang-undang Sudan yang memberikan sisa harta kepada suami istri jika mereka satu-satunya ahli waris yang ada.
            Tunisia yang juga bermazhab Maliki menetapkan hukum yang sangat berbeda dengan mazhab fikih yang dianutnya. Tunisia mengesampingkan aturan Maliki yang menetapkan bahwa sisa harta jika tidak ada ashabah akan dikembalikan ke baitul mal. Sebagai gantinya Tunisia mengambil doktrin radd, dimana sisa harta dikembalikan kepada ahli waris. Undang-undang Tunisia membolehkan suami istri mengambil bagian dari sisa harta, memberikan sisa harta kepada seluruh ahli waris secara mutlak. Nampaknya dalam kasus radd ini Tunisia memakai pendapat Usman bin Affan yang memberikan sisa harta kepada seluruh dzu al-furudh.
            Dari empat negara tersebut dapat diketahui bahwa tiga negara yaitu Mesir, Syria, dan Sudan dalam menetapkan kasus radd lebih mendekati pendapat mayoritas ulama. Pada prinsipnya ketiga negara ini tidak memberikan radd kepada suani istri. Tetapi ketiga negara ini melangkah lebih maju sedikit bahwa suami istri bisa mengambil sisa harta dengan memberikan persyaratan. Mesir dan Syria mensyaratkan  harus merekalah satu-satunya ahli waris yang ada. Sementara itu Sudan melangkah lebih mau lagi dari pada Mesir dan Syria. Sudan mensyaratkan bahwa suami istri bisa memperoleh sisa harta apabila yang meninggal itu mempunyai keturunan yang tidak diketahui. Tunisia merupakan negara yang paling berani berbeda dengan pendapat mayoritas ulama. Undang-undang kewarisan Tunisia memberikan radd kepada suami istri  tanpa persyaratan sebagaimana yang ditetapkan oleh UU di tiga negara sebelumnya.
            Dari penetapan Undang-Undang ke empat negara di atas terlihat selimut taklid yang hingga saat itu menyelubungi aktifitas para pembaharu, mulai nampak usang. Dalam rangka mencari pengabsahan dari sejumlah spekulasi pemikiran hukum , para pembuat undang-undang melangkah lebih jauh melewati batas-batas sah yang ditetapkan oleh yurisprudensi hukum tradisional. Pandangan-pandangan perseorangan dan dari sudut ortodok, eksentrik yang dikemukakan oleh ulama-ulama silam, dibangunkan dan dibangkitkan kembali setelah dicampakkan oleh kesepakatan pendapat mayoritas ulama.
            Secara diagonal dapat dilihat bahwa Tunisia melangkah paling depan dengan memberikan sisa harta kepada seluruh ahli waris secara mutlal. Keberanjakan yang dilakukan Tunisia ini sangat liberal dihadapan doktrin fikih yang dianutnya. Karean membolehkan sesuatu yang berbeda dengan mazhab Maliki. Hal ini juga sedikit terlihat di negara Sudan. Mesir dan syria walaupun memberikan sisa harta kepada salah seorang suami istri, tetapi dengan syarat harus merekalah satu-satunya ahli waris yang ada.
Kesimpulan
            Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa empat negara yang menjadi kajian dalam tulisan ini telah melakukan pembaharuan hukum keluarga. Terkait dengan masalah kelebihan harta dalam kewarisan sementara ahli waris ashabah tidak ada untuk menghabiskan harta yang berlebih, yang ada hanya dzu al-furud termasuk suami istri, maka keempat negara menetapkan bahwa suami istri mendapatkan sisa harta walaupun ada negara yang menetapkan  syarat-syarat tertentu. Mesir dan Syria mensyaratkan harus merekalah –suami atau istri- satu-satunya ahli waris yang ada, Sudan mensyaratkan apabila yang meninggal mempunyai keturunan yang tidak diketahu, sedangkan Tunisia tidak memberikan syarat apapun dalam arti sisa harta diberikan kepada seluruh ahli waris. Pembaharuan kewarisan dalam masalah radd  yang dilakukan oleh keempat negara ini berbeda dengan mazhab fikih yang mereka anut.
            Oleh karena itu terlihat metode pembaharuan yang digunakan oleh keempat negara Islam di atas adalah intra-doctrinal reform yaitu reformasi hukum keluarga Islam dengan mengambil pendapat lain selain dari mazhab utama yang mereka anut.




DAFTAR PUSTAKA

A.Mughni, Syafiq, (ed), An Anthologi of Contemporary Middle Eastern History, Canada: Montreal, t.th

Abdullah, Taufik, (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002

Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam wa Tirkah wa al-Mawaris, Cairo: Dar al-Fikr, 1963

Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th

Ibn Qudamah, al-Mughni, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, T.tp: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1969

J. Coulson,Noel, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, pent. Hamid Ahmad, Jakarta: P3M, 1987

L. Esposito, John, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Terj. Eva YN, dkk, Bandung: Mizan, 2001

 M. Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam, pent. Ghufran A.Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999

M. Zein, Satria Effendi, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta: Paramadina, 1995

Mahmood,Tahir, Personal Law in Islamic Countries, New Delhi: Times Press, 1987

------- Family Law Reform in The Muslim World, New Delhi: India Press, 1972

Al-Mawardi, Muhammad ibn Habib, Al-Hawi al-kabir, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999

Mudzhar, Atho, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998

Mughniyah, Muhammad Jawad ,Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad,  Yakarta: Basri Press, 1994

Mujieb, M. Abdul dkk, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995

Musa, Muhammad Yusuf, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, Cairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1959

Nasution,Khairuddin, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002

Peretz, Don, The Middle East Today,(New York: Ibnghamtom, 1983

Qal’ah Ji, M. Rawwas dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, Bairut: Dar al-Nafais, 1998

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975

Al-Sabiq,Sayid, Fiqh al-Sunnah, T.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th

Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Abd al-Rahman ibn Abi Bakar, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris,Al-Umm, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993

-------, Al-Risalah, Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, t.th

Syarifuddin,Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta; Gunung Agung, 1984

-------, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004

Al-Tarmizi, Muhammad ibn Isa Surah, Sunan al-Tarmizi,  Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000

Yafie,Ali, Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Jakarta: Paramadina, 1995

Al-Zuhaili,Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989


[1] Penulis adalah Tenaga Pengajar pada STAIN Bukittinggi
[2] Ali Yafie, Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 300-301.  Terdapat dua sisi tajdid dalam kehidupan beragama umat Islam, yaitu sisi defensive dan sisi efensif. Sisi defensive bertujuan untuk memelihara dan mempertahankan kemurnian ajaran Islam dan sisi efensif bertujuan untuk memberi ruang gerak bagi dinamika kehidupan dalam rangka penerapan dan penjabaran asas-asas kepercayaan atau keimanan dan bimbingan keagamaan dalam tata pergaulan kehidupan. Di sinilah berperan lembaga ijtihad yang merupakan sarana sekaligus sebagai pengendali gerak masyarakat dan dinamika kehidupannya supaya tetap berkembang di atas prinsip dan dalam pola umum kehidupan beragama. Lihat Ali Yafie, Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, h. 302
[3] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 175
[4] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 174-175. hal yang sama juga dikemukakan oleh Satria Efendi, bahwa pada abad ke-19 hubungan negara-negara Islam seperti Turku Usmani dan Mesir dengan dunia Barat berpengaruh besar terhadap sikap umat Islam. Perubahan-perubahan di kalangan mereka membuat hukum Islam yang dipahami secara kaku tersebut menjadi lebih terpojok. Ada yang mengatakan bahwa umat Islam waktu itu sedang berada di persimpangan jalan. Satu jalan bertahan dalam bentuk fikih semula, satu jalan lagi umat Islam perlu mengadakan perubahan pemaham fikih sejauh yang menyangkut ijtihad dan satu jalan lagi hukum Islam harus disingkirkan dan digantikan oleh hukum lain. Lihat Satria Effendi M. Zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA,  h. 287
[5] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, (New Delhi: Times Press, 1987), h. 12. Tiga belas aspek UU yang diperbaharui itu adalah 1) batasan umur pasangan yang hendak kawin; 2) Pembatasan peran wali dalam perkawinan; 3) Keharusan pencatatan perkawinan; 4) Kemampuan ekonomi dalam perkawinan; 5) Poligami dan hak-hak istri dalam poligami; 60 Nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal; 7) Talak di muka pengadilan; 8) Hak-hak wanita yang dicerai suaminya; 9) Masa kehamilan dan implikasinya; 10) Hak dan tanggung jawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian; 11) Hak waris keluarga dekat –suami, istri, anak perempuan, saudara laki-laki dan perempuan, kakek, dan anak dari anak yang telah terlebih dahulu meninggal; 12) Wasiat wajibah; 13) Keabsahan dan pengelolaan wakaf keluarga. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 12. Lihat juga Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi, h. 178. Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 6
[6] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: India Press, 1972), h. 289-290
[7] M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 288. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta; Gunung Agung, 1984), h. 103. Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (T.tp: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), Jilid III, h. 306
[8] Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 306
[9] Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 306
[10] Taufik Abdullah, (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Jilid 3, h. 116. M. Rawwas Qal’ah Ji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, (Bairut: Dar al-Nafais, 1998), h. 358. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), h. 358. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1975), h. 616
[11] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), Juz 4, h. 100. Lihat juga Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risalah, (Beirut: Maktabah al-Ilmiyah, t.th), h. 586. Muhammad ibn Habib al-Mawardi, Al-Hawi al-kabir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), Juz 8, h. 183. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (T.tp: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1969), Juz 2, h. 380. Muhammad Abu Zahrah, Ahkam wa Tirkah wa al-Mawaris, (Cairo: Dar al-Fikr, 1963), h. 202. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Kitab al-Arabi, 1959), h. 326. Muhammad Ali al-Sais, Tafsir Ayat al-Ahkam, (T.tp: t.pn, t.th), Juz II, h. 53. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 358. Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 105
[12] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 424-425
[13] Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Umm, Juz 4, h. 100. Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risalah, h. 586. Muhammad Abu Zahrah, Ahkam wa Tirkah wa al-Mawaris, h. 202. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h. 327
[14] Muhammad ibn Isa Surah al-Tarmizi, Sunan al-Tarmizi,  (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), Jilid 3, h. 178-179. hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Ibn Majah. Lihat Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz 2, h. 905
[15] Muhammad Ali al-Sais, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz II, h. 53.
[16] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 426. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h. 328. Muhammad Ali al-Sais, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz II, h. 53.
[17] Ibn Qudamah, al-Mughni, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), Juz 7, h. 46
[18] Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 426
[19] Muhammad Abu Zahrah, Ahkam wa Tirkah wa al-Mawaris, h. 202
[20] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz 2, h. 380
[21] Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 358
[22] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Adat Minangkabau, h. 103. Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 306
[23] Jalal al-Din, Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), Jilid 3, h. 373
[24] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz 2, h. 381,  Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz 7, h. 47
[25] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Terj. Afif Muhammad, ( Yakarta: Basri Press, 1994), h. 357
[26] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 27
[27] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Terj. Eva YN, dkk, (Bandung: Mizan, 2001), Jilid 4, h. 48
[28] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 48
[29] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, h. 49
[30] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 115. Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 27. Mesir semenjak tahun 1875 melangkah lebih jauh dalam mengambil hokum perancis sebab di samping mengundangkan undang-undang hokum pidana, dagang, dan maritim  serta membentuk sistim peradilan sekuler guna menerapkan semua undang-undang ini, Mesir juga mengundangkan kode sipil (hokum perdata) yang pada dasarnya disusun dengan meniru undang-undang Perancis dan hanya beberapa saja yang diambil dari syari’ah. Lihat Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, pent. Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987), h. 178
[31] Usaha pembaharuan ini terhambat setelah meletusnya perang dunia I. Perang dunia I memusatkan keinginan Mesir untuk bebas dari belenggu asing. Deklarasi tentang pemerintahan protektorat  Inggris, hukum keluarga, dan merebaknya kesengsaraan hidup, meningkatkan perlawanan bangsa Mesir terhadap pemerintahan Inggris. Pada akhir perang dunia ini, sebuah delegasi (wafd) dipimpin oleh Sa’ad Zaghul yang diilhami oleh proklamasi Woodrow Wilson, menuntut kemerdekaan penuh. Zaghul mampu memobilisir dukungan massa dan dalam rentang masa 3 tahun pertempuran dari tahun 1919 sampai 1922 memaksa pihak Inggris untuk mengakhiri protektoratnya. Pada tahun 1922 Mesir berobah sebagai negara semi independen di bawah bimbingan Inggris. Seorang raja mesir dari sebuah dinasti yang didirikan oleh Muhammad Ali dan sebuah parlemen, menjalankan urusan dalam negeri Mesir. Sedangkan kebijakan luar negeri, urusan militer, urusan yang berkaitan dengan Sudan dan yurisdiksi atas segala orang asing berada dalam kewenangan Inggris. Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, pent. Ghufran A.Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 114
[32] Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 94
[33] Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 116. Terdapat beberapa poin yang cukup menarik yang tidak mengacu lagi kepada kitab fikih atau pendapat ulama klasik, di antaranya adalah pengucapan talak secara tidak sengaja, tidak sah,  talak tiga dianggap tidak ada sama sekali, wasiat wajibah diberlakukan, istri yang dicerai dan anak-anaknya harus diberi rumah tempat tinggal, saudara seibu dan sebapak tidak boleh dihijab oleh kakek, sistem wakaf dihapuskan sama sekali. Lihat Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad : Antara Tradisi dan Liberasi,h. 116.
[34] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 129. Upaya untuk menciptakan identitas dan negara Islam hanya sebagian saja yang berhasil. Sentimen muslim di negara ini tetap besar pengaruhnya dan bebas dari pengendalian negara. Hal ini disebabkan karena: 1) Latar belakang loyalitas keislaman yang mendalam sehingga tidak dapat dibasmi melainkan hanya sekedar tersisih di kalangan elit pemerintahan. Loyalitas keislaman tidak dapat diganti sepenuhnya dengan loyalitas nasional, sekuler dan sosialis 2) Meskipun ulama dan lembaga islam yang resmi berada di bawah kontrol negara, namun para juru dakwah, misionaris, dan guru-guru yang independen secara aktif berusaha membangkitkan komitmen terhadap Islam. 3) Situasi sosial politik akhir dekade 1960-an dan 1970-an  memberikan tumpuan baru bagi loyalitas keagamaan. Kekalahan dalam perang tahun 1967 dengan Israel, kegagalan dalam menyelesaikan problem Palestina dan kegagalan dalam pembangunan ekonomi menghantarkan pada penghapusan kebijakan sekuler dan sosialis. Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 130. Ketika kelompok free officer yang dipimpin oleh Nasser berkuasa pada tahun 1952, Mesir berada di bawah institusi Islam. Depertemen wakaf digunakan untuk memetapkan kebijakan melebihi ulama, khutbah jumat dipersiapkan oleh pemerintah. Isi khutbah berhubungan dengan kesehatan, pendidikan, persoalan-persoalan baru dan hal-hal yang berhubungan dengan  pendidikan kaum tani. Lihat Don Peretz, The Middle East Today, (New York: Ibnghamtom, 1983), h. 256
[35] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 29-30
[36] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 55. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, h. 427. Sayid al-Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, h. 307. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 360. Muhammad Yusuf Musa, al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, h. 330-331.
[37] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 139
[38] Don Peretz, The Middle East Today, h. 396
[39] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Jilid 5, h. 269
[40] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Jilid 5, h. 270
[41] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam, Jilid 5, h. 272-273. Lihat juga Syafiq A.Mughni, (ed), An Anthologi of Contemporary Middle Eastern History, (Canada: Montreal, t.th), h.3-4
[42] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 139-140
[43] Buku pertama tentang perkawinan berisi: perkawinan dan pertunangan, unsur-unsur dan syarat-syarat perkawinan. Buku kedua tentang pembubaran perkawinan, berisi: talak, khuluk, perceraian di depan pengadilan dan akibat bubarnya perkawinan. Buku ketiga tentang melahirkan dan akibatnya, berisi: nasab, pengasuhan anak, susuan, dan nafkah keluarga. Buku keempat tentang kecakapan dan perwalian hukum. Buku kelima tentang wasiat berisi: prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan wasiat. Buku keenam tentang kewarisan berisi: prinsip-prinsip umum, penghalang kewarisan, zul furudh, ashabah, radd, zul arham, anak angkat, dan peraturan kewarisan lainnya. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 140-141
[44] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 141
[45] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 90-91
[46] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 129
[47] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam,  Jilid 5, h. 201
[48] Mazhab Hanafi diaplikasikan di Sudan untuk penetapan hukun Islam, walaupun mayoritas muslim bermazhab Maliki. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 141
[49] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam,  Jilid 5, h. 204
[50] Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, h. 183
[51] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam,  Jilid 5, h. 204
[52] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 478. Selama sebagian besar periode pasca kemerdekaan Sudan diperintah oleh rezim-rezim nasionalis dan militeris sekuler yang membuat persoalan tentang hukum Islam dan institusi-institusi muslim keluar secara resmi dari arena politik. Sungguhpun demikian, isu-isu tentang status dan masa depan Islam telah menjadi bagian hakiki dari agenda-agenda politik, entah dari mereka yang mengusahakan sebuah negara sekuler, multi bangsa, dan multi agama yang diakhiri dengan perang saudara antara Sudan Utara dengan Sudan Selatan, maupun di antara mereka yang mengupayakan peran yang lebih besar bagi pemerintahan dan hokum Islam di dalam sebuah negri yang didominasi oleh kaum muslimin. Lihat John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam,  Jilid 5, h. 205
[53] Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, h. 212-213
[54] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 69. Diantara ketetapan-ketetapan hakim itu adalah: 1) Hukum tentang nafkah dan perceraian di depan pengadilan dalam manshur 17 tahun 1916. 2) Hukum tentang orang-orang yang hilang dalam manshur 24 tahun 1921. 3) Hukum tentang kewarisan dalam manshur 26 tahun 1925. 4) hukum tentang nafkah dan perceraian di depan pengadilan dalam manshur 28 tahun 1927. 5) Hukum tentang pemeliharaan anak dalam manshur 34 tahun 1932. 6) Hukum tentang  talak, syiqaq, dan hibah dalam manshur 41 tahun 1935. 7) hukum tentang perwalian harta dalam manshur 48 tahun 1937. 8) Hukum tentang kewarisan dalam manshur  51 tahun 1943. 9) Hukum tentang wasiat dalam manshur 53 tahun  1945. 10) Hukum tentang  wali nikah dalam manshur 54 tahun 1960. Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya, pada tahun 1983-1984 diundangkan sejumlah hukum baru, di antaranya adalah: 1) UU Pidana tahun 1983. 2) UU Hukum Acara Pidana tahun 1983. 3) UU Saksi tahun 1983. 4) UU Pengadilan tahun 1983. 5) UU Hukum Acara Perdata tahun 1983.  6) UU tentang Pengambilan Keputusan di pengadilan tahun 1983. 7) UU Perdagangan tahun 1984.Undang-undang baru ini dibuat berdasarkan  berbagai macam mazhab dalam Islam. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 130-131 dan 133
[55] Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 68
[56] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 151
[57] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam,  Jilid 6, h. 56-57
[58] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, h. 236
[59] Perubahan tersebut adalah: UU No. 70 tahun 1958. yang dirubah adalah pasal 13 tentang poligami, UU No. 77 tahun 1959. Pasal yang dirubah adalah pasal 143 A tentang radd, buku IX tentang kewarisan, buku XI tentang wasiat, UU No 41 tahu 1961. Pasal yang dirubah adalah pasal 32 tentang perceraian adalah, UU No. 17 tahun 1964 yang dirubah adalah buku XII tentang hibah, terakhir  UU No. 49 tahun 1966 yang dirubah adalah pasal 57, 64, dan 67 tentang pemeliharaan anak. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 152-155 
[60] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h.154-155
[61] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, h. 155. Lihat juga Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, h. 104
[62] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam,  Jilid 6, h. 58

Tidak ada komentar:

Posting Komentar