Minggu, 13 Desember 2015

Hidup Bahagiah

Jangan pernah mendengar kata-kata yang tidak berguna PERHATIKANLAH

"BAHWA PEMBUAT  GOSIP ADALAH ORANG IRI, PENYEBAR GOSIP ADALAH ORANG BODOH, DAN PENERIMA DAN PENIKMAT GOSIP ADALAH ORANG IDIOT" MEREKA INI DISEBUT DALAM SABDA TUHAN ULAIKA HUMUL...........KAFIRUUN, MUSYRIKUUN, MUNAFIKUUN DAN FASIKUUN ( ORANG KAFIR, MUSYRIK, MUNAFIK, DAN FASIK)

DAN YAKINILAH

" ORANG YANG BERFIKIR DAN BEKERJA KERAS UNTUK KEMAJUAN KELUARAGA AGAMA DAN BANGSA KEDEPAN DAN IKHLAS MENERIMA SEGALA HASIL-NYA, KELAK AKAN BEHAGIAH DAN SUKSES.



Belajar Dari Merpati

 Merpati adalah burung yang tidak pernah mendua hati. Coba perhatikan, apakah ada merpati yang suka berganti pasangan? Jawabannya adalah “tidak”! Pasangannya cukup 1 seumur hidupnya.
  1. Merpati adalah burung yang tahu kemana dia harus pulang. Betapapun merpati terbang jauh, dia tidak pernah tersesat untuk pulang. Pernahkah ada merpati yang pulang ke rumah lain? Jawabannya adalah “tidak”!
  2. Merpati adalah burung yang romantis. Coba perhatikan ketika sang jantan bertalu-talu memberikan pujian, sementara sang betina tertunduk malu. Pernahkah kita melihat mereka saling mencaci? Jawabannya, “tidak”!
  3. Burung merpati tahu bagaimana pentingnya bekerja sama. Coba perhatikan ketika mereka bekerja sama membuat sarang. Sang jantan dan betina saling silih berganti membawa ranting untuk sarang anak-anak mereka. Apabila sang betina mengerami, sang jantan berjaga di luar kandang. Dan apabila sang betina kelelahan, sang jantan gantian mengerami. Pernahkah kita melihat mereka saling melempar pekerjaannya? Jawabannya, “tidak”!
  4. Merpati adalah burung yang tidak mempunyai empedu, ia tidak menyimpan “kepahitan” sehingga tidak menyimpan dendam.
Jika seekor burung merpati bisa melakukan hal-hal di atas, mengapa manusia tidak bisa? Hidup itu indah jika kita saling mengerti, berbagi, dan menghargai! Setuju..?


Pendekar Ilmu

Para pendekar ilmu yang budiman, jangan ada dibenak pikiran anda sedikitpun untuk mengejar nilai apalagi Ijazah untuk didapatkan, semua itu Bendawi orang yang mempercayai benda-benda disebut dalam Sabda Tuhan Sebagai orang Musyrik, dan ujung-ujungnya dalam kehidupan di alam ini akan rendah dan terhinah. Namun Yakinilah dan Kejarlah Ilmu, maka Nilai anda akan Tinggi, Ijazah pasti dapat dan anda akan terhormat dan Mulia. Baik dihadapan Tuhan lebih-lebih lagi dihadapan manusia.
30 Hal yang Membuat Anda Tetap Bersikap Positif by KAWAN2 BLOGGER Kita semua pernah merasakan marah dan kemudian kehilangan harapan, berpikir bahwa hal-hal tidak akan pernah berjalan menjadi lebih baik dan kita mungkin tidak akan memiliki kehidupan yang kita impikan. Namun itu tidaklah benar. Kita memiliki pilihan untuk hidup bebas dari rasa sedih dan rasa tertekan dari orang lain, masalah sehari-hari atau faktor-faktor lainnya. Yang perlu anda miliki hanyalah sikap positif dalam menjalani kehidupan. Setelah anda menguasai kemampuan ini, anda akan menjadi jauh lebih puas dengan siapa diri anda dan bagaimana menyikapi perubahan-perubahan dalam hidup. Anda akan tersenyum lebih lebar, fokus pada hal-hal baik dalam hidup anda dan itu akan membuat anda jauh lebih bahagia dan damai. Berikut adalah beberapa hal yang akan mengingatkan anda tentang seberapa baik kehidupan sebenarnya: 1. Segala sesuatu yang tidak anda sukai tentang diri anda dan kehidupan anda dapat diubah. 2. Kebahagiaan ada di sini, pada saat ini. 3. Anda layak untuk menjadi bahagia. 4. Tindakan-tindakan anda dapat menginspirasi orang-orang. 5. Dengan setiap kesulitan yang anda temui, anda menjadi lebih kuat. 6. Kesalahan anda adalah pengalaman anda, dan sekarang anda mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan di masa mendatang. Ini menempatkan anda beberapa langkah di depan orang lain. 7. Setiap saat anda bisa bertemu seseorang yang akan mengubah hidup anda. 8. Tidak peduli seberapa buruk yang anda rasakan dan fase apa yang akan anda lalui, ingatlah dua hal ini: – Hal itu bisa saja lebih buruk; – Hal itu bersifat sementara. 9. Sukses tidak tergantung pada usia, kebangsaan, jenis kelamin, penampilan, koneksi, modal, pendidikan atau agama. Itu hanyalah faktor luar. Jika anda memiliki tujuan, tetap fokus, konsisten dan percaya pada diri sendiri dan impian anda, Anda dapat membuat mereka menjadi kenyataan. 10. Itu hanyalah sebuah hari yang buruk dan bukan berarti hidup anda menyebalkan. Tunggu saja esok hari. 11. Setiap kali sesudah hujan, muncullah pelangi. Dan setiap kali sehabis matahari tenggelam, matahari terbit. 12. Beberapa orang memperhatikan anda tanpa anda menyadarinya. 13. Tidak ada perbuatan baik yang sia-sia. Tetap membantu, memberi dan menunjukkan kasih sayang. Karena itu memang berharga. 14. Apa pun yang anda pikirkan, anda menarik. Jadi tetap positif dan anda akan memiliki kehidupan yang baik. 15. Biarkan hasil dari usaha anda menjadi motivasi yang anda butuhkan untuk terus melangkah maju. 16. Ketika anda memperbaiki hubungan anda dengan diri anda sendiri – dan mulai untuk mencintai, mendengarkan, menghargai dan menerima diri anda sendiri apa adanya – Anda akan dapat memiliki hubungan yang hebat dengan orang-orang lain juga. 17. Masa depan adalah tidak pasti. Namun anda bisa menjadi positif tentang hal tersebut dan pastikan bahwa apapun yang terjadi, itu akan menjadi hal yang benar. Dan saat melakukannya, nikmatilah hidup anda saat ini. 18. Anda masih dapat memiliki tubuh yang anda inginkan – makan sehat + olahraga + konsistensi adalah satu-satunya formula yang benar-benar bekerja. Itu adalah pilihan anda. 19. Hal-hal buruk dari masa lalu tidak memiliki tempat di masa sekarang. Belajarlah dari apa yang telah terjadi, lupakan masa lalu dan sediakan tempat untuk kenangan-kenangan baru anda yang menakjubkan. 20. Fokus pada hal-hal yang telah anda miliki dalam hidup. Anda akan segera menyadari bahwa betapa kayanya anda dan anda akan mulai menghargai segala kelimpahan tersebut. 21. Pada saat tertentu, hal-hal berjalan sebagaimana seharusnya. Percayalah pada alam dan jangan ikut campur. Di saat berikutnya mereka akan berbeda, tapi masih sama seperti mereka seharusnya. 22. Semua penyakit berasal dari stres dan gaya hidup yang tidak sehat. Ubah kebiasaan anda, maka anda dapat hidup sehat. 23. Anda adalah unik. Dan tidak ada yang bisa mengambil keunikan itu dari anda. 24. Hidup ini penuh dengan peluang. Anda hanya perlu mengambil peluang-peluang itu dan mencobanya. 25. Anda dapat mengubah hobi anda menjadi bisnis dan menemukan cara untuk membuat penghasilan darinya. Maka anda tidak harus bekerja setiap hari dalam hidup anda karena semua waktu anda akan didedikasikan untuk gairah anda – hal-hal yang anda sukai. 26. Anda memiliki cukup waktu. Jadi perlahan, namun tetap jangan sia-siakan waktu anda. 27. Anda tidak perlu melakukan pekerjaan yang anda benci. Anda bos untuk diri anda sendiri, jadi berhentilah dan temukan sesuatu yang lebih baik. 28. Anda tidak harus hidup dengan standar orang lain. Bermain dengan aturan anda dan lakukan apa yang anda inginkan. 29. Jika Anda tidak melakukan sesuatu yang benar, anda dapat selalu mencobanya lagi esok hari. 30. Suatu hubungan dapat selalu disimpan. Belajarlah untuk jujur, untuk mengatakan maaf dan melupakan. Semua hal-hal diatas cukup sederhana dan jelas, dan saya yakin kita semua telah mengetahuinya. Tapi kita cenderung lupa karena semua gangguan di sekitar kita. Jadi tidak ada kata terlambat untuk mengingatkan diri pada 30 hal ini, dan anda bahkan bisa menambahkan sebanyak-banyaknya pada daftar tersebut, dan kemudian lihatlah kehidupan melalui mata orang yang positif.

MAKNA HIDUP

KEHIDUPAN YANG BERMAKNA Jangan pernah meremehkan dirimu. Tuhan memberimu hidup bukan karena kau membutuhkannya, tapi karena banyak yg membutuhkanmu. Jangan hiraukan mereka yg menjelekkanmu. Siapa dirimu hanya engkau yg tau, Engkaulah yg menentukan, bukan mereka. Menjadi yg “TERBAIK” itu lebih penting daripada menjadi yg “PERTAMA”. Jangan tangisi mereka yg telah menyakitimu. Bersyukurlah, karena Tuhan telah menunjukkan bahwa mereka mengajarkan arti kesabaran padamu. Jangan buang energimu utk membalas, Karena Tuhan lebih tau apa yang pantas utk mereka. Teruslah berbuat baik. Jangan lari dari masalah, karena ia akan selalu menghampirimu. Yg harus kau lakukan adalah : Belajar cara mengatasinya & tetap tegak berdiri ! Jangan remehkan dirimu sendiri. Karena engkau terlahir dgn banyak talenta. Manfaatkanlah ! Semua itu adalah jembatan menuju kebahagiaanmu. Sesuatu yg dimulai dgn kebaikan akan menghasilkan kebaikan. Namun jika hasilnya belum baik, maka itu bukanlah akhir perjalananmu, tetapi terminal antara. Jangan pikirkan mrk yg membencimu, krn sebenarnya mrk hanya iri dg pribadimu yg lebih baik. Abaikan & teruslah melangkah. "Aku tidak bangga karena kesalahanku. Tapi aku bangga karena aku dpt belajar dari kesalahanku..." Semua orang punya kelebihan & kekurangan, tapi jika engkau tak bisα menghargai kekuranganmu, Itu artinya engkau tak menghargai dirimu sendiri.. Maju terus ... Karena engkau adalah pribadi yang luar biasa...!DARI KAWAN2 BLOGGER..MOGA BERMANFAAT

Sabtu, 12 Desember 2015

HIKMAH SEBATANG PENSIL

Kisah Sebatang Pensil Si anak lelaki memandangi neneknya yang sedang menulis surat, lalu bertanya, “Apakah Nenek sedang menulis cerita tentang kegiatan kita? Apakah cerita ini tentang aku?” Sang nenek berhenti menulis surat dan berkata kepada cucunya, “Nenek memang sedang menulis tentang dirimu, sebenarnya, tetapi ada yang lebih penting daripada kata – kata yang sedang Nenek tulis, yakni pensil yang Nenek gunakan. Mudah – mudahan kau menjadi seperti pensil ini, kalau kau sudah dewasa nanti.” Si anak lelaki merasa heran, diamatinya pensil itu, kelihatannya biasa saja. “Tapi pensil itu sama saja dengan pensil – pensil lain yang pernah kulihat!” “Itu tergantung bagaimana kau memandang segala sesuatunya. Ada lima pokok yang penting, dan kalau kau berhasil menerapkannya, kau akan senantiasa merasa damai dalam menjalani hidupmu.” Pertama : Kau sanggup melakukan hal – hal yang besar, tetapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing setiap langkahmu. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan kehendak-Nya. Kedua : Sesekali Nenek mesti berhenti menulis dan meraut pensil ini. Pensil ini akan merasa sakit sedikit, tetapi sesudahnya dia menjadi jauh lebih tajam. Begitu pula denganmu, kau harus belajar menanggung beberapa penderitaan dan kesedihan, sebab penderitaan dan kesedihan akan menjadikanmu orang yang lebih baik. Ketiga : Pensil ini tidak keberatan kalau kita menggunakan penghapus untuk menghapus kesalahan – kesalahan yang kita buat. Ini berarti, tidak apa – apa kalau kita memperbaiki sesuatu yang pernah kita lakukan. Kita jadi tetap berada di jalan yang benar untuk menuju keadilan. Keempat : Yang paling penting pada sebatang pensil bukanlah bagian luarnya yang dari kayu, melainkan bahan grafit di dalamnya. Jadi, perhatikan selalu apa yang sedang berlangsung di dalam dirimu. Dan yang Kelima : Pensil ini selalu meninggalkan bekas. Begitu pula apa yang kau lakukan. Kau harus tahu bahwa segala sesuatu yang kau lakukan dalam hidupmu akan meninggalkan bekas, maka berusahalah untuk menyadari hal tersebut dalam setiap tindakanmu
Rumi dan Botol Minumannya Suatu malam, Maulana Jalaluddin Rumi mengundang Syams Tabrizi ke rumahnya. Sang Mursyid Syamsuddin pun menerima undangan itu dan datang ke kediaman Maulana. Setelah semua hidangan makan malam siap, Syams berkata pada Rumi;“Apakah kau bisa menyediakan minuman untukku?”. (yang dimaksud : arak / khamr)Maulana kaget mendengarnya, “memangnya anda juga minum?’. “Iya”, jawab Syams. Maulana masih terkejut,”maaf, saya tidak mengetahui hal ini”. “Sekarang kau sudah tahu. Maka sediakanlah”.“Di waktu malam seperti ini, dari mana aku bisa mendapatkan arak?”.“Perintahkan salah satu pembantumu untuk membelinya”. “Kehormatanku di hadapan para pembantuku akan hilang”. “Kalau begitu, kau sendiri pergilah keluar untuk membeli minuman”. “Seluruh kota mengenalku. Bagaimana bisa aku keluar membeli minuman?”. “Kalau kau memang muridku, kau harus menyediakan apa yang aku inginkan. Tanpa minum, malam ini aku tidak akan makan, tidak akan berbincang, dan tidak bisa tidur”. Karena kecintaan pada Syams, akhirnya Maulana memakai jubahnya, menyembunyikan botol di balik jubah itu dan berjalan ke arah pemukiman kaum Nasrani. Sampai sebelum ia masuk ke pemukiman tersebut, tidak ada yang berpikir macam-macam terhadapnya, namun begitu ia masuk ke pemukiman kaum Nasrani, beberapa orang terkejut dan akhirnya menguntitnya dari belakang. Mereka melihat Rumi masuk ke sebuah kedai arak. Ia terlihat mengisikan botol minuman kemudian ia sembunyikan lagi di balik jubah lalu keluar. Setelah itu ia diikuti terus oleh orang-orang yang jumlahnya bertambah banyak. Hingga sampailah Maulana di depan masjid tempat ia menjadi imam bagi masyarakat kota. Tiba-tiba salah seorang yang mengikutinya tadi berteriak; “Ya ayyuhan naas, Syeikh Jalaluddin yang setiap hari jadi imam shalat kalian baru saja pergi ke perkampungan Nasrani dan membeli minuman!!!”. Orang itu berkata begitu sambil menyingkap jubah Maulana. Khalayak melihat botol yang dipegang Maulana. “Orang yang mengaku ahli zuhud dan kalian menjadi pengikutnya ini membeli arak dan akan dibawa pulang!!!”, orang itu menambahi siarannya. Orang-orang bergantian meludahi muka Maulana dan memukulinya hingga serban yang ada di kepalanya lengser ke leher. Melihat Rumi yang hanya diam saja tanpa melakukan pembelaan, orang-orang semakin yakin bahwa selama ini mereka ditipu oleh kebohongan Rumi tentang zuhud dan takwa yang diajarkannya. Mereka tidak kasihan lagi untuk terus menghajar Rumi hingga ada juga yang berniat membunuhnya. Tiba-tiba terdengarlah suara Syams Tabrizi; “Wahai orang-orang tak tahu malu. Kalian telah menuduh seorang alim dan faqih dengan tuduhan minum khamr, ketahuilah bahwa yang ada di botol itu adalah cuka untuk bahan masakan. Seseorang dari mereka masih mengelak; “Ini bukan cuka, ini arak”. Syams mengambil botol dan membuka tutupnya. Dia meneteskan isi botol di tangan orang-orang agar menciumnya. Mereka terkejut karena yang ada di botol itu memang cuka. Mereka memukuli kepala mereka sendiri dan bersimpuh di kaki Maulana. Mereka berdesakan untuk meminta maaf dan menciumi tangan Maulana hingga pelan-pelan mereka pergi satu demi satu. Rumi berkata pada Syams, “Malam ini kau membuatku terjerumus dalam masalah besar sampai aku harus menodai kehormatan dan nama baikku sendiri. Apa maksud semua ini?”. “Agar kau mengerti bahwa wibawa yang kau banggakan ini hanya khayalan semata. Kau pikir penghormatan orang-orang awam seperti mereka ini sesuatu yang abadi? Padahal kau lihat sendiri, hanya karena dugaan satu botol minuman saja semua penghormatan itu sirna dan mereka jadi meludahimu, memukuli kepalamu dan hampir saja membunuhmu. Inilah kebanggaan yang selama ini kau perjuangkan dan akhirnya lenyap dalam sesaat. Maka bersandarlah pada yang tidak tergoyahkan oleh waktu dan tidak terpatahkan oleh perubahan zaman.
Jangan Pernah Menyakiti Wanita 88 Votes Seringkali wanita menangis karena pria, entah karena dikecewakan oleh sikapnya, atau dilukai dengan perkataannya, bahkan ditinggalkan. Ada sebuah renungan yang mungkin sangat berarti untuk dibagikan pada seluruh sahabat agar lebih menghormati dan menghargai wanita. Suatu hari, seorang pria berdoa dalam keadaan marah dan emosi. Ia sebal pada pasangannya yang seringkali menangis dan memanfaatkan air mata di setiap perdebatannya. Ia bosan. Sungguh bosan. Tak mau terlibat dalam emosi yang negatif, iapun sujud dan berdoa, meminta pertolongan pada Tuhan. “Tuhan, mengapa sih wanita sering menangis? Aku bosan dan jenuh melihat dan mendengarnya,” keluh pria itu. Jawab Tuhan kepadanya: “Karena wanita itu unik. AKU menciptakannya tidak sama seperti kamu. Ia adalah makhluk yang istimewa. KU kuatkan bahunya untuk menjaga anak-anakmu kelak. KU lembutkan hatinya untuk memberimu rasa aman. KU kuatkan rahimnya untuk menyimpan benih manusia. KU teguhkan pribadinya untuk terus berjuang saat yang lain menyerah. KU beri naluri untuk tetap menyayangi walau dikhianati dan disakiti oleh orang yang disayangi. KU hembuskan kasih sayang agar ia bisa mencurahimu dengan perhatian. KU buat matanya lentik karena ia akan menjadi jendela kedamaian. KU buat senyumnya merekah seperti mahkota bunga untuk membuatmu tetap mengingat indahnya dunia. KU buat tangannya terampil untuk menjagamu agar tak pernah kekurangan. Tapi jika suatu saat ia menangis. Itu karena AKU memberikannya air mata untuk membasuh luka batin dan memberikan kekuatan yang baru. Bukanlah sebuah tanda kelemahan dan kekalahan.” Pria itupun tertegun sejenak. Diambilnya langkah bergegas, dipeluk dan diusapnya air mata di pipi orang yang dicintainya. “Aku akan membantumu menghapus luka batin itu…” Jadi, jangan pernah menyakiti wanita.

PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM



KONSEP PENDIDIKAN HUMANIS
DALAM PENGEMBANGAN  PENDIDIKAN ISLAM

Muh. Idris
Jurusan PAI pada Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
Jl. Dr. SH. Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado
e-mail: idrispasca_uin@yahoo.co.id


ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji konsep pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Dalam kancah pergulatan global dewasa ini kekhawatiran yang muncul adalah hancurnya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan. Globalisasi menjadikan dunia tampak lebih transparan dan terbuka, yang diibaratkan seperti kehidupan desa yang tidak mengenal jarak. Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Penulis berkesimpulan bahwa pendidikan humanis dalam bingkai pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.

This research examines the concept of humanistic education in the development of Islamic education. In today's global struggle Branch Office concern that arises the destruction of humanity and the erosion of religious fervor and the blurring of humanitarian values​​. Globalization makes the world seem more transparant and open, which is likened to a village life that knows no distance. In anticipation of this, humanistic education is needed in the development of Islamic education. The writer concludes that humanistic education in the frame of Islamic education, is a unique system of human humanizing, independent, and creative. View humans as humans, was creatures of God's creation with nature-given nature, and build human character in man that respects human dignity as being perfect.

Kata Kunci:  Pendidikan Humanis, Pendidikan Islam, dan Globalisasi.

A.      Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi  baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh karena itu proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi dan eksploitasi. Pada satu sisi manusia berperan sebagai subjek pendidikan dan pada sisi yang lain sebagai objek pendidikan. Sebagai subjek pendidikan secara moral ia bertanggung jawab melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh manusia dimana pendidikan berlangsung. Sebagai objek pendidikan, manusia adalah sebagai sasaran pembinaan dalam melaksanakan proses pendidikan yang pada hakikatnya memiliki pribadi yang sama dengan manusia dewasa.
Pendidikan tidak sekedar mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu mentransfer nilai. Selain itu pendidikan merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. untuk mencapai tujuan di atas, maka pendidikan humanis adalah salah satu bentuk pendidikan yang harus diterapkan di sebuah lembaga pendidikan.
Pendidikan humanis merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Prilaku setiap orang ditentukan oleh orang itu dan memahami manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri, memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan "perintah-paksaan," tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik lahir maupun batin.
B. Pola Dasar Pendidikan Islam
Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan pendidikan Islam umumnya dipahami sebatas sebagai “ciri khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.[1] Batasan yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional.[2]
Zarkowi Soejoeti sebagaimana yang dikutip oleh A.Malik Fadjar mengemukakan bahwa Pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama, lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejewantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan yang menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya.[3]
Konsep pendidikan Islam tersebut di atas belum memadai secara falsafi untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar.[4] Berdasarkan pengertian ini maka keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal yaitu insân kâmil atau muslim paripurna.[5]
            Tujuan ini sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Dalam pembicaraan ini jenis dan pengertian pendidikan Islam mencakup ketiga-tiganya, karena memang ketiga-tiganya itu yang selama ini tumbuh serta berkembang di Indonesia dan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah maupun kebijakan pendidikan secara nasional. Bahkan tidak berlebihan kalau secara politis dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan.[6]

B.       Tujuan Pendidikan Islam
Azyumardi Azra berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual dari Islam, termasuk aspek disiplin, kerja keras, keadilan, demokrasi, musawarah, HAM, perdamaian dan semacamnya[7]. Orang Islam percaya bahwa Islam adalah ramatan lil âlamîn. Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan menciptakan insân kâmil. Terbinanya kepribadian muslim atau insân kâmil yang merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam masih merupakan idea statis. Namun kualitasnya dinamis dan berkembang nilai-nilainya. Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan nilai-nilai fundamental yang memungkinkan terwujudnya kepribadian muslim atau insân kâmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya merupakan satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi.[8]
Untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian dalam dataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.[9]
            Menurut al-Ghazâlî sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu: insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan di dunia dan akhirat dalam pandangan al-Ghazâlî adalah  menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.[10]
            Terbinanya kepribadian muslim ini menurut A.Malik Fadjar nampak pada diri K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) yang mencita-citakan pendidikan yang memberikan kedamaian yang diselenggarakannya dengan a) baik budi dalam agama, b) luas pandangan, dan c) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Dengan perkataan lain bahwa perwujudan pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan mengacu pada tiga matra yang saling terkait, yaitu: 1). Tauhid yang akan mendudukkan harkat manusia sebagai insân ahsani taqwîm, punya daya tahan terhadap segala ujian hidup dan siap memihak kepada kebenaran. 2). Jiwa dan pandangan hidup Islam yang akan membawa cita rahmatan lil âlamîn. 3). Kemajuan yang akan menempatkan manusia hidup kreatif. [11]
Pandangan ini sejalan dengan pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan, dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah itu.[12] Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah ini peserta didik akan dapat mengembangkan daya berfikir secara rasional. Sementara melalui fitrah agama, akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang kemudian terimplikasi dalam seluruh aktifitas hidupnya.[13]
Berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan yang asasi yaitu: untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezki dan menjaga kemaslahatan, menumbuhkan ruh ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa keingintahuannya serta memungkinkan untuk mengkaji berbagai ilmu, menyiapkan anak didik untuk menguasai profesi tertentu.[14] Di samping itu dengan pendidikan, seseorang dimungkinkan mengenal diri dan alam sekitarnya.[15]
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan terkait dengan pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya adalah Islam, maka tujuan pendidikan harus dari ajaran Islam.[16] Dengan pendidikan akan terwujudnya keseimbangan dalam diri seseorang dalam bentuk pemenuhan kebutuhan badan, jiwa, pikiran, dan perbuatan yang akan melahirkan akhlak yang mulia, kasih sayang, dan tolong menolong.[17]
Al-Kailani menyatakan bahwa pendidikan Islam berorientasi pada kelangsungan eksistensi manusia dan juga peningkatan harkat kemanusiaannya.[18] Sedangkan menurut al-Nahlawi tujuan pendidikan Islam adalah pembebasan dan penyelamatan anak didik.[19] Sehingga ia dapat mengenal agama baik secara teori maupun prakteknya.[20] Sementara itu Muẖammad `Abduh menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.[21] Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muẖammad `Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Tujuan pendidikan tersebut diprediksi dalam rangka pencapaian hasil.[22]
Pendidikan perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahami keberagaman manifestasi nilai-nilai dalam peri kehidupannya sebagai anggota masyarakat. Peserta didik harus diperkenalkan ke berbagai bidang. Perkenalan itu akhirnya membuka perspektif bagi seseorang untuk membuat pilihan, apakah ia ingin menjadi homo religiosus, homo aestheticus, homo politicus, homo economicus, homo academicus, dan sebagainya.[23]
Pendidikan Islam mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah. Kedua, pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian, setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Ketiga, pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia. Di sini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, tetapi sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.[24]
C.      Globalisasi
Memperhatikan perkembangan kehidupan manusia akhir­-akhir ini dapat ditarik benang merahnya bahwa manusia kini berada pada kesadaran sejarah yang paling puncak, yakni kesadaran bahwa dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia lain secara universal. Meskipun kesadaran ini merupakan bagian dari kemanusiaan semenjak keberadaannya di dunia, tapi pada saat inilah kesadaran tersebut menemukan momentum yang tepat, dan sekaligus tantangan yang dahsyat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti transportasi, komunikasi, dan komputer, telah menjadikan kesadaran tersebut teraktuali­sasikan dengan "sempurna," setidaknya secara material. Saat ini manusia dengan begitu mudah dan cepatnya berkomunikasi dengan manusia lain meskipun dari sisi tempat sangat berjauhan. Manusia bisa menyaksikan peristiwa di belahan dunia secara cepat dan bahkan seketika itu pula. Para ilmuwan menyebut fenomena ini dengan globalisasi (globalization). Globalisasi dalam konteks ilmu-ilmu sosial menjadi diskursus yang menarik. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya kerangka pandang teoretis mengenai globalisasi. Marshall McLuhann, misalnya, seorang pakar komunikasi yang mempunyai pengaruh sangat luas, menawarkan konsep the global village. Di Indonesia konsep ini diistilahkan dengan "desa buana." Dunia diibaratkan seperti kehidupan desa yang tidak mengenal jarak.[25]
Terdapat banyak berkah yang bisa ditimba dari globalisasi seka­ligus memunculkan keprihatinan dan gugatan atas berbagai negatif yang ditimbulkan. Terutama berkenaan dengan pengaruh budaya luar yang berpotensi memarginalkan, bahkan mematikan budaya lokal yang dipercaya mengandung kearifan tradisional (traditional wisdom).[26] 
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar, Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah Swt. Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif.  Ketiga, Islam memberikan derajat yang tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan,. Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat, (long life education). Kelima, konstruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.[27] Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global.
Untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad saw sebagai modelling mampu merubah karakteristik jahili ahl Arab menuju masyarakat yang berbudaya.[28]   Prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa.[29] Dengan luasnya wawasan dan cakrawala pandang manusia maka tingkat nilai-nilai kemanusiaannya cenderung  lebih akomodatif.
Ali Syari'ati sebagaimana dikutip Fadjar menjelaskan tentang atribut yang melekat pada diri manusia yang membe­dakannya dengan binatang. Atribut dimaksud adalah kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas.[30] Tiga ciri fundamental ini menjadi pembeda manusia dengan binatang dalam dimensinya sebagai insân bukan sebagai basyar. Jika sebagai basyar manusia berpotensi untuk terikat pada struktur fisiologis dan realitas empiris yang mengitarinya, maka sebagai insân manusia dengan kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreati­vitasnya dapat melakukan "pengembaraan" dalam membangun kebudayaan dan peradaban.
D.      Pendidikan Humanis
Pendidikan Islam mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik sebagai perekat nilai kemanusiaan dalam pemberdayaan jati diri bangsa.[31] Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.
Humanisasi dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Dengan kentalnya persaudaraan sesorang cenderung dipahami sebagai sikap humanisme. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya. tujuan. Humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun.[32]
Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.[33] Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan, dan "penuaan." Sedangkan aspek ruhaniah-psikologis manusia melalui pendidikan dicoba "didewasakan," disadarkan, dan "di-insân kâmil-kan" melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.[34] Dari pemikiran ini maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya .
Pemahaman terhadap konsep pendidikan sebagai proses humanisasi adalah melakukan penyadaran terhadap manusia sebagai peserta didik mengenai kedudukannya dan perannya dalam kehidupan ini. Kata penyadaran jelas mengandung makna dan implikasi yang mendasar karena akan bersentuhan dengan aspek yang paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu dinamika kejiwaan dan kerohanian. Dua aspek inilah yang menjadi pendorong manusia dalam membangun kehidupan yang berkebudayaan dan peradaban.[35]
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya) yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.[36]
Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurutnya, paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu: 1).Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak. 2).Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan.           3). Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi. 4).Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan. 5).Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme. 6).Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental. 7).Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.[37]
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme).[38]
Dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. Hal ini tentu merugikan siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun otak kiri yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan. Dengan demikian manusia semakin memiliki prilaku yang santun dan humanis.
Desain pendidikan yang mengacu kepada pembebasan, humanisasi, penyadaran, dan kreativitas, sesungguhnya sejak awal telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara[39] dan K. H. Ahmad Dahlan.[40] Ki Hajar Dewantara, misalnya, tidak saja memiliki gagasan yang cerdas pada zamannya, tetapi juga tetap aktual di zaman sekarang. Dia menekankan praktik pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan "perintah-paksaan," tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik lahir maupun batin.
Cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan among. Ada dua hal yang mendasari adanya pendekatan tersebut. Pertama, kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir maupun batin, hingga dapat hidup merdeka. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. [41]
Dengan merdekanya manusia baik secara fisik, mental, dan kerohanian, akan melahirkan jiwa yang humanis seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Mental yang demikian dibangun dalam kerangka pendidikan yang membebaskan. Satu hal yang tak bisa ditiadakan dalam humanisme ialah harkat dan martabat manusia harus dihormati dan dikembangkan. Dalam hal ini filsafat berfungsi menafsirkan pengalaman manusia dan berbagai tradisi budaya. Dari sana tercipta pemahaman antara budaya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan hidup dan martabat manusia.
Berangkat dari kenyataan masih lebarnya jurang perbedaan antara tuntutan dunia abad ke-21 akan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian, dan moral manusia Indonesia pada umumnya dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia pada umumnya agar Indonesia dapat mendu­dukkan diri secara bermartabat dalam masyarakat dunia di era globalisasi ini. Pendidikan Islam dan pembangunan kebuda­yaan harus mampu menyelenggarakan dan menciptakan proses pendidikan atau suasana pendidikan yang dapat mengembangkan dan membudayakan kemampuan, sikap, kepribadian dan watak yang humanis dalam menghadapi persaingan dan tantangan zaman. Hanya dengan pendidikan yang relevan dan bermutu maka Islam akan mampu mengem­bangkan IPTEK dan kebudayaan serta mewujudkan masyarakat yang maju, demokratis, berbudaya, adil dan makmur dalam bingkai pendidikan Islam.[42]
Oleh karena itu, teman sebaya adalah pendidik yang kerap kali berdayaguna dan berhasil guna di masyarakat. Sudah sejak masa kecil, apalagi masa remaja dan sampai ke alam dewasa, teman sebaya amat penting dalam proses kehidupan. Sebab pendi­dikan terbaik masuk ke hati sanubari seseorang dengan teman sebaya, amat sering mengenali sampai lahir-batin. Teman sebaya juga yang dapat mengenali dengan lebih baik dibanding orang lain, nilai-nilai yang sungguh dijunjung tinggi seseorang, bukan hanya "dikatakan dijun­jung tinggi". Teman sebaya dapat ditemukan dalam lingkungan pergaulan seorang manusia, sejak kecil sampai dewasa. Mereka ini ada dalam keluarga, yaitu kakak-adik. Mereka juga ada dalam lingkungan sekolah, di kampung, dalam organisasi, atau dalam lingkup pekerjaan dan lembaga keagamaan. Sekarang terbuka kemungkinan untuk memperoleh teman sebaya melalui radio dan televisi serta internet. Hampir tidak terbatas potret untuk memperoleh teman sebaya, yang berpengaruh baik maupun buruk.
Apabila seseorang sudah dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai dasar manusia, teman sebaya dapat menyaji­kan rekan-tanding atau rekan-renung yang meningkatkan mutu atau mendalamkan peresapan nilai untuk diintegrasikan ke dalam diri manusia. Dalam hidup sehari-hari pengaruh teman sebaya terwujud secara "sambil jalan", tanpa rencana dan tanpa evaluasi ketat. Dalam berbagai lembaga pendidikan, pengaruh itu dapat diorganisasikan. Pengaruh itu dapat dengan mencolok kelihatan di sekolah, dalam organisasi Karang Taruna, dalam perkumpulan orang muda atau olah raga, dan dalam persaudaraan lembaga keagamaan. Pengaruh teman sebaya ini dapat dipahami karena terlaksana tidak sebagai instruksi atau pelajaran yang kaku, tetapi dalam mengalami hidup. Kecuali itu, teman sebaya tidak mendikte dan tidak memerintah, mereka meng­akui kesetaraan siapa pun yang ada dalam persaudaraan atau persahabatan. Iklim kesetaraan itu mengundang simpati dan simpati itu mempermudah orang menemukan nilai, menghayati makna hidup serta mengembangkan sikap saling menghargai. Semua itu menyubur­kan nilai.[43]
Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai dua elemen yang berpretensi positif bagi “manusia utuh” adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas. Menyesuaikan diri adalah kekhasan tingkah laku bina­tang yang bila diperlihatkan oleh manusia akan merupakan gejala dehumanisasi.[44]
Pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistic, skeptic, enggan menerima hal-hal non-­observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan social dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya.
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah.  Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Pendidikan Humanis yang dieksplorasi di dalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (Q.S. al-Sajdah/32: 7-9, al-Insân/76: 2-3), bentuknya (Q.S. al-Tȋn/95: 4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. al-Baqarah/2: 30-34, al-An`âm/6: 165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (Q.S. al-Dzâriyat/51: 56).
Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca indera, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
 Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk mencapai tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya. Proses ini menyangkut “perjalanan menuju ke kedalaman diri sendiri”, menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga dirinya. Pendidikan nilai menyangkut ranah daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh pengalaman seseorang.[45]
Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif. Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri).
Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya Namun, dengan menyadari watak eksistensial ma­nusia yang selalu bergantung pada realitas primordialnya, seperti budaya peradaban, dan  agama, keprihatinan seperti di atas bisa dibenarkan.
Agar manusia di satu sisi tidak tercerabut dari realitas primordialnya itu, dan di sisi lain, manusia mau tidak mau harus berhadapan dengan kemajuan budaya dan peradaban yang perlu direspon, maka sikap moderat, atau menjadi ummatan wasathan dalam istilah Q.S. Al-Baqarah/2: 143, perlu dikembangkan. Seperti dikatakan Paulo Freire, manusia harus bisa "mengada" atau bereksistensi (to exist), tidak sekadar hidup (to live) di dunia. Freire menekankan pentingnya hidup secara dinamis. Namun begitu, Freire juga menekankan integrasi dalam kehidupan ini, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas dan kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.[46] Menurut A.Malik Fadjar  nampaknya Freire ingin memberikan suatu afirmasi filosofis bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang mempunyai kemerdekaan, sehingga manusia pada hakikatnya mampu melakukan transendensi dengan semua realitas yang mengitarinya.[47]
Pendidikan saat ini mempunyai landasan yang lebih realistis dan strategis dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan keluarnya UU ini tidak berarti masalah pendidikan serta-merta teratasi. Kita masih harus bekerja keras dalam berbagai sektor pendidikan untuk menfungsikan pendidikan nasional dengan baik agar kita dapat mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut pada Bab II, Pasal 3, yang berbunyi, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".[48]
Membangun sikap demokratis, dinamis, dan kritis bukanlah hal mudah, sebab perkembangan kehidupan sendiri penuh dengan teka-teki paradoksal seperti globalisasi. Globalisasi di satu sisi bisa memunculkan fenomena universal civilization dan sisi lain bisa membangkitkan kesadaran akademik lokal.[49] Analisis yang mendalam dikemukakan oleh Huntington, sebagaimana yang di ungkapkan oleh A. Malik Fadjar, menjadikan identitas budaya dan peradaban sebagai persoalan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang kini telah mengalami proses globalisasi. Persoalan yang dimaksud Huntington adalah terjadinya konflik di sepanjang garis pemisah budaya (culture fault lines) yang memisahkan peradaban-peradaban seperti Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks, Slavic, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington tampaknya berkeyakinan bahwa budaya akan menjadi sumber fundamental konflik di dunia setelah sebelumnya dipengaruhi oleh perbedaan ideologi dan ekonomi. Huntington mengajukan sedikitnya enam alasan utama kenapa konflik atau benturan dapat terjadi. [50]
Pertama, perbedaan antar peradaban tak hanya rill, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting adalah agama. Perbedaan­-perbedaan ini selama berabad-abad telah menimbulkan konflik.
Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda peradabannya semakin meningkatkan kesadaran-kesadaran mereka untuk memperkokoh identitas, yang pada gilirannya memperkuat perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang jauh ke belakang dalam sejarah.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan social dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah mengakar dengan kuat, di samping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka.
Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, dan ini akibat posisi Barat tersebut, yaitu kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban non-Barat.
Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi antara karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi.
Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat. Blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa yang akan datang.[51]
Menurut Huntington, bahwa konflik atau benturan peradaban (clash of civilization) yang dilatarbelakangi oleh keenam faktor di atas, berlangsung pada dua tingkatan. Pada tingkat mikro, kelompok-kelompok yang berdekatan sepanjang garis pemisah di antara peradaban-peradaban sering kali berjuang dengan kekerasan untuk saling menguasai perbatasan masing-masing. Sedang pada tingkat makro, negara-negara yang mempunyai peradaban yang berbeda-beda bersaing untuk merebut ke­kuasaan ekonomi dan militer, berjuang untuk menguasai lembaga­-lembaga internasional dan pihak-pihak ketiga, dan bersaing mempromosikan nilai-nilai agama dan politik mereka.
Dalam membangun humanisasi peradaban dalam kerangka pendidikan yang membebaskan pendidikan dan relevansinya tesis Hungtington mengundang daya tarik akademik. Banyak kalangan dari komunitas ilmuwan sosial menjadikannya sebagai bahan diskursus. Ada beberapa ilmuwan yang skeptis terhadap kebenaran tesis Huntington itu. Namun, tak sedikit pula yang mengiyakannya, bahkan dijadikan sebagai acuan paradigmatik dan teoretik dalam menjelaskan fenomena konflik sosial yang belakangan ini menjadi kenyataan sosial di tanah air. Dengan jelas benturan dan konflik memiliki cita rasa tersendiri dalam membangun dinamika social dalam bingkai akademik.
Dalam konteks Indonesia, tesis Huntington itu agak sulit dicari evidensi empiriknya, terutama jika dikaitkan dengan dua level pertentangan peradaban di atas. Namun jika memperhatikan modus konflik sosial yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini, bisa dikatakan bahwa sebenarnya benturan kini telah terjadi, meskipun masih berada pada level lokal atau mar­ginal. Misalnya, benturan yang disebabkan oleh perbedaan etnis dan keagamaan, maupun yang disebabkan menajamenya fragmentasi sosial sebagai warisan sejarah sebelumnya yang disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Semua konflik yang datang secara bertubi-tubi memunculkan kegetiran terhadap masa depan bangsa ini yang dalam rentang waktu lama disatukan oleh suatu ikatan kebangsaan yang luhur. Yang paling ironis, agama yang seharusnya dapat menjadi perekat sosial (societal glue), nyatanya malah terperangkap dalam berbagai konflik. Padahal agama, apa pun namanya, sejatinya sama-sama mempunyai misi suci dan agung, yakni (salah satunya) menciptakan kedamaian universal sehingga manusia dapat menikmati kebahagiaan esensialnya di dunia dan di akhirat kelak. Agama dalam konteks mikro, sebenarnya dapat diperankan secara positif-konstruktif dalam mempertahankan dan sekaligus mengembangkan keutuhan bangsa Indonesia yang ditandai dengan keanekaragaman dan kemajemukan. Sekadar contoh, di bawah ini akan dikemukakan beberapa nukilan nuktah-nuktah normatif agama Islam yang memiliki kaitan dengan persoalan keanekaragaman dan kemajemukan, multikulturalisme dan pluralisme, dan solusi integrasi keduanya.[52]
Untuk  mengakomodasi benturan peradaban menuju pendidikan yang humanis adalah dengan jalan meningkatkan kualitas kehidupan beragama sehingga tidak terjadi sikap fanatik, feodalis dan fundamentalis. Sikap beragama seperti ini disebabkan karena: Pertama, cara beragama masyarakat yang masih berorientasi ke "dalam," sebagai pemahaman yang dangkal terhadap apa yang dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan dalam agama.
Keberagamaan seperti ini dalam istilah psikologi agama disebut dengan gaya hidup keagamaan otoritatif (religion of authority). Agama manapun memang menyandarkan pada suatu otoritas mutlak yang hadir  melalui nilai dan semangat keagamaannya. Seharusnya cara beragama lebih membuka diri, dan menjalin komunikasi beragama ke luar sehingga akan membuka pentilasi kehidupan beragama.Dengan demikian, suasana beragama  lebih ramah dan dinamis.
Kedua, dengan sikap keberagamaan yang berorintasi lokal-feodalistik belum menasional dan global seperti di atas, maka agama mudah dimanfaatkan untuk mem-blow up isu-isu di luar dunia keagamaan yang tengah mengemuka, seperti kesenjangan atau fragmentasi sosial.[53]
Model tampilan keberagamaan tersebut, menyebabkan gagalnya suatu penghayatan agama karena yang esensial dari beragama tidak tertangkap dan tidak terungkap.[54] Kita perlu prihatin sebab sebagian peristiwa kerusuhan massa marak belakangan ini menurut sebuah sinyalemen, karena terjadinya manipulasi simbol-simbol agama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya untuk meraih kepentingan sesaat. Padahal agama dalam kehidupan berfungsi sebagai perekat dalam menata tatanan sosial yang sangat damai,  humanis dan anggun. [55]
E.       Kesimpulan
Pendidikan humanis memandang manusia sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan fithrah-fithrah tertentu. Manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanis diharapkan bisa berfikir, merasa, berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, dan lain sebagainya.
Pendidikan humanis dalam bingkai pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.  Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu dengan tetap mempertimbangkan perbedaan antara masing-masing pribadi.




























DAFTAR PUSTAKA
`Abd al-`Azȋz, Shâliẖ dan `Abd al-Azȋz `Abd al-Majȋd. Al-Tarbiyah wa Thurûq al-Tadrȋs.  Kairo: Dâr al-Ma`ârif, t.th, Juz I.
`Abduh, Muẖammad, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-`Aliyât” dalam Imarah, al-A`mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad `Abduh. Bairut: al-Muassasah al-`Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nashr, 1972, Juz III.
Al-Abrasyi, Muẖammad Athiyah. Al-Ittijahât al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah. Mesir: Isa al-Bâbi al-Halabi, t.th .
-------. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falsafatuha. Kairo: Isa al-Bâbi al-Halabi, 1969.
-------. Ruẖ al-Tarbiyah wa al-Ta’lim. t.t.p: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.th.
Aẖmad, Muẖammad `Abd al-Qadir. Thurûq Ta`lim al-Tarbiyah al-Islâmiyah. Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishrah, 1981.
Al-Ahwani, Aẖmad Fu`ad. Al-Tarbiyah fi al-Islâm. Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.
Arsyad, Azhar, “Peranan Pendidikan Rohani Dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia” dalam Azhar Arsyad (Ed). Islam dan Perdamaian Global. Yogyakarta: Madyan Press, 2002.
Al-Attas, Muhammad al-Nuqaib. Aims and Objective of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979.
Azra, Azymardi. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralisme. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
-------. Esai-Esai Intelektual Muslim & Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
-------. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan, 2000.
-------. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan Fakta dan Tantangan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.
-------. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999.
Binder, Leonard. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideilogis. London: Chicago Press, 1988.
BS. Mardiatmadja, “Ruh Pendidikandalam Tonny D.Widiastono. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas, 2004.
Buchori, Mochtar. Pendidikan Dalam pembangunan, Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah  Jakarta Press. 1994.
C. Nunnalli, Jum. Educational Mesurement and Evaluation. New York: Hill Book Company, t.th
Al-Dȋn, `Abd al-Asȋr Syams. Al-Mazhab al-Tarbawi `Inda Ibn Jamâ`ah. Bairut: Dâr Iqraˊ, 1983.
Fadjar, A. Malik. Reorientasi Pandidikan Islam. Jakarata: Fajar Dunia, 1999
-------. “Demokrasi dalam Konteks Indonesia Baru”, butir-butir bahan ceramah disampaikan pada sidang Tanwir I Pemuda Muhammadiyah Balik Papan, 12 Januari 1999, dalam  Himpunan Pidato Menteri Agama RI., Tahun, 1999, disusun oleh Biro Hukum dan Humas Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI.
-------. “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed). Di Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka SM, 1994.
-------. Pidato Pengukuhan Guru Besar, “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan”, dalam Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Ed.) Kumpulan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UIN Malang Periode 1989-2006. Malang: UIN Malang Press, 2006.
-------. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998.
-------.Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004.
Freire, Paulo. Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj. A.Widya Martaya. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Hamka. Lembaga Budi.  Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
-------. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni, 1962.
-------. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, Juz I.
http//wonk-educationnetwork.bolgspot.com/2007/03/. Tanggal 15 Desember 2007. Pendidikan Humanis.
http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/, tanggal 17 Desember 2007.  Kajian Normatif Teks al-Qur’an tentang Humanis.
Idris, Muh. Pentingnya Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Mental, Foramadiahi. Vol. 2 No. 1 Tahun 2006.  
-------, dkk. Liberalisme Islam (Studi Kasus Pemikiran Jaringan Islam Liberal), dalam Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Nuqtah, 2007.
Indra, Hasbi. Pendidikan Islam Melawan Globalisasi. Jakarta: Ridamulia, 2005.
Al-Kailani, Majid Irsan. Al-Fikr al-Tarbawi Inda Ibn Taimiyah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Turast, 1986.
-------. Falsafât al-Tarbiyah al- Islâmiyah. Makkah: Maktabah Hadi, 1988.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993
Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam: Menguarai Benang Kusut Dunia Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.
Mujani, Saiful dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar, 2005.
Mursi, Muẖammad Munir. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah Ushûluha wa Tathawwuriha fi al-Bilâd al-`Arabiyah. Kairo: Dar al-Kutub, 1977.
Muthawa’, Ibrahim Ashmat. Ushûl al-Tarbiyah.t.t.p : Dâr al-Ma`ârif, t.th.
Al-Naẖlawi, Abdurraẖman. Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyah fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtamaˊ. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1996.
Al-Najihi, Muẖammad Labȋb. Falsafah al-Tarbiyah.  t.t.p: Maktabah al-Tarbiyah, t.th.
Pratiknya, Ahmad Watik, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa, (Ed). Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991.
Qaurah, Husain Sulaiman, Al-Ushûl al-Tarbawiyah fi al-Bina’ al-Manâhij, t.t.p: Dâr al-Maˊârif, 1979.
Rais, M. Amien, "Umat Islam dengan Lokomotif Lain" dalam Jalaluddin Rakhmat. Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Besar. Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2003
Remmers, et.al., A.Practical Introduction to Mesurement and Evaluation. New York: Brothers Publisher, t.th.
Ridha, Muẖammad Rasyȋd. Târikh al-Ustâzd al-Imâm al-Syaikh Muẖammad ˊAbduh. Mesir: al-Manar, 1931, Jilid II
S. Brumbaugh, Robert dan Nathaniel M. Lawrence. Six Essay on The Foundations of Western Thought. Boston: Houghton Mifflin Company, 1963
Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Ghazali. Terj. Amrouni.  Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. Sistem Pendidikan Versi al-Ghazâlȋ. terj. Fathur Rahman. Bandung: al-Ma’arif, 1986.
Surakhman, Winarno. Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003.
Suwito. Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih: Kajian Atas Asumsi Dasar. Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.Yogyakarta: Belukar 2004.
Syaẖatah, Hasan. Taˊlȋm al-Dȋn al-Islâmi baina al-Nazhariyah wa al-Tathbȋq. Kairo: Maktabah al-Dâr al-ˊArabiyah, 1994
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994.
Tuhuleley, Said, dkk. (ed). Masa Depan Kemanusiaan.Yogyakarta: LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2003.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional
Usa, Muslih, “Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Suatu Pengantar, dalam Muslih Usa, (Ed). Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta.Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991.
Zaqzuq, Maẖmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi. Terj. Abdullah Hakam Shah. Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2004.


Nama                           : Dr. Muh. Idris, M.Ag
NIP                             : 19710515 200212 1 002
Tempat/Tgl Lahir        : Camba-Camba, 15 Mei 1971
Pendidikan Terakhir    : S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Pekerjaan                     : Dosen STAIN Manado
Alamat Rumah            : Jl. Camar V Samping Kampus STAIN Manado
Alamat Tempat Tugas: Jl. Dr. SH Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado
No. Telp                      : 081383727332
Email                           : idrispasca_uin@yahoo.co.id





[1]A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998), h. 3. Lihat juga A.Malik Fadjar,Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Edukasi Vol. 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004
[2] Pada pasal 30 bagian kesembilan ayat 4 dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, h. 14
[3]A.Malik Fadjar, Pidato Pengukuhan Guru Besar, “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan”, dalam Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (Ed.) Kumpulan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UIN Malang Periode 1989-2006 (Malang: UIN Malang Press, 2006), h.144-145. Lihat juga Fadjar,Pengembangan Pendidikan Islam” dalam Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004.
[4] A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 31. Secara ideal pendidikan Islam berusaha mengantarkan manusia mencapai keseimbangan pribadi secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan ataupun pancaindra. Oleh karena itu pendidikan Islam berupaya mengembangkan semua aspek dalam kehidupan manusia yang meliputi spiritual, intelektual, imajinasi, keilmiahan dan lain-lain baik secara individu maupun kelompok menuju kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup baik dalam hubungannya dengan Khalik, sesama manusia, dan alam. Lihat Muslih Usa, “Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Suatu Pengantar, dalam Muslih Usa, (Ed), Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), h. 8.
[5] Fadjar, Visi Pembaruan, h. 4. Islam sebagai agama dan pandangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan memberi arah dan landasan etis serta moral pendidikan. Hubungan antara Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi sekeping mata uang. Artinya, Islam dan pen­didikan  mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Lihat Fadjar, Reorientasi , h.27. Lihat pula Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Menguarai Benang Kusut Dunia Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),h. 16.
[6] Fadjar, Visi Pembaruan, h. 4.
[7]Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih (Bandung: Mizan, 2000), h.132.
[8]A.Malik Fadjar, “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (Ed), Di Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka SM, 1994), h. 21-22.
[9]Hamka, Lembaga Hidup (Jakarta: Djajamurni, 1962) h. 204. Hamka menyatakan bahwa pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah fi al-ardl, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material. Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut manusia akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, Hamka menyatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan mengenal dan mencari keridaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya. Lihat Hamka, Lembaga , h.203. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), Juz I, h. 170. Lihat juga Hamka, Lembaga Budi  (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 2-3.
[10]Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazâlî, Penerjemah Fathur Rahman (Bandung: al-Ma`arif, 1986), h. 24.
[11] Fadjar, “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam, h. 22.
[12] Muẖammad Munir Mursi, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah Ushûluha wa Tathawwuriha fi al-Bilâd al-`Arabiyah (Kairo: Dar al-Kutub, 1977), h. 25.
[13] Muẖammad `Abduh, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-`Âliyât” dalam `Imârah, al-A’mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muammad Abduh (Bairut: al-Muassasah al-`Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nashr, 1972), Juz III, h. 117. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hasan Langgulung yang menjelaskan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan social yang berusaha membimbing manusia baik individu maupun social yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan dunia akhirat. Sementara itu menurut Ahmad Watik Pratiknya, pendidikan agama (pendidikan Islam) adalah suatu upaya untuk mengembangkan/mengarahkan anak didik supaya dapat menjadi manusia masa depan yang ideal, dengan cara menjadikan anak didik tersebut sebagai manusia yang lebih lengkap dalam dimensi religiusnya. Hal ini berarti, suatu proses pengkondisian agar anak didik menjadi lebih mengetahui, memahami, mengimani, dan mengamalkan agamanya sebagai ajaran yang menjadi pandangan dan pedoman hidup. Lihat Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), h. 62. Pratiknya, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa, (Ed), Pendidikan Islam, h. 99.
[14] Muammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falsafatuha (Kairo: Isa al-Bâbi al-Halabi, 1969), h. 37
[15] Muẖammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Ittijahat al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th), h. 263. Lihat juga Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruẖ al-Tarbiyah wa al-Ta`lîm (t.t.p.: Dâr Iẖyâˊ al-Kutub al-Arabiyah, t.th), h. 5. Lihat juga Muẖammad Labib al-Najihi, Falsafah al-Tarbiyah (t.t.p.: Maktabah al-Tarbiyah, t.th), h. 181. Lihat juga Ibrahim Ashmat Muthawaˊ, Ushûl al-Tarbiyah, (t.t.p.: Dâr al-Maˊârif, t.th), h. 63. Menurut al-Syafi’i, orang yang sibuk menuntut karena Allah lebih mulia dibandingkan orang yang suka mengerjakan ibadah sunat, karena ilmu itu bermanfaat bagi diri dan masyarakat sedangkan ibadah sunat bermanfaat hanya untuk dirinya. Lihat `Abd al-`Asîr Syams al-Dîn, Al-Madzhab al-Tarbawi `Inda Ibn Jamâˊah (Bairut: Dâr Iqraˊ, 1983), h. 15.
[16]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994), h. 46. Sementara itu menurut al-Attas tujuan pendidikan Islam adalah tercapainya manusia yang baik. Sedangkan menurut Marimba, tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya kepribadian muslim. Lihat Syed Muẖammad al-Nuqaib al-Attas, Aims and Objective of Islamic Education (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1979), h. 1, Lihat juga Marimba, Filsafat Pendidikan Islam, h. 37.
[17]Hasan Syaẖatah, Ta`lim al-Dȋn al-Islâmi baina al-Nazhariyah wa al-Tathbȋq (Kairo: Maktabah al-Dâr al-`Arabiyah, 1994), h. 21. Lihat juga Muẖammad `Abd al-Qâdir Aẖmad, Thurûq Ta`lȋm al-Tarbiyah al-Islâmiyah (Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishrah, 1981), h. 19.
[18]Majȋd Irsân al-Kailâni, Falsafât al-Tarbiyah al- Islâmiyah (Mekah: Maktabah Hadi, 1988), h. 83.
[19]`Abdurraẖman al-Naẖlawi, Ushûl al-Tarbiyah al- Islâmiyah  fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama` (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1996), h. 20. Pendapat ini sejalan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh John Dewey, dimana menurut John Dewey bahwa pembebasan adalah tujuan pendidikan bukan dasar pendidikan. Lihat Robert S. Brumbaugh dan Nathaniel M. Lawrence, Six Essay on The Foundations of Western Thought (Boston: Houghton Mifflin Company, 1963), h. 128.
[20] Aẖmad Fu`ad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islâm (Kairo: Dâr al-Ma`ârif, t.th), h. 97. Lihat juga Husain Sulaimân Qaurah, Al-Ushûl al-Tarbawiyah fi al-Bina’ al-Manâhij (t.t.p.: Dâr al-Ma`ârif, 1979), h. 177. Tujuan pendidikan ini akan dapat terlaksana dengan baik karena dipengaruhi oleh bebagai factor yang mendukung di antaranya adalah factor lingkungan sekitarnya dan lingkungan luar. Lihat Shâliẖ `Abd al-`Aziz dan `Abd al-Azȋz `Abd al-Majîd, Al-Tarbiyah wa Thurûq al-Tadrȋs ( Kairo: Dâr al-Ma`ârif, t.th), Juz I, h. 29-30. Lihat juga Majȋd Irsan al-Kailâni, Al-Fikr al-Tarbawi `Inda Ibn Taimiyah (Madinah al-Munawwarah: Maktabah Dâr al-Turats, 1986), h. 111.
[21] Muẖammad Rasyȋd Ridha, Târȋkh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muẖammad `Abduh (Mesir: al-Manâr, 1931), Jilid II, h. 17.
[22] Jum C. Nunnalli, Educational Mesurement and Evaluation (New York: Hill Book Company, t.th.), h.16. Bandingkan pula Remmers, et.al., A.Practical Introduction to Mesurement and Evaluation (New York: Brothers Publisher,t.th), h. 172.
[23] Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan”, dalam Widiastono, ed., Pendidikan Manusia Indonesia, h. 64. Untuk sampai pada perkenalan itu, bahan pelajaran humaniora harus disertakan sebagai bagian dari acara pembelajaran dalam sistem pendidikan nasional, tentu dengan memperhatikan tingkat perkembangan minat peserta didik. Tidak perlu ada kekhawatiran akan terjadinya keberatan beban kurikuler, karena perkenalan dengan berbagai ihwal humaniora tidak harus diterapkan secara kurikuler, tetapi juga melalui penyediaan bacaan pustaka yang dianjurkan (recommended readings). Bandingkan dengan Yusufhadi Miarso, Menyemai Teknologi Pendidikan, h. 267. Lihat Pula, M. Amien Rais, "Umat Islam dengan Lokomotif Lain" dalam Jalaluddin Rakhmat, Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Besar (Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2003), h. 12-13.
[24]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 10. Lihat juga Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 12-14.
[25] Fadjar, Holistika, h.169. Lihat pula, Maẖmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj. Abdullah Hakam Shah (Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2004), h.5-6.
[26] Fadjar, Holistika, h.169. Bandingkan pula, Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka kecuali dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia..." (QS. al­-Nisa' 114). Azhar Arsyad, “Peranan Pendidikan Rohani Dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia” dalam Azhar Arsyad (Ed), Islam dan Perdamaian Global (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h.166. Bandingkan juga, Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Ghazali, terj. Amrouni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 167.
[30] Fadjar, Holistika, h.182. Lihat pula, Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj. A.Widya Martaya (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.66. Bandingkan juga Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideilogis (London: Chicago Press, 1988), h. 233.
[32]http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/, tanggal 17 Desember 2007.  Kajian Normatif Teks al-Qur’an tentang Humanis.
[33] Fadjar, Holistika, h.181. Lihat juga Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, h. 152. Bandingkan pula Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar 2004), h.88. Bandingkan juga, Said Tuhuleley dkk. (ed). Masa Depan Kemanusiaan  (Yogyakarta: LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2003)
[35] Fadjar, Tinta, h. 152.
[39] Tokoh Ki Hajar­ Dewantara dalam lembaga Perguruan Taman Siswa merupakan lambang dari kemampuan Bangsa Indonesia, kemampuan nasional, untuk mengurus dirinya sendiri dalam bidang pendidikan. Perguruan Taman Siswa dalam kesadaran banyak orang merupakan lambang yang paling nyata dari kemandirian, kemerdekaan jiwa Bangsa Indonesia ketika meng­hadapi suatu tatanan sosial politik kolonial yang dipaksakan kepada dirinya. Perguruan Taman Siswa selama kehidupannya dalam zaman kolonial Belanda dapat dipandang sebagai suatu kekuatan pendidikan yang dimiliki Bangsa Indonesia dalam perjuangan politiknya melawan pemerintah Hindia Belanda. BS. Mardiatmadja, “Ruh Pendidikan dalam Tonny D.Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas, 2004), h. 76. Bandingkan pula, Mochtar Buchori, Pendidikan Dalam pembangunan (Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah  Jakarta Press, 1994), h.1-3.
[40] Sosok K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah pribadi yang kaya akan gagasan pembaruan pendidikan   dengan "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh membawa kemajuan bagi umat Islam khususnya dan Indonesia secara umum. Kejelian dan kecerdasan K. H. Ahmad Dahlan sedikitnya tampak pada gagasan integrasi antara normativitas ajaran Islam dan historisitas konsep pendidikan Barat, antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang sebelumnya dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan. Jika pada Ki Hajar Dewantara tampak visi kebudayaan yang mengacu kepada konstruksi kemerdekaan manusia, maka pada K. H. Ahmad Dahlan visi kebudayaan itu tampak pada pandangannya yang konstruktif untuk merespon kemajuan zaman secara apresiatif‑integrated dan kritis. Fadjar, Holistika, h.183. lihat pula, Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan Fakta dan Tantangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 107-108.
[41] Fadjar, Holistika, h.183. Lihat juga Fadjar, Tinta, h. 156. Lihat pula, Winarno Surakhman, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003).
[42] Soedijarto, Pendidikan Nasional Sebagai Wahana Mencerdasakan Kehidupan Bangsa dan  Membangun Peradaban Negara–Bangsa; Sebuah Usaha Memahami Makna UUD’ 45, h. 90.   
[43] BS. Mardiatmadja, “Ruh Pendidikan”, dalam Widiastono, Pendidikan,  h. 76.
[46] Fadjar, Holistika, h.170. Lihat pula, Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi  (Jakarta: Ridamulia, 2005), h. 125-126.
[47] Fadjar, Tinta, h. 153.
[48] Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional,
[49] Fadjar, Holistika, h.170.
[50] A.Malik Fadjar, “Demokrasi dalam Konteks Indonesia Baru”, butir-butir bahan ceramah disampaikan pada sidang Tanwir I Pemuda Muhammadiyah Balik Papan, 12 Januari 1999, dalam  Himpunan Pidato Menteri Agama RI., Tahun, 1999, disusun oleh Biro Hukum dan Humas Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI.
[51] Fadjar, Holistika, h.173. Lihat pula, Azymardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 17. Bandingkan juga, Saiful Mujani dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat (Jakarta: Nalar, 2005). 
[52] Fadjar, Holistika, h.173.
[53] Fadjar, Holistika, h.174-175.
[54] A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam  (Jakarta: LP3NI), 1998), h. 186-187.
[55] Muh. Idris, Pentingnya Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Mental, dalam Foramadiahi, Vol. 2 No. 1 Tahun 2006.  Lihat juga Muh. Idris, dkk Liberalisme Islam (Studi Kasus Pemikiran Jaringan Islam Liberal), dalam Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Nuqtah, 2007), h.77.