Sabtu, 12 Desember 2015

Pembaharuan Pendidikan Islam STAI menuju IAIN/UIN

Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam
(Studi Terhadap Pengembangan STAIN dan IAIN Menuju Universitas)
Oleh : Dr. Muh. Idris, M.Ag♦
Abstrak
Kualitas fungsional STAIN dan IAIN sebagai pusat kajian dan pengembangan ilmu keagamaan dalam masyarakat muslim mendapat tantangan di era kontemporer dewasa ini. Semakin majunya sains dan teknologi di abad milenium ketiga ini, menjadikan agama sarat dengan berbagai kritik, bahkan tidak jarang nilai-nilai agama akan sangat mudah ditinggalkan. Tanpa adanya pembaruan metodologis dalam penyiaran dan kajian di bidang agama, boleh jadi akan sangat mungkin jati diri STAIN dan IAIN sebagai cagar agama, pencetak ulama, dan cendikiawan agama akan semakin tidak kelihatan. Artinya agama dengan nilai-nilainya akan sangat mudah ditinggalkan oleh masyarakat sejalan dengan ketidakmampuan STAIN dan IAIN sebagai lembaga pencetak ulama dan cendikiawan agama tidak dapat ditelorkan. Keberadaan STAIN dan IAIN sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi sangat tergantung kepada seberapa jauh ia mampu merekayasa dirinya mengikuti perubahan dan perkembangan yang berlangsung dalam dinamika kehidupan. Munculnya upaya transformasi STAIN dan IAIN ke UIN dengan membuka fakultas-fakultas baru umum atau melakukan winder mandate dengan mengembangkan jurusan-jurusan umum pada setiap fakultas di lingkungan STAIN dan IAIN yang selaras dengan tuntutan masyarakat yang terus berkembang. Hal ini menunjukkan kesadaran akan perlunya perubahan dan pengembangan di STAIN dan IAIN yang selaras dengan tuntutan perkembangan masyarakat tersebut.
Kata kunci: Lembaga pendidikan Islam, STAIN, IAIN, Universitas.
A. Pendahuluan
Peran lembaga pendidikan adalah mencerdaskan dan mencerahkan anak bangsa. Perguruan tinggi merupakan wahana pengembangan ilmu pengetahuan dan membentuk karakter (character building). Maka stakeholders dari lembaga perguruan tinggi adalah terdiri dari komunitas ilmuan dan masyarakat Islam. Komunitas ilmuan mempunyai harapan agar ilmu itu berkembang, sementara masyarakat menginginkan lembaga kampus memperjuangkan keilmuan, memajukan umatnya.1 Jadi bukan hanya ilmu yang maju tapi juga umatnya. Kemajuan yang sinergis antara ilmu pengetahuan dan umat sangat diharapkan lebih dinamis di era otonomisasi dan globalisasi.
♦ Penulis adalah dosen tetap pada STAIN Manado
1 Komaruddin Hidayat, “Perubahan Nama Harus Disertai Perubahan Mainset” dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 105
1
Ada dua kecenderungan yang bisa diidentifikasi berkaitan dengan zaman globalisasi. Pertama, semakin kuatnya dominasi iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam kehidupan manusia. Kedua, kuatnya dominasi iptek pelan-pelan menggeser nilai-nilai luhur yang secara universal dijunjung tinggi oleh manusia.2 Dalam konteks itulah maka peran lembaga pendidikan sebagai pemasok utama manusia-manusia skilled, manusia yang memiliki kemahiran dan keterampilan penguasaan iptek, bertanggung jawab mengembalikan visi, konsep, dan orientasi penguasaan sekaligus penggunaan iptek pada sesuatu yang bernilai. Atas dasar itulah perguruan tinggi Islam di bawah naungan Departemen Agama sebagai bagian integral pendidikan nasional dituntut mampu mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi, dan politik nasional yang menglobal.
Oleh karena itu sudah menjadi suatu keharusan STAIN dan IAIN berubah menjadi universitas. Pengembangan STAIN dan IAIN menuju Universitas tidak hanya dilihat dari persoalan sosial keagamaan tetapi internalisasi dan integrasi nilai-nilai keilmuan harus melekat dalam lembaga pendidikan. Dengan demikian acuan mendidik dalam penanaman motivasi, etik, dan moral pada dasarnya adalah menanamkan suatu perangkat nilai yaitu imaniah, ilmiah dan akhlakiah. Hal tersebut bisa terwujud secara fungsional pada lembaga universitas Islam. Pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN merupakan usaha mempertegas, mempertajam dan memperbaharui pendidikan Islam dalam hal melayani kebutuhan mendasar manusia. Sebab pendidikan berkaitan masa depan umat manusia yang sustainable yang selalu mengalami dinamika di era global.
B.Pengembangan Fakultas Cabang Menjadi STAIN
Merespon perkembangan globalisasi, A.Malik Fadjar (ketika menjabat Dirjen Binbagais Departemen Agama) mengusulkan pembenahan dan rasionalisasi
2 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005), h. 42 Lihat pula Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h.108.Lihat Zuhal Abdul Qadir, Pembangunan Masyrakat Berdimensi Imtaq dan Iptek, (Jakarta: Intermasa, 1997), h. 124-125. Bandingkan pula, Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989), h 176-177.
2
organisasi Perguruan Tinggi Agama Islam atau IAIN.3 Hasil dari rasionalisasi organisasi pada tahap praksisnya melahirkan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997 yang menetapkan fakultas cabang di lingkungan IAIN berubah menjadi STAIN.4
Hal yang mendasari munculnya gagasan ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh A.Malik Fadjar bahwa nama fakultas cabang itu sebetulnya bertentangan dengan undang-undang. Struktur Perguruan Tinggi yang benar adalah Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Diploma, bukan fakultas cabang. Untuk kepentingan ini, A.Malik Fadjar melakukan komunikasi intensif dengan berbagai kalangan; dengan Depdiknas, Departemen Anggaran, Bappenas, Menpan, dan juga para DPR. Terbitlah kemudian Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1997 yang menyatakan 33 Fakultas Cabang IAIN menjadi STAIN. 5
3 Terdapat 14 IAIN yang tercatat di Depag sampai tahun 2001. 1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (berdiri 26-9-1951), 2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1 Juni 1957), 3) IAIN Ar-Raniri Banda Aceh (5-10-1963), 4) IAIN Raden Fatah Palembang (13-11-1964), 5) IAIN Antasari Banjarmasin ( (20-11-19640, 6) IAIN Sunan Ampel Surabaya (5-7-1965), 7) IAIN Alauddin Ujung Pandang (10-11-1965), 7) IAIN Imam Bonjol Padang (21-11-1965), 9) IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (8-8-1967), 10) IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (8-4-1968), 11) IAIN Raden Intan Bandar Lampung (13-10-1968), 12) IAIN Walisongo Semarang (1-4-1970), 13) IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru (16-9-1970), 14), IAIN Sumatera Utara (19-11-1973). Lihat Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001
4 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 35. Telah kita pahami bahwa pendidikan tinggi merupakan tempat pengecambahan biji pembangunan yang berupa sumber daya manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan. Secara umum, mereka merupakan sosok yang mempunyai daya hidup aktif untuk mencari dan mengembangkan kehidupan sosial dan memajukan perekonomian suatu bangsa. Meskipun sebenarnya, yang lebih penting lagi dalam kehidupan dan pengajaran di stratum pendidikan tinggi adalah metodologi yang membuka dan mengajak pesertanya untuk berpikir bebas dan mandiri demi kejayaan lembaga perguruan tinggi.
5 Tercatat 33 STAIN di seluruh Indonesia pada waktu itu: 1)STAIN Ambon. 2) STAIN Prof. Dr. Mahmud Yunus batu Sangkar. 3) STAIN Bengkulu. 4) STAIN Svaikh Djamil Jambek Bukittinggi. 5) STAIN Cirebon. 6) STAIN Curup. 7) STAIN Sultan Amai Gorontalo. 8) STAIN Jember. 9) STAIN Kediri. 10) STAIN Kendari. 11) STAIN Kerinci. 12) STAIN Kudus. 13) STAIN Malang. 14)STAIN Manado. 15) STAIN Mataram. 16) STAIN Jurai Siwo Metro. 17)STAIN Padang Sidempuan 18).STAIN Palangka Raya. 19) STAIN Palopo. 20)STAIN Datolarama Palu._21)STAIN Pamekasan. 22) STAIN Pare-pare. 23) STAIN Pekalongan. 24) STAIN Ponorogo. 25) STAIN Ponttianak. 26) STAIN Purwokerto. 27) STAIN Salatiga. 28) STAIN Samarinda. 29) STAIN Maulana Hasanuddin Serang. 30)STAIN Surakarta. 31)STAIN Ternate. 32) STAIN Tulungagung. dan 33) STAIN Watampone. Pembentukan STAIN berdasarkan Keppres No.11 Tahun 1997. Semua STAIN ini secara serempak diresmikan pada 30 Juni 1997. Baca Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam negeri 2000-2001. Lihat Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001. Lihat juga Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perguruan Tinggi Agama Islam Seri XIV, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1997/1998), h. 69-71. Dari 14
3
Menurut A.Malik Fadjar, tantangan waktu itu keras. Mereka yang menolak berubahnya fakultas cabang IAIN menjadi STAIN sesungguhnya tidak paham mengenai College, School of Business, dan sebagainya, sebenarnya founding fathers (bapak-bapak) kita terdahulu lebih paham melihat kebutuhan pendidikan ke depan.6
Menurut Azyumardi Azra bahwa tujuan A.Malik Fadjar dalam mengembangkan gagasan perubahan IAIN menjadi UIN kemudian pemisahan fakultas-fakultas cabang menjadi STAIN, supaya fakultas itu bisa mandiri dan dengan kemandiriannya bisa meningkatkan kualitas, tidak tergantung ke induknya sementara induknya sendiri tidak bisa memperhatikan, mengelola dan mengembangkannya dengan baik.7 Setidaknya ada empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung kebijakan pendidikan yang membebaskan, yaitu: (1)peningkatan mutu, (2)efisien keuangan, (3)efisien administrasi, dan (4)perluasan/pemerataan.
Di lain sisi yang lebih fundamental adalah untuk melakukan penguatan pada lembaga-lembaga STAIN dengan pengembangan SDM yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan itu, diperlukan kesiapan memadai dengan strategi pentahapan terukur, dan dengan mempertimbangkan kondisi daerah yang beragam. Keberhasilan dalam mewujudkan otonomi lembaga pendidikan amat bergantung pada kerja sama yang baik di antara berbagai kalangan: baik para pengambil kebijakan (pemerintah pusat dan daerah), perguruan tinggi, aparat pelaksana, guru, orangtua, bahkan masyarakat yang tergabung dalam elemen tersebut. Semua pihak diharapkan menunjukkan komitmen kuat untuk membangun pendidikan bermutu demi kemajuan bangsa.
Dengan dimerdekakannya lembaga pendidikan tersebut diharapkan mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa banyak dipengaruhi dan
IAIN dan 33 STAIN yang ada ini, 6 di antaranya telah berubah menjadi UIN yaitu : 1). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diresmikan pada tanggal 8 Juni 2002, 2). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, 3). UIN Malang tahun 2004, 4). UIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru. 5). UIN Alauddin Ujung pandang tahun 2006, 6). UIN Sunan Gunung Jati Bandung tahun 2006
6 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 36..
7 Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra diruang Direktur SPs UIN Jakarta, Tanggal 20 Mei 2008
4
tergantung dengan pihak lain. Untuk mencapai tujuan kemandirian tersebut dilakukan upaya-upaya penataan dan pemberdayaan (empowermen) terutama semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan otonomisasi itu. Dengan demikian perguruan tinggi memiliki kebebasan untuk menetapkan fungsi dan konstribusi dalam pengembangan dan mentransmisikan ilmu pengetahuan kepada komunitas masyarakat dalam membangun dunia pendidikan sejalan konteks kekinian.
Dalam konteks pengembangan keilmuan di STAIN maka penting menata elemen-elemen kelembagaan sebagai langkah ke depan yang perlu dilakukan seiring dengan arus perubahan global, yaitu:
Penataan kelembagaan; mengkaji dan mengembangakan posisi STAIN, program studi dan konsentrasi dari jurusan untuk melihat kaitannya dengan visi STAIN dan relevansinya dengan kebutuhan masyarakat baik lokal, nasional dan global.
Penataan bidang akademik; hal ini antara lain pentingnya melihat disain prodi dengan konsentrasi jurusan, hal itu perlu dirancang secara matang dan akurat baik aspek kurikulum, proses belajar mengajarnya, ketersediaan tenaga pengajar, kepustakaan dan lain-lain khusus untuk tenaga pengajar, misalnya dapat ditempuh dengan membentuk team teaching antara dosen yang memiliki jam terbang tinggi (pengalaman) dengan dosen muda sehingga tercipta suasana sinergis dan kaderisasi dosen dalam pengembangan ilmu. Sementara itu program penyekolahan dosen dan calon dosen sesuai dengan kebutuhan STAIN baik sekarang maupun yang akan datang. Program tersebut harus digalakkan secara sistematis dan berkesinambungan. Demikian juga dengan kepustakaan harus mendapat prioritas yang mencakup upaya kemajuan STAIN. Kemudian asosiasi bidang ilmu dan profesi perlu dikembangkan dan digalakkan sebagai wadah profesional.
Penataan bidang administrasi; penataan bidang ini bertujuan untuk mengadakan deregulasi dan pemberdayaan unit-unit pelayanan yang ada di STAIN. Ujung tombak peningkatan kualitas menuju standar mutu lulusan perlu mendapat perhatian besar seperti proses belajar mengajar, lokal kuliah yang nyaman,
5
perpustakaan dan laboratorium, pusat bahasa, pusat penelitian dan penerbitan, pusat kegiatan mahasiswa. Unit pelayanan harus mereformasi diri dengan paradigma baru yang otonom dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen, antara lain dengan memperpendek mata rantai birokrasi dan mengurangi biaya administrasi. Jaringan telekomunikasi dan komputer on-line akan dapat membantu dalam koordinasi administrasi STAIN.8
Dengan pengembangan pendidikan Islam, maka dibutuhkan kecekatan intelektual tersendiri untuk menyelisik aneka persoalan dasar yang bersama-sama kita agendakan dalam rencana-rencana tindakan permecahannya guna memenuhi pangsa pasar ke depan.
Menyangkut tentang beberapa aspek yang perlu dan segera dikembangkan di STAIN menurut Imam Suprayogo adalah meliputi: Pertama, masjid dan asrama mahasiswa. Sadar bahwa kampus ini adalah ingin mengantarkan mahasiswa menjadi ulama dan intelek profesional.9 Lanjut Imam Suprayogo dengan mengutip pandangan Mukti Ali yang menyatakan bahwa tidak pernah ada ulama yang lahir selain dari lembaga pesantren. Imam Suprayogo mencontohkan jika STAIN Malang ini (sekarang sudah menjadi UIN) konsisten dengan cita-citanya, yaitu ingin melahirkan ulama maka kampus ini harus dilengkapi dengan pondok atau asrama dan masjid yang representatif. Jika seluruh mahasiswa STAIN Malang, minimal dua tahun atau empat semester tinggal di asrama, maka mereka akan dapat dilatih dalam berbagai hal. Mulai dari kemampuan berbahasa asing Arab dan Inggris, berorganisasi, membiasakan shalat berjamaah, tadarus AI-Qur'an dan bahkan qiyâm al-lail (shalat malam), maka insya Allah cita-cita kita bersama akan dapat diwujudkan. Kedua, pengembangan dosen. Dosen harus segera ditambah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya. Jurusan-jurusan baru segera diupayakan pemenuhan dosen tetapnya. Dosen baru secara bertahap harus diberi peluang untuk menempuh studi lanjut.
8 M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (Ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global, (Yogyakarta: Aditya Media, 2004), h.xii-xiii.
9 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Press, 1999), h.83.
6
Kebijakan ini penting, sebab ternyata ukuran-ukuran ketenaran sebuah perguruan tinggi adalah lebih banyak dilihat dari ketenagaan akademik (dosen). Mutu dosen sangat menentukan majunya sebuah lembaga dan sebagai penggerak di masyarakat.
Selain dosen, yang biasanya juga dijadikan sebagai ukuran kehebatan sebuah perguruan tinggi adalah para alumninya. Oleh karena itu diharapkan agar STAIN ini mampu melahirkan "ulama yang intelek profesional atau intelek profesional yang ulama". Lulusan seperti itu paling tidak diharapkan memiliki empat kekuatan, yaitu (1) kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, (2) keagungan akhlak, (3) keluasan ilmu, dan (4) kematangan profesional.10 Untuk melahirkan keempat kekuatan itu, khusus yang menyangkut pengembangan spiritual, dikembangkan (1) tradisi shalat berjamaah di masjid kampus, (2) kajian kitab klasik/kontemporer setiap Maghrib, (3) tadarrus AI-Qur'an baik oleh kalangan dosen/karyawan dan mahasiswa. Aspek spiritual dan keagungan akhlak merupakan hal yang amat penting peranannya tetapi seringkali dilupakan oleh banyak orang. Lulusan yang memiliki keempat kekuatan itu diharapkan tidak saja dapat menampilkan dirinya sebagai sosok agamawan, tetapi juga mampu memasuki lapangan kerja pada sektor-sektor modern. Tugas itu amatlah berat, dan oleh karena itu tidak mungkin hanya ditunaikan secara sambilan atau asal-asalan. Mendidik atau menjadi dosen mirip dengan yang dituntut terhadap seorang petani. Seorang petani harus rajin, tekun, sabar, dan ulet. Petani yang baik adalah yang tak pernah putus-putusnya memikirkan, memperhatikan, dan merawat tanamannya sebaik-baiknya. Petani yang lalai akan tugasnya tentu, tidak akan panen dengan baik. 11
A.Malik Fadjar mengapresiasi pandangan E.Bolsius dalam pembicaraan tentang “Perspektif Universitas" yang antara lain menyatakan bahwa jika setiap orang yang ingin mencapai kemajuan harus menjamin dirinya dengan sebuah ijazah universitas, berarti bahwa kekuatan-kekuatan dalam masyarakat akan semakin
10 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, h. 85.
11 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, h. 85
7
ditentukan oleh orang-orang yang telah dibentuk secara universiter dan bahwa masyarakat akan semakin lebih terpelajar.12
Berbicara tentang profesionalisme dalam bingkai pendidikan Islam, mau tidak mau kita akan menempatkan lembaga pendidikan tinggi sebagai suatu tempat yang paling menentukan. Dengan demikian makna pendidikan tinggi, kini dan mendatang, bukan lagi sebagai kebutuhan "mewah", melainkan sudah menjadi kebutuhan "pokok" masyarakat.
Maka kalau pendidikan tinggi sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat, sebagai konsekuensi logisnya harus terjalin hubungan erat, terbuka dan saling menopang antara perguruan tinggi dengan masyarakat. Dalam hal ini pihak perguruan tinggi dituntut untuk menempatkan masyarakat sebagaimana mestinya memperoleh fungsi pelayanannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebaliknya, juga dituntut adanya kesadaran masyarakat bahwa untuk memenuhi tanggung jawab tersebut, perguruan tinggi perlu biaya besar, sebab pendidikan memang mahal. Oleh karena itu dapat dibenarkan mengapa para ahli ekonomi menyebut pendidikan sebagai "human investment". 13
A.Malik Fadjar mengutip GBHN 1993 dan 1998 telah menetapkan bahwa pendidikan tinggi perlu terus dibina dan dikembangkan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik yang professional, serta kemampuan kepemimpinan yang tanggap terhadap kebutuhan pembangunan dan penyesuaiannya dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berjiwa penuh pengabdian maupun memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap masa depan bangsa dan negara. Sejalan dengan itu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di lingkungan perguruan tinggi ditingkatkan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di masa sekarang dan yang akan datang. Kehidupan kampus
12 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998), h. 136.
13 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam , h. 137.
8
dikembangkan sebagai lingkungan ilmiah dinamis, kreatif dan inovatif. Berwawasan budaya bangsa, bermoral pancasila dan berkepribadian Indonesia.14
Generasi-generasi pendidik yang didambahkan ke depan, yang lahir pada rahim lembaga pendidikan tinggi antara lain adalah:
1. Kepemimpinan yang visioner dan andal. Kepemimpinan dicirikan oleh: berkarakter, berkharisma, berkompeten dan berkomitmen terhadap lembaga/ universitas yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang visioner dan andal ini yang akan mampu menjadi penggerak bagi dinamika dan pengembangan sebuah instansi. Kepemimpinan ini mencakup semua lini dalam sebuah perguruan tinggi.
2. Membangun kemitraan dengan lembaga lain. Di era global seperti sekarang ini, membangun jaringan kerjasama adalah sebuah keniscayaan dalam pengembangan sebuah perguruan tinggi. Bagaimana cemerlangnya sebuah ide yang digagas para pemimpin sebuah perguruan tinggi, ia tidak akan berarti jika perguruan tinggi itu tidak mau membangun jaringan kerjasama.
3. Memperkokoh aktivitas penelitian. Kebesaran sebuah perguruan tinggi akan sangat ditentukan dan diukur oleh seberapa banyak penelitian berkualitas yang dihasilkan oleh perguruan tinggi itu. Penelitian adalah kompas moral akademia.15
Menurut Azyumardi Azra, aspirasi umat Islam umumnya bagi pembentukan perguruan tinggi Islam secara umum didorong oleh setidaknya tiga tujuan; pertama, untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah; kedua, untuk melakukan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam, sehingga Islam dipahami dan dilaksanakan secara lebih baik oleh mahasiswa dan kaum Muslimin umumnya; dan ketiga, untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris
14 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam , h. 137
15 M.Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (Ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Msyarakat Global, h. x
9
keagamaan lainnya, baik pada birokrasi negara, seperti Departemen Agama, maupun lembaga-lembaga sosial, dakwah dan pendidikan Islam swasta.16
Ini berarti, bahwa lembaga perguruan tinggi Islam mempunyai tugas sebagai wadah penyiapan penafsir-penafsir Islam dan untuk kemudian dikomunikasikan kepada masyarakat luas. Interpretasi-interpretasi baru yang diberikan terhadap ajaran-ajaran Islam dengan demikian haruslah dapat dikomunikasikannya dengan bahasa yang jelas dan dimengerti masyarakat.
Adalah suatu yang musykil, bila kita mengharapkan seluruh produk IAIN dapat menjadi kaum intelektual. Mungkin hanya sebagian kecil saja yang kemudian mampu menjadi kelompok elite tersebut. Sebagian besar mereka tetap merupakan golongan intelegensia agama yang terutama berperan sebagai pekerja sosial pada berbagai bidang. Bagaimanapun kemunculan kaum intelektual (Muslim) dari IAIN/STAIN tetap merupakan ekspektasi sosial dan ekspektasi akademis. Merekalah yang diharapkan menjadi motor penggerak perubahan sikap sosial dan keagamaan, sesuai dengan salah satu fungsi intelektual itu sendiri.17
Di samping pengembangan lembaga STAIN, bentuk pengembangan perguruan tinggi yang lain adalah dengan di-BHMN-kan (Badan Hukum Milik Negara) beberapa perguruan tinggi. A.Malik Fadjar ketika menjabat Menteri Pendidikan Nasional,18 mengeluarkan keputusan perubahan status beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), memberikan kelonggaran kepada perguruan tinggi untuk mengusulkan jenis gelar yang sesuai dengan bidang keahlian Program Studi yang diselenggarakan.19
16 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 170.
17 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.165.
18 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 51-56
19 A.Malik Fadjar ketika menjadi Mendiknas, mengeluarkan SK. No. 178/U/2001 guna untuk mengusulkan jenis gelar yang sesuai dengan bidang keahlian Program Studi yang diselenggarakan. SK ini tentunya membuat perasaan lega terutama mahasiswa IAIN/STAIN dan PTAIS serta Perguruan Tinggi Agama non Islam yang selama ini menggunakan gelar Sarjana Agama dan/atau Magister Agama yang banyak digugat oleh Mahasiswa Lihat Suwito, pada pidato Pengukuhan Guru Besar
10
Pada waktu pemerintahan B.J Habibi, telah dikeluarkan sejumlah Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan perguruan tinggi. Di antaranya adalah PP No. 60 tahun 1999 tentang perguruan tinggi dan PP No. 61 tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi. Kedua PP ini memberikan kewenangan yang luas bagi perguruan tinggi secara nasional, khususnya negeri untuk mengembangkan dirinya termasuk untuk menjadi perguruan tinggi yang mandiri. Sejumlah perguruan tinggi yang besar seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menjadikan lembaganya sebagai BHMN yang mandiri.20
Dari penjelasan di atas dapat diketahui tujuan dari BHMN perguruan tinggi adalah untuk mengotonomikan perguruan tinggi yang bersangkutan. Berdasarkan hal ini, A. Malik Fadjar menyatakan bahwa kehadiran Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 cukup memahami makna dan keterkaitannya dengan misi reformasi, dan pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) baik isi, jiwa, maupun semangatnya pada dasarnya sejalan dengan misi reformasi. Bahkan sebelum lahirnya UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, telah ada Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004. Dalam Undang-undang propenas, bidang pendidikan ditegaskan perlu otonomi dan demokratisasi dalam penyelenggaraan pendidikan.21
Selanjutnya A. Malik Fadjar menyatakan bahwa bagi lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, kesan yang umumnya berkembang adalah BHP/BHMN berarti privatisasi. Dengan privatisasi berarti ”mahal”. Sementara bagi lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat atau swasta yang bernaung di bawah yayasan dan badan wakaf atau lainnya, umumnya terkait dengan ”kepemilikan aset”. Oleh karena itu kehadiran BHP/BHMN yang sesungguhnya dalam kerangka otonomi, transparansi dan profesionalisasi dalam penyelenggaraan
dalam Bidang Pemikiran dan Pendidikan Islam “Pendidikan yang Membebaskan, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Januari 2002. Lihat pula Suwito (Ed), Pemberdayaan Lembaga Pendidikan, (Belum cetak, tth.), h.10.
20 Ahmad Haris, “Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi, dalam Amril Mansur, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press, 2004), h. 106-107
21 A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, (Jakarta; Penerbit INTI, 2008), h. 143
11
pendidikan perlu sosialisasi dan pendekatan yang lebih arif, tidak perlu tergesa-gesa dan bersifat memaksa. Boleh jadi perlu penyesuaian dan pentahapan, dan sebagai salah satu arah politik pendidikan perlu disinkronkan dengan kebijakan-kebijakan yang telah ada serta konsistensi dengan misi reformasi.22
Akibat dari perguruan tinggi menjadi BHMN dalam realitasnya mendulang sejumlah kontroversi dan menimbulkan dampak yang cukup signifikan dalam pengelolaan pendidikan di lapangan. Di antara dampak langsung dari PT BHMN ini adalah semakin mahalnya biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Selain itu konsekuensi PT BHMN adalah keharusan almamater untuk lebih bersifat enterpreneurial, dengan lebih berorientasi pada sektor bisnis dan manajemen yang lebih efesien dan efektif.23
Adanya kebijakan dengan terbentuknya 33 buah STAIN maka pengembangan IAIN mengalami babak baru. Dengan pendirian STAIN-STAIN ini, studi Islam di daerah-daerah diharapkan perkembangannya menjadi lebih mandiri. Dampaknya mulai terasa, sejumlah STAIN yang lebih kuat dapat berkembang lebih cepat,24 bahkan berubah menjadi UIN seperti halnya di UIN Malang. Akan tetapi STAIN yang lebih lemah akan semakin lemah, karena transfer dan subsidi tenaga dari manajemen dari bekas IAIN induknya menjadi sulit terjadi. Dampak lain dari pendirian STAIN ialah bahwa kurikulum IAIN sejak 1997 ternyata telah diatur dan diperlakukan seperti STAIN, khususnya dalam mengelompokkan MKDK dan MKK sehingga para dosen IAIN merasa seolah-olah kehilangan keberadaan fakultas mereka dan perbedaan kurikulum IAIN antar fakultas menjadi semakin tak jelas. Sebabnya ialah bias dan dipakainya asumsi STAIN yang tentu saja tidak mempunyai fakultas-fakultas, bahkan nama-nama fakultas itu disebut sebagai nama jurusan pada STAIN.
22 A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, h. 144
23 Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) h. 139
24 http://www.ditpertais.net/artikel/atho01.htm. Tanggal 19 Desember 2007. Kedudukan IAIN Sebagai Perguruan Tinggi.
12
C. Pengembangan Jurusan STAIN/IAIN
Untuk merespon perkembangan pendidikan Islam, A.Malik Fadjar (ketika Dirjen) mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Nomor: E/107/1998 Tertanggal 13 Mei 1998 tentang Penyelenggaraan Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Islam, Program Studi Tadris Matematika, Program Studi Tadris Ilmu Pengetahuan Alam, Program Diploma II (D-2) Pendidikan Agama Islam, Program Studi Kependidikan Islam; Jurusan Psikologi; Jurusan Adab/Bahasa Program Studi Bahasa Arab, Program Studi Bahasa Inggris; Jurusan Syari'ah Program Studi Ahwalus Syakhsyiyah (Peradilan Agama) dan Program Studi Muamalah (Ekonomi Islam) pada STAINMalang.25
Di samping itu, A.Malik Fadjar (ketika Menag) mengeluarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam No. E/138/1999, tentang Penyelenggaraan Jurusan psikologi dan Jurusan Tarbiyah program studi Tadris IPS pada STAIN Malang. Pengembangan jurusan tersebut secara praksis merupakan respons positif dan konstruktif pada pengembangan lembaga pendidikan.26 Dengan demikian lembaga tersebut diharapkan akan lebih mengalami kemajuan dan menguntungkan pada semua lini kehidupan.
Menurut A.Malik Fadjar, sesungguhnya gagasan tersebut dulu sudah ada di IAIN, seperti jurusan dan program studi; ada Jurusan Tadris MIPA, Bahasa Inggris, Tata Negara, Civic Ekonomi, Bahasa Indonesia, dan sebagainya.27 Tetapi mengapa itu kemudian dihapuskan? Mengapa generasi berikutnya tidak mampu melanjutkan ide-ide besar yang dirintis pendahulunya?28
25 A.Malik Fadjar Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.36-37.
26 Himpunan Peraturan Perundang-undangan produk Departemen Agama tahun 1999 yang dibuat oleh Biro Hukum dan Humas Depag RI.
27 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 36.
28 Kalangan akademisi lainnya sangat menyayangkan ketika dilikuidasinya jurusan Tadris di Fakultas Tarbiyah pada 1991 oleh Departemen Agama RI., Dengan alasan berlawanan dengan misi IAIN. Padahal madrasah dengan adanya kebijakan Depdikbud RI pada masa itu, menjadikan dirinya sama dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Depdikbud RI. Dengan kebijakan ini madrasah memasukkan ilmu-ilmu umum, dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiayah dan Aliyah yang kesemuanya ini sangat membutuhkan guru-guru di bidang pengetahuan umum tersebut. Namun
13
Gagasan A.Malik Fadjar tentang pengembangan jurusan dalam kerangka pendidikan Islam tersebut di atas merupakan bibit dari konsep “wider mandate” (mandat yang di perluas), di mana peran A.Malik Fadjar waktu itu sebagai pembuka pintu wider mandate tersebut.29 Adapun tujuan dari wider mandate pada tahap adalah untuk membuka jurusan umum dan mengembangkan lembaga pendidikan dalam merespons modernisasi dan globalisasi. Inilah target yang ingin dicapai oleh A. Malik Fadjar sebagaimana yang diungkapkan oleh Sofyan Effendi.30 Di samping itu menurut Tarmizi Taher adalah untuk mencapai pasar kerja yang kompetitif, baik pada masa itu maupun pada masa sekarang.31
Sementara itu menurut Azyumardi Azra bahwa dalam rangka mendukung perubahan IAIN menjadi UIN maka perlu ada persiapan terlebih dahulu. Penyiapan itulah yang disebut dengan mandat yang lebih luas (wider mandate) yaitu dengan mengembangkan atau membentuk jurusan-jurusan umum yang selama ini belum ada di IAIN. Sehingga IAIN tidak lagi terbatas pada ilmu-ilmu agama tapi juga mencakup ilmu-ilmu umum. 32
Terkait dengan pengembangan jurusan, Sekolah Pasca Sarjana (SPS) UIN Jakarta saat ini tengah menyiapkan pembukaan delapan program studi baru bidang umum untuk program magister atau S2. Pembukaan prodi baru mendesak untuk dilaksanakan karena Pascasarjana kini bukan lagi IAIN, tetapi sudah UIN. Kedelapan
sayangnya Departemen Agama RI pada masa itu justru melikuidasi Jurusan Tadris Fakultas Tarbiyah sebagai institusi yang dapat menjawab akan kebutuhan tersebut. Lihat Zamakhsyari Dhofier “refleksi atas visi misi IAIN” dalam Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI. Press, 2006), h. 4. Oleh karena itu, sudah saatnya STAIN/IAIN menuju Universitas, karena hanya universitas yang mampu melahirkan orang-orang yang berwawasan universal dan tidak membatasi bidang keilmuan. Artinya orang besar/sukses adalah orang yang memiliki keahlian, kemudian dikembangkan dengan bidang ilmu lain yang membawa manfaat dalam kehidupan seperti al-Kindi yang memiliki bidang keilmuan filsafat, matematika, fisika, kedokteran dan lain sebagainya.
29 Wawancara Pribadi dengan Husni Rahim di SPs UIN Jakarta, tanggal 22 April 2008
30 Wawancara pribadi melalui telepon dengan Sofyan Effendi, tanggal 20 Maret 2008
31 Wawancara pribadi dengan Tarmizi Taher di ruang kerjanya Mesjid Istiqlal Jakarta, tanggal 20 maret 2008
32 Wawancara pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, tanggal 20 Mei 2008
14
prodi itu adalah Akuntasi, Manajemen, Teknik Informatika, Sistem Informasi, Psikologi, Agribisnis, Pendidikan Bahasa Inggris, serta Bahasa dan sastra Inggris. Jika prodi umum ini sudah dibuka, ada harapan SPS akan lebih kuat33 dan lebih mareketabel dalam merespon perkembangan global.
Pelaksanaan pendidikan agama cenderung lebih banyak digarap dari sisi pengajaran atau didaktik metodiknya, yang akhirnya tenggelam dalam persoalan teknis-mekanis tinimbang dari aspek “pedagogiknya”.34 Pendidikan agama di sekolah memberikan landasan yang mampu menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik melakukan aksi yang mendukung pembentukan pribadi beragama dalam mengakses berbagai ilmu pengetahuan demi kejayaan Islam sebagai cerminan insan yang taat beragama.
Landasan ini meliputi: Pertama, landasan motivasional, yaitu pemupukan sikap positif peserta didik untuk menerima ilmu-ilmu yang bermanfaat baik wahyu maupun eksakta dan sekaligus bertanggung jawab terhadap pengamalannya guna meningkatkan dan memperkaya khazanah keilmuan yang lebih fungsional. Kedua, landasan etik, yaitu tertanamnya norma-norma keagamaan peserta didik sehingga perbuatannya selalu diacu oleh isi, jiwa, dan semangat akhlâq al-karîmah, serta budi pekerti luhur. Budi pekerti luhur di sini dapat dimaknai pula untuk memudahkan seseorang dalam mencapai sesuatu yang tidak mengeluarkan biaya banyak dan waktu sangat efektif. Seperti ponsel, laptop dan prodak-prodak teknologi yang sangat sopan melayani manusia. Ketiga, landasan moral, yaitu tersusunnya tata nilai (value system) dalam diri peserta didik yang bersumber dari ajaran agamanya yang didesain muatan keilmuan yang fungsional sehingga memiliki prediksi kebutuhan manusia yang urgen dengan demikian umat manusia sibuk merancang kebutuhan manusia yang didesain teknologi mulai dari ruang tamu sampai ke dapur, ruang direktur
33 Suwito, “Pascasarjana Siapkan 8 Prodi Baru”, dalam Berita UIN , No. 80/Th.V/1-15 April 2008
34 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 159.
15
sampai ke ruang satpam, dan lain sebagainya dan temuannya memiliki daya tahan dan daya saing yang tinggi.
Dalam memberikan landasan tersebut, tidak cukup hanya dilihat dari persoalan sosial keagamaan tetapi internalisasi dan integrasi nilai-nilai keilmuan harus melekat dalam lembaga pendidikan. Dengan demikian acuan mendidik dalam penanaman motivasi, etik, dan moral pada dasarnya adalah menanamkan suatu perangkat nilai yaitu imaniah, ilmiah dan akhlakiah. Hal tersebut bisa terwujud secara fungsional pada lembaga universitas Islam.
Pengembangan jurusan merupakan bagian integral dari pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk pengembangan jurusan ada beberapa hal yang harus di perhitungkan antara lain: a)bahwa setiap cabang ilmu pengetahuan dielaborasi dari sisi pandang filosofis Islam; b)dikembangkannya ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial sebagai implementasi dari semangat Islam; c)dengan cara ”mengawinkan” ilmu pengetahuan sehingga memunculkan ilmu-ilmu baru.35
D. Pengembangan STAIN/IAIN Menuju Universitas
Pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN merupakan usaha mempertegas, mempertajam dan memperbaharui pendidikan Islam dalam hal melayani kebutuhan mendasar manusia. Sebab pendidikan berkaitan masa depan umat manusia yang sustainable yang selalu mengalami dinamika di era global. Gagasan perubahan STAIN/IAIN menjadi UIN yang diinginkan bukan sekedar perubahan “papan nama”, tetapi sebagai model “reintegrasi keilmuan” yang menunjuk kepada satu bentuk pengembangan, peningkatan dan pemantapan status akademik yang lebih proporsional dan profesional.36
35 Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI. Press, 2006), h. 291
36 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.37.
16
Lembaga pendidikan tinggi agama sudah harus mendapatkan wider mandate,37 sebagai respon atas tantangan-tantangan baru yang dihadapainya. Dengan mandat lebih luas ini, antara lain, IAIN secara praksis diharapkan mampu berpartisipasi dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu normatif dengan ilmu-ilmu obyektif.38 Tujuan dari perluasan mandat ini adalah reproduksi manusia akademis yang siap pakai dalam menghadapi tantangan zaman yang penuh dinamika di era global.
A.Malik Fadjar menyatakan bahwa UIN ke depan dapat menjadi model sistem pendidikan Islam yang memiliki “kualitas tinggi” dibandingkan dengan PTN/PTS yang lain yang memiliki status, peran dan fungsi yang sama, di samping memiliki otonomi lebih luas baik dalam pengembangan akademik, manajemen maupun admistrasinya.39 Dengan penataan elemen-elemen lembaga pendidikan secara menyeluruh didesain dengan teknologi yang maju maka lembaga pendidikan Islam akan mampu memenuhi logika persaingan pasar ke depan.
37 Wider mandate merupakan “mandat yang diperluas” adalah istilah yang dikembangkan oleh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional untuk menyatakan pemberian kewenangan yang diperluas bagi STAIN/IAIN guna mengembangkan institusinya. Hal tersebut merupakan strategi awal, sekaligus program strategis jangka panjang, sebagai upaya IAIN mentransformasikan lembaganya menjadi UIN. Penting diketahui pada proses sejarahnya bahwa “Konsep IAIN Wider Mandate ini mulai dipopulerkan dan di laksanakan pada masa Azyumardi Azra, sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seperti Teknik Informatika, Agrobisnis, Manajemen, Ekonomi, dan Psikologi yang secara keseluruhan telah mengacu pada kurikulum Diknas. Namun demikian, upaya melakukan perubahan IAIN menjadi UIN dalam prakteknya bukanlah pekerjaan yang mudah. Di samping harus adanya kemauan yang keras, kesungguhan, serta kemampuan yang dimiliki oleh para pimpinan dan pengelola IAIN saat ini, juga harus dipertimbangkan tentang kemampuan mengelola, meningkatkan dan mengembangkannya secara berkesinambungan. Hal ini perlu ditegaskan karena beban yang harus dipikul dan permasalahan yang harus diatasi juga akan semakin berat, besar dan kompleks. Namun kini kaki sudah dilangkahkan, layar sudah dikembangkan, dan gendarang UIN sudah dipukul. Tidak ada alternatif lain kecuali terus mewujudkannya. Berbagai upaya ke arah itu sedang dilakukan secara intensif. Orang-orang yang mengkhawatirkan atas terjadinya penghapusan atau penciutan Fakultas-fakultas Agama yang diakibatkan oleh perubahan IAIN menjadi UIN tersebut sudah dicarikan jawabannya. Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.73-75. Lihat Pula Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru; Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, h.109
38 Fachry Ali, Kontinuitas dan Perubahan: Catatan Sejarah Social Budaya Alumni IAIN dalam Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta: Ditbinperta, 2000), h. 371
39 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.37.
17
Sejalan dengan itu Azyumardi Azra menyatakan bahwa pengembangan IAIN menjadi UIN bertitik tolak dari beberapa hal yaitu: Pertama; IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi, dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada kepada pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu merespon perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks, karena lebih berkonsentrasi pada pengembangan dan penguatan imtak. Hal ini disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialiasi IAIN kurang mengalami interaksi dan rapprochement dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis.40 Kurikulum IAIN masih menitikberatkan pada ilmu-ilmu yang bersifat normatif; sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat mengarahkan mahasiswa kepada cara berpikir dan pendekatan yang lebih empiris dan kontekstual tampaknya masih belum memadai.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa transformasi IAIN ke UIN bermuara pada integrasi keilmuan dalam sebuah institusi pendidikan. Hal tersebut bisa dilihat dari dua dimensi, yang pertama adalah dimensi teologis, sedangkan yang kedua adalah dimensi modernisme sejarah.
Pertama, dimensi teologis. Betapa banyak ayat-ayat al-Qur'an menyeru kepada keseimbangan keadaan (balanced condition) antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi. Prinsip Islam dalam hal ini adalah apa yang disebut dengan Islam kaffah (Islam yang dapat memeberikan inspirasi dan manfaat secara menyeluruh/universal). Sehingga kita akan menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur'an yang menyangkut berbagai aspek dan dimensi ilmu merupakan sabda-sabda Tuhan yang diturunkan kepada umat manusia. Prinsip universal dalam memahami Islam akan membawa kita kepada keyakinan bahwa ilmu umum-pun sebenarnya Islam,
40 Azyumardi Azra, ”Model Perubahan IAIN Alauddin Menjadi UIN; Sebuah Tawaran Berdasarkan Pengalaman UIN Jakarta” dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 82-83.
18
tanpa kita harus menjadi paranoid terhadap kesekuleran sebuah ilmu. Bisa saja pengembangan fakultas-fakultas umum dengan berbagai disiplin ilmu tersebut ditelaah akar pendukungnya dari pesan-pesan agama sehingga pendalaman ilmu-ilmu umum justru akan semakin mengokohkan keyakinan terhadap pemahaman terhadap agama. Di sinilah dimensi teoritis keagamaan menemukan dimensi praksis dan praktis untuk menuju otonomi dan meninggalkan dikotomi dalam dunia keilmuan.
Kedua, dimensi modernisme sejarah. Dalam konteks sejarah, kita mencatat masa keemasan Islam pada Abad Pertengahan di mana Islam mencapai puncak kejayaannya di lapangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu muncul pakar-pakar Muslim di berbagai lapangan pengetahuan, seperti AI-Kindi (801-837), Al-Farabi (W.950), dan Ibn Maskawaih (W.1030) yang menggeluti lapangan filsafat; Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Bajah (1160-1138) ahli di bidang kedokteran, Jabir ibn Hayyan (720-815) dan Al-Khawarizmi (780-850) yang masing-masing merupakan ahli kimia dan matematika, serta Al-Thabari (839-922) ahli dalam bidang sejarah dan hukum. Mereka hanyalah contoh kecil dari berbagai tokoh Abad Pertengahan.41
Dalam perspektif historis, jelas bahwa bangunan pengetahuan Islam pada saat itu dibangun dengan sangat integratif, dan kenyataannya ilmu pengetahuan umum dapat berkembang pesat bahkan melahirkan banyak pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Sayangnya, gagasan besar yang agung tidak dilanjutkan oleh umat Islam malah cenderung menutup diri dari ilmu-ilmu umum dan mematikan kreatifitas nalar dan logika. Untuk itu transformasi IAIN ke UIN menuju otonomi dan meninggalkan dikotomi merupakan keharusan di era globalisasi yang penuh kompetitif.
Menurut A.Malik Fadjar, secara praksis UIN merupakan model sintesis antara pesantren dan perguruan tinggi. Tak bisa disalahkan bila UIN, selain mengembangkan aspek-aspek keilmuan dan profesionalisme, di dalamnya
41 Suwito dan Suprapto, “IAIN Menjadi Universitas?”, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XVIII, No.2, 2001, 160-161.
19
dikembangkan pula "ritual-ritual" pesantren, seperti khataman, tadarus al-Qur’an, dan bahkan hafalan al-Qur’an sebagaimana dikembangkan oleh UIN Malang. Mahasiswa yang hafal al-Qur’an bukan saja dari fakultas-fakultas agama, tetapi meluas ke berbagai cabang fakultas, jurusan, dan program studi (umum).42
Sejalan dengan gagasan tersebut, Amin Abdullah menyatakan bahwa pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tentang pengembangan IAIN sebagai pilot project menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), di bawah Departemen Agama Republik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral keagamaan yang integralistik. Dalam konsep ini fakultas-fakultas agama43 tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, namun perlu dikembangkan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era global dan diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosennya dengan berbagai metode dan pendekatan baru dalam islamic studies, humanities, dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum, baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas perlu dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum, dan bukannya separated curriculum seperti yang berjalan selama ini.44
Pengembangan IAIN ini diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Program reintegrasi epistemologi keilmuan dan implikasinya dalam
42 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.42. Semangat corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan”. Untuk meraih tujuan ini diperlukan-suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita Al-Qur’an tentang manusia. Sehingga pendidikan Islam harus dinamis dan menjadi obor dalam berpacu dan menghadapi perubahan social. Konservasi budaya yang selektif mengharuskan pendidikan untuk menumbuhkan pemahaman yang benar tentang kebutuhan dan tantangan masa depan manusia..
43 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 98. Fakultas agama bukan tradisinya tapi semangat nilai keberagamaan yang tetap dipertahankan dan dilanggengkan dalam program sehingga akan terjadi dinamika dalam pengembangannya.
44 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, h. 98. Lihat pula Bambang Hidayat, Mozaik Pemikiran Sejarah dan Sains untuk Masa Depan, (Jakarta: PT. Kiblat, 2004), h.196.
20
proses belajar mengajar secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan selama ini.
Menurut A.Syafii Maarif, corak orientasi keilmuan yang dikembangkan IAIN beserta kualitas para pengampunya. Para pengampu yang kualifaid adalah mereka yang mampu memancing potensi intelektual para mahasiswanya agar terpikat oleh masalah-masalah besar,45 yang dihadapi Islam secara universal di abad ini. Sebab sebuah prodak keilmuan sangat ditentukan nilai kualitas pelayanan sesorang dan jaringannya compatible dengan kebutuhan masyarakat.46
Menurut Azyumardi Azra perubahan institut menjadi universitas harus dimulai dengan pengembangan SDM, khususnya pengadaan dosen dalam bidang-bidang yang akan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pasar.47
Perubahan dan perkembangan ini bukan sekedar asal berkembang dan berubah. Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga tidak mengulangi eksperimen dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh perguruan-perguruan tinggi umum dan agama yang didirikan oleh negara maupun swasta. Pengembangan ini berada dalam kerangka dan semangat harmonisasi keilmuan yang lebih universal,48 guna merespons perkembangan masa depan.
Dengan berubahnya IAIN Jakarta menjadi UIN,49 misalnya merupakan langkah dinamis untuk "membangun sistem pendidikan yang integralistik dan
45 A.Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h.153
46 Charles Hoy. Et.al., Improving Quality in Education, (New York: Falmer Press, 1999), h.2 Bandingkan Pula, Bryan Wilson, Religion in Sociologi Perspective, (New York: Oxpord University Press, 1982), h. 6
47 Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), h.422
48 T.S. Sodhi, A. Tex Book of Comparative Education Philosophy, Patterns and Problems of Nasional Systems, (Delhi: Vikas Publishing, 1983), h.77. Lihat pula, Clark Kerr, The Uses of the University, (New York: Harvard University Press, 1964), h. 47
49 Perubahan IAIN dari institut menjadi universitas bukanlah perubahan tanpa rencana, ia merupakan rencana strategic karena adanya berbagai tantangan ke depan dan berkait erat dengan tujuan strategi nasional pendidikan tinggi yang menjadi acuan bagi pengembangan organisasi IAIN.
21
komprehensif dalam berbagai disiplin ilmu dalam rangka memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan intelektual yang profesional dan bermoral".50
Dari berbagai latar belakang dan tujuan tersebut, terlihat bahwa ide perubahan lembaga PTAI bersumber dari perenungan internal dan eksternal tentang posisi dan fungsi yang selama ini dijalani oleh IAIN serta respons terhadap realitas yang berkembang dalam masyarakat.51 Perenungan internal telah merevisi cara pandang IAIN dan Departemen Agama tentang konstruksi keilmuan yang "sesungguhnya" yang bersifat non-dikotomis. Sedangkan perenungan eksternal telah "membuka mata" mereka tentang kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di masyarakat sehingga perlu disikapi secara kongkrit. Perenungan seperti ini telah membawa perubahan mental akademik yang sejajar dengan dengan lembaga-lembaga pendidikan lain dan menyatukan ilmu yang terkesan dikotomi menuju otonomi sehingga akan melahirkan wawasan keilmuan yang lebih luas dan lues.
UIN yang dicita-citakan sebagai center of exellence bagi pengembangan keilmuan pada umumnya dan keilmuan Islam pada khususnya, sehingga terbentuk komunitas ilmiah-religius (religious-scientific community) yang bersendikan ajaran agama. Bukan sekadar pengawal, penjaga, dan pelestari tradisi yang ada. UIN
Adapun tantangan dan masalah yang dihadapi IAIN/STAIN, antara lain : 1.Pengembangan IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta sebagai “IAIN Pembina” yang bertugas membina dan mengembangkan IAIN dan STAIN lainnya. Kedua IAIN ini akan dikembangkan dengan konsep dasar “IAIN dengan mandat yang lebih luas” (wider mandate). Dengan konsep ini, IAIN lebih lues tidak hanya dalam bidang agama, melainkan juga dalam bidang-bidang ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu alam/eksakta. Dengan mandat yang lebih luas ini, maka upaya untuk mengintegrasikan “Ilmu agama” dan “Ilmu umum” dapat direalisasikan. 2.Peningkatan otonomi IAIN. Dengan otonomi yang lebih besar, IAIN dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal, baik dalam bidang ilmiah akademik maupun dalam manajemen dan keuangan. 3.Peningkatan akuntabilitas IAIN dari segi kelembagaan dan akademis, sehingga kelembagaan IAIN lebih kokoh dan alumninya juga lebih maju, baik dalam ilmu agama (yang menjadi basic-nya) maupun dalam ilmu umum, serta keahlian dan keterampilannya. 4.Peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lainnya baik di dalam maupun di luar negeri, guna menciptakan sinergi yang dapat mendorong akselarasi peningkatan mutu pendidikan di IAIN. Lihat Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 29 50 IAIN Syarif Hidayatullah, Proposal konversi IAIN Menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2000. h. 5
51 Suwito dan Suparto, “IAIN Menjadi Universitas”, Dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII,No.2, 2000, h. 155
22
diharapkan tidak saja piawai sebagai pencetak 'guru agama' dan kiai tradisional, melainkan bagaimana bisa melahirkan kiai-kiai profesional di dalam mengurus pesantren perikanan, pesantren peternakan, pesantren perkebunan, pesantren pertambangan, pesantren perindustrian, dan sebagainya. Tentu dengan pengejawantahan secara profesional di setiap bidang akademik yang dibuka.52
Pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN merupakan langkah strategis dan futuristik. Melalui pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN ini umat Islam bisa bermain dan memainkan peran yang sesungguhnya di dalam pergaulan global. Masa depan harus dijemput dimana sarananya adalah pendidikan. Oleh karena itu pendidikan harus dipacu ke arah masa depan manusia. Di sinilah sesungguhnya makna pentingnya secara terus-menerus memperbarui sistem pendidikan kita. Ung-kapan life long education, sejatinya sudah disuguhkan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh para sahabat belajar ilmu ke Cina (uthlub al-'ilm wa law bi al-shîn) yang artinya carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina (hadis) dan mencari ilmu sejak lahir sampai mati (uthlub al-'ilm min al-mahdi ila al-lahd) yang artinya carilah ilmu sejak dari buaian sampai engkau meninggal dunia (hadis). Untuk itu, manusia harus senantiasa belajar dan belajar (learn how to learn). Belajar itu merupakan rekreasi ke arah masa depan.53
Menurut A.Malik Fadjar kalau kita menelusuri perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, dapat diketahui bahwa pendidikan Islam berasal dari berbagai model dan bentuk antara lain madrasah dan sekolah yang merupakan pemaduan antara ilmu umum dan agama. Dalam perkembangan global sekarang ini, pendekatan interdisipleiner tidak bisa dielakkan lagi. Orang yang ingin bicara fikih diharuskan bicara lingkungan dan aspek-aspek yang terkait dengan kehidupan nyata. Hal itu bukan sekedar materi, tapi bagaimana mengasosiasikan, merefleksikan realitasnya. Orang menyoroti puasa dari segi kesehatan, harus paham ilmu kesehatan. Orang yang
52 Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, h.108
53A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.38.
23
bicara zakat harus mengetahui ekonomi dan lain sebagainya.Semuanya itu didesain dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau IAIN ingin tumbuh dan berkembang ditengah-tengah kehidupan global mengandalkan ilmu agama saja tentu kemampuan pencernaannya kurang memadai. Oleh karena itu Mukti Ali dan Munawir Sjadzali mengirim mahasiswa studi ke Barat. Dengan terbentuknya UIN diharapkan berbagai disiplin ilmu saling bersinergi dan saling berkembang di sini. Dokter keluaran UIN berbeda dengan UI misalnya dengan dikembangkan nilai pendekan-pendekatan yang Islami.54
Gagasan strategi pengembangan pendidikan agama dan keagamaan (melalui STAIN dan UIN) ini merupakan kebutuhan yang terus-menerus harus diusahakan. Usaha memecahkan persoalan pendidikan dan menjawab tantangan kehidupan pun harus dilakukan dengan memperluas komunikasi dan konsultasi akademik ke berbagai disiplin keilmuan; seperti filsafat, sejarah, bahasa, agama, antropologi, sosiologi, ekonormi, politik, biologi, informatika, dan manajemen (sebagai kunci keberhasilan diri dan sosial). A.Malik Fadjar mengungkap bahwa mendekati ajaran-ajaran agama dan keagamaan dewasa ini memerlukan perangkat ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, dan arkeologi. Tentu suatu arah pengembangan masyarakat profesionalisme dalam konteks pengelolaan fisik-material, sosial, dan etik. 55 Oleh karena itu diperlukan integrasi ilmu agama dengan ilmu umum.
Terkait dengan integrasi ilmu ini, Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa dasar dari integrasi ilmu dalam Islam adalah konsep tauhid. Konsep tauhid diambil dari formula konfesional Islam “Lâ Ilâha Illâ Allâh” yang artinya tidak ada Tuhan melainkan Allah, telah menjadi prinsip dan ajaran paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan integrasi Ilmu telah menjadi prinsip yang paling utama dari
54 Wawancara pribadi dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, tanggal 23 April 2008
55 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 39.
24
prinsip-prinsip epistemologi Islam, sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu pengetahuan manusia.56
Basis integrasi ilmu-ilmu agama dan umum, tentu saja ilmuwan-ilmuwan muslim akan akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan yang sering mereka sebut Sang Kebenaran (al-Haqq) atau ada juga yang menyebutnya dengan ultimate reality (relitas sejati). Dan karena tujuan ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati tentu merupakan sumber bagi segala kebenaran-kebenaran lainnya, termasuk kebenaran atau realitas-realitas ilmu.57
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Husni Rahim yang menyatakan bahwa dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Pandangan ini mengacu pada keyakinan Islam yang paling utama yaitu tauhid. Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam pada hakekatnya milik Allah dan manusia hanya mampu menguasainya dengan terbatas. Sebagai hamba yang berada di alam syahâdah (nyata), manusia dapat memiliki pengetahuan disebabkan kekuatan nalar yang diberikan Allah kepadanya. Dengan demikian terdapat hubungan antara pandangan dunia tauhid dengan semangat keilmuan karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya menjadi jembatan untuk mencapai kebenaran agama, yaitu tauhid.58
Dalam hal disatukannya ilmu agama dan ilmu umum dalam pengembangan perguruan tinggi, A.Malik Fadjar menyatakan bahwa meskipun berbagai upaya telah ditempuh untuk menyatukan disiplin ilmu umum dengan ilmu agama agar berada dalam satu atap, namun PTIS-PTIS hingga kini belum menemukan bentuk yang mendekati ideal. Salah satu bentuk yang dikembangkan oleh PTIS adalah disandingkannya fakultas-fakultas agama dengan fakultas-fakultas umum.59
56 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 12
57 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 27
58 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 27
59 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 107
25
Persoalan kemudian yang muncul adalah terjadinya ketidakseimbangan peminat dari kedua rumpun fakultas tersebut. Peminat fakultas umum cenderung banyak sedangkan peminat fakultas agama kurang. Di samping itu persoalan teknis sering juga mencul karena adanya keharusan PTIS berpayung dua. Di satu sisi fakultas agama berada di bawah naungan Departemen Agama, sementara di sisi lain fakultas umum berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak jarang aturan birokrasi yang dikenakan oleh dua departemen ini tidak singkron bagi kepentingan pengembangan PTIS.60
Untuk mengatasi persoalan ini, harus dilakukan pendekatan kompetensi. Pendekatan kompetensi membuka kemungkinan bagi seorang mahasiswa memiliki lebih dari satu kesanggupan. Bagi PTIS yang memiliki fakultas agama dan umum bisa memprogramkan mahasiswanya memiliki kesanggupan dalam jenis keahlian dan tingkat keahlian tertentu di bidang agama dan jenis serta tingkat keahlian tertentu di bidang studi umum.61
Upaya merealisasikan pemberian keahlian ganda ini dapat ditempuh melalui program kuliah lintas fakultas, sehingga masing-masing fakultas bisa membuka tawaran berupa program studi minor bagi mahasiswa fakultas lain. Program studi lintas fakultas ini hanya bisa diterapkan oleh perguruan tinggi yang memang telah menempatkan fakultas-fakultas umum dan fakultas-fakultas agama dalam satu atap. Bagi perguruan tinggi yang mengenal pemisahan antar perguruan tinggi umum dan IAIN, program studi lintas fakultas ini sebagaimana yang dimaksud tentu tidak bisa dilaksanakan. Padahal untuk mengembangkan program studi seperti ini sangat mungkin. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1981, Bab III ayat 1 a yang memungkinkan universitas atau institut negeri (umum) membuka fakultas ilmu agama dan kerohanian.62
60 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarata: Fajar Dunia, 1999), h. 107-108
61 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 107-108
62 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 110-111
26
Oleh karena itu IAIN atau PTIS bisa merealisasikan dengan pendekatan dwikompetensi lewat kerjasama dengan perguruan tinggi umum yang berdekatan. Pendekatan kompetensi ini hanya salah satu alternatif yang barangkali bisa dipakai sebagai sintesa untuk melahirkan Ulama Plus atau Sarjana Umum Plus sebagai produk pendidikan Islam di tingkat pendidikan tinggi yang diidamkan.63
Mutu masa depan UIN tidak bisa dilihat sekarang, tetapi perlu proses panjang. Berbagai pernyataan yang menaikkan kebencian dan bahkan hardikan akan gagalnya pendidikan selama ini perlu diluruskan. Karena berbicara masalah pendidikan adalah berbicara mengenai proses manusia dalam rentang waktu yang tidak instan, bukan sekadar dari fase ke satu fase, tapi proses yang berkesinambungan.64
Ada empat hal prinsip yang harus dicermati menangani dunia pendidikan dengan mengambil UIN Malang sebagai pola, sebagai berikut: Pertama. Proses pertumbuhan (growth) baik dari aspek institusional, konseptual, maupun prosesnya. Perubahan STAIN Malang ke UIN Malang, misalnya, dan A.Malik Fadjar mengalami itu, bermula dari Fakultas Cabang IAIN Sunan Kalijaga, lalu menjadi Fakultas Tarbiyah Cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya, kemudian STAIN Malang, dan akhirnya berubah menjadi UIN Malang. Hal ini perlu diperhatikan sebagi sebuah sejarah institusi yang harus dihadirkan ke publik bagaimana pergumulan itu terjadi.
Kedua. Perubahan (change). UIN adalah sebuah perubahan institusi pendidikan dari institut atau sekolah tinggi ke universitas. Perubahan ini harus disikapi dan diapresiasi secara profesional bagaimana "mengubah" struktur akademik, manajemen, dan macam-macamnya yang lain.
Ketiga, Pembaruan (reform). UIN bukan sekadar perubahan status tetapi bagaimana mengembangkan pembaruan baik ke dalam maupun ke luar. UIN Malang, misalnya, menunjukkan bahwa mahasiswa-mahasiswanya dari Jurusan MIPA, Psikologi, Bahasa dan Sastra, Ekonomi, dan Tarbiyah adalah mampu menguasai bahasa Arab dengan aktif dan bahkan sebagiannya hafal Al-Qur’an.
63 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 111
64 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.40
27
Keempat. Kesinambungan (continuity). Mengelola pendidikan adalah mengelola masa depan. Masa depan adalah abad IT (Ilmu dan Teknologi). Untuk itu, maka mengelola kurikulum pendidikan harus mampu menangkap, mengolah, dan mengelola informasi untuk memasuki dunia masa depan itu.65
E. Kesimpulan
Apa yang dikemukakan di atas mengenai pengembangan perguruan tinggi Islam adalah karena pendidikan bukan sekadar "perkumpulan kemasyarakatan" (community), melainkan sebuah investasi manusia/kemanusiaan (human invesment) dalam rangka membangun peradaban. Peradaban Islam harus dibangun melalui UIN. UIN sekurang-kurangnya, berusaha memainkan peran umat Islam ke dalam persaingan dan pergaulan global (the global game) yang semakin meningkat. "Umat Islam harus mengambil peran dalam percaturan dunia global. Bukan sekadar penonton, pengadopsi, dan pengkonsumsi produk-produk global, tapi bagaimana menjadi penggagas utama perubahan dan pembaruan global itu.
Pengembangan STAIN dan IAIN menuju Universitas sudah merupakan suatu keharusan karena tidak hanya dilihat dari persoalan sosial keagamaan tetapi internalisasi dan integrasi nilai-nilai keilmuan harus melekat dalam lembaga pendidikan. Dengan demikian acuan mendidik dalam penanaman motivasi, etik, dan moral pada dasarnya adalah menanamkan suatu perangkat nilai yaitu imaniah, ilmiah dan akhlakiah. Hal tersebut bisa terwujud secara fungsional pada lembaga universitas Islam. Pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN merupakan usaha mempertegas, mempertajam dan memperbaharui pendidikan Islam dalam hal melayani kebutuhan mendasar manusia. Sebab pendidikan berkaitan masa depan umat manusia yang sustainable yang selalu mengalami dinamika di era global. Gagasan perubahan STAIN/IAIN menjadi UIN yang diinginkan bukan sekedar perubahan “papan nama”, tetapi sebagai model “reintegrasi keilmuan” yang menunjuk kepada satu bentuk pengembangan, peningkatan dan pemantapan status akademik yang lebih proporsional dan profesional. 65 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 40-41.
28
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Ali,Fachry, Kontinuitas dan Perubahan: Catatan Sejarah Social Budaya Alumni IAIN dalam Problem dan Prospek IAIN, Jakarta: Ditbinperta, 2000
Anshari, Endang Saifuddin, Kuliah Al-Islam, Jakarta: Rajawali, 1989
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
-------, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, Bandung: Mizan, 2000
------- ”Model Perubahan IAIN Alauddin Menjadi UIN; Sebuah Tawaran Berdasarkan Pengalaman UIN Jakarta” dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN AlauddinMakassar: Alauddin Press, 2005.
Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004
Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perguruan Tinggi Agama Islam Seri XIV, Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1997/1998
Dhofier, Zamakhsyari, “refleksi atas visi misi IAIN” dalam Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: UI. Press, 2006
Fadjar,A.Malik, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, Jakarta: LP3NI, 1998
-------, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarata: Fajar Dunia, 1999
-------, Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005
-------, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, Jakarta; Penerbit INTI, 2008
Haris,Ahmad, “Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi, dalam Amril Mansur, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: UI Press, 2004
29
Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006
Hidayat, Bambang, Mozaik Pemikiran Sejarah dan Sains untuk Masa Depan, Jakarta: PT. Kiblat, 2004
Hidayat, Komaruddin, “Perubahan Nama Harus Disertai Perubahan Mainset” dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, Makassar: Alauddin Press, 2005
Himpunan Peraturan Perundang-undangan produk Departemen Agama tahun 1999 yang dibuat oleh Biro Hukum dan Humas Depag RI.
Hoy, Charles, Et.al., Improving Quality in Education, New York: Falmer Press, 1999
http://www.ditpertais.net/artikel/atho01.htm. Tanggal 19 Desember 2007. Kedudukan IAIN Sebagai Perguruan Tinggi.
IAIN Syarif Hidayatullah, Proposal konversi IAIN Menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2000.
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003
Kerr, Clark, The Uses of the University, New York: Harvard University Press, 1964
M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (Ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global, Yogyakarta: Aditya Media, 2004
Maarif, A.Syafii, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993
Mansur, Amril, dkk, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: UI. Press, 2006
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di IndonesiaJakarta: Prenada Media, 2003
Qadir, Zuhal Abdul, Pembangunan Masyrakat Berdimensi Imtaq dan Iptek, Jakarta: Intermasa, 1997
30
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001
Sodhi, T.S. A.Tex Book of Comparative Education Philosophy, Patterns and Problems of Nasional Systems, Delhi: Vikas Publishing, 1983
Suprayogo, Imam, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, Malang: STAIN Press, 1999.
Suwito (Ed), Pemberdayaan Lembaga Pendidikan, Belum cetak, tth
------- dan Suparto, “IAIN Menjadi Universitas”, Dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII,No.2, 2000
-------, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001
-------, “Pascasarjana Siapkan 8 Prodi Baru”, dalam Berita UIN , No. 80/Th.V/1-15 April 2008
Tholkhah, Imam dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Wilson, Bryan, Religion in Sociologi Perspective, New York: Oxpord University Press, 1982
Wawancara pribadi dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, tanggal 23 April 2008
Wawancara pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, tanggal 20 Mei 2008
Wawancara Pribadi dengan Husni Rahim di SPs UIN Jakarta, tanggal 22 April 2008
Wawancara pribadi dengan Tarmizi Taher di ruang kerjanya Mesjid Istiqlal Jakarta, tanggal 20 maret 2008
Wawancara pribadi melalui telepon dengan Sofyan Effendi, tanggal 20 Maret 2008
End Note
31
♦ Penulis adalah dosen tetap pada STAIN Manado
1 Komaruddin Hidayat, “Perubahan Nama Harus Disertai Perubahan Mainset” dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 105
2 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005), h. 42 Lihat pula Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h.108.Lihat Zuhal Abdul Qadir, Pembangunan Masyrakat Berdimensi Imtaq dan Iptek, (Jakarta: Intermasa, 1997), h. 124-125. Bandingkan pula, Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, (Jakarta: Rajawali, 1989), h 176-177.
3.Terdapat 14 IAIN yang tercatat di Depag sampai tahun 2001. 1) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (berdiri 26-9-1951), 2) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1 Juni 1957), 3) IAIN Ar-Raniri Banda Aceh (5-10-1963), 4) IAIN Raden Fatah Palembang (13-11-1964), 5) IAIN Antasari Banjarmasin ( (20-11-19640, 6) IAIN Sunan Ampel Surabaya (5-7-1965), 7) IAIN Alauddin Ujung Pandang (10-11-1965), 7) IAIN Imam Bonjol Padang (21-11-1965), 9) IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (8-8-1967), 10) IAIN Sunan Gunung Jati Bandung (8-4-1968), 11) IAIN Raden Intan Bandar Lampung (13-10-1968), 12) IAIN Walisongo Semarang (1-4-1970), 13) IAIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru (16-9-1970), 14), IAIN Sumatera Utara (19-11-1973). Lihat Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001
4 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 35. Telah kita pahami bahwa pendidikan tinggi merupakan tempat pengecambahan biji pembangunan yang berupa sumber daya manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan. Secara umum, mereka merupakan sosok yang mempunyai daya hidup aktif untuk mencari dan mengembangkan kehidupan sosial dan memajukan perekonomian suatu bangsa. Meskipun sebenarnya, yang lebih penting lagi dalam kehidupan dan pengajaran di stratum pendidikan tinggi adalah metodologi yang membuka dan mengajak pesertanya untuk berpikir bebas dan mandiri demi kejayaan lembaga perguruan tinggi.
5 Tercatat 33 STAIN di seluruh Indonesia pada waktu itu: 1)STAIN Ambon. 2) STAIN Prof. Dr. Mahmud Yunus batu Sangkar. 3) STAIN Bengkulu. 4) STAIN Svaikh Djamil Jambek Bukittinggi. 5) STAIN Cirebon. 6) STAIN Curup. 7) STAIN Sultan Amai Gorontalo. 8) STAIN Jember. 9) STAIN Kediri. 10) STAIN Kendari. 11) STAIN Kerinci. 12) STAIN Kudus. 13) STAIN Malang. 14)STAIN Manado. 15) STAIN Mataram. 16) STAIN Jurai Siwo Metro. 17)STAIN Padang Sidempuan 18).STAIN Palangka Raya. 19) STAIN Palopo. 20)STAIN Datolarama Palu._21)STAIN Pamekasan. 22) STAIN Pare-pare. 23) STAIN Pekalongan. 24) STAIN Ponorogo. 25) STAIN Ponttianak. 26) STAIN Purwokerto. 27) STAIN Salatiga. 28) STAIN Samarinda. 29) STAIN Maulana Hasanuddin Serang. 30)STAIN Surakarta. 31)STAIN Ternate. 32) STAIN Tulungagung. dan 33) STAIN Watampone. Pembentukan STAIN berdasarkan Keppres No.11 Tahun 1997. Semua STAIN ini secara serempak diresmikan pada 30 Juni 1997. Baca Direktori Perguruan Tinggi Agama Islam negeri 2000-2001. Lihat Suwito, Pendidikan Yang Memberdayakan, pidato pengukuhan Guru Besar, 3 Januari 2001. Lihat juga Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perguruan Tinggi Agama Islam Seri XIV, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam 1997/1998), h. 69-71. Dari 14 IAIN dan 33 STAIN yang ada ini, 6 di antaranya telah berubah menjadi UIN yaitu : 1). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diresmikan pada tanggal 8 Juni 2002, 2). UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, 3). UIN Malang tahun 2004, 4). UIN Sultan Syarif Qasim Pekanbaru. 5). UIN Alauddin Ujung pandang tahun 2006, 6). UIN Sunan Gunung Jati Bandung tahun 2006
6 A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 36..
7 Wawancara Pribadi dengan Azyumardi Azra diruang Direktur SPs UIN Jakarta, Tanggal 20 Mei 2008
8 M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (Ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Masyarakat Global, (Yogyakarta: Aditya Media, 2004), h.xii-xiii.
9 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: STAIN Press, 1999), h.83.
10 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, h. 85.
11 Imam Suprayogo, Reformulasi Visi Pendidikan Islam, h. 85
12 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998), h. 136.
32
13 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam , h. 137.
14 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam , h. 137
15 M.Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (Ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam: Upaya Merespon Dinamika Msyarakat Global, h. x
16 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 170.
17Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.165.
18 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 51-56
19 A.Malik Fadjar ketika menjadi Mendiknas, mengeluarkan SK. No. 178/U/2001 guna untuk mengusulkan jenis gelar yang sesuai dengan bidang keahlian Program Studi yang diselenggarakan. SK ini tentunya membuat perasaan lega terutama mahasiswa IAIN/STAIN dan PTAIS serta Perguruan Tinggi Agama non Islam yang selama ini menggunakan gelar Sarjana Agama dan/atau Magister Agama yang banyak digugat oleh Mahasiswa Lihat Suwito, pada pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Pemikiran dan Pendidikan Islam “Pendidikan yang Membebaskan, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3 Januari 2002. Lihat pula Suwito (Ed), Pemberdayaan Lembaga Pendidikan, (Belum cetak, tth.), h.10.
20 Ahmad Haris, “Paradigma Wider Mandate dan Perubahan IAIN Menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) Kasus IAIN STS Jambi, dalam Amril Mansur, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI Press, 2004), h. 106-107
21 A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, (Jakarta; Penerbit INTI, 2008), h. 143
22 A.Malik Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, h. 144
23 Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006) h. 139
24 http://www.ditpertais.net/artikel/atho01.htm. Tanggal 19 Desember 2007. Kedudukan IAIN Sebagai Perguruan Tinggi.
25 A.Malik Fadjar Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.36-37.
26 Himpunan Peraturan Perundang-undangan produk Departemen Agama tahun 1999 yang dibuat oleh Biro Hukum dan Humas Depag RI.
27 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 36.
28 Kalangan akademisi lainnya sangat menyayangkan ketika dilikuidasinya jurusan Tadris di Fakultas Tarbiyah pada 1991 oleh Departemen Agama RI., Dengan alasan berlawanan dengan misi IAIN. Padahal madrasah dengan adanya kebijakan Depdikbud RI pada masa itu, menjadikan dirinya sama dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Depdikbud RI. Dengan kebijakan ini madrasah memasukkan ilmu-ilmu umum, dimulai dari Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiayah dan Aliyah yang kesemuanya ini sangat membutuhkan guru-guru di bidang pengetahuan umum tersebut. Namun sayangnya Departemen Agama RI pada masa itu justru melikuidasi Jurusan Tadris Fakultas Tarbiyah sebagai institusi yang dapat menjawab akan kebutuhan tersebut. Lihat Zamakhsyari Dhofier “refleksi atas visi misi IAIN” dalam Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI. Press, 2006), h. 4. Oleh karena itu, sudah saatnya STAIN/IAIN menuju Universitas, karena hanya universitas yang mampu melahirkan orang-orang yang berwawasan universal dan tidak membatasi bidang keilmuan. Artinya orang besar/sukses adalah orang yang memiliki keahlian, kemudian dikembangkan dengan bidang ilmu lain yang membawa manfaat dalam kehidupan seperti al-Kindi yang memiliki bidang keilmuan filsafat, matematika, fisika, kedokteran dan lain sebagainya.
29 Wawancara Pribadi dengan Husni Rahim di SPs UIN Jakarta, tanggal 22 April 2008
30 Wawancara pribadi melalui telepon dengan Sofyan Effendi, tanggal 20 Maret 2008
31Wawancara pribadi dengan Tarmizi Taher di ruang kerjanya Mesjid Istiqlal Jakarta, tanggal 20 maret 2008
33
32 Wawancara pribadi dengan Azyumardi Azra di ruang Direktur SPs UIN Jakarta, tanggal 20 Mei 2008
33 Suwito, “Pascasarjana Siapkan 8 Prodi Baru”, dalam Berita UIN , No. 80/Th.V/1-15 April 2008
34 A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, h. 159.
35 Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: UI. Press, 2006), h. 291
36 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.37.
37 Wider mandate merupakan “mandat yang diperluas” adalah istilah yang dikembangkan oleh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional untuk menyatakan pemberian kewenangan yang diperluas bagi STAIN/IAIN guna mengembangkan institusinya. Hal tersebut merupakan strategi awal, sekaligus program strategis jangka panjang, sebagai upaya IAIN mentransformasikan lembaganya menjadi UIN. Penting diketahui pada proses sejarahnya bahwa “Konsep IAIN Wider Mandate ini mulai dipopulerkan dan di laksanakan pada masa Azyumardi Azra, sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Seperti Teknik Informatika, Agrobisnis, Manajemen, Ekonomi, dan Psikologi yang secara keseluruhan telah mengacu pada kurikulum Diknas. Namun demikian, upaya melakukan perubahan IAIN menjadi UIN dalam prakteknya bukanlah pekerjaan yang mudah. Di samping harus adanya kemauan yang keras, kesungguhan, serta kemampuan yang dimiliki oleh para pimpinan dan pengelola IAIN saat ini, juga harus dipertimbangkan tentang kemampuan mengelola, meningkatkan dan mengembangkannya secara berkesinambungan. Hal ini perlu ditegaskan karena beban yang harus dipikul dan permasalahan yang harus diatasi juga akan semakin berat, besar dan kompleks. Namun kini kaki sudah dilangkahkan, layar sudah dikembangkan, dan gendarang UIN sudah dipukul. Tidak ada alternatif lain kecuali terus mewujudkannya. Berbagai upaya ke arah itu sedang dilakukan secara intensif. Orang-orang yang mengkhawatirkan atas terjadinya penghapusan atau penciutan Fakultas-fakultas Agama yang diakibatkan oleh perubahan IAIN menjadi UIN tersebut sudah dicarikan jawabannya. Lihat Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.73-75. Lihat Pula Amril Mansur, dkk, Paradigma Baru; Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, h.109
38 Fachry Ali, Kontinuitas dan Perubahan: Catatan Sejarah Social Budaya Alumni IAIN dalam Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta: Ditbinperta, 2000), h. 371
39 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.37.
40Azyumardi Azra, ”Model Perubahan IAIN Alauddin Menjadi UIN; Sebuah Tawaran Berdasarkan Pengalaman UIN Jakarta” dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 82-83.
41 Suwito dan Suprapto, “IAIN Menjadi Universitas?”, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XVIII, No.2, 2001, 160-161.
42 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.42. Semangat corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan”. Untuk meraih tujuan ini diperlukan-suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita Al-Qur’an tentang manusia. Sehingga pendidikan Islam harus dinamis dan menjadi obor dalam berpacu dan menghadapi perubahan social. Konservasi budaya yang selektif mengharuskan pendidikan untuk menumbuhkan pemahaman yang benar tentang kebutuhan dan tantangan masa depan manusia..
43 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 98. Fakultas agama bukan tradisinya tapi semangat nilai keberagamaan yang tetap dipertahankan dan dilanggengkan dalam program sehingga akan terjadi dinamika dalam pengembangannya.
44 Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, h. 98. Lihat pula Bambang Hidayat, Mozaik Pemikiran Sejarah dan Sains untuk Masa Depan, (Jakarta: PT. Kiblat, 2004), h.196.
34
45 A.Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), h.153
46 Charles Hoy. Et.al., Improving Quality in Education, (New York: Falmer Press, 1999), h.2 Bandingkan Pula, Bryan Wilson, Religion in Sociologi Perspective, (New York: Oxpord University Press, 1982), h. 6
47 Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), h.422
48 T.S. Sodhi, A. Tex Book of Comparative Education Philosophy, Patterns and Problems of Nasional Systems, (Delhi: Vikas Publishing, 1983), h.77. Lihat pula, Clark Kerr, The Uses of the University, (New York: Harvard University Press, 1964), h. 47
49 Perubahan IAIN dari institut menjadi universitas bukanlah perubahan tanpa rencana, ia merupakan rencana strategic karena adanya berbagai tantangan ke depan dan berkait erat dengan tujuan strategi nasional pendidikan tinggi yang menjadi acuan bagi pengembangan organisasi IAIN. Adapun tantangan dan masalah yang dihadapi IAIN/STAIN, antara lain : 1.Pengembangan IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta sebagai “IAIN Pembina” yang bertugas membina dan mengembangkan IAIN dan STAIN lainnya. Kedua IAIN ini akan dikembangkan dengan konsep dasar “IAIN dengan mandat yang lebih luas” (wider mandate). Dengan konsep ini, IAIN lebih lues tidak hanya dalam bidang agama, melainkan juga dalam bidang-bidang ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu alam/eksakta. Dengan mandat yang lebih luas ini, maka upaya untuk mengintegrasikan “Ilmu agama” dan “Ilmu umum” dapat direalisasikan. 2.Peningkatan otonomi IAIN. Dengan otonomi yang lebih besar, IAIN dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal, baik dalam bidang ilmiah akademik maupun dalam manajemen dan keuangan. 3.Peningkatan akuntabilitas IAIN dari segi kelembagaan dan akademis, sehingga kelembagaan IAIN lebih kokoh dan alumninya juga lebih maju, baik dalam ilmu agama (yang menjadi basic-nya) maupun dalam ilmu umum, serta keahlian dan keterampilannya. 4.Peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lainnya baik di dalam maupun di luar negeri, guna menciptakan sinergi yang dapat mendorong akselarasi peningkatan mutu pendidikan di IAIN. Lihat Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat Press, 2004), h. 29
50 IAIN Syarif Hidayatullah, Proposal konversi IAIN Menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 2000. h. 5
51 Suwito dan Suparto, “IAIN Menjadi Universitas”, Dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII,No.2, 2000, h. 155
52 Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, h.108
53 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.38.
54 Wawancara pribadi dengan A.Malik Fadjar di SPs UIN Jakarta, tanggal 23 April 2008
55 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 39.
56 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 12
57 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 27
58 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 27
59 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 107
60 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarata: Fajar Dunia, 1999), h. 107-108
61 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 107-108
62 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 110-111
63 A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 111
64 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h.40
65 A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan, h. 40-41.
35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar