Sabtu, 12 Desember 2015

Dinamika Pendidikan Islam



DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN A. MALIK FADJAR
OLEH:  Muh.Idris

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN  Manado
e-mail :idrispasca_uin@yahoo.co.id


Abstract
A.Malik Fadjar menempati posisi yang strategis dan dinamis dalam sejarah perjalanan dunia pendidikan di Indonesia. Ia adalah satu-satunya tokoh pemikir, birokrat dan praktisi pendidikan yang pernah menduduki posisi puncak dua departemen yang menangani pendidikan di tanah air. Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Dengan posisi yang strategis dan dinamis itu A.Malik Fadjar memiliki kredibilitas yang kuat untuk mengatasi dikotomi pendidikan Islam dan pendidikan umum menuju kemajuan. Gagasan dan kebijakannya selalu mendapat respon positif dan konstruktif bagi kemajuan pendidikan. Salah satu praksis pemikirannya telah membawa perubahan yang signifikan pada pengembangan UMM dan UMS waktu itu, merubah status fakultas cabang di lingkungan IAIN menjadi STAIN. Sedangkan IAIN sendiri sebagai induknya tidak bisa memperhatikan,  mengelola dan mengembangkannya dengan baik. Keberadaan fakultas filial bertentangan dengan UU dan juga cenderung sulit maju. Setelah menjadi STAIN diharapkan mampu berkembang dengan cepat dan dapat berkompetisi di era global. Dalam konteks sejarah pemikiran pendidikan, A.Malik Fadjar membuka horizon keilmuan di PTAI yang lebih universal dan dinamis yang dapat bersaing dengan sekolah umum. Semangat tersebut tentunya harus dilanjutkan agar dunia pendidikan selalu dinamis dan strategis dalam merespon tantangan globalisasi, modernisasi dan otonomisasi. Visi pengembangan pendidikan A.Malik Fadjar cenderung bermuara pada aktualisasi keilmuan yang praksis penerapannya menjadi teknologi yang memiliki pengaruh dinamis dan fungsional di masyarakat. A.Malik Fadjar menyatakan bahwa konsep saleh, takwa dan insîn kâmil sebagai parameter dari manusia yang baik. Pemaknaan terhadap konsep ini terkesan masih jauh dari gambaran cita ideal manusia yang diharapkan. Ironisnya masih saja dijumpai pandangan bahwa yang disebut dengan kesalehan dan ketakwaan adalah jika intensitas ritual seseorang tinggi. Karena persoalan yang paling men­dasar belum diselesaikan secara tuntas.Oleh karena itu pendidikan Islam dihadapkan pada persoalan ketidakjelasan orientasi kultural. Bukti dari adanya persoalan ini nampak pada belum diselesaikannya hubungan Islam dengan modernitas.  Dengan hanya menyebut dua bidang persoalan fundamental tersebut sudah bisa dijadikan kerangka hipotesis dalam menilai kemampuan pendidikan Islam dalam memposisikan dan memerankan dirinya di masa depan


 Kata kunci: A.Malik Fadjar, Kelahiran dan aktivitas keilmuan, Dinamika Pendidikan Islam,

A. Pengantar
 A.Malik Fadjar merupakan salah satu sosok tokoh yang bersejarah di Indonesia yang menghilangkan suasana dikotomi dan dualisme menuju otonomi dan pembaruan dalam pendidikan. Visi pembaruan A.Malik Fadjar berpijak pada konsep tauhid yang bermuara pada integrasi keilmuan yaitu sains (zikir) dan teknologi (fikir).[1] Dengan terintegrasinya keilmuan tersebut pendidikan Islam tidak kalah bersaing dengan pendidikan umum. Oleh karena itu A. Malik Fadjar sangat mendukung perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN. Dengan demikian IAIN/STAIN secara praksis menjadi lembaga pendidikan yang lebih berkualitas, kompetitif dan memiliki nilai jual yang tinggi dalam merespon tantangan otonomisasi dan globalisasi.
 Untuk membangun peradaban dunia yang kompetitif, damai dan humanis  diperlukan sumbar daya manusia yang berkualitas melalui pendidikan. Oleh karena itu A.Malik Fadjar berpendapat bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang. Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia.[2] Hal ini sejalan dengan pendapat John Dewey (1859-1952)[3] yang menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan hidup,[4] salah satu fungsi sosial, sebagai bimbingan, dan sebagai pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup. Fungsi pendidikan ini dapat dicapai melalui transmisi, baik dalam bentuk (pendidikan) formal maupun non formal.[5]
A.Malik Fadjar berpendapat bahwa pendidikan dalam makna yang luas pada hakekatnya menyangkut masa depan hidup dan kehidupan umat manusia dalam membangun peradaban. Di masa sekarang dan yang akan datang pengelolaan pendidikan harus lebih demokratis dalam bentuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat.[6] Pendidikan sebagai pemutus rantai sejarah kehidupan manusia dari kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan menuju kemajuan dan pembaruan.
 A.Malik Fadjar dikenal sebagai tokoh pembaru dan praktisi pendidikan sekaligus berada pada posisi yang strategis dalam mengambil kebijakan baik sebagai Rektor, Dirjen Bagais, Menag, dan Mendiknas. Gagasan dan kebijakannya selalu mendapat respon positif dan konstruktif bagi kemajuan pendidikan. Salah satu praksis pemikirannya telah membawa perubahan yang signifikan pada pengembangan UMM dan UMS waktu itu, merubah status fakultas cabang di lingkungan IAIN menjadi STAIN. Sedangkan IAIN sendiri sebagai induknya  tidak bisa memperhatikan,  mengelola dan mengembangkannya dengan baik. Keberadaan fakultas filial bertentangan dengan UU dan juga cenderung sulit maju. Setelah menjadi STAIN diharapkan mampu berkembang dengan cepat dan dapat berkompetisi di era global.
 Di samping melakukan perubahan dari fakultas cabang menjadi STAIN,[7] A.Malik Fadjar juga mulai membuka jalan dalam konsep wider mandate (mandat yang diperluas) yang merupakan pemberian izin bagi IAIN tertentu untuk membuka program studi di luar bidang agama. Gagasan  tentang wider mandate pada dasarnya bersumber dari Azyumardi Azra,[8] yang kemudian dapat  terwujud beberapa tahun kemudian dengan lahirnya tiga UIN yaitu UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, dan UIN Malang,[9] kemudian menyusul UIN Riau, UIN Makassar dan Bandung. Dengan perubahan itu diharapkan agar pengembangan SDM, akan lebih mandiri dan kompetitif guna merespons tantangan  otonomisasi dan globalisasi.
B.  Kelahiran dan Aktivitas Keilmuan  
A.Malik Fadjar lahir pada tanggal 22 Februari 1939 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Fadjar Martodiharja seorang guru SD/SR dan ibunya bernama Hj. Salamah Fadjar. Ia merupakan putera keempat dari tujuh bersaudara. Kecendikiawanan A.Malik Fadjar terbangun sejak kecil, melalui pendidikan awal yang  diperoleh dengan bimbingan ayahnya. Melalui ayahnya, A.Malik Fadjar banyak belajar ilmu agama dan keagamaan. Ayahnya selalu mengingatkan kepada anak-anaknya akan sebuah hadits Nabi SAW yang menyatakan, “Khair al-nâs anfa’uhum li al-nâs” (sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat/berguna bagi sesamanya).[10]
A.Malik Fadjar sudah menampakkan jiwa kepemimpinan mulai dari bangku SR (Sekolah Rakyat) 6 tahun (1952/1953), lalu PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) 4 tahun di Magelang (1956/1957), dan PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) 2 tahun di Yogyakarta (1958/1959). A.Malik Fadjar sudah mengepalai beberapa organisasi sekolah, ketua Pelajar PGP Magelang dan Pelajar PGAA Putra Yogyakarta (semacam OSIS-nya sekarang), kepemudaan/ kepramukaan, dan sebagainya. Jiwa kepemimpinan ini semakin nampak manakala A.Malik Fadjar memasuki dunia mahasiswa di STAIN Malang.[11] A.Malik Fadjar memiliki jiwa organisasi yang kuat, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan dalam mengapresiasi gagasan-gagasannya.
Setelah selesai PGAA A.Malik Fadjar mengembara ke NTB dan di sana ia menjadi guru agama di SDN Taliwang (1959-1960), guru SMI, guru agama pada SGBN Sumbawa Besar (1960-1961) dan guru agama pada SMPN Sumbawa Besar  (1961-1963), dan kepala SMEP. Selain mengajar, A.Malik Fadjar aktif menggerakkan kehidupan beragama (Islam) di masyarakat Sumbawa melalui pengajian-pengajian dan sekolah-sekolah diniyah. Aktivitasnya yang memasyarakat ini menyebabkan nama A.Malik Fadjar  begitu akrab di masyarakat Sumbawa, NTB. Tidak saja sebagai guru agama di sekolah-sekolah formal pemerintah, melainkan ia menampilkan diri sebagai manusia pelayan dan pengabdi kepada masyarakat.[12]
Pada tahun 1963 A.Malik Fadjar kembali ke Jawa karena panggilan tugas belajar, yaitu pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang dan menyandang gelar sarjana (Drs) pada tahun 1972. Sejak tahun 1972 hingga tahun 1999 ia mengabdi menjadi dosen dan guru besar pada almamaternya sendiri. Masa pengabdiannya berakhir ketika ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi S2 di Florida State University, The Departement of Educational Research, Development, and Foundation, Amerika Serikat dan memperoleh gelar Master of Science (M. Sc.) pada tahun 1981.[13]
B.  Kelahiran dan Aktivitas Keilmuan  
A.Malik Fadjar lahir pada tanggal 22 Februari 1939 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Fadjar Martodiharja seorang guru SD/SR dan ibunya bernama Hj. Salamah Fadjar. Ia merupakan putera keempat dari tujuh bersaudara. Kecendikiawanan A.Malik Fadjar terbangun sejak kecil, melalui pendidikan awal yang  diperoleh dengan bimbingan ayahnya. Melalui ayahnya, A.Malik Fadjar banyak belajar ilmu agama dan keagamaan. Ayahnya selalu mengingatkan kepada anak-anaknya akan sebuah hadits Nabi SAW yang menyatakan, “Khair al-nâs anfa’uhum li al-nâs” (sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat/berguna bagi sesamanya).[14]
A.Malik Fadjar sudah menampakkan jiwa kepemimpinan mulai dari bangku SR (Sekolah Rakyat) 6 tahun (1952/1953), lalu PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) 4 tahun di Magelang (1956/1957), dan PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) 2 tahun di Yogyakarta (1958/1959). A.Malik Fadjar sudah mengepalai beberapa organisasi sekolah, ketua Pelajar PGP Magelang dan Pelajar PGAA Putra Yogyakarta (semacam OSIS-nya sekarang), kepemudaan/ kepramukaan, dan sebagainya. Jiwa kepemimpinan ini semakin nampak manakala A.Malik Fadjar memasuki dunia mahasiswa di STAIN Malang.[15] A.Malik Fadjar memiliki jiwa organisasi yang kuat, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan dalam mengapresiasi gagasan-gagasannya.
Setelah selesai PGAA A.Malik Fadjar mengembara ke NTB dan di sana ia menjadi guru agama di SDN Taliwang (1959-1960), guru SMI, guru agama pada SGBN Sumbawa Besar (1960-1961) dan guru agama pada SMPN Sumbawa Besar  (1961-1963), dan kepala SMEP. Selain mengajar, A.Malik Fadjar aktif menggerakkan kehidupan beragama (Islam) di masyarakat Sumbawa melalui pengajian-pengajian dan sekolah-sekolah diniyah. Aktivitasnya yang memasyarakat ini menyebabkan nama A.Malik Fadjar  begitu akrab di masyarakat Sumbawa, NTB. Tidak saja sebagai guru agama di sekolah-sekolah formal pemerintah, melainkan ia menampilkan diri sebagai manusia pelayan dan pengabdi kepada masyarakat.[16]
Pada tahun 1963 A.Malik Fadjar kembali ke Jawa karena panggilan tugas belajar, yaitu pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel di Malang dan menyandang gelar sarjana (Drs) pada tahun 1972. Sejak tahun 1972 hingga tahun 1999 ia mengabdi menjadi dosen dan guru besar pada almamaternya sendiri. Masa pengabdiannya berakhir ketika ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi S2 di Florida State University, The Departement of Educational Research, Development, and Foundation, Amerika Serikat dan memperoleh gelar Master of Science (M. Sc.) pada tahun 1981.[17]
B. Karir Akademik
            Setelah selesai kuliah dari Fakultas Tarbiyah IAIN Malang, A.Malik Fadjar sempat menganggur. Namun masa pengagguran itu tidak berlangsung lama. Atas rekomendasi dari  Mukti Ali yang saat itu menjabat Menteri Agama RI A.Malik Fadjar diangkat menjadi sekretaris Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang (sekarang UIN Malang yang sebelumnya STAIN Malang) pada tahun 1973 dengan pangkat III A.[18] Setahun kemudian ia memperoleh pangkat akademik sebagai dosen III B.[19] Ketika pertama kali menjadi dosen A.Malik Fadjar merupakan dosen muda yang disegani. Gagasan-gagasan kependidikannya selalu mendapat respon dari banyak kalangan. Meskipun begitu tak jarang juga menuai banyak kritik, karena apa yang digagas A.Malik Fadjar cenderung menentang aturan-aturan birokrasi dan bahkan unpredictable. Sebagai contoh, A.Malik Fadjar menggagas lahirnya Forum Studi Pascasarjana (FSP) IAIN Sunan Ampel Malang yang berfungsi sebagai media komunikasi, diskusi, perdebatan, dan sekaligus wadah mencari solusi bagi pencerahan pendidikan Islam masa depan. Kinerja A.Malik Fadjar yang dianggap menyalahi aturan birokrasi adalah ketika diangkatnya KH. Abdurrahman Wahid sepulang dari Baghdad sebagai dosen luar biasa dengan pangkat dan golongan Penata Muda III / a (Asisten Ahli Madya) yang sebelumnya ditolak oleh IAIN Sunan Ampel Surabaya.[20] Hal tersebut merupakan ciri khas A.Malik Fadjar yang membawa kesuksesan untuk selalu memberanikan diri dalam melakukan amal kebajikan di luar aturan dan tidak bertentangan dengan semangat kebijakan tersebut.
            Jabatan sebagai sekretaris Fakultas Tarbiyah berakhir ketika A.Malik Fadjar mendapat kesempatan untuk meneruskan studinya di Florida State University dari pertengahan tahun 1979 sampai 1981.[21] Sepulang dari Amerika Serikat[22] dengan menyandang gelar Master of Science (MSc) A.Malik Fadjar kembali ke kampusnya bekerja sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel Malang. Melihat prestasi dan dedikasi A.Malik Fadjar dan pemikirannya yang semakin visioner sekembali belajar dari Amerika Serikat, UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) memintanya untuk mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Tidak berselang lama, setahun kemudian (1983) A.Malik Fadjar diangkat menjadi Dekan. Pada tahun yang sama ia pun dipercaya sebagai Rektor UMM.[23] Saat memulai sebagai Rektor, UMM adalah perguruan tinggi yang kondisinya sangat memprihatinkan sehingga kala itu ada julukan yang bernada sinis, Universitas Morat Marit, Universitas Mondar Mandir dan lain sebagainya. Kondisi UMM yang demikian digambarkan A.Malik Fadjar dengan istilah “Hidup segan mati tak mau”.[24]
            Keadaan perguruan tinggi yang demikian membuat A.Malik Fadjar harus bekerja ekstra keras. Setelah ia memahami kompleksitas persoalan yang dihadapi UMM, A.Malik Fadjar melakukan langkah terobosan-terobosan ke depan. Ia bercita-cita menjadikan UMM sebagai perguruan tinggi yang bergengsi dan berwibawa. A.Malik Fadjar berobsesi menjadikan UMM seperti Florida State University tempat ia kuliah. Keinginan-keinginan itu terbukti. Di akhir kepemimpinan A.Malik Fadjar awal tahun 2000, UMM sudah berkembang sangat pesat dan menjelma menjadi “The Future Campus”.
            Di tengah gencarnya membangun UMM pada tahun 1992, A.Malik Fadjar ditugaskan oleh PP Muhammadiyah menjadi rektor untuk menyelamatkan UMS (Universitas Muhammadiyah Solo) yang pada saat itu sedang dilanda konflik internal yang berkepanjangan dan berada diambang kehancuran. Atas kerja keras, keteguhan, dan kegigihan A.Malik Fadjar, UMS ini  dapat diselamatkan.  Lebih dari itu UMS mengalami perkembangan yang pesat. Setelah dianggap stabil pada tahun 1997 A. Malik Fadjar meletakkan jabatan Rektor UMS dan digantikan oleh Duchak Latief.[25]
            Ada beberapa kebijakan yang patut dicatat semasa UMM di bawah kepemimpinan A.Malik Fadjar yang semakin mengukuhkan keberadaan UMM, yaitu berdirinya Lembaga Penelitian, Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM), Lembaga Penerbitan, Lembaga Studi Islam dan Kemuhammadiyahan dan Lembaga Bahasa. [26]
             
C. Aktivitas Sosial dan Karir Politik
            Sebelum puncak karir politiknya sebagai Menteri, A.Malik Fadjar adalah seorang aktivis diberbagai organisasi. Sejak di bangku sekolah, A.Malik Fadjar aktif di kegiatan organisasi. Sejumlah organisasi pernah diikutinya, yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII), Badan Kontak Siswa Kementerian Agama (BKSKA) dan Kepanduan Islam. Di tiga organisasi tersebut, A.Malik Fadjar aktif sebagai pengurus. Tiga organisasi ekstra sekolah ini memang boleh masuk di lingkungan asrama, di mana A.Malik Fadjar waktu itu tinggal di asrama, PGAN 4 tahun Magelang dan PGAN 6 tahun di Yogya. Selain itu A.Malik Fadjar juga aktif dalam berbagai kegiatan Pemuda Muhammadiyah di Magelang. Di asrama inilah, kemampuan A.Malik Fadjar di bidang organisasi mulai digembleng. Dari sinilah bakat kepemimpinannya mulai kelihatan. Selain itu, A.Malik Fadjar juga aktif  sebagai pengurus asrama. Hidup di asrama telah memberi nilai-nilai tersendiri. Ia belajar hidup berinteraksi sosial dalam komunitas dari berbagai latar belakang ekonomi, sosial dan budaya.[27]
            Keterlibatan A.Malik Fadjar dalam Persyarikatan Muhammadiyah sebetulnya juga tidak lepas dari dunia guru. Mulai merintis SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Muhammadiyah di Sumbawa hingga memimpin secara bersama dua Universitas Muhammadiyah terbesar yaitu Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) selama empat periode (1984-2000) dan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) selama satu periode. Seandainya di Persyarikatan Muhammadiyah ada semacam ordo –sebagaimana dalam agama Katolik- A.Malik Fadjar dapat dikatakan sebagai salah satu tokoh “ordo pendidikan” dalam Muhammadiyah, yang meyakini bahwa pendidikan adalah wilayah yang paling vital dan terhormat di antara wilayah di mana para pengikut Muhammadiyah mewakafkan dirinya untuk berdakwah.[28]
            Setelah lulus PGAN 6 Tahun Yogyakarta 1959, A.Malik Fadjar memasuki babak baru dalam perjalanan hidupnya. Ia menjadi guru. Sebagai siswa yang terikat kontrak program ikatan dinas Departemen Agama, ia harus siap ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah menugaskan A.Malik Fadjar menjadi guru di desa Tilawang, Kecamatan Tilawang, Kabupaten Sumbawa Besar, sebuah desa terpencil di provinsi Nusa Tenggara Barat.[29] Selain menjadi guru, selama di Tilawang ini A.Malik Fadjar aktif merintis dan menghidupkan kegiatan Muhammadiyah. Hal ini memberikan pengalaman bagaimana mengurus Muhammadiyah dalam corak yang berbeda dengan Muhammadiyah di Jawa. Darah Muhammadiyah yang dia warisi dari ayah ibunya terkembangkan.[30]
            Pada pertengan 1962, A.Malik Fadjar dipindahkan menjadi guru di SMP dan SGB (Sekolah Guru Bawah) Sumbawa Besar. Di sini A.Malik Fadjar semakin aktif dalam kegiatan Muhammadiyah. Karena itu, A.Malik Fadjar kemudian diminta mengajar sekaligus dipercaya menjadi Kepala Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Muhammadiyah Sumbawa Besar. Karena aktivitasnya di Muhammadiyah maupun kegiatan keagamaan menonjol, A.Malik Fadjar kemudian bisa masuk menjadi Pengurus Daerah Muhammadiyah Sumbawa Besar. Di sini ia dikenal sebagai tokoh muda Muhammadiyah yang mencorong.[31]
Pada saat A.Malik Fadjar menjadi mahasiswa pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Malang, ia sudah terlibat aktif di organisasi HMI. HMI menjadi organisasi pilihan utama bagi mahasiswa beragama Islam non NU, terutama yang berlatar belakang Muhammadiyah dan Masyumi.[32] HMI menjadi pilihan beraktivitas selama mahasiswa karena organisasi kemahasiswaan ini memiliki visi modernisme, yang secara konsisten banyak menyuarakan perubahan dan pembaruan di segala hal. Modernisme HMI adalah visi kemodernan yang menyarankan adanya integrasi dan holistika pemahaman akan al-Qur’an dan hadits secara utuh, yaitu dalam hal bagaimana menerjemahkannya ke dalam idiom-idiom budaya dan tradisi yang mengitarinya.[33]
            Meski selama menjadi mahasiswa A.Malik Fadjar aktif di HMI, bukan berarti darah Muhammadiyahnya luntur. Malah sebagai ketua HMI cabang Malang Bidang Ekstern, ia aktif menjalin komunikasi dan sering minta nasehat kepada tokoh-tokoh Muhammadiyah Malang.[34] Bahkan A.Malik Fadjar juga tercatat sebagai pendiri IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) pada pertengahan tahun 1960-an dan bersama dengan teman-temannya juga ia memprakarsai pendirian ISMI (Ikatan Serikat Mahasiswa Islam) organisasi ini didirikan untuk mengintegrasikan kekuatan organisasi mahasiswa Islam agar tidak terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Tak hanya itu, A.Malik Fadjar juga ikut aktif mempelopori berdirinya IPKI (Organisasi Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) cabang Malang, yang pendiriannya di pusat (Jakarta) dirintis oleh Jenderal TNI AH. Nasution.[35]
            Berikutnya, A.Malik Fadjar juga mewakili HMI ikut mendirikan Sekber Golkar Malang.[36] Melalui organisasi HMI inilah A.Malik Fadjar mengenal dan dikenal oleh tokoh-tokoh teras HMI, seperti, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendy, Ahmad Wahib, Fahmi Idris, Ismail Hasan Materium, Mar’ie Muhammad, dan sebagainya.[37]
             Dalam organisasi Muhammadiyah A.Malik Fadjar dipercayakan sebagai Ketua bidang Pendidikan periode 2000-sekarang Di samping itu A.Malik Fadjar menjabat sebagai Sekretaris Yayasan dan Senior fellow di Habiebie Center 2000-sekarang dan juga aktif pada Lemhanas sebagai Dewan Pengarah sejak tahun 2006-sampai sekarang.[38]  
            Interaksi intelektual dan sosial A.Malik Fadjar sangat luas, meskipun A.Malik Fadjar berasal dari fakultas Tarbiyah di Malang cabang Surabaya tapi A.Malik Fadjar aktif pada berbagai macam organisasi: aktif di Muhammadiyah, ICMI, HMI, pernah menjadi ketua Badko. Ini yang membuat interaksi intelektual sosialnya sangat luas. Ini kemudian yang menurut Azyumardi Azra, mempengaruhi perspektif A.Malik Fadjar dalam menggagas dan melaksanakan modernisasi pendidikan Islam.[39]
            Kepiawaian-kepiawaian A.Malik Fadjar dalam berorganisasi dan akademik inilah yang merupakan faktor ia menjadi menteri. Hal ini sebagaimana dinyatakan A.Malik Fadjar bahwa apa yang ia raih (Menteri Agama dan Menteri Mendiknas) merupakan proses dalam membangun komunikasi dengan baik bersama kawan-kawannya sehingga karir akademik dan juga politik dapat diraih dengan penuh dedikasi dan prestasi.[40]
            Tahun 1996 A.Malik Fadjar diangkat menjadi Dirjen Binbagais Departemen Agama. Ketika menjabat Dirjen Binbagais Departemen Agama, A.Malik Fadjar mengusulkan pembenahan dan rasionalisasi organisasi Perguruan Agama Islam atau IAIN. Hasil dan rasionalisasi organisasi IAIN ini kemudian melahirkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997, yang menetapkan fakultas cabang dilingkungan IAIN berubah menjadi STAIN. Hal yang mendasari adanya gagasan ini, A.Malik Fadjar menyatakan, nama fakultas cabang sebetulnya bertentangan dengan undang-undang. Struktur perguruan tinggi yang benar adalah Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Diploma, bukan fakultas cabang.[41]
Setahun kemudian, tepatnya pada bulan Juli 1997 Indonesia di guncang oleh krisis moneter yang kemudian menimbulkan eskalasi situasi politik, lalu berlanjut kepada ketidakpercayaan dengan pemerintahan yang ada. Rumah dinas kediaman A.Malik Fadjar di jln. Indramayu 14 Menteng, Jakarta Pusat, menjadi markas para aktivis dalam menyikapi perkembangan politik tanah air. Dari rumah dinas inilah reformasi digulirkan yang menuntut Presiden Soeharto meletakkan jabatannya sebagai presiden. 
             Setelah reformasi benar-benar bergulir, suksesi kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie, A.Malik Fadjar diangkat menjadi Menteri Agama (1998-1999).[42] Pada waktu A.Malik Fadjar menjadi Menteri Agama, eskalasi situasi kehidupan beragama dan etnis sedang kritis, seperti pertikaian etnis di Sambas dan Sampit antara suku Madura dan Dayak/Melayu, konflik agama di Mataram, pembakaran rumah-rumah ibadat dan warga di Maluku, dan tak kalah pentingnya adalah masalah Aceh. Masalah Aceh adalah masalah yang paling krusial. Menjawab masalah Aceh ini A.Malik Fadjar mengadakan dialog langsung dengan masyarakat Aceh. Di samping itu, A.Malik Fadjar mengutus Marwan Saridjo (Sekjen Depag RI) dan H. Amidhan (Staf Ahli Menteri dan sekaligus ketua MUI) ke Aceh.[43]
            Karya A.Malik Fadjar yang paling dikenang semasa ia menjabat Menteri Agama adalah menggagas pengembangan STAIN dan IAIN ke UIN.  Usaha dan gagasan ini merupakan usaha mempertegas, mempertajam, dan memperbarui pendidikan Islam dalam hal bagaimana melayani kebutuhan mendasar manusia. Melalui pengembangan ini A.Malik Fadjar meyakini bahwa umat Islam memainkan peran yang sesungguhnya di dalam pergaulan global. Memaknai ini, A.Malik Fadjar menyatakan bahwa masa depan harus dijemput dan sarananya adalah pendidikan. Oleh karena itu pendidikan harus mengacu ke arah masa depan manusia. Di sinilah sesungguhnya, demikian A.Malik Fadjar, makna pentingnya memperbarui sistem pendidikan kita secara terus menerus.[44] 
            Di masa A.Malik Fadjar menjabat Menteri Agama lahir UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Selain itu, A.Malik Fadjar menata kembali adanya ONH Plus yang berpretensi pada pembedaan pelayanan dan perlindungan bagi jamaah haji. Dan juga dihapuskannya lembaga BPDAU (Badan Pengelola Dana Abadi Umat) yang disinyalir penggunaannya kurang jelas.[45]
            Kepemimpinan A.Malik Fadjar sebagai Menteri Agama berakhir pada era Abdurrahman Wahid. Pada masa itu A.Malik Fadjar kembali ke kampus. Ia mengarahkan UMM dan UMS. Ia juga mengajar di Fakultas Tarbiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[46] Rupanya masa kepemimpinan Abdurrahman Wahid tidak berlangsung lama, tidak genap dua tahun menduduki jabatan presiden, ia dilengserkan lewat SI (sidang istimewa). Megawati Soekarno Puteri naik menjadi presiden RI. Oleh Megawati, A.Malik Fadjar dipercaya memimpin Departemen Pendidikan Nasional (2001-2004).
Hal yang di awali A.Malik Fadjar ketika menjabat Menteri Pendidikan Nasional adalah menempatkan pendidikan dalam kerangka human investment (investasi untuk pembangunan sumber daya manusia). A.Malik Fadjar menyatakan bahwa kerangka tersebut dilakukan dalam menyikapi tantangan globalisasi dimana kualitas SDM merupakan keniscayaan. Mengawali usahanya menempatkan pendidikan ke dalam kerangka human investment ini, A.Malik Fadjar mengupayakan dilangsungkannya program Wajib Belajar 9 tahun. Melalui program ini diangankan lahirnya sebentuk penanaman nilai-nilai akademis ke arah keberhasilan tahapan pendidikan selanjutnya. Apa lagi konstitusi mengamanatkan agar negara memberikan layanan pendidikan kepada semua warganya.[47]
April-Nopember 2004 A.Malik Fadjar dilantik menjadi Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat ad interim. Penunjukan dirinya sebagai Menko Kesra, selain menjabat Mendiknas, adalah berkenaan dengan pengunduran diri M. Yusuf  Kalla dari jabatan itu karena mencalonkan diri sebagai wakil presiden.
Tidak banyak karya yang dilakukan A.Malik Fadjar ketika menjabat Menko Kesra, kecuali hanya meneruskan apa yang sudah diprogramkan oleh menteri sebelumnya. Ada dua hal yang menjadi mainstream A.Malik Fadjar ketika itu, yaitu pendidikan dan kesehatan. Keduanya menjadi mainstream Menko Kesra, A.Malik Fadjar karena diyakini sebagai kunci dalam meningkatkan mutu bangsa Indonesia.[48]
D. Karya-Karya Intelektual 
Tradisi menulis yang dilakukan A.Malik Fadjar sesungguhnya sudah lama. Sejak ia memasuki dunia kampus (mahasiswa) di UIN Malang, A.Malik Fadjar kerapkali mengunjungi Gang Mojo di Malang, yaitu sebuah pertokoan buku-buku baru dan bekas dari berbagai perspektif ilmu. Bahkan ketika sudah menjadi Rektor UMM kebiasaan membeli buku di Gang Mojo kerap kali dilakukannya. Tidak peduli dengan lingkungan yang menyapanya di mana Gang Mojo menunjuk kepada keadaan lokasi yang relatif kurang nyaman dipandang. A.Malik Fadjar menyampaikan bahwa kebiasaan mengunjungi toko-toko buku bekas (di Malang dan di Jakarta) dilakukannya karena ia merupakan rekreasi akademik di mana orang bisa menyaksikan banyak hal yang bisa diapresiasi, di antaranya adalah perkembangan ilmu melalui buku-buku, mobilitas kerja para pedagang buku, para konsumen/pembeli buku, dan suasana pasar yang ramai dengan berbagai tampilan manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.
Prinsip hidup A.Malik Fadjar, menyintai buku berarti menyintai diri dan lingkungannya. Hali ini kemudian mengukuhkan A.Malik Fadjar sebagai pribadi kreatif dan produktif. Benar apa yang diurai oleh Syaikh Ihsan Jampes -penulis Siraj al-Thalibin- menulis: ”Barang siapa yang mengarang buku maka sungguh dirinya telah tertolong. Juga barang siapa menulis buku berarti ia telah meletakkan akalnya di suatu aras dan akan memperoleh kehormatan yang mulia dari manusia” (man shannafa faqad as'afa, wa man shannafa faqad wadla'a 'aq1uha fi thabaq wa irdluha 'ala al-nas)[49]
Tuhan, demikian Kiai Ihsan, adalah Pribadi Yang Maha Kreatif dan Maha Produktif di alam raya ini. [50] Manusia yang tidak mau berkreasi dan bekerja keras di alam ini berarti ia mengingkari kesejatian Tuhan-Nya. Di sini bisa dikatakan bahwa eksistensi manusia di dunia bergantung pada kualitas kreasi dan kerja kerasnya.
Memahami makna kreativitas dan produktivitas Tuhan di alam raya ini kiranya merefleksikan kinerja A.Malik Fadjar sebagai pribadi pengabdi untuk berkreasi dan bekerja keras. Ada beberapa buku yang bisa diidentifikasi sebagai hasil kreati­vitasnya, di antaranya adalah:
1.      Kuliah Agama Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1981.
2.      Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi, Surabaya: Lembaga Penerbitan Barawijaya Malang, 1981.
3.      Kepemimpinan Pendidikan, Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel  Malang, 1983.
4.      Dunia Perguruan Tinggi dan Kamahasiswaan, Malang: UMM Press, 1989.
5.      Dasar-DasarAdministrasi Pendidikan,Yogyakarta: Aditya Me­dia, 1993.
6.      Reorientasi Wawasan Pendidikan dalam Muhammadiyah dan NU Yogyakarta : Aditya  Media, 1993.
7.      Pendidikan Islam: Paparan Normatif, Filosofis, dan Politik, Malang:             UMM Press, 1993.
8.      Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998.
9.      Madrasah dan Tantangan Modernitas,Bandung: Mizan, 1998.
10.  Reorientasi Pendidikan Islam,Jakarta: Fadjar Dunia, 1999.
11.  Pendidikan, Agama, Kebudayaan, dan Perdamaian, Malang: UIN Malang Press, 2004.
12.  Sintesa Antara Perguruan Tinggi dengan Pesantren, Malang: UIN Malang Press,  2004.
13.  Pancasila Dasar Filsafat Negara; Prinsip-prinsip Pengembangan Kehidupan Beragama, Malang: UMM Press, t.th
14.  Tinta Yang Tidak Pernah Habis, Jakarta: INTI, 2008.
15.  Berbagai artikel dan makalah yang dimuat berbagai media, baik local maupun nasional.

E. Dinamika Pendidikan Islam
Menurut A.Malik Fadjar, Islam sebagai agama penyempurna sekaligus penutup agama-agama wahyu adalah pedoman hidup universal, eternal dan kosmopolitan.[51] Karena itu statemen-statemen ajarannya yang ter­akumulasi di dalam al-Qur’an dan sunah lebih banyak bersifat simbolik, penuturan sejarah dan konsepsional. Sehingga proses pemahamannya memerlukan kecerdasan dan berpikir yang mendasar, selain dibutuhkan juga ilmu-ilmu bantu yang diharapkan dapat menangkap kedalaman makna baik sebagai petunjuk, sumber nilai, maupun untuk landasan teori.
Visi pengembangan pendidikan A.Malik Fadjar cenderung bermuara pada aktualisasi keilmuan yang praksis penerapannya menjadi teknologi yang memiliki pengaruh dinamis dan fungsional di masyarakat. A.Malik Fadjar mengambil contoh  hadis Rasulullah: "Kebersihan itu bagian dari iman"[52]  tidak hanya diartikan menjaga kebersih­an badan, pakaian, perumahan dan lingkungan, tetapi dapat juga dipahami dengan menciptakan alat-alat pembersih, seperti mesin cuci dan pasta gigi, dan teknologi baik sipil maupun mesin yang dapat menciptakan suasana menjadi bersih.[53]
Hadis Rasulullah yang lain, misalnya: "Menyingkirkan batu di jalan agar memudahkan orang berjalan adalah bagian dari iman",[54] mempunyai maksud tidak hanya me­nyingkirkan batu, duri, atau penghalang-penghalang orang berjalan, melainkan sampai pada membuat tekno­logi jalan, membuat mobil, pesawat dan lain sebagainya. Sehingga orang merasa aman dan nyaman dalam per­jalanan.[55]
Ungkapan senada yang diinformasikan oleh Al-Qurân sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat 78: “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu”. Ayat tersebut dapat dipahami seyogyanya manusia dapat mendesain alat teknologi yang dapat mengeluarkan anak dari perut ibu-ibu secara nyaman, aman dan efektif. Dengan demikian ibu-ibu tidak ada lagi cuti yang sampai berbulan-bulan, tapi hanya beberapa hari sudah dapat lagi menjalankan aktivitas kerja semula sehingga lebih inovatif dan produktif.
A.Malik Fadjar mengemukakan bahwa kita harus melek iptek tapi tidak berarti jadi pakar iptek. Iptek sebagai wahana, media untuk menangkap dan mengungkap  dinamika dan perkembangan.[56] Dengan memahami perkembangan dan dinamika kemajuan sains dan teknologi maka umat Islam akan merasakan kebesaran kekuasaan Tuhan dengan ilmunya.
Untuk dapat mewujudkan hal tersebut dalam ke­hidupan nyata atau agar iman dapat melahirkan amal saleh diperlukan adanya kecerdasan atau ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa itu semua, keimanan se­seorang tidak akan memiliki dampak sosial lebih baik kepada seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, membuat bahan pencuci, menciptakan teknologi jalan, membuat kendaraan dan sarana kehidupan lainnya masih dalam kawasan iman atau perwujudan dari iman.[57]
Max Weber (1864-1920) sebagaimana yang dikutip oleh A.Malik Fadjar menyatakan bahwa kebangkitan sistem ekonomi kapitalis di Barat banyak di dorong oleh etika Protestan Calvanis. Etika itu lahir dari gagasan ekonomi para pengikutnya  melalui peroses pemahaman ajaran yang dianutnya.[58] Menurut Max Weber yang dikehendaki Tuhan bukanlah pekerjaan di dalam dirinya, akan tetapi pekerjaan rasional dalam suatu panggilan.[59] Oleh karena itu dapat dipahami bahwa nilai jual yang diprodak manusia yang didasarkan kepada emosional dan personal akan menjauhkan manusia dari Tuhannya. Akan tetapi nilai produksi yang didasarkan dengan akal rasional dan dapat fungsional pada seluruh lapisan masyarakat merupakan bukti pengabdian kepada Tuhan.
Di kalangan umat Islam etika ekonomi sebagian besar dipengaruhi oleh doktrin sufisme yang cenderung amat tidak memihak urusan duniawi. Misalnya doktrin zuhud (asketisme) selalu diterjemahkan sebagai menjauhi harta kekayaan yang berlimpah. Bekerja keras untuk memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dianggap “hubbud dunya”.[60] Banyak ungkapan-ungkapan yang meneguhkan sikap acuh terhadap kepentingan dunia, sebaliknya seolah mengunggulkan kepentingan akhirat. A.Malik Fadjar mencontohkan bahwa di surau-surau ada syair pujian yang biasanya dilagukan sambil menunggu waktu shalat jamaah. Potongan syairnya  “….. dunia tak jadi apa, rugi di akhirat bakal celaka” atau ungkapan: “Hidup di dunia ini ibarat sekedar mampir minum”, dan sebagainya. 
Pemikiran A.Malik Fadjar sebagaimana yang tersebut di atas, secara praksis dapat memberikan semangat kepada umat Islam untuk meningkatkan kreativitas bekerja dan berkarya guna membangun budaya dan peradaban yang lebih mencerahkan. Untuk itu umat Islam sepatutnya mencontoh Nabi Muhammad Saw. seorang bisnismen  dan terpandang di masa itu. Dengan demikian Nabi dapat diterima oleh semua kalangan sehingga Islam ini jaya. Nabi mendapatkan mitra kerja dan partner hidup yang setia seperti Khadijah.[61] Semangat Khadijah yang kreatif bekerja dan berkarya dalam mengembangkan dan memajukan Islam ini patut dicontoh yang dimulai dengan menata manajemen dalam keluarga Apabila hal itu sukses maka merupakan kesuksesan dalam Islam.
A.Malik Fadjar hatinya menangis melihat guru-guru yang ada di Jakarta. Anak SD diantar dengan mobil mewah oleh sopir, sementara gurunya turun dari angkot,[62] padahal seorang guru merupakan contoh, panutan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut dapat dipahami bahwa tidak integralnya kebijakan pengembangan ilmu secara profesional dan kesejateraannya secara nasional.  Bahkan pendidikan dalam banyak kasus merupakan bidang yang paling terlantar dari kebijaksanaan nasional yang terlalu bertitik tekan pada pertumbuhan ekonomi. Hal ini kontras dengan negara-negara maju, yang memberikan perhatian khusus kepada kebijaksanaan pendidikan bahkan melebihi kebijakan luar negeri atau militer. Pengembangan kualitas yang profesional tanpa dibarengi dengan kesejateraan yang memadai dapat menghambat kreativitas berfikir secara menyeluruh di masa depan.
            Al-Qur’an dan sunah memberikan porsi yang besar dalam menggunakan akal seperti: berpikir itu ibadah, agama itu hanya untuk orang berakal, perintah mencari ilmu, pujian dan penghargaan bagi orang ber­ilmu, sebaliknya celaan bagi orang yang tidak meng­gunakan akalnya, tidak mau mengerti dan bodoh. Hal  ini memberi pengertian bahwa dalam beragama tidak di­benarkan hanya secara emosional, melainkan juga harus menggunakan akal sehat. Dengan kata lain, keberislaman seseorang bukan hanya di ukur dari aspek keimanannya yang membuat orang kafir tapi lebih pada kreativitas kerjanya/produknya (amal salehnya).
 Proses kreatif ini merupakan prakarsa positif dalam pendidikan untuk menghadapi tantangan global. Semangat kreativitas itulah yang berupaya mengantarkan manusia secara optimis dan dinamis meninggalkan keterbelakangan  (under development of beackwardness) di bidang sosial budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya.[63] 
A.Malik Fadjar berpendapat bahwa pengaruh teknologi yang begitu menglobal dapat ditangkap dengan jelas dalam masyara­kat akhir-akhir ini adalah adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masya­rakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. Kini masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan ke­butuhan terhadap perolehan pengetahuan dan keteram­pilan dalam konteks waktu sekarang.[64]
Teknologi itu menyangkut gaya hidup. Sekarang dikenal dengan gaya  hidup HP, harus memilki peran yang cepat, efektif dan produktif. Ini menyangkut budaya termasuk mengubah maindset berfikir manusia. Jadi tak usah khawatir atau takut menghadapai kemajuan teknologi. Takut dan khawatir harus di buang lalu diperkuat dengan cara pandang, maindset dan budaya.[65]
Oleh karena itu dapat dipahami dari gagasan A.Malik Fadjar bahwa SDM harus di kedepankan  sebagai bentuk investasi, baik manusia maupun modal (human and capital investmen) untuk membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya.
Harus diakui bahwa dinamika yang terjadi di setiap pelosok  kehidupan sosial yang sudah menglobal telah memberikan dampak positif bagi umat manusia termasuk sektor sosial, ekonomi dan politik. Tetapi dibalik semua kemajuan-kemajuan yang telah membawa perubahan ke arah yang lebih baik juga terdapat pengaruh negatif yang tidak mungkin dihindari dan berdampak luas bagi kehidupan sosial termasuk  kehidupan umat yang beragama.
Menurut A.Malik Fadjar bahwa selama ini terlihat ajaran Islam hanya berfungsi sebagai slogan daftar keinginan dan justifikasi (pem­benaran atau penolakan) terhadap fenomena sosial yang berkembang. Kalau anggapan ini benar maka agama tidak akan berfungsi sebagai motivatif, liberatif dan inovatif, melainkan hanya sebagai pembatas antara yang boleh dan yang tidak boleh dan mungkin juga dapat menghambat kreativitas.[66]
A.Malik Fadjar menyatakan bahwa faktor utama kelemahan umat Islam dalam menyelenggarakan pendidikan Islam terletak pada dataran epistemologis yaitu bagaimana mencairkan nilai-nilai Islam dalam setting sosial kultural yang berkembang. Dengan kata lain, umat Islam masih menghadapi keter­batasan sumber daya manusia yaitu manusia yang me­miliki etos, pengetahuan dan keterampilan yang memadai.[67]
Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan sistem nilai Islam pada bidang pendidikan agar menjadi sebuah sistem pendidikan yang dapat diandalkan, paling tidak ada dua cara. Per­tama, meningkatkan kualitas berpikir dengan cara meningkatkan kecerdasan. Kedua, memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas kerja melalui peningkatan etos kerja.[68] Sehingga dalam membangun SDM yang berkualitas diperlukan penataan lembaga pendidikan. Dengan demikian akan diperoleh arah untuk menata masa depan, membentuk kekuatan dan memainkan peranan sosialnya.[69] 
 Manusia sebagai makhluk pengemban amanah ke­khalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama ma­nusia dalam rangka membangun peradaban. Menurut A.Malik Fadjar, kemajuan sebuah bangsa secara sosiologis pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu dalam mendayagunakan sumber daya manusia me­lalui pergumulannya mengembangkan ilmu pengetahuan.[70] Kecintaan terhadap informasi dan memenejnya merupakan langkah awal menuju kecintaan kepada ilmu pengeta­huan yang akhirnya menumbuhkan kecintaan kepada kegiatan belajar. Sebagaimana yang diketahui bahwa ayat al-Qur’an yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca (iqra'), yaitu mengkaji tentang hakekat Tuhan, manusia, alam, hubungan antara ketiganya, serta fungsi masing-masing (Q.S. 96: 1-5).[71]
Pengkajian tentang Tuhan akan melahirkan idealisme dan nilai-nilai universal yang merupakan idealitas ma­nusia dan pedoman hidup absolut. Pengkajian tentang manusia akan melahirkan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan yang akan memberikan gambaran riil tentang kebutuh­an, tujuan dan persoalan hidup. Sedangkan pengkajian tentang alam akan melahirkan sains dan teknologi untuk sarana kehidupan.
Kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat mengalami perubahan sosial yang sangat cepat dan maju sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan sosial yang cepat itu meliputi berbagai bidang kehidupan dan merupakan masalah bagi semua institusi sosial seperti: industri, agama, perekonomian, pemerintahan, keluarga, perkumpulan-perkumpulan pendidikan. Masalah sosial dan masyarakat itu juga dirasakan oleh dunia pendidikan. Masalah pendidikan dalam keluarga, pendidikan di sekolah dan pendidikan dalam masyarakat merupakan refleksi masalah-masalah sosial dalam masyarakat.[72]
Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat tentu saja mempengaruhi pendidikan baik sebagai ilmu maupun sebagai aktivitas. Itulah sebabnya pentingnya   hubungan lembaga pendidikan dengan masyarakat. Pendidikan tumbuh di masyarakat dan masyarakat tumbuh karena adanya pendidikan. Antara keduanya terdapat hubungan yang bersifat mutual benefit, artinya saling menguntungkan bahkan merupakan suatu ikatan yang secara aksiomatik sulit dan mustahil untuk dipisahkan.[73]
Sementara itu Emile Durkheim (1858-1917)[74] memandang pendidikan sebagai suatu "social thing atau sebagai ikhtiar sosial. Durkheim  mengemukakan bahwa: "Masyarakat secara keseluruhan masing-masing lingkungan sosial di dalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai di kalangan para warganya. Keseragaman yang esensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut. Oleh karena itu pendidikan diperkuat dengan penanaman semenjak dini kepada anak-anak. Tetapi dibalik itu, suatu kerjasama apapun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman. Keanekaragaman yang penting itu dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam, baik jenjang maupun spesialisasinya".[75]
Pandangan ini mempertegas bahwa pendidikan merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial menjadi suatu paduan yang stabil, disiplin, dan utuh secara bermakna. Pandangan ini bersifat universal karena sampai sekarang antara pendidikan dan kehidupan sosial masyarakat tidak dapat dipisahkan. Pendidikan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena itu pendidikan bersifat fungsional dalam sistem hidup dan kehidupan manusia.[76]
Dipandang dari perspektif fungsional sebuah teori yang berpandangan bahwa masyarakat merupakan ke­satuan sistem yang saling tergantung dan berhubungan,  pendidikan dituntut melakukan penyesuaian terus­-menerus dengan perkembangan masyarakat. Selain itu pendidikan juga harus memainkan peran yang terarah sejalan dengan karakteristiknya selaku institusi teleologic. Di sinilah dituntut kemampuan proyektif dari pendidikan dalam menangkap kecenderungan-­kecenderungan yang akan terjadi di masa depan.
Hal ini membawa pengaruh kuat terhadap terciptanya proses persaingan dalam kehidupan sosial yang dapat merubah pranata-pranata sosial yang lebih mapan sekalipun. Dalam masyarakat demikian menurut Durkheim biasanya akan terjadi perubahan structural, kultural dan keterkejutan serta tidak sejalan atau bahkan saling berbenturan sehingga terjadi anomalie (kelainan) terhadap perangkap nilai yang berlaku.[77]
Salah satu penyebab yang cukup penting adalah bahwa perubahan yang mengembangkan kemajuan di berbagai sektor itu juga menciptakan kesenjangan antara individu dan antara bidang-bidang dalam kehidupan social. Akibatnya masyarakat manusia yang ada di dalamnya akan saling bersaing dan berpacu dengan metode-metode pilihan yang dapat mempercepat pencapaian tujuan dalam upaya mobilisasi yang ditempuhnya.[78]
 Sudharto sebagaimana yang dikutip oleh A.Malik Fadjar menyatakan bahwa dalam kajian teoritik seringkali diperdebatkan apakah perubahan atau dinamika dalam masyarakat merupakan perubahan budaya (cultural change) atau perubahan sosial (social change). Yang pertama berkaitan dengan perubahan yang berhubungan dengan ide-ide dan nilai-­nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan perubahan di bidang pola hubungan dalam masyarakat dan perkembangan kelembagaannya. Kedua perubahan itu mempunyai hu­bungan timbal-balik.[79]
 Dinamika masyarakat selalu mengalami perubahan termasuk pada lembaga-lembaga kemasya­rakatan yang dipengaruhi oleh suatu sistem sosial, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-­sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.[80] Oleh karena itu antara pendidikan dengan masyarakat saling mempengaruhi.[81]
M.Amien Rais menjelaskan beberapa kecenderungan keprihatinan global yaitu industrialisasi yang terus meningkat, pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, malnutrisi yang meluas, susutnya sumber-sumber alam yang tidak dapat diperbaharui dan kualitas hidup yang semakin merosot.[82]
Di lain sisi pergeseran yang dibawa oleh masyarakat globalisasi antara lain adalah tata hidup dan tata kerja yang menguasai kekuatan-kakutan alam, nilai-nilai sosial yang tinggi yang diberikan pada unsur-unsur sosial (kekeluargaan) disalurkan pada unsur-unsur lain yaitu unsur-unsur ekonomi dan kebendaan, hubungan antara warga masyarakat yang meliputi oleh jiwa kebersamaan (collectivisme) menjadi hubungan yang berdasarkan atas kewibawaan pribadi manusia dan kemampuan di dalam masyarakat yang bersifat informatif didasarkan atas kepercayaan berubah menjadi kepemimpinan yang formal dan lebih mementingkan kecakapan dan keahlian.[83]   
Kehidupan global adalah hal yang tidak dapat dihindari dan memang tidak perlu untuk dihindari sebagaimana yang kemukakan oleh Akbar S. Ahmad bahwa abad ke 21 (millenium ke-tiga) tidak memandang rendah Islam karena Islam tetap merupakan kekuatan tersendiri. Sebaliknya Islam pun harus menerima abad ke 21 karena abad itu menurutnya pasti datang. Sikap menolak bukanlah jalan keluar yang tepat. Dengan lain kata, Islam harus akrab dengan abad ke 21 sehingga Islam pun akan memperoleh keharmonisan dalam tubuhnya sendiri.[84]
Teknologi yang menglobal telah menghilangkan batas dan ruang waktu. Peristiwa yang terjadi di seluruh dunia mempengaruhi reaksi kita karena adanya jaringan telekomunikasi yang semakin kompleks secara eksponensial memperbanyak frekuensi kontak. Kita dapat berhubungan lebih banyak orang dari pada yang dilakukan oleh para pendahulu. Sebagaimana yang disinyalir oleh Jalaluddin Rahmat bahwa dua orang yang di belahan bumi yang berbeda dapat berpacaran dan bahkan menikah lewat telepon.[85]
Dalam kajian sosiologis kemasyarakatan digambarkan bahwa per­ubahan tersebut bersifat universal (universal change) yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Bahkan berjalan secara revolutif seperti terjadinya revolusi di bidang teknologi, komunikasi, pendidikan dan media massa. Terjadinya revolusi ini secara sistematis berpengaruh terhadap ide, norma, perilaku, hubungan sosial dan kelembagaan dalam ma­syarakat dengan corak dan cirinya yang lebih baru.[86] Ilmu pengetahuan begitu cepat mengubah suasana secara revolusioner pada aspek teknologi. Dengan demikian membawa dampak kepada seluruh lapisan masyarakat baik langsung maupun tidak.
Aspek yang paling berpengaruh mengubah dinamika secara social kultural kemasyarakatan adalah modernisasi yang bermuara pada pergantian teknik produksi dari nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai moderen yang bertumpu  pada makna revolusi industri.[87]
Ahmad Watik Pratiknya sebagaimana yang dikutip oleh A. Malik Fadjar    menggambarkan corak dan ciri-ciri masyarakat moderen yang akan membawa pengaruh di masa sekarang dan yang akan datang. Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat teknologis ditandai dengan ada­nya pembakuan kerja dan perubahan nilai, yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi dan produktivitas.
Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang semakin fungsional. Dalam masyarakat seperti ini hu­bungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata. Keberadaan seseorang sangat di­tentukan sejauh mana ia fungsional bagi orang lain. Karena itu kemampuan seseorang secara individual sangat dibutuhkan. Jadi dalam masyarakat seperti ini terjadi pergeseran pola hubungan sosial dari affective ke effective neutral, sebagaimana dikatakan oleh Parson, yakni perubahan dari hubungan yang mempribadi dan emosional ke hubung­an yang tidak mempribadi dan berjarak.
Ketiga, masyarakat padat informasi. Dalam masyara­kat seperti ini, keberadaan seseorang sangat ditentukan oleh berapa banyak dan sejauh mana dia menguasai informasi. Keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system).[88]
Berkaitan dengan ini, Arief Rahman menjelaskan pergeseran nilai yang dibawa oleh modernisasi yaitu:1).Ditinggalkannya cara berfikir mistik menuju cara berfikir analitis logis dengan peralatan modern dan canggih. 2).Pendidikan dianggap lebih penting dari pengalaman, dan prestasi sangat dihormati. 3).Kompetisi akan merupakan ciri khas sehingga manusia akan cenderung individualistis. 4).Etos kerja tidak asal selesai mengerjakan tugas tetapi diikuti perhitungan yang matang dan standar tertentu. 5).Agama tidak dijadikan pegangan hidup yang sifatnya rutin dogmatis, agama tidak hanya diterima melalui keyakinan dan masyarakat perlu penjelasan yang bersifat multi demensional.[89]     
Perubahan masyarakat akan mem­pengaruhi pilihan masyarakat terhadap pendidikan. Pendidikan yang akan dipilihnya sudah barang tentu yang dapat mengembangkan kualitas dirinya sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, pen­didikan yang kurang memberikan janji masa depan tidak akan mengundang minat atau antusiasme masyarakat.
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidik­an yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif dan terbuka. Untuk itu kemampuan secara etik dan moral dapat dikembangkan melalui agama.
Dari semua rangkaian pembaruan di atas, pada akhir­nya kita mempertanyakan posisi dan peran pendidikan Islam di Indonesia. Dalam konteks inilah akan dijumpai betapa pendidikan Islam yang dari segi kuantitas me­nunjukkan perkembangan yang dinamis mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi menghadapi berbagai persoalan. Tidak saja pada persoalan tataran normatif-filosofisnya, tetapi juga menyangkut orientasi kultural di masa depan. Rangkaian persoalan itu tidak dapat dipisahkan karena terdapat kaitan yang bersifat causal relationship. Karena itu langkah penyelesaiannya harus bersifat menyeluruh dan tidak bisa dengan cara parsial atau kasuistik.[90]
A.Malik Fadjar menyatakan bahwa konsep saleh, takwa dan insîn kâmil sebagai parameter dari manusia yang baik. Pemaknaan terhadap konsep ini terkesan masih jauh dari gambaran cita ideal manusia yang diharapkan. Ironisnya masih saja dijumpai pandangan bahwa yang disebut dengan kesalehan dan ketakwaan adalah jika intensitas ritual seseorang tinggi. Karena persoalan yang paling men­dasar belum diselesaikan secara tuntas.[91]
Oleh karena itu pendidikan Islam dihadapkan pada persoalan ketidakjelasan orientasi kultural. Bukti dari adanya persoalan ini nampak pada belum diselesaikannya hubungan Islam dengan modernitas.  Dengan hanya menyebut dua bidang persoalan fundamental tersebut sudah bisa dijadikan kerangka hipotesis dalam menilai kemampuan pendidikan Islam dalam memposisikan dan memerankan dirinya di masa depan.[92]
A. Malik Fadjar menyatakan bahwa pelaku pendidikan Islam dituntut segera melakukan reorientasi. Dalam hal yang bersifat normatif­ filosofis, reorientasi dilakukan dengan cara menguji ulang nuktah-nuktah Ilahiyah dalam Alquran yang berhubungan dengan persoalan pendidikan seperti tentang manusia, ilmu, nilai yang berhubungan dengan tujuan pendidikan, dan lain sebagainya. Selanjutnya A.Malik Fadjar menyatakan bahwa pada tataran orientasi kulturalnya, reorientasi yang perlu dilakukan adalah perlunya mem­pertegas kembali posisi dan peran pendidikan Islam. Dalam gerak transformasi sosial, kultural dan struktural yang demikian cepat dan bersifat universal seperti se­karang ini pendidikan Islam tidak bisa lagi bertahan dalam posisi dan perannya yang bersifat tradisional yang hanya menjalankan fungsi konservator warisan budaya masa lalu.[93]
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa A.Malik Fadjar berupaya agar pendidikan Islam melakukan fungsi yang bersifat reflektif dan progresif. Dalam fungsi yang reflektif, pendidikan Islam harus mampu meng­gambarkan corak dan arus kebudayaan yang sedang berlangsung. Sedang dalam fungsi yang progresif pendidikan Islam dituntut mampu memperbarui dan mengembangkan kebudayaan agar dicapai kemajuan. Pada fungsi yang kedua ini pendidikan Islam menjalankan kegiatan transformasi.
Pada akhirnya kita masih dituntut melakukan pergumulan intelektual dengan mengerahkan seluruh potensi, sehingga pendidikan Islam dapat berperan secara lebih optimal dan bukan sekadar sebagai papan nama yang hanya ingin menunjukkan secara kelembagaan pendidikan Islam itu ada, tetapi dari segi muatan dan orientasinya masih sangat rapuh.[94] Oleh karena itu A. Malik Fadjar berupaya mengubah maind set berfikir umat Islam dari pemikiran tradisional menuju rasional, dari feodal menuju nasional. Dengan kerangka berfikir tersebut bukan hanya Islam yang tinggi dan besar tapi umatpun ikut terbawa pada kebesaran dan ketinggian yang luhur.
Berkaitan dengan ini Ali Syariati (1933-1977) menyatakan bahwa al-Qur’an yang suci harus dipegang teguh oleh orang-orang muslim sampai pada tahap dimana cahayanya menggerakkan dan menyinari hati.[95] Pada hakekatnya ilmu itu adalah Allah Swt yang selalu membawa manusia kepada kebaikan, kebenaran dan kedamaian di dalam kehidupan. Untuk proses menuju ke sana harus melalui pendidikan.
F. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa persoalan pendidikan dalam dinamika masyarakat menurut A. Malik Fadjar  merupakan bidang kajian yang sangat luas sehingga secara praksis memerlukan berbagai kerangka analisis dari disiplin keilmuan lainnya seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Dalam kaitan ini pendidikan harus diletakkan dalam konteks yang bersifat makro, yaitu pendidikan sebagai proses kebudayaan. Perlu disadari bahwa pendidikan tidak mungkin mengisolasi dirinya dari perkembangan dan transformasi, baik secara kultural, sosial, maupun struktural.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ahmad, S, Akbar Discovering Islam  and Making  Sense of Muslim Hostory and society, New York: Roulledge, 1990

Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004.

Biro Hukum Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Himpunan Pidato Menteri Agama RI. Tahun 1999

CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.

Dahlan, Syekh Ihsan Muhammad, Siraj al-Thalibin 'ala Syarh Minhaj al-'Abidin, Beirut Dar al-Fikr, t.th.

 Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam, Pembaharuan Pendidikan Islam : Konsep dan Pengantar Dasar,  Jakarta: t.p., h. 992

Dewey,  Jhon “Eksperiences an Education” dalam James Wm., Taking Sides: Clashing Viwes on Controversial Educational Issues, America: Mc Graw-Hill Duskhin, 2005

Dewey, Jhon Democracy and Education: An Introduction to The Philosophy of Education, New York: The Macmillan Company, 1964

Durkheim, Emile, The Devision of Labor in Society, New York: The Free Press, 1964

Fadjar, A. Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia: 1999

Fadjar, A.Malik Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005

Fadl,El Khaled Abou, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, terj.Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2002.
.
Hudijono, Anwar dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah Perjalanan Hidup A. Malik Fadjar, Jakarta: Kompas, 2006
 J.W.Scoorl,  Sosiologie And Modernising,  dialihbahasa oleh K.K. Soekadijo, Modernisasi:Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Gramedia, 1984

 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997Lewis,  Bernad ,Islam Liberalisme, Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin dan Konteks Global, terjemahan Jakarta: Paramadina, 2002

M. Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, Jakarta: Golden Terayon Press, 2003

M. Sastrapratedja, “Apa dan Siapa Manusia Itu”, dalam Tonny D.Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Kompas, 2004

Palmer. A, Joy (ed), Fifty Major Thinkers on Education, London: Routledge, 2001

Rachman, Budhy Munawwir Agama, Modernitas Dan Pluralisme Bangsa,Bandung: Pustaka Hidayah, 1998

Rahman, Arief Peran Pendidikan dalam Iman dan Taqwa Menghadapi Era Teknologi dan globalisasi” dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Logos, 1999

Rahmat,  Jalaluddin, Islam Aktual : Refeleksi Sosial seorang Cendikiawan Muslim,  Bandung: Mizan, 1994

Rais, M. Amien Permasalah Abad 21 Sebuah Agenda

Robinson, Philip, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali, 1986

Sulthan,Mahmûd al-Sayyid, Al-Tarbiyah wa al-Mujtama’, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979

Syariati, Ali, Membangun Masa Depan Islam, Bandung: Mizan, 1993

Thomson, M,Merrit, The History of Education, New York: Barnes Noble INC Publisher, 1973.

Usa, Muslih, Lembaga Pendidikan Islam  dan Tantangan Masyarakat Muslim dalam Era Globalisasi  Yogyakarta: Logos, 1998

Weber,Max, The Protestant Ethic and The spirit of Capitalism, penerjemah Yusup  Priyasudiarja, Etika Protestan dan  Semangat Kapitalisme, Yogyakarta: Jejak, 2007
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000

Internet

Fathoni, Abdul Halim, “Pendidikan Sebagai Human Investment,” From:    http://www. Penulislepas. com/more.php?id=D1977_0_1_0_M. Tanggal 7 November 2007

 http://unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=4412&coid=1&caid=24. Tanggal, 15 Januari 2008.

http://www.dikda.% ein.org/hal=6&id=5. Tanggal 11 Mei 2007.



Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, Tanggal 20 Mei 2008

Wawancara pribadi melalui telepon dengan Sofian Effendi, tanggal 20 Maret 2008

Wawancara dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, Tanggal 22 April 2008



[1] Biro Hukum Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Himpunan Pidato Menteri Agama RI. Tahun 1999.  Wawancara pribadi melalui telepon dengan Sofian Effendi, tanggal 20 Maret 2008
[2] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia: 1999),   h. 35.
[3] Joy A.Palmer. (ed), Fifty Major Thinkers on Education, (London: Routledge, 2001), 177. Bandingkan pula, Merrit M.Thomson, The History of Education, (New York: Barnes Noble INC Publisher, 1973), h.51.
[4] John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to The Philosophy of Education, (New York: The Macmillan Company, 1964), h. 1.Lihat pula Jhon Dewey, “Eksperiences an Education” dalam James Wm., Taking Sides: Clashing Viwes on Controversial Educational Issues, (America: Mc Graw-Hill Duskhin, 2005), h. 4-5.
[5] John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to The Philosophy of Education, h. 3. Lihat juga A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,  h. 35.
[6] http://www.dikda.% ein.org/hal=6&id=5. Tanggal 11 Mei 2007.
[7] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah Perjalanan Hidup A. Malik Fadjar, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 208-209
[8] Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, Tanggal 20 Mei 2008
[9] Anwar Hadijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah Perjalanan Hidup A.Malik Fadjar, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 211
[10] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005), h.10.  Manusia yang terbaik adalah manusia yang memiliki daya tarik yang kuat pada hal-hal yang mendatangkan manfaat, adanya upaya-upaya yang kuat untuk mewujudkan kebaikan itu dan harapan seseorang, masyarakat bahkan negara dijadikan sebagai amanah/tugas pokok yang mulia untuk diwujudkannya. Kategori tersebut terakomodir dalam diri A. Malik Fadjar. 
[11] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 6 dan 9.
[12] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 6.
[13] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 6.
[14] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005), h.10.  Manusia yang terbaik adalah manusia yang memiliki daya tarik yang kuat pada hal-hal yang mendatangkan manfaat, adanya upaya-upaya yang kuat untuk mewujudkan kebaikan itu dan harapan seseorang, masyarakat bahkan negara dijadikan sebagai amanah/tugas pokok yang mulia untuk diwujudkannya. Kategori tersebut terakomodir dalam diri A. Malik Fadjar. 
[15] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 6 dan 9.
[16] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 6.
[17] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 6.
[18]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, (Jakarta: Kompas, 2006), h. 73.
[19] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h.73
[20] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 11-12. A. Malik Fadjar sukses dalam berbagai karir organisasi, karena bergerak di luar aturan (kadang menyalahi aturan) dengan semangat keberanian yang dilandasi oleh niat yang ikhlas dan kemauan yang kuat untuk mewujudkan kebajikan secara kolektif pada lapisan masyarakat.
[21] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 77.
[22] A.Malik Fadjar bukan hanya studi ke Amerika tapi juga ikut training manajemen pendidikan tinggi sekitar tahun 1991. Selain itu A.Malik Fadjar juga menjadi visiting leader senior dan berkunjung ke Amerika sekitar satu bulan atas biaya kedutaan Amerika. Di sana ia meninjau beberapa pengembangan pendidikan tinggi. Ia juga berkunjung ke lembaga pendidikan tinggi umum juga pendidikan yang bercorak keagamaan, seperti kunjungannya ke lembaga pendidikan Cristen University. Konsultasi/Wawancara dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, Tanggal 22 April 2008
[23] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 14.
[24]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 96.
[25]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 120.
[26]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 117-119.
[27]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 34.
[28]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. xii.
[29]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 42.
[30]Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 43.
[31] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 46.
[32] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 51.
[33] A. Malik Fadjar Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 7.
[34] Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 64.
[35]  Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 65. Saat itu beredar kabar HMI hendak dibubarkan. Untuk mengantisipasi hal itu, perlu wadah alternatif. Maka IMM dipersiapkan sebagai alternatifnya karena sekalipun PB HMI menyiapkan PMII belum tentu akyivis HMI yang berdarah Muhammadiyah atau Masyumi bergabung ke PMII yang berafiliasi ke NU. Lihat Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah,  h. 64.
[36]  Anwar Hudijono dan Anshari Thayib, Darah Guru Darah Muhammadiyah, h. 65.
[37]  A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 9.
[38] Wawancara Pribadi dengan A. Malik Fadjar pada hari Senin, 21 Januari 2008.
[39] Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, Tanggal 20 Mei 2008
[40] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,  h. 26.
[41] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan,  h. 35.
[42]  A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 29.
[43]  A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 30. Ada lima usulan dan permintaan yang disampaikan pengurus MUI dan tokoh-tokoh Aceh kepada pemerintah pusat (Departemen Agama). Pertama, agar pemerintah pusat c.q. Departemen Agama mengusahakan penegerian madrasah di Aceh, terutama madrasah ibtidayah dan mengangkat guru-guru yang telah lama mengajar di madrasah itu menjadi pegawai negeri. Kedua, agar ulama dan tokoh-tokoh Islam dan tokoh masyarakat Aceh yang selama ini tetap teguh berpihak pada NKRI dan selalu menolak ajakan GAM (gerakan Aceh Merdeka), diberi penghargaan, misalnya dengan diangkat menjadi penyuluh agama. Ketiga, agar Departemen Agama mengusahakan (menetapkan) Bandara Blang Bintang menjadi Terminal Haji. Keempat, agar janda-janda dan anak yatim korban DOM (Daerah Operasi Militer) mendapat santunan dan beasiswa dari pemerintah pusat. Kelima, agar pemerintah pusat dan DPR RI menerbitkan sebuah Undang-Undang tentang kedudukan Daerah Istimewa Aceh. Oleh A.Malik Fadjar semua usulan dan permintaan warga Aceh dijawab secara positif kecuali yang keempat karena tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Departemen Agama. Sebanyak 85 madrasah dinegerikan dan guru-gurunya diangkat menjadi pegawai negeri. Lihat A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 32.
[44] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 38.
[45] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 47-49.
[46] Wawancara Pribadi dengan A. Malik Fadjar pada hari Selasa, 11 Desember 2007.
[47]Abdul Halim Fathoni, “Pendidikan Sebagai Human Investment,” From:    http://www. Penu- lislepas. com/more.php?id=D1977_0_1_0_M. Tanggal 7 November 2007.
[48] A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 57-58.  
[49] Syekh Ihsan Muhammad Dahlan, Siraj al-Thalibin 'ala Syarh Minhaj al-'Abidin, (Beirut Dar al-Fikr, t.th.), Jilid I, h. 4.
[50]Alquran sendiri merupakan perwujudan kreasi ilahiah—yang me­miliki kemampuan untuk menilai, memahami, memutuskan, dan secara cerdas mengungkapkan apa yang diyakini. Namun, perlu dipahami, sebagai­mana dikatakan Imam 'Ali (w. 40 H/661 M.) bahwa "Alquran hanyalah sebuah kitab yang bersampul manusialah yang membaca, memahami, dan menerapkannya." Alquran adalah sebuah teks, dan sebuah teks menjadi mediasi antara penyusunnya dan pembaca. Asal-usul teks yang bersifat ilahiah ini mengharuskan adanya mediasi, dan pembacaan manusia mengharuskan dinamismenya. Lihat Khaled Abou El Fadl, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab, terj.Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2002), h. 65.
[51] Universal artinya, ajaran Islam berlaku dan merahmati seluruh alam dengan segala isinya, yang meliputi manusia, hewan, tumbuhan, dan benda-benda planet lainnya. Eternal artinya, berlaku sepanjang masa selama kehidupan dunia masih berlang­sung, selalu kontekstual, dan up to date dengan segala persoalan hidup dan kemanusiaan. Dan kosmopolitan artinya, secara garis besar dan dalam beberapa persoalan, secara rinci ajarannya mencakup semua aspek kehidup­an manusia, atau paling tidak memberi arah dan nilai agar manusia tidak lepas kendali dan tetap mempunyai keterikatan primordial dengan nilai-nilai ketuhanan yang merupakan idealitas fitrahnya. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h. 40
[52] Hadis yang senada terdapat dalam Sunan al-Tarmizi nomor 723 kitab ÇáÇÏÇÈ pada bab ãÇ ÌÇÁ Ýí ÇáäØÇÝÉ yang berbunyi Çä Çááå ØíÈ íÍÈ ØíÈ äÙíÝ íÍÈ äØÇÝÉ  artinya sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai yang baik, Allah itu bersih dan menyukai kebersihan. Lihat CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[53] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h. 41
[54] Hadis yang senada terdapat dalam Shahih Bukhari nomor 2292 dalam kitab المظالم و ÇáÛÕÈ yang berbunyi ÈíäãÇ ÑÌá íãÔí ÈØÑíÞ æÌÏ ÛÕä Ôæß Úáí ÇáØÑíÞ ÝÇÎÐå ÝÔßÑ Çááå áå ÝÛÝÑ áå artinya siapa saja yang menemukan duri di jalan kemudian mengambilnya maka Allah memberi imbalan kepadanya dan mengampuninya. Lihat CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif.
[55] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h.41
[56] Konsultasi dengan A.Malik Fadjar di ruang lobi SPs. UIN Jakarta, Tanggal 23 April 2008
[57] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h.41
[58] Gerakan suci Calvanis ini menjungkirbalikkan doktrin gereja yang sangat tidak bersahabat dengan urusan keduniawian. Menurut doktrin gereja, berdagang  bukanlah dosa, tapi tidak di sukai Tuhan. Tamak pada laba merupakan dosas-dosa yang akan menjadi penghalan jalan menuju kerajaan surga dan sebagainya. Sebaliknya bagi kaum Calvanis, karya besar adalah pertanda sebagai manusia yang terpilih oleh Tuhan. Tuhan tidak hanya ingin manusia bekerja, tapi tangan-Nya ikut bekerja untuk membantu manusia yang dipilihnya. Ketidakberhasilan adalah pertanda manusia itu terkutuk. Oleh sebab itu kekayaan, keberhasilan, adalah suatu yang harus diburu sebagai bukti ia adalah hamba yang terpilih. Lihat A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 45. Lihat Pula, Max Weber, The Protestant Ethic and The spirit of Capitalism, penerjemah Yusup  Priyasudiarja, Etika Protestan dan  Semangat Kapitalisme, (Yogyakarta: Jejak, 2007), h. 120-121
[59] Max Weber, The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism, penerjemah Yusup  Priyasudiarja, Etika Protestan dan  Semangat Kapitalisme, h. 167
[60] A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h.45.
[61]Nabi sebagai contoh yang representatif dalam kehidupan. Seolah Nabi mengkomunikasikan kepada generasi Islam bahwa keberhasilan/kesuksesan rumah tangga/keluarga merupakan kesuksesan Islam. Artinya mencari pasangan hidup harus matang baik dari aspek pendidikan, ekonomi dan psikologi, meskipun itu janda, sehingga dapat membawa kemajuan dan kejayaan Islam.
[62]http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/abdul-malik-fadjar/indeks.shtml. Tanggal 09 Mei 2007. A. Malik Fadjar belum diberikan waktu yang memadai oleh bangsa ini dalam mengelola pendidikan. Sehingga terkesan pemerintah lebih melanggengkan kekuasaan daripada memajukan bangsa ini.  
[63] Bahwa untuk menciptakan pendidikan yang lebih dinamis, kita harus memandang setiap orang adalah unik, istimewa, dan terlahir dengan bakat yang berbeda-beda. Dengan demikian kreativitas berfikir semakin hidup guna mencari temuan-temuan baru dalam alam pikiran manusia lalu diimplementasikan dalam realitas social kehidupan. Lihat Muslih Usa, Lembaga Pendidikan Islam  dan Tantangan Masyarakat Muslim dalam Era Globalisasi  (Yogyakarta: Logos, 1998). h.137. Bandingkan pula, M. Sastrapratedja, “Apa dan Siapa Manusia Itu”, dalam Tonny D.Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2004), h. 82
[64] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 76. Pendidikan merupakan insti­tusi di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan. Pendidikan tersebut menuntut agar pendidikan sejarah nasional diberikan secara bermakna, dengan mengaitkan masa lalu dan masa kini. Situasi masyarakat aktual di satu sisi, dan situasi global di sisi lain harus diolah dalam pendidikan, sehingga wawasan kebangsaan dapat menjadi aktual, kritis, dan terbuka. Dengan cara ini, pendi­dikan dapat menjadi faktor kohesi suatu bangsa.
[65] Wawancara dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, tanggal 14 Maret 2008
[66] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h. 42. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa sosiologi pendidikan perlu diberikan dan didudukkan dalam porsi yang proporsional, mengingat bahwa pendidikaan merupakan salah satu elemen dinamis dalam sosiologi. Maka tidaklah heran jika Emile Durkheim (1858-1917) sosiolog Perancis dan Karl Mannheim (1893-1947) sosiolog Jerman, sebagaimana yang dikutip oleh Muhyi Batubara bahwa, menganggap perlu jika Ilmu sosiologi memberikan ruang yang luas bagi pendidikan karena pendidikan merupakan teknik sosial dan alat pengendali sosial. Lebih Lanjut, Mannheim menuturkan bahwa : "Ahli Sosiologi tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai alat merealisasikaan cita-cita abstrak suatu kebudayaan (seperti humanisme, dan sebagainya), atau sebagai alat pengalihan spesialisasi teknis, tetapi sebagai suatu bagian dalam proses mempengaruhi manusia. Hal tersebut dapat dipahami bahwa bangunan keilmuan Islam harus universal dan integral sehingga dapat otonom dengan masyarakat. Lihat Philip Robinson, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 20. Bandingkan pula, Muhyi Batubara,  Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 21.
[67] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h.42.
[68] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h.42. Lihat pula, Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000), h.57. Pendidikan merupakan proses yang berlangsung dalam suatu budaya tertentu. Banyak nilai-nilai budaya dan orienta­sinya yang bisa menghambat dan bisa mendorong pen­didikan. Bahkan banyak pula nilai-nilai budaya yang dapat di­manfaatkan secara sadar dalam proses dalam peningkatan etos kerja.  Sebagai contoh di Jepang "moral Ninomiya Kinjiro" merupakan nilai budaya yang dimanfaatkan praktek pendidikan untuk me­ngembangkan etos kerja. Kinjiro adalah anak desa yang miskin yang belajar dan bekerja keras sehingga bisa menjadi samurai, suatu jabatan yang sangat terhormat. Karena saking miskinnya, orang tuanya tidak mampu membeli alat pene­rangan. Oleh karena itu, dalam belajar ia menggunakan pe­nerangan dari kunang-kunang yang dimasukan dalam botol. Kerja keras diterima bukan sebagai beban, melainkan di­nikmati sebagai pengabdian. Selain semangat kerja keras, budaya Jepang juga menekankan rasa keindahan yang tercer­minkan pada ketekunan, hemat, jujur dan bersih sebagai­mana semangat Kinjiro diwujudkan dalam patung anak yang sedang asyik membaca sambil berjalan dengan menggen­dong kayu bakar di bahunya. Patung tersebut didirikan di setiap sekolah di Jepang. Sesungguhnya budaya itu sudah melekat dalam Islam hanya saja umat tidak totalitas menangkap makna apinitas keislaman.
[69] http://unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=4412&coid=1&caid=24. Tanggal, 15 Januari 2008.
[70] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h.43. Yang khas dari sosiologi itu adalah makna subjek­tif; tindakan kita bermakna bagi kita dan juga dapat dikenal oleh orang-orang lain. Dunia kita adalah dunia makna milik bersama, di mana kita terus-menerus membaca, dan menye­suaikan diri kepada, penafsiran-penafsiran kita menge­nai orang-orang lain, memodifikasikan tindakan-tindakan kita sendiri sebagai respons atas penilaian kita mengenai konsekuensi-konsekuensi dari perilaku kita sendiri. Akan tetapi dalam menekankan pentingnya perilaku yang ber­makna, sosiolog tidak mengabaikan kendala-kendala terha­dap perilaku itu.
[71] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pandidikan Islam, h.43-44
[72] Muhyi Batubara,  Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 33.
[73] Muhyi Batubara,  Sosiologi Pendidikan, h. 33. Pendidikan merupakan ranah yang strategis dalam membangun umat manusia menjadi manusia yang bermartabat. Untuk mencapai hal itu, salah satunya diperlukan pembentukan pandangan hidup masyarakat menuju khaira ummah.
[74] Joy A.Palmer (ed). Fifty Major Thinkers on Education, (London: Routledge, 2001), 177.
[75] Muhyi Batubara,  Sosiologi Pendidikan, h. 33-34.
[76] Muhyi Batubara,  Sosiologi Pendidikan, h. 34.
[77] Emile Durkheim, The Devision of Labor in Society,  (New York: The Free Press, 1964), h.353. Manusia adalah sosok ciptaan Tuhan yang unik. Keunikannya bersumber dari potensi yang dimilikinya. Hal itu dapat dilihat dari hasil budaya dan peradaban manusia di persada nusantara.  Meskipun demikian di lain sisi  manusia sosok yang posibilitas dan aktualitas. Dalam posibilitas itu terkandung kemungkinan manusia untuk semakin menjadi manusia, dengan mengatasi keterbatasan yang dihadapi. Akan tetapi di pihak lain manusia dapat menggunakan daya kekuatannya untuk melakukan kekerasan, lebih-lebih jika kekuatan dirinya, terutama akal budinya dipadukan dengan per­alatan yang dapat dibuatnya.
[78] Di zaman modern yang menglobal tumbuh suatu kesadaran, betapa hidup manusia diperkaya oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Mesin uap, listrik, atom, kuman, dan ratusan penemuan ilmu pengetahuan membuka alam bagi budi manusia. Tumbuhnya sains membawa kesejahteraan manusia yang sebelumnya tidak terbayangkan. Meski demikian perlu diakui, ilmu pengetahuan dan teknologi hanya merupakan sebagian dari proses pencerdasan. Sebab ilmu-ilmu sosial juga menolong manusia untuk secara metodis dan sistematis memahami hidupnya bersama orang lain. Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 11.
[79] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 76. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan unsur budaya yang penting dan berakar pada kebutuhan asasi manusia atau kepen­tingan manusia.  Dengan demikian kebu­tuhan untuk eksis di lingkungannya, melahirkan ilmu pengeta­huan dan teknologi. Kemudian, kebutuhan untuk berkomunikasi dengan sesama dan dengan tradisi yang telah dibangunnya mendorong berkembangnya ilmu-ilmu interpretatif atau hermeneutik.
[80] Menghadapi perubahan sosial masyarakat yang berlangsung cepat dan tidak terduga, siapa pun yang mencintai dunia pendidikan dipaksa untuk selalu belajar dan mempertanyakan guna menemukan hal yang baru bersifat keilmuan. Situasi yang serba berubah inilah yang diinginkan mendorong terciptanya kompetisi yang sehat guna membangun budaya dan peradaban manusia yang lebih moderen.  A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 76.
[81] Adapun kontribusi pendidikan terhadap masyarakat di antaranya adalah pengembangan kebudayaan serta perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. Lihat Mahmûd al-Sayyid Sulthan, Al-Tarbiyah wa al-Mujtama’, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1979), h. 21
[82] M. Amien Rais, Permasalah Abad 21 Sebuah Agenda., h. XXI. Lihat Pula Budhy Munawwir Rachman, Agama, Modernitas Dan Pluralisme Bangsa,(Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h.82. Manusia melalui teknologi telah mengubah alam sedemikian rupa sehingga tak mungkin lagi keseimbangan alamiah pulih sendiri tanpa intervensi manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan kepada manusia kekuasaan untuk menguasai lingkungannya, tetapi tidak memberikan "kebijaksanaan" yang diperlukan untuk menghin­dari pemerkosaan lingkungan sampai tidak dapat dipulihkan. Keber­hasilan teknologis dapat berbarengan dengan malapetaka ekologis. Itulah sebabnya, etika lingkungan menjadi keharusan dalam pendi­dikan sejak dini.
[83] Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam, Pembaharuan Pendidikan Islam : Konsep dan Pengantar Dasar,  Jilid II, (Jakarta: t.p., h. 992), h. 139. Semua daya manusia itu merupakan potensi yang harus diak­tualisasi, agar manusia semakin maju dan berkembang. Pendidikan menyadar­kan peserta didik akan daya-daya yang tersembunyi di dalam dirinya, untuk selajutnya di renungkan dan digali potensi-potensi tersebut, sehingga akan menciptakan suasana yang lebih seimbang dan harmonis.     
[84] Akbar S. Ahmad, Discovering Islam  and Making  Sense of Muslim Hostory and society, (New York: Roulledge, 1990), h. 8.    
[85] Jalaluddin Rahmat, Islam Aktual : Refeleksi Sosial seorang Cendikiawan Muslim,  (Bandung: Mizan, 1994), h. 64.  Lihat pula,  M. Arifin, Ilmu Perbandingan Pendidikan, (Jakarta: Golden Terayon Press, 2003), h.27.
[86] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 77. Manusia kreatif dan inovatif  bahkan produktif disebabkan memiliki jiwa otonom yang penuh dalam dirinya. Dengan demikian selalu mencoba untuk mengobrak abrik susana bangunan keilmuan yang lebih dinamis. Situasi itu tidak hanya membatasi kebebasan manusia, tetapi juga memberikan kemungkinan-kemung­kinan untuk bertindak dari berbagai lini kehidupan.
[87] Perkem­bangan dari masyarakat agraris kepada masyarakat industrial, kemudian kepada masyarakat pasca industrial membawa berbagai perubahan orientasi hidup. Perubahan yang cepat di berbagai bidang itu, lebih-lebih karena pengaruh global, akan menghadapkan manusia kepada berbagai pilihan baru, seperti ideologi, sikap, gaya hidup, sistem nilai, keyakinan, dan lain-lain. Perubahan itu tidak bersifat deterministic, karena manusia dapat mengambil sikap terhadap perubahan tersebut. Yang tak terelakkan adalah keharusan pilihan dan atas dasar kriteria apa kita menjatuhkan suatu pilihan. Maka intervensi pendidikan menjadi sangat penting. Pemberdayaan akan memampukan manusia untuk bisa mengambil sikap secara kritis. Lihat J.W.Scoorl,  Sosiologie And Modernising,  dialihbahasa oleh K.K. Soekadijo, Modernisasi:Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 1.
[88] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 77-78. Dengan kesadaran pendidikan yang otonom dalam hidup akan mewujudkan persemakmuran intelektual depersada nusantara ini. Semangat berfikir seperti inilah yang akan menyelamatkan aset bangsa dan mengangkat martabatnya di masa depan. Untuk itu tak ada pilihan lain bagi pemerintah kecuali memberikan prioritas pada perbaikan dunia pendidikan, tanpa harus mengorbankan identitas budaya bangsa baik secara nasional maupun lokal.
[89] Arief Rahman, Peran Pendidikan dalam Iman dan Taqwa Menghadapi Era Teknologi dan globalisasi” dalam Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri, Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos, 1999), h. 74.
[90] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 79. Bandingkan juga, Bernad Lewis, Islam Liberalisme, Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin dan Konteks Global, terjemahan (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 50-51.
[91] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 79. Yakin bahwa Islam merupakan agama rahmat bagi seluruh alam, maka manusia  harus bersikap lebih terbuka, elegan  dan demokratis. Semangat untuk berbuat adil dari semua aspek  merupakan buah dari iman dan taqwa. Bila hal ini di letakkan dalam sebuah lembaga  maka lembaga tersebut semakin maju dan dinamis. Pendidikan bukan lembaga ideologi, tetapi lembaga penyebar cinta kasih dan pusat pendidikan untuk membantu anak-anak bangsa guna membangun mimpi-mimpinya di masa depan.
[92] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 80.  Manusia mengalami, betapa luas dan dalamnya lingkup, pengetahuan manusia, dan betapa dinamisnya pengetahuan manusia. Manusia memerlukan keterbukaan ilmiah jika mau mengintegrasikan ilmu pengetahuan luas dalam diri. Dalam perspektif itu, nilai yang diungkapkan dalam berbagai disiplin ilmu menyediakan bahan tidak terbatas bagi proses didik. Dalam pengenalan dan pendalaman serta perluasan nilai-nilai itulah manusia diajak menyerap seluruh cakrawala pendidikan manu­sia sehingga dapat memahami dan menyadari makna kehidupan.
[93] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 80.  Pendidikan bertujuan untuk membantu manusia menjadi semakin manusiawi. Akan tetapi tujuan manusiawi itu hanya dapat dicapai melalui jalan yang manusiawi pula. Karena itu, pendidikan yang diwarnai dengan budaya tradisional, menunggu perintah dan semacamnya akan mereduksi peserta didik menjadi obyek bertentangan dengan tujuan pendidikan. Pendidikan yang eksklusif, yang tidak memungkinkan pengembangan kreativitas dan kemandirian, tidak akan mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Memekarkan potensi, menguasai ilmu dan teknologi, memupuk kerja sama, menciptakan sikap saling menghormati, menumbuhkan sikap apresiatif terhadap perbedaan agama dan budaya, membangun komitmen untuk mengabdikan ilmu dan tekno­logi bagi kemanusiaan merupakan cerminan menusia yang tercerahkan. Dengan demikain manusia menca­pai tahap perkembangan yang lebih utuh.
[94] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 81
[95] Ali Syariati, Membangun Masa Depan Islam, (Bandung: Mizan, 1993), h. 162.         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar