KONSEP PENDIDIKAN HUMANIS
DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Muh. Idris
Jurusan PAI pada
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
Jl. Dr. SH. Sarundajang
Kawasan Ringroad I Manado
e-mail:
idrispasca_uin@yahoo.co.id
ABSTRAK
Tulisan
ini mengkaji konsep pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Dalam
kancah pergulatan global dewasa ini kekhawatiran yang muncul adalah hancurnya
rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius serta kaburnya nilai-nilai
kemanusiaan. Globalisasi menjadikan dunia tampak lebih transparan dan terbuka,
yang diibaratkan seperti kehidupan desa yang tidak
mengenal jarak. Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan
pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Penulis berkesimpulan bahwa
pendidikan humanis dalam bingkai pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang
unik, mandiri, dan kreatif. Memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk
ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam
diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang
paling sempurna.
This research examines the concept of
humanistic education in the development of Islamic education. In today's
global struggle Branch Office
concern that arises
the destruction of humanity and the erosion of religious
fervor and the blurring
of humanitarian values. Globalization
makes the world seem
more transparant and open, which is likened to a village
life that knows no distance.
In anticipation of this, humanistic
education is needed in the development of Islamic education. The writer concludes that humanistic education in
the frame of Islamic education, is
a unique system
of human humanizing, independent, and creative.
View humans as humans,
was creatures of God's creation with
nature-given nature,
and build human
character in man that respects
human dignity as being
perfect.
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam
menemukan transformasi baik dalam diri,
maupun komunitas. Oleh karena itu proses pendidikan yang benar adalah
membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi dan eksploitasi.
Pada satu sisi manusia berperan sebagai subjek pendidikan dan pada sisi yang
lain sebagai objek pendidikan. Sebagai subjek pendidikan secara moral ia
bertanggung jawab melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan
nilai-nilai yang dikehendaki oleh manusia dimana pendidikan berlangsung.
Sebagai objek pendidikan, manusia adalah sebagai sasaran pembinaan dalam
melaksanakan proses pendidikan yang pada hakikatnya memiliki pribadi yang sama
dengan manusia dewasa.
Pendidikan tidak sekedar mentrasfer ilmu
pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu mentransfer nilai.
Selain itu pendidikan merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk
selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap
survive dalam hidupnya. untuk mencapai tujuan di atas, maka pendidikan humanis
adalah salah satu bentuk pendidikan yang harus diterapkan di sebuah lembaga
pendidikan.
Pendidikan humanis merupakan suatu sistem
pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Prilaku setiap orang
ditentukan oleh orang itu dan memahami manusia terhadap lingkungan dan dirinya
sendiri, memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan
fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri manusia yang
menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Pendidikan yang mengusung
kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan "perintah-paksaan," tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah
perkembangan kehidupan anak didik baik lahir maupun batin.
B. Pola Dasar Pendidikan Islam
Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi
kependidikan, sebutan pendidikan Islam umumnya dipahami sebatas sebagai “ciri
khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Demikian pula batasan
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Batasan
yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
pendidikan Nasional.
Zarkowi Soejoeti sebagaimana yang dikutip oleh A.Malik Fadjar mengemukakan
bahwa Pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama, lembaga
pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat
mengejewantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan
itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam
dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga
pendidikan yang bersangkutan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan
perhatian dan yang menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam
program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu-ilmu lain yang
menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga,
mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan
Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin
dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam
program kajiannya.
Konsep pendidikan Islam tersebut di atas belum memadai
secara falsafi untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan
sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar.
Berdasarkan pengertian ini maka keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri
khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini
sebagai yang paling ideal yaitu insân kâmil atau muslim paripurna.
Tujuan ini sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang
diemban pendidikan Islam lebih berat lagi. Dalam pembicaraan ini jenis dan
pengertian pendidikan Islam mencakup ketiga-tiganya, karena memang
ketiga-tiganya itu yang selama ini tumbuh serta berkembang di Indonesia dan
sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah maupun kebijakan
pendidikan secara nasional. Bahkan tidak berlebihan kalau secara politis
dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat
Islam dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan.
B.
Tujuan Pendidikan Islam
Azyumardi Azra berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual
dari Islam, termasuk aspek disiplin, kerja keras, keadilan, demokrasi,
musawarah, HAM, perdamaian dan semacamnya[7].
Orang Islam percaya bahwa Islam adalah raẖmatan lil âlamîn. Oleh karena itu
pendidikan Islam bertujuan menciptakan insân
kâmil. Terbinanya kepribadian muslim atau insân kâmil yang merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam masih
merupakan idea statis. Namun kualitasnya dinamis dan berkembang nilai-nilainya.
Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan nilai-nilai fundamental yang
memungkinkan terwujudnya kepribadian muslim atau insân kâmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya merupakan satu
kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak
terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi.
Untuk
membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi
pendidikan agama merupakan sebuah kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada
sekolah-sekolah umum. Namun demikian dalam dataran operasional prosesnya tidak hanya
dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting
adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang
baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.
Menurut al-Ghazâlî
sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan
Islam tercermin dalam dua segi yaitu: insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada
Allah dan insan purna yang
bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan di
dunia dan akhirat dalam pandangan al-Ghazâlî adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang
sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih
hakiki itulah yang diprioritaskan.
Terbinanya
kepribadian muslim ini menurut A.Malik Fadjar nampak pada diri K.H Ahmad Dahlan
(1868-1923) yang mencita-citakan pendidikan yang memberikan kedamaian yang
diselenggarakannya dengan a) baik budi dalam agama, b) luas pandangan, dan c)
bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Dengan perkataan lain bahwa
perwujudan pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan mengacu pada tiga matra yang
saling terkait, yaitu: 1). Tauhid yang akan mendudukkan harkat manusia sebagai insân
ahsani taqwîm, punya daya tahan terhadap segala ujian hidup dan siap
memihak kepada kebenaran. 2). Jiwa dan pandangan hidup Islam yang akan membawa
cita rahmatan lil âlamîn. 3). Kemajuan yang akan menempatkan
manusia hidup kreatif.
Pandangan ini sejalan dengan pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
Muhammad Munir Mursi yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan
fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah,
larangan, dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah itu. Pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah
peserta didik terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah ini peserta
didik akan dapat mengembangkan daya berfikir secara rasional. Sementara melalui
fitrah agama, akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang
kemudian terimplikasi dalam seluruh aktifitas hidupnya.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan
Islam, Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan yang asasi yaitu: untuk
membantu pembentukan akhlak yang mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan
akhirat, persiapan untuk mencari rezki dan menjaga kemaslahatan, menumbuhkan ruh
ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa keingintahuannya serta memungkinkan
untuk mengkaji berbagai ilmu, menyiapkan anak didik untuk menguasai profesi
tertentu. Di samping itu
dengan pendidikan, seseorang dimungkinkan mengenal diri dan alam sekitarnya.
Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan terkait
dengan pandangan hidup. Jika pandangan hidupnya adalah Islam, maka tujuan
pendidikan harus dari ajaran Islam. Dengan
pendidikan akan terwujudnya keseimbangan dalam diri seseorang dalam bentuk
pemenuhan kebutuhan badan, jiwa, pikiran, dan perbuatan yang akan melahirkan
akhlak yang mulia, kasih sayang, dan tolong menolong.
Al-Kailani menyatakan bahwa pendidikan Islam
berorientasi pada kelangsungan eksistensi manusia dan juga peningkatan harkat
kemanusiaannya.
Sedangkan menurut al-Nahlawi tujuan pendidikan Islam adalah pembebasan dan penyelamatan
anak didik.
Sehingga ia dapat mengenal agama baik secara teori maupun prakteknya.
Sementara itu Muẖammad `Abduh menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah
mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan
seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muẖammad
`Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal dan aspek spiritual. Tujuan
pendidikan tersebut diprediksi dalam rangka pencapaian hasil.
Pendidikan
perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahami keberagaman manifestasi nilai-nilai dalam peri kehidupannya
sebagai anggota masyarakat. Peserta didik harus diperkenalkan ke berbagai
bidang. Perkenalan itu akhirnya membuka perspektif bagi seseorang untuk
membuat pilihan, apakah ia ingin menjadi homo religiosus, homo
aestheticus, homo politicus, homo economicus, homo academicus, dan
sebagainya.
Pendidikan
Islam mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, penekanan pada
pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah
kepada Allah. Kedua, pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang
untuk berkembang dalam suatu kepribadian, setiap pencari ilmu dipandang sebagai
makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi yang
dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Ketiga,
pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan
masyarakat manusia. Di sini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan
dikembangkan, tetapi sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian
terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam
kehidupan sehari-hari.
C.
Globalisasi
Memperhatikan
perkembangan kehidupan manusia akhir-akhir ini dapat ditarik benang merahnya
bahwa manusia kini berada pada kesadaran sejarah yang paling puncak, yakni
kesadaran bahwa dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia lain secara universal. Meskipun kesadaran
ini merupakan bagian dari
kemanusiaan semenjak keberadaannya di dunia, tapi pada
saat inilah kesadaran tersebut menemukan momentum yang tepat, dan sekaligus tantangan yang dahsyat.
Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi seperti transportasi, komunikasi, dan komputer, telah
menjadikan kesadaran tersebut teraktualisasikan dengan "sempurna,"
setidaknya secara material. Saat ini manusia dengan begitu mudah dan cepatnya
berkomunikasi dengan manusia lain meskipun dari sisi tempat sangat berjauhan.
Manusia bisa menyaksikan peristiwa di belahan dunia secara cepat dan bahkan
seketika itu pula. Para
ilmuwan menyebut fenomena ini dengan
globalisasi (globalization). Globalisasi dalam konteks ilmu-ilmu sosial menjadi diskursus yang menarik. Hal
ini bisa dilihat dari beragamnya kerangka pandang teoretis mengenai
globalisasi. Marshall McLuhann, misalnya, seorang pakar komunikasi yang
mempunyai pengaruh sangat luas, menawarkan konsep the global village. Di
Indonesia konsep ini diistilahkan dengan "desa buana." Dunia
diibaratkan seperti kehidupan desa yang tidak mengenal jarak.
Terdapat banyak berkah yang bisa ditimba dari
globalisasi sekaligus memunculkan
keprihatinan dan gugatan atas berbagai negatif
yang ditimbulkan. Terutama berkenaan dengan pengaruh budaya luar yang
berpotensi memarginalkan, bahkan mematikan budaya lokal yang dipercaya
mengandung kearifan tradisional (traditional wisdom).
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat
bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan
merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat
bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama
dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar, Kedua, seluruh
rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah Swt. Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban
individual sekaligus kolektif. Ketiga,
Islam memberikan derajat yang tinggi
bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan,. Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan
merupakan aktivitas sepanjang hayat, (long
life education). Kelima, konstruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis,
inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun
Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw memerintahkan
umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah
yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga
abad pertengahan mencapai kejayaan global.
Untuk menggambarkan
kondisi kejayaan Islam yang disinyalir
terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad saw sebagai modelling
mampu merubah karakteristik jahili ahl Arab menuju masyarakat yang berbudaya. Prestasi besar peradaban Islam saat itu
merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa. Dengan
luasnya wawasan dan cakrawala pandang manusia maka tingkat nilai-nilai
kemanusiaannya cenderung lebih
akomodatif.
Ali Syari'ati sebagaimana dikutip Fadjar menjelaskan tentang atribut
yang melekat pada diri manusia yang membedakannya dengan binatang. Atribut
dimaksud adalah kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas. Tiga
ciri fundamental ini menjadi pembeda manusia dengan binatang dalam dimensinya
sebagai insân bukan sebagai basyar. Jika sebagai
basyar manusia berpotensi
untuk terikat pada struktur fisiologis dan realitas empiris yang mengitarinya,
maka sebagai insân manusia
dengan kesadaran diri, kemauan bebas, dan
kreativitasnya dapat melakukan "pengembaraan" dalam membangun
kebudayaan dan peradaban.
D. Pendidikan Humanis
Pendidikan Islam mempunyai
peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya,
pendidikan selain bertujuan menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga
telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik sebagai perekat nilai
kemanusiaan dalam pemberdayaan jati diri bangsa.
Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan
merupakan proses humanisasi.
Humanisasi dipandang sebagai sebuah gagasan positif
oleh kebanyakan orang. Dengan kentalnya persaudaraan sesorang cenderung
dipahami sebagai sikap humanisme. Humanisme mengingatkan kita akan
gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan
persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih
signifikan; humanisme adalah cara berpikir
bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya.
tujuan. Humanisme sebagai
sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik,
dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas
supernatural manapun.
Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia. Suatu
pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi kepada
pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun
ruhaniah-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia dengan sendirinya akan
mengalami perkembangan, pertumbuhan, dan "penuaan." Sedangkan aspek
ruhaniah-psikologis manusia melalui pendidikan dicoba "didewasakan,"
disadarkan, dan "di-insân kâmil-kan"
melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan
kehidupan yang berkeadaban.
Dari pemikiran ini maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan
memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) manusia menuju
terbentuknya manusia seutuhnya .
Pemahaman terhadap konsep pendidikan
sebagai proses humanisasi adalah melakukan penyadaran terhadap manusia sebagai
peserta didik mengenai kedudukannya dan perannya dalam kehidupan ini. Kata
penyadaran jelas mengandung makna dan implikasi yang mendasar karena akan
bersentuhan dengan aspek yang paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu
dinamika kejiwaan dan kerohanian. Dua aspek inilah yang menjadi pendorong
manusia dalam membangun kehidupan yang berkebudayaan dan peradaban.
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat
ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain
adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau
ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya) yang meliputi: nilai
pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.
Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut
kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurutnya,
paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu: 1).Kecerdasan
matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif,
berhitung/angka dan pola-pola abstrak. 2).Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu
kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. 3).
Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan
berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi. 4).Kecerdasan
fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu
berdasar gerakan. 5).Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran
berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme.
6).Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan
penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran
mental. 7).Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan
kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh
Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa
sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa
dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan
pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan
musik-ritme).
Dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku
dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Bahwa hanya
kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah,
sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. Hal ini tentu merugikan siswa
sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan, dan
juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak
kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses
pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun
otak kiri yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan. Dengan
demikian manusia semakin memiliki prilaku yang santun dan humanis.
Desain
pendidikan yang mengacu kepada pembebasan, humanisasi, penyadaran, dan
kreativitas, sesungguhnya sejak awal telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara dan K.
H. Ahmad Dahlan.
Ki Hajar Dewantara, misalnya, tidak saja memiliki gagasan yang cerdas pada
zamannya, tetapi juga tetap aktual di zaman sekarang. Dia menekankan praktik
pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan "perintah-paksaan," tetapi dengan
tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik
lahir maupun batin.
Cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan among. Ada dua hal yang mendasari adanya pendekatan
tersebut. Pertama, kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan
menggerakkan kekuatan lahir maupun batin, hingga dapat hidup merdeka. Kedua,
kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan
secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.
Dengan merdekanya manusia baik secara fisik, mental, dan
kerohanian, akan melahirkan jiwa yang humanis seperti keselarasan,
kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan
disiplin. Mental yang demikian dibangun dalam kerangka pendidikan yang
membebaskan. Satu hal yang tak bisa ditiadakan dalam humanisme ialah harkat dan
martabat manusia harus dihormati dan dikembangkan. Dalam hal ini filsafat
berfungsi menafsirkan pengalaman manusia dan
berbagai tradisi budaya. Dari sana tercipta pemahaman antara budaya yang
pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi peningkatan hidup dan martabat
manusia.
Berangkat dari
kenyataan masih lebarnya jurang perbedaan antara tuntutan dunia abad ke-21 akan
kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian, dan
moral manusia Indonesia pada umumnya dengan kemampuan dan sikap manusia
Indonesia pada umumnya agar Indonesia dapat mendudukkan diri secara
bermartabat dalam masyarakat dunia di era globalisasi ini. Pendidikan Islam dan
pembangunan kebudayaan harus mampu menyelenggarakan dan menciptakan proses
pendidikan atau suasana pendidikan yang dapat mengembangkan dan membudayakan
kemampuan, sikap, kepribadian dan watak yang humanis dalam menghadapi
persaingan dan tantangan zaman. Hanya dengan pendidikan yang relevan dan
bermutu maka Islam akan mampu mengembangkan IPTEK dan kebudayaan serta
mewujudkan masyarakat yang maju, demokratis, berbudaya, adil dan makmur dalam
bingkai pendidikan Islam.
Oleh karena itu, teman sebaya adalah pendidik yang kerap
kali berdayaguna dan berhasil guna di masyarakat. Sudah sejak masa kecil,
apalagi masa remaja dan sampai ke alam dewasa, teman sebaya amat penting dalam
proses kehidupan. Sebab pendidikan terbaik masuk ke hati sanubari seseorang
dengan teman sebaya, amat sering mengenali sampai lahir-batin. Teman sebaya
juga yang dapat mengenali dengan lebih baik dibanding orang lain, nilai-nilai
yang sungguh dijunjung tinggi seseorang, bukan hanya "dikatakan dijunjung
tinggi". Teman sebaya dapat ditemukan dalam lingkungan pergaulan seorang
manusia, sejak kecil sampai dewasa. Mereka
ini ada dalam keluarga, yaitu
kakak-adik. Mereka juga ada dalam lingkungan sekolah, di kampung, dalam
organisasi, atau dalam lingkup pekerjaan dan lembaga keagamaan. Sekarang
terbuka kemungkinan untuk memperoleh teman sebaya melalui radio dan televisi
serta internet. Hampir tidak terbatas potret untuk memperoleh teman sebaya,
yang berpengaruh baik maupun buruk.
Apabila seseorang sudah dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai dasar manusia, teman
sebaya dapat menyajikan rekan-tanding
atau rekan-renung yang meningkatkan mutu atau mendalamkan peresapan
nilai untuk diintegrasikan ke dalam diri manusia.
Dalam hidup sehari-hari pengaruh teman sebaya terwujud secara "sambil
jalan", tanpa rencana dan tanpa evaluasi ketat. Dalam berbagai
lembaga pendidikan, pengaruh itu dapat diorganisasikan. Pengaruh itu dapat
dengan mencolok kelihatan di sekolah, dalam organisasi
Karang Taruna, dalam perkumpulan orang muda atau olah raga, dan dalam persaudaraan lembaga keagamaan.
Pengaruh teman sebaya ini dapat dipahami karena terlaksana tidak sebagai
instruksi atau pelajaran yang kaku, tetapi
dalam mengalami hidup. Kecuali itu, teman sebaya tidak mendikte dan
tidak memerintah, mereka mengakui kesetaraan siapa pun yang ada dalam
persaudaraan atau persahabatan. Iklim
kesetaraan itu mengundang simpati dan simpati itu mempermudah orang menemukan nilai, menghayati makna hidup serta
mengembangkan sikap saling menghargai. Semua itu menyuburkan nilai.
Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia
yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,
sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif
untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam
masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam
budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai
manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna
yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan
manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai dua elemen yang berpretensi
positif bagi “manusia utuh” adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia
yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk
pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak
mampu mengubah realitas. Menyesuaikan diri adalah kekhasan tingkah laku binatang
yang bila diperlihatkan oleh manusia akan merupakan gejala dehumanisasi.
Pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian
daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistic, skeptic,
enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai
Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini
akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan
yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang
menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna
hidup, lingkungan social dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan
mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti konflik dan perang, krisis
nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya.
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan
manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang
sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan
kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah. Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang
terjebak pada proses dehumanisasi.
Pendidikan
Humanis yang dieksplorasi di dalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai
dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Manusia merupakan makhluk yang
sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari
mulai proses penciptaannya (Q.S. al-Sajdah/32: 7-9, al-Insân/76: 2-3), bentuknya (Q.S. al-Tȋn/95: 4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di
muka bumi (Q.S.
al-Baqarah/2: 30-34, al-An`âm/6: 165) dan
sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (Q.S. al-Dzâriyat/51: 56).
Begitu tingginya derajat manusia,
maka dalam pandangan Islam manusia harus menggunakan potensi yang diberikan
Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca indera, akal
maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya.
Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk
mencapai tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan
sekaligus untuk kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri,
keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa
pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan maknanya
sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada
jalan hidupnya. Proses ini menyangkut “perjalanan
menuju ke kedalaman diri sendiri”, menyentuh bagian-bagian terdalam diri
manusia, seperti daya refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan
diri sendiri dan betapa besar harga dirinya. Pendidikan nilai menyangkut ranah
daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh pengalaman seseorang.
Pendekatan
pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subyek yang bebas merdeka untuk
menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggungjawab penuh atas hidupnya sendiri
dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam
pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif.
Pendekatan dialogis mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis
dan kreatif. Pendidik tidak bertindak sebagai guru melainkan fasilitator dan
partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta didik untuk berdialog
dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik
untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi
diri).
Dengan demikian
pendidik tidak mengambil alih tangungjawab, melainkan sekedar membantu dan
mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan
pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya Namun, dengan menyadari watak
eksistensial manusia yang selalu bergantung pada realitas primordialnya,
seperti budaya peradaban, dan agama,
keprihatinan seperti di atas bisa dibenarkan.
Agar manusia di
satu sisi tidak tercerabut dari realitas primordialnya itu, dan di sisi lain,
manusia mau tidak mau harus berhadapan dengan kemajuan budaya dan peradaban yang perlu direspon, maka sikap moderat,
atau menjadi ummatan
wasathan dalam istilah Q.S. Al-Baqarah/2: 143, perlu dikembangkan. Seperti dikatakan Paulo Freire,
manusia harus bisa
"mengada" atau bereksistensi (to exist), tidak
sekadar hidup (to live) di dunia. Freire menekankan pentingnya hidup secara dinamis. Namun begitu, Freire juga menekankan
integrasi dalam kehidupan ini, yaitu
kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas dan kemampuan kritis untuk
membuat pilihan dan mengubah realitas.
Menurut A.Malik Fadjar nampaknya Freire
ingin memberikan suatu afirmasi filosofis bahwa manusia pada dasarnya merupakan
makhluk yang mempunyai kemerdekaan, sehingga manusia pada hakikatnya mampu
melakukan transendensi dengan semua realitas yang mengitarinya.
Pendidikan saat ini mempunyai landasan yang lebih
realistis dan strategis dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan keluarnya UU ini tidak berarti masalah
pendidikan serta-merta teratasi. Kita masih harus bekerja keras dalam berbagai sektor
pendidikan untuk menfungsikan pendidikan nasional dengan baik agar kita dapat
mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut pada Bab
II, Pasal 3, yang berbunyi, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Membangun sikap demokratis, dinamis, dan kritis bukanlah hal mudah, sebab
perkembangan kehidupan sendiri penuh dengan teka-teki
paradoksal seperti globalisasi. Globalisasi di satu sisi bisa memunculkan fenomena universal
civilization dan sisi lain bisa membangkitkan kesadaran akademik lokal. Analisis yang mendalam dikemukakan oleh Huntington, sebagaimana yang
di ungkapkan oleh A. Malik Fadjar, menjadikan identitas budaya dan peradaban
sebagai persoalan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang kini telah
mengalami proses globalisasi. Persoalan yang dimaksud Huntington adalah
terjadinya konflik di sepanjang garis pemisah budaya (culture fault lines) yang memisahkan
peradaban-peradaban seperti Barat, Konfusius,
Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks, Slavic, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington
tampaknya berkeyakinan bahwa budaya akan menjadi sumber fundamental konflik di
dunia setelah sebelumnya dipengaruhi oleh perbedaan ideologi dan ekonomi.
Huntington mengajukan sedikitnya enam alasan utama kenapa konflik atau benturan
dapat terjadi.
Pertama, perbedaan antar peradaban tak hanya rill, tapi juga mendasar.
Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih
penting adalah agama. Perbedaan-perbedaan ini selama berabad-abad telah menimbulkan konflik.
Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara
orang-orang atau bangsa-bangsa yang berbeda peradabannya semakin meningkatkan
kesadaran-kesadaran mereka untuk memperkokoh identitas, yang pada gilirannya
memperkuat perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang
jauh ke belakang dalam sejarah.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan social dunia membuat orang atau
masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah mengakar dengan
kuat, di samping memperlemah negara-bangsa
sebagai sumber identitas mereka.
Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena
peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan, namun di sisi lain, dan ini akibat posisi Barat tersebut,
yaitu kembalinya ke fenomena asal, sedang
berlangsung di antara
peradaban-peradaban non-Barat.
Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu
kurang bisa berkompromi antara karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi.
Keenam, regionalisme
ekonomi semakin meningkat. Blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa yang akan datang.
Menurut
Huntington, bahwa
konflik atau benturan peradaban (clash
of civilization) yang dilatarbelakangi oleh keenam
faktor di atas, berlangsung pada dua tingkatan. Pada tingkat mikro,
kelompok-kelompok yang berdekatan sepanjang garis pemisah di antara
peradaban-peradaban sering kali berjuang dengan kekerasan untuk saling
menguasai perbatasan masing-masing. Sedang pada tingkat makro, negara-negara
yang mempunyai peradaban yang berbeda-beda bersaing untuk merebut kekuasaan
ekonomi dan militer, berjuang untuk menguasai lembaga-lembaga internasional dan pihak-pihak
ketiga, dan bersaing mempromosikan
nilai-nilai agama dan politik mereka.
Dalam membangun
humanisasi peradaban dalam kerangka pendidikan yang membebaskan pendidikan dan
relevansinya tesis Hungtington mengundang daya tarik akademik. Banyak kalangan dari komunitas ilmuwan sosial menjadikannya sebagai bahan diskursus. Ada beberapa ilmuwan yang
skeptis terhadap kebenaran tesis Huntington itu. Namun, tak sedikit pula yang
mengiyakannya, bahkan dijadikan sebagai acuan paradigmatik dan teoretik dalam
menjelaskan fenomena konflik sosial yang belakangan ini menjadi kenyataan
sosial di tanah air. Dengan jelas benturan dan konflik memiliki cita rasa
tersendiri dalam membangun dinamika social dalam bingkai akademik.
Dalam konteks
Indonesia, tesis Huntington itu agak sulit dicari evidensi empiriknya, terutama
jika dikaitkan dengan dua level pertentangan peradaban di atas. Namun jika
memperhatikan modus konflik sosial yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini,
bisa dikatakan bahwa sebenarnya benturan kini telah terjadi, meskipun masih
berada pada level lokal atau marginal. Misalnya, benturan yang disebabkan oleh
perbedaan etnis dan keagamaan, maupun yang disebabkan menajamenya fragmentasi
sosial sebagai warisan sejarah sebelumnya yang disebabkan oleh kesalahan
manajemen dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Semua konflik yang datang
secara bertubi-tubi memunculkan kegetiran terhadap masa depan bangsa ini yang
dalam rentang waktu lama disatukan oleh suatu ikatan kebangsaan yang luhur. Yang paling ironis, agama yang
seharusnya dapat menjadi perekat sosial (societal glue), nyatanya
malah terperangkap dalam berbagai konflik. Padahal agama, apa pun namanya,
sejatinya sama-sama mempunyai misi suci dan agung, yakni (salah satunya)
menciptakan kedamaian universal sehingga manusia dapat menikmati kebahagiaan
esensialnya di dunia dan di akhirat kelak. Agama dalam konteks mikro,
sebenarnya dapat diperankan secara positif-konstruktif dalam mempertahankan dan
sekaligus mengembangkan keutuhan bangsa Indonesia yang ditandai dengan
keanekaragaman dan kemajemukan. Sekadar contoh, di
bawah ini akan dikemukakan beberapa nukilan nuktah-nuktah normatif agama Islam
yang memiliki kaitan dengan persoalan keanekaragaman dan kemajemukan,
multikulturalisme dan pluralisme, dan solusi integrasi
keduanya.
Untuk mengakomodasi benturan peradaban menuju pendidikan yang humanis adalah dengan jalan
meningkatkan kualitas kehidupan beragama sehingga tidak terjadi sikap fanatik,
feodalis dan fundamentalis. Sikap beragama seperti ini disebabkan karena: Pertama, cara beragama masyarakat yang masih berorientasi ke
"dalam," sebagai pemahaman yang dangkal
terhadap apa yang dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan
dalam agama.
Keberagamaan seperti ini dalam istilah psikologi agama disebut dengan gaya
hidup keagamaan otoritatif (religion of authority). Agama manapun memang
menyandarkan pada suatu otoritas mutlak yang hadir melalui nilai dan semangat keagamaannya.
Seharusnya cara beragama lebih membuka diri, dan menjalin komunikasi beragama
ke luar sehingga akan membuka pentilasi kehidupan beragama.Dengan demikian,
suasana beragama lebih ramah dan dinamis.
Kedua, dengan sikap keberagamaan yang berorintasi lokal-feodalistik belum
menasional dan global seperti di atas, maka agama mudah dimanfaatkan untuk mem-blow
up isu-isu di luar dunia keagamaan yang tengah mengemuka, seperti
kesenjangan atau fragmentasi sosial.
Model tampilan keberagamaan tersebut, menyebabkan gagalnya suatu
penghayatan agama karena yang esensial dari beragama tidak tertangkap dan tidak
terungkap.
Kita perlu prihatin sebab sebagian peristiwa kerusuhan massa marak belakangan
ini menurut sebuah sinyalemen, karena terjadinya manipulasi simbol-simbol agama
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya untuk meraih kepentingan sesaat.
Padahal agama dalam kehidupan berfungsi sebagai perekat dalam menata tatanan sosial
yang sangat damai, humanis dan anggun.
E.
Kesimpulan
Pendidikan humanis memandang manusia sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk
ciptaan Tuhan dengan fithrah-fithrah
tertentu. Manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanis
diharapkan bisa berfikir, merasa, berkemauan, dan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik,
egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang sesama manusia, sifat ingin
memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, dan
lain sebagainya.
Pendidikan humanis dalam bingkai pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang
unik, mandiri, dan kreatif. Memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk
ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia
dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk
yang paling sempurna. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi
merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya
memperkaya setiap individu dengan
tetap mempertimbangkan perbedaan
antara masing-masing pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar, “Peranan Pendidikan Rohani Dalam Mewujudkan Perdamaian
Dunia” dalam Azhar Arsyad (Ed).
Islam dan Perdamaian Global. Yogyakarta: Madyan
Press, 2002.
Azra, Azymardi. Konflik Baru Antar
Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralisme. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Hamka. Lembaga Budi. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
-------. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni,
1962.
-------. Tafsir
al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, Juz I.
Mujani, Saiful dkk. Benturan
Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar, 2005.
Rais, M. Amien, "Umat Islam dengan Lokomotif Lain"
dalam Jalaluddin Rakhmat. Prof. Dr. Nurcholish Madjid: Jejak Pemikiran
dari Pembaharu sampai Guru Besar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Ghazali. Terj. Amrouni. Jakarta: Riora Cipta, 2000.
Nama : Dr. Muh. Idris,
M.Ag
NIP : 19710515 200212 1
002
Tempat/Tgl
Lahir : Camba-Camba, 15 Mei 1971
Pendidikan
Terakhir : S3 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Pekerjaan : Dosen STAIN Manado
Alamat
Rumah : Jl. Camar V Samping
Kampus STAIN Manado
Alamat
Tempat Tugas: Jl. Dr. SH Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado
No.
Telp : 081383727332
Hamka, Lembaga Hidup (Jakarta: Djajamurni, 1962) h. 204.
Hamka menyatakan bahwa pendidikan bukan berarti hanya berorientasi pada hal-hal
yang bersifat metafisik belaka. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah
fi al-ardl, manusia juga memerlukan pendidikan yang bersifat material.
Hanya melalui pendekatan kedua proses tersebut manusia akan dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan
tujuan pendidikan Islam, Hamka menyatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan
mengenal dan mencari keridaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak
mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna
di tengah-tengah komunitas sosialnya. Lihat Hamka, Lembaga , h.203. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1998), Juz I, h. 170. Lihat juga Hamka,
Lembaga Budi (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983), h. 2-3.
Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan”,
dalam Widiastono, ed., Pendidikan Manusia Indonesia, h. 64. Untuk
sampai pada perkenalan itu, bahan pelajaran humaniora harus disertakan sebagai
bagian dari acara pembelajaran dalam sistem pendidikan nasional, tentu dengan
memperhatikan tingkat perkembangan minat peserta didik. Tidak perlu ada
kekhawatiran akan terjadinya keberatan beban kurikuler, karena perkenalan
dengan berbagai ihwal humaniora tidak harus diterapkan secara kurikuler, tetapi
juga melalui penyediaan bacaan pustaka yang dianjurkan (recommended
readings). Bandingkan dengan Yusufhadi
Miarso, Menyemai Teknologi Pendidikan, h. 267. Lihat Pula,
M. Amien Rais, "Umat Islam dengan Lokomotif Lain" dalam Jalaluddin Rakhmat, Prof. Dr. Nurcholish Madjid:
Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Besar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2003), h. 12-13.
Fadjar, Holistika, h.169.
Bandingkan pula, Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka kecuali dari
orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau
mengadakan perdamaian di antara manusia..." (QS. al-Nisa' 114). Azhar
Arsyad, “Peranan Pendidikan Rohani Dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia” dalam
Azhar Arsyad (Ed), Islam dan Perdamaian Global (Yogyakarta: Madyan
Press, 2002), h.166. Bandingkan juga, Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin
Mistis Imam Ghazali, terj. Amrouni
(Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 167.
Soedijarto, Pendidikan Nasional Sebagai
Wahana Mencerdasakan Kehidupan Bangsa dan
Membangun Peradaban Negara–Bangsa; Sebuah Usaha Memahami Makna UUD’ 45,
h. 90.
Fadjar, Holistika, h.173. Lihat
pula, Azymardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme
dan Pluralisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 17. Bandingkan
juga, Saiful Mujani dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis
Indonesia terhadap Amerika Serikat (Jakarta: Nalar, 2005).
Fadjar, Holistika, h.173.
Fadjar, Holistika, h.174-175.