POTRET
PEMIKIRAN RADIKAL
JARINGAN ISLAM
LIBERAL (JIL) INDONESIA
muh.idris
Dosen Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
e-mail
:idrispasca_uin@yahoo.co.id
Abstrak
Jaringan Islam Liberal adalah
salah satu lokomotif yang menggerakan tata nilai
pemikiran keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran,
inklusif dan kontekstual. Di Indonesia penyebaran Islam liberal telah
berlangsung sejak awal tahun 1970-an dan sejak tahun 2001, sejumlah aktivis dan intelektual
muda Islam memulai penyebaran gagasan Islam liberal secara lebih terorganisir. Jaringan Islam Liberal mencoba
membangun dan mengembangkan suasana beragama yang transformatif dan inklusif,
menampakan signifikansinya untuk selalu “dilirik” oleh komunitas umat. Melalui
pemahaman keagamaan yang holistik dan pola keagamaan yang inklusif, umat Islam
diharapkan dapat menyelesaiakan krisis kemanusiaan, serta menjadikan modernitas
sebagai proses yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia.
Kata Kunci
: Radikal, Jaringan Islam Liberal dan Liberal
I.
Pendahuluan
Sejak terjadinya
peristiwa kelabu yang menimpa World Trade Center (WTC) dan Pantagon di Amerika
Serikat, 11 September 2001 yang lalu, istilah terorisme menjadi global issue. Terorisme merupakan bagian
dari radikalisme yang pada hakekatnya ada dimana-mana dan di semua bentuk dan
jenis agama manapun di dunia ini. Kesan kuat terhadap pemikiran radikalisme
dikaitkan erat dengan Islam muncul dalam wacana dunia sejak peristiwa WTC itu
dengan menjadikan al-Qaeda sebagai prime
suspect-nya.
Di samping gerakan
radikal yang diketagorikan sebagai terorisme itu, di Indonesia muncul
gerakan-gerakan radikal baik dalam hal pemikiran maupun disertai gerakan.
Gerakan radikal yang hanya bersifat pemikiran belaka seperti Hizbut Tahrir
Indonesia yang menghendaki ditegakkannya sistim khilafah dalam sistem politik
dan pemerintahan. Sedangkan gerakan radikal yang yang hanya bersifat gerakan
tetapi tidak menghendaki perubahan dalam pemikiran seperti Front Pembela Islam
(FPI). Disamping itu ada juga yanng merupakan kombinasi dari keduanya seperti
yang ditampilkan Laskar Jihad (LJ) di Maluku atau lainnya.
Pada dasarnya radikalisme diartikan sebagai sesuatu yang
“tidak biasa”. HTI, FPI, LJ merupakan organisasi yang menampilkan kesan “tidak
biasa”. Gagasan dan aksi mereka yang “tidak biasa” itu telah menimbulkan reaksi
dari sebagian masyarakat muslim. Jaringan Islam liberal (JIL) merupakan salah
satu yang bereaksi terhadap organisasi-organisasi di atas. Menariknya dalam
beraksi tersebut JIL juga menunjukkan pemikiran yang “tidak biasa”. Dalam
konteks inilah tulisan ini membahas mengenai pemikiran radikal dari Jaringan
Islam Liberal Indonesia
II. Mengenal Jaringan Islam Liberal
Pertengahan
tahun 2001, nama Islam Liberal mulai dikenal luas di Indonesia. Segera nama itu
menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Dengan semboyan “Islam yang
membebaskan” kelompok yang kemudian mengusung bendera “Jaringan Islam
Liberal disingkat JIL berhasil membetot
perhatian banyak kalangan baik yang pro maupun yang kontra.[1]
Istilah liberal mengacu
kepada keadaan atau sikap orang atau sebuah gerakan pemikiran tertentu yang
bersedia merekonstruksi dan menghargai gagasan atau perasaan orang lain, yang
juga mendukung perubahan-perubahan baik sosial, ekonomi, politik dan keagamaan
melalui “pembebasan” pemikiran dari pandangan dunia dan sikap literal-dogmatis,
reaksioner atau pro status quo.[2] Dalam konteks ini, berarti Islam tidak
saja dikembangkan dalam area pemikiran
murni dan spekulatif tetapi harus juga diletakkan pada posisi netral.
Jaringan
Islam Liberal adalah salah satu lokomotif yang menggerakan tata nilai pemikiran keagamaan
yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran, inklusif dan
kontekstual. Di Indonesia penyebaran Islam liberal telah berlangsung sejak awal
tahun 1970-an, yang termasuk tokoh pemikir liberal pada situs
islamlib.com, antara lain adalah Nurcholish Madjid, Masdar F. Mas’udi, Goenawan
Muhammad, Djohan Efendi, Jalaluddin Rahmat, Nasaruddin Umar, Komaruddin
Hidayat, dan Ulil
Abshar Abdalla[3].
Meskipun belum dikenal sebagai Islam liberal, pemikiran-pemikiran liberal
seperti Cak Nur yang sering disebut sebagai pemikiran neo modernisme Islam,
menjadi dasar dari pengembangan Islam liberal dewasa ini. Sejak tahun 2001,
sejumlah aktivis dan intelektual muda Islam memulai penyebaran gagasan Islam
liberal secara lebih terorganisir. Mereka ini kemudian mendirikan Jaringan
Islam Liberal (JIL).
Kitab suci agama Islam pada
dasarnya merupakan prinsip dan petunjuk yang bersifat keagamaan dan moral, bukan sebuah “dokumen”
hukum.[4]
Dalam posisi seperti ini kehidupan Sunnah berada meskipun tidak dalam kedudukan
yang sama. Kedua sumber ajaran Islam tersebut merupakan Islam Normatif yang
bernilai absolut dan Universal. Tugas umat Islam adalah untuk memahami
nilai-nilai dan pesan yang dikandungnya secara holistik, terpadu sistimatis,
dan selalu dikontektualisasikan ke dalam kehidupan
yang nyata sehingga selalu aktual, berpihak pada pengembangan keadilan,
kedamaian kesejateraan dan semacamanya.
Jaringan
Islam Liberal selalu membuka diri pada
pengembangan wawasan keislaman yang lebih dinamis sebagai berikut: [5]
a. Keterbukaan pintu
ijtihad pada semua aspek.
Islam liberal percaya
bahwa ijtihad atau penalaran rasional atau teks-teks keislaman adalah prinsip
utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala suasana dan
keadaan. Penutupan pintu ijtihad secara terbatas atau secara keseluruhan adalah
ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami
pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad dapat diselenggarakan dalam
hampir semua segi Ilahiyat (teologi), Ubudiyat (ritual) atau Muamalat
(interaksi sosial). Ruang ijtihad dalam bidang ubudiyat memang lebih sempit jika
dibandingkan dengan ijtihad di dua bidang yang lain.
b. Penekanan pada semangat
religio etik, bukan pada makna literal sebuah teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh
Islam liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat
religi etik al-Qur’an dan sunnah nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata
berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan
membunuh perkembangan Islam. Hanya dengan penafsiran yang mendasarkan diri pada
semangat religio etik, Islam akan dapat hidup dan berkembang secara kreatif
menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan yang universal.
c. Kebenaran yang relatif
terbuka dan plural
Islam liberal mendasarkan
diri pada gagasan tentang kebenaran sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah
penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu,
terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain
kemungkinan benar “plural,” sebab sebuah
penafsiran keagamaan dalam satu akan lain cara adalah cerminan dari kebutuhan
seorang penafsir disuatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Pemihakan pada minoritas dan
tertindas
Islam liberal berdasarkan
diri pada suatu penafsiran keislaman yang memihak kepada yang kecil tertindas
dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial politik yang melaksanakan praktek
ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas
yang dipahami dalam makna yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras,
budaya, politik, ekonomi, orientasi seksual dan lain-lain. Dalam konteks
tersebut, di atas JIL mencoba memperluas wawasan berfikir yang lebih toleran dan
saling menyapah diantara sesama ciptaan Tuhan dari beragam lapisan masyarakat,
guna mewujudkan tatanan berfikir yang lebih sehat dan dinamis dalam membentuk
budaya dan peradaban yang lebih anggun dan elok.
e. Kebebasan beragama dan
berkepercayaan
Islam liberal menganggap
bahwa urusan beragama adalah hak perorangan yang harus dilindungi. Islam
liberal tidak bisa membenarkan dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
Kepercayaan kepada agama dalam perspektif ini adalah sesuatu yang pokok, jelas
dan universal yang mampu membentuk karakter pribadi yang yang lebih elegan dan
mampu mengimplementasikan mana ajaran yang bersifat dasar dan mana yang non
dasar, dengan suasana demikian akan membentuk nilai-nilai budaya berfikir yang
lebih inofatif dan kreatif yang berujung terciptanya suasana masyarakat yang lebih humanis dan harmonis.
f. Pemisahan otoritas duniawi
dan ukhrawi, otoritas agama dan politik.
Islam liberal percaya
pada keniscayaan pemisahan antara kekuasaan keagamaan dan politik islam liberal
tidak membenarkan gagasan tentang negara agama
yang otoritas seseorang ulama atau kiyai dipandang sebagai kekuasaan
tertinggi yang tidak bisa salah. Bentuk negara yang sehat untuk pertumbuhan
agama dan politik adalah suatu negara yang dua wewenang yang dipisahkan agama adalah
sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak
serta merta mempunyai “privelse transendental” yang tidak bisa disangkal
untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya adalah bekerja
pada ruang privat dan perorangan. Urusan publik haruslah diselenggarakan
melalui proses “ijtihad kolektif”, di mana pelbagai pihak boleh saling
menyangkal kebenaran ditentukan secara induktif melalui uji pendapat.[6]
Islam
liberal menggambarkan prinsip yang dianut yang menekankan kebebasan pribadi
(sesuai dengan doktrin kaum Mu’tazilah tentang kebebasan manusia ) dan
pembebasan struktur sosial politik dari dominasi yang tidak sehat dan menindas.
Arah Islam liberal mempunyai dua makna sekaligus; kebebasan (being liberal)
dan pembebasan (liberating).
III. Aktivitas Jaringan Islam Liberal
Jaringan Islam Liberal
dalam konteks keindonesiaan sangat kental mengartikulasi dan menelaah
nilai-nilai pemikiran Islam yang Universal guna mengangkat harkat dan martabat
manusia sebagai umat yang terbaik disisi Allah melalui pemikiran dan
kreativitas. Ada
empat kegiatan atau aktivitas pokok
Islam liberal adalah sebagai berikut :
1.Sindikasi Penulisan Islam
liberal
Maksudnya adalah
mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum
dikenal) oleh pablik yang luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme.
Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang
baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk
mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya otonomi daerah maka peran media
lokal semakin penting dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk
disebarkan melalui media daerah ini.
Setiap minggu akan disediakan tiga artikel untuk koran-koran daerah.
2. Talk-show di Kantor Berita
Radio 68 H.
Talk show ini mengundang
sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai pendekar pluralisme untuk
berbicara berbagai isu sosial keagamaan di tanah air. Acara ini akan
diselenggarakan setiap minggu dan disiarkan oleh seluruh jaringan KBR 68 H di
seluruh Indonesia.
Talk show ini akan diikuti oleh 10 radio: 4 radio di Jabotabek yaitu
radio At-Tahiriyah, Muara FM, Star FM, Ria FM dan 6 radio di daerah yaitu radio
Smart (Manado), DMS (Maluku), UNISI (Yogyakarta), PTPN (Solo), Mara (Bandung) dan radio
Prima FM yang merupakan jaringan 68 H. Jadi melalui jaringan informasi pemikiran liberal yang
syarat dengan muatan ilmiah dan intelektual tersebar dengan sendirinya dapat
massif . Dengan semangat tersebut masyarakat keagamaan dapat
menyaring dan menjaring informasi untuk memaknai dan mengeksplorasikannya.
2. Penerbitan Booklet.
JIL, mencoba membuat Booklet
ukuran sederhana setebal 40-50 halaman, berisi utuh, wawancara atau ringkasan
dari tulisan yang ada yang berisi isu-isu yang acapkali menjadi bahan
perdebatan dalam agama dan sering kali menjadi alat kelompok-kelompok tertentu
untuk melancarkan kampanye mereka, seperti jihad, penerapan syari’at Islam,
penerapan ajaran memerintahkan yang baik, dan mencegah dari yang jahat, konsep
tentang pembangunan rumah ibadah dan lain-lain. Booklet ini diterbitkan dua
bulan sekali dan dicetak sebanyak 1000 buah. Booklet tersebut di atas dijadikan
sebagai media ringan guna mengakses informasi dari perkembangan pemikiran
Jaringan Islam Liberal.
4. Website islamlib.com
Program
ini berawal dari yang dibukanya mailing list Islam Liberal
(isalamliberal @yahoogroups.com)yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk
meluasakan mailing list ini kedalam bentuk website yang bisa diakses
oleh semua kalangan. Sementara mailing list tetap dipertahankan untuk
kalangan terbatas saja. Semua program kampanye, buletin, sindikasi media, talk
show radio akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat
setiap perkembangan berita, artikel atau apapun yang berkaitan dengan misi
jaringan Islam liberal.[7]
IV. Corak Pemikiran JIL di Indonesia
Munculnya berbagai corak
pemikiran Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan kebijakan
politik pembangunan di bawah rezim Orde Baru yang dirasakan oleh intelektual Islam,
sangat memojokkan dan memarjinalkan kelompok Islam. Umat Islam selalu toleran
membangun orde baru diterapkan benar-benar mengalami proses peminggiran yang
dahsyat dan bertabrakan dengan arah modernisasi, terutama yang hanya mengarah pada pertumbuhan sektor ekonomi, tidak
diimbangi dengan sektor religius.[8]
Setelah merespons
kebijakan pembangunan di bawah Orde Baru, pemikiran Islam terus berkembang ke
arah yang lebih luas dan subtansial, sehingga muncul pelbagai corak pemikiran
Islam yang sangat penting diperhatikan dalam perkembangan pemikiran keagamaan Islam di Indonesia. Suasana peta
pemikiran Islam di Indonesia, dapat dikategorikan menjadi formalistik,
subtansialistik, transformalistik, totalistik Idealistik dan realistik .[9]
A.
Syafii Maarif membedakan corak pemikiran Islam menjadi empat, yakni modernis
dan diteruskan oleh neo-modernis, neo-tradisionalis, ekslusif Islam, dan
modernis sekularis muslim.[10]
Sementara M. Dawam Raharjo membedakan corak pemikiran Islam menjadi nasionalis
muslim, humanis –sosialis-sekuler muslim modernis-sekuler. [11]
Nurcholish Madjid dalam
buku Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan mengapresiasikan konsep modernisasi
ialah identik dengan rasionalisasi. Konsep tersebut bermuara pada liberalisasi
pemikiran yang berupaya merombak pola pikir dan tata kerja lama yang tidak
akliyah, menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang akliyah.[12]
Manfaatnya adalah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal
itu dilakukan demi menciptakan iklim pemahaman keberagamaan yang lebih
pluralis, harmonis, dan dinamis, guna membangun budaya ilmu yang ilmiyah dan
alamiah.
Berdasarkan penjelasan di
atas, perkembangan pola dan corak pemikiran Islam ternyata tidak berhenti sampai
di situ, tetapi terus berkembang sampai sekarang. Banyak hal yang direspon oleh
para pemikir Islam di atas. Beberapa tema pokok yang direspon oleh para
cendikiawan muslim antara lain, soal Islam dan negara Nasional Islam, Islam dan
Keindonesiaan, Islam dan kemoderenan, Islam dan demokrasi, Islam dan
pluralisme.[13]
Tema-tema tersebut di
atas menjadi fokus pembicaraan cendikiawan muslim karena, tema-tema ketika
berhadapan dengan rezim Orde Baru yang banyak melakukan penekanan dan
intervensi dalam gerakan Islam di Indonesia, sehingga melahirkan gebrakan
pemikiran yang liberal dan dinamis.
Komunitas
Islam liberal sangat aktif dalam sosialisasi pemikiran-pemikiran Islam, yang merupakan kelanjutan dari
sosialisasi pemikiran Islam era 90-an, mereka dilatar belakangi HMI, NU,
Paramadina dan NGO lain, dan yang sebagian sedang atau telah menyelesaikan
studinya (S.2/ S.3) di luar negeri, baik Eropa, Amerika maupun Timur Tengah. Nama-nama
seperti Ulil Abshar Abdalla dari Lakpesdam NU dan ISAI Jakarta, Nurcholish
Madjid dan Budi Munawar Rachman (Paramadina), Nasaruddin Umar (Rahima), Rizal
Malarangeng (Freedom Instutute), Saiful Muzani Ohio University), Ihzan Ali
Fauzi (Jerman) dan lain-lain merupakan tokoh sentral kajian JIL (Jaringan Islam Liberal), ISAI (Institut Studi
Arus Informasi) dan KUK (Kajian Utan
Kayu).
Secara
historis, pemikir-pemikir Islam liberal banyak yang mendukung demokrasi, menentang
teokrasi, jaminan pada hak-hak kaum perempuan, hak-hak non muslim di negara
Islam, dan pembebasan
terhadap kebebasan berfikir.[14]Salah satu tema yang paling hangat dibahas oleh komunitas pemikir
Liberal Islam adalah perlunya pemisahan yang tegas antara agama dan politik,
atau agama dan negara dalam pandangan liberal Islam, agama berbeda dengan
politik. Agama berurusan langsung dengan Tuhan dan berimbas pada manusia, sedangkan politik adalah urusan
antara manusia yang imbasnya juga antar-manusia. Tidak ada sakralitas dalam
politik, yang ada hanya etika, sementara dalam agama ada hal-hal yang sakral.
Memang keduanya bisa bertemu dalam etika universal bukan doktrin.
Bahtiar
Effendy dengan mengutip pendapat Nurchalish Madjid,
menjelaskan kaitan antara Islam dan politik di Indonesia yaitu:
1.
Keterkaitan antara yang setidak-tidaknya
dianggap sakral (agama) dan yang Profan (politik)
2.
Dalam kritik sejarah,
keterkaitan antara Islam dan politik ini menyangkut soal ijtihad dan keikhlasan
para pemikir dan aktivitas Islam generasi pertama.
3.
Akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh pemikiran dan aktivitas politik Islam di masa lampau.[15]
Demikian pula Soekarno
(sebelum jadi Presiden) pernah menulis sebuah artikel berjudul ”memudahkan
Islam”. menurut Soekarno langkah-langkah pemikiran liberalisasi yang dijalankan
oleh Kemal Attaturk adalah “tindakan paling modern” dan tindakan “paling
radikal”. Katanya “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu
dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki
sendiri dan tidak kepada negara. Oleh karena itu, salahlah kalau kita
mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita
samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia”. [16]
Mengutip
Frances Woodmall, Soekarno telah mencatat bahwa:
“Perilaku Turki modern
terhadap Islam adalah sikap anti-ortodoksi, atau anti-institusi keagamaan,
ketimbang disebut sebagai anti agama… Validitas Islam sebagai agama yang
menjadi persoalan keyakinan pribadi tidak ditolak. Tidak ada penghentian pelaksanaan ritual agama di masjid, atau
lebih-lebih pelaksanaa kegiatan kegamaan”[17]
Menurut
Soekarno apa yang dilakukan Turki sama sebagaimana dilakukan oleh
negara-negara Barat, seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman dan
lain-lainya, dimana urusan agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya,
agama dijadikan urusan pribadi dan tidak dijadikan urusan negara, tidak
dijadikan sebagai agama resmi negara.
Kemal
Attaturk juga menghapus hukum-hukum Allah, dari masyarakat Turki. Tulisan Arab
digantikan tulisan Latin, azan harus menggunakan bahasa Turki, dengan demikian
pengaruh Islam kata Soekarno lebih didominasi oleh Negara/Pemerintah. Faktanya
penguasa Islam pada waktu itu tidak menjalankan dan memelihara Islam
sebagaimana yang diajarkan Islam. Bahkan tidak jarang agama hanya dijadikan
alat untuk memepertahankan legitimasi kekuasaan.
Dalam
wawancara dengan harian Kompas tanggal 1April 1970,[18]
Nurchalish
mengatakan, “Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja.
Karena sekularisasi adalah inheren dengan kehidupan manusia sekarang di
dunia ini”. Ini diartikan juga bahwa zaman atau keadaan sekarang, juga berarti
dunia ini. Pada makalah lain Nurchalis Majid mengatakan, agama Islam, bila
diteliti benar-benar dimulai dari proses sekularisasi terlebih dulu. Justru
ajaran tauhid menurutnya, itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi
terlebih dulu.
Di lain
sisi, Nurchalish juga mengatakan, ”Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep “Negara Islam” adalah suatu distorsi, hubungan proporsional
antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang
dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan
yang dimensinya spiritual dan pribadi.” Sosok ketokohan Nurcholish Madjid
sebagai locomotif pembaharuan Islam yang liberal rasional dan fugsional.
Greg
Barton, menjelaskan beberapa prinsip gagasan prinsip Islam liberal adalah
sebagai berikut:
1.
Pentingnya kontekstual ijtihad
- Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan
- Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama
- Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian agama.[19]
Koordinator Islam liberal Ulil Absar Abdalla
menuangkan gagasan-gagasan liberalnya tanpa
tedeng aling-aling mengatakan bahwa:
“Islam liberal bisa menerima
bentuk negara sekuler…sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan
energi kemaksiatan sekaligus”.[20]
Aktivis Islam liberal lainnya,
Denny JA, juga menulis gagasan liberal sebagai berikut:
“Sudah saatnya komunitas Islam
Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara
subtansi dan metodologi, yaitu teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat
keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam tersendiri, yang
membenci pembenaran pada sebuah kultur liberal. Dalam politik, teologi itu
menjadi Teologi Negara Sekuler (TNS), yaitu sebuah filsafat keagamaan, yang
menggali dari teks dan tradisi Islam, yang paralel atau membenarkan perlunya
sebuah negara yang sekuler sekaligus demokratis.”[21]
Dawam Raharjo, seorang
tokoh Muhammadiyah Indonesia, memberi pembelaan keberadaan Ahmadiyah di
Indonesia dengan statemen yang agak radikal, sebagai berikut:
“Ahmadiyah sama dengan
kita…Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun
akidah mereka itu. Kita menyangka, akidah mereka menyimpang. Misalnya, mereka
percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi
kepercayaan mereka mau apa ? Itu ‘kan
soal kepercayaan. Itu ‘kan sama saja dengan kita percaya kepada
Nabi Muhammad Saw.”[22]
Said
Aqiel Siradj, ketua Syuriah Pengurus Besar NU,
juga mengapresiasikan pikiran-pikirannya yang radikal megatakan:
“Agama yang membawa misi Tauhid
adalah Yahudi, Nasrani (Kristen) dan Islam. Ketiga agama tersebut datang dari
Tuhan melalui Rasul dan Nabi pilihan. Agama Yahudi diturunkan melelui Musa,
Nasrani diturunkan melalui Isa (Yesus), dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan
ketiga agama Samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu
semakin tampak jika dilihat dari genelogi ketiga utusan (Musa, Isa dan
Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim sebagai the foundation father’s bagi
agama tauhid. Singkatnya, ketiga agama tersebut sama-sama memiliki komitmen untuk
menegakkan kalimat tauhid... Dari ketiga macam Tauhid di atas, tauhid Kanisah
Ortodoks Syiria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam.”[23]
Cendikiawan Muslim, Alwi Shihab memberi argumen yang logis dan
politis mengatakan bahwa:
“Prinsip
lain yang digariskan oleh al-Qur’an adalah pengakuan eksistensi orang-orang
yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan begitu, layak
memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai
pluralisme keagamaan dan menolak
eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat al-Qur’an. Sebab al-Qur’an
tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya.”[24]
Dr.
Abdul Munir Mulkhan, memberi gagasan-gagasan liberal dalam mengubah nuansa berfikir yang
lebih praksis sebagai berikut:
“Jika semua agama memang benar sendiri,
penting diyakini bahwa syurga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu
dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya.
Syarat memasuki syurga ialah keikhlasan
pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan tanpa
melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sisni kerja
sama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.”[25]
Kiai Haji Abdurrahman
Wahid, saat menjabat sebagai Presiden Indonesia
pernah berpidato pada malam perayaan Natal bersama, 27 Desember
1999, beliau menyampaikan pesannya bahwa:
“Bagi saya, peringatan Natal adalah peringatan
kaum Muslim juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan
kelahiran Nabi Muhammad Saw., maka adalah
harus konsekuen merayakan malam Natal.”[26]
Tokoh
gerakan sekularisasi di Indonesia,
Nurcholish Madjid, juga tidak hanya berpendapat dalam bidang sosial politik,
tetapi juga mempromosikan Teologi inklusif. Pendapatnya ditulis oleh Sukidi dalam sebuah buku berjudul
“Teologi Inklusif Cak Nur”. Dalam buku tersebut ditulis:
“Bangunan epistimologi teologi
inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-Islam sebagai sikap pasrah ke
hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur. Menjadi karakteristik pokok semua
agama yang benar. Inilah kata yang tersingkap dalam al-Qur’an, bahwa semua
agama yang benar adalah Islam, yakni sikap berserah diri ke hadirat Tuhan
(Q.S.29: 46). Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan
pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualifikasi seorang beragama
Islam, tetapi ‘muslim’ itu sendiri
(secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama
lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka
konsekwensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita, baik sebagai
seorang Islam, Yahudi, Kristen maupun sahabi’in yang benar-benar beriman kepada
Tuhan dan hari kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala
di sisi Allah…(Q.s.2:62, 5:69). Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini,
terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun ‘agama’nya, untuk
menerima pahala (surga) dari Tuhan.”[27]
Di lain sisi tokoh pemikir
liberal Ahmad wahib mengekplorasikan fikiran-fikiranya dengan liberalnya mengatakan
bahwa:
“Wah, andaikata hanya tangan kiri Muhammad memegang kitab, yaitu al-Hadits,
sedang dalam tangan kanannya tidak ada Wahyu Allah (al-Qur’an), maka dengan
tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederich Engels lebih hebat dari
utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu
yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap
orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni surga
tingkat pertama, berkumpul dengan para Nabi dan Syuhada.”[28]
Nurchalish
Majid, yang tak henti-hentinya memberi argumen dengan ikhlas guna mengangkat langit keilmuan di kalangan
intelektual dengan begitu dapat mengartikulasi nilai pemikiran keagamaan yang
lebih netral, inovatif dan produktif, seperti di bawah ini:
“Semua agama, dalam inti yang paling mendalam adalah
sama, dalam bulan yang suci ini karena bersama ada perayaan Waisak, Maulid Nabi
Muhammad, saw, dan kenaikan Isa al-Masih, kita semua harus menuju pada
kedamaian.”[29]
Taufik
Adnan Amal salah seorang sosok pemikir cendikiawan muda yang kritik dari UIN
Makassar memberi gagasan-gagasan liberalnya sebagai berikut:
“Uraian dalam paragraf-paragraf
berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan
al-Qur’an sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah
masalah mendasar, baik dalam otografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang
kita warisi dalam mushap tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga
menggagas bagaimana menyelesaikan itu
lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis al-Al-Qur’an”[30].
Sumanto Al-Qurtuby, pada
Jurnal Justisia, edisi 27/2005 yang di kutip oleh Adian Husaini memberi
ide-idenya yang liberal dan dinamis sebagai berikut:
“Dengan demikian, wahyu
sebetulnya ada dua: “wahyu Verbal”
(“wahyu eksplisit” dalam bentuk redaksional bikinan Muhammad) dan “wahyu non
verbal” (“Wahyu implisit” berupa konteks
sosial waktu itu)”.[31]
Dari tokoh-tokoh berfikir
di atas, yang telah mengeksplorasikan gagasan-gagasanya merupakan kesadaran
kolektif dan konstruktif dalam membangun horizon berfikir yang tercerahkan
dengan mengangkat langit keilmuan yang lebih dinamis dan praksis. Hal tersebut
disesuaikan dengan suasana kultur dan struktural pemahaman keagamaan yang lebih
kompetitif dan itu suatu keharusan
sebagai anak bangsa yang memilki kesadaran moral berfikir dalam membangun tata
nilai beragama. Dengan demikian
revitalisasi dan realisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan
makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat dimaknai sebagai jawaban masyarakat
beragama terhadap perubahan–perubahan yang terjadi yang dirasakan oleh umat
manusia secara cepat (massif).
Jaringan
Islam Liberal memberi semangat berfikir dalam mengartikulasi nilai-nilai
keagamaan yang yang lebih holistik dan universal dengan mengedepankan sikap
ilmiah dan argumentatif. Menurut JIL satu-satunya
menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama.
Untuk menuju ke arah itu memerlukan beberapa hal sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ulil Abshar Abdalla, yaitu:
- Penafsiran Islam yang non-literal, subtansial, kontekstual dan sesuai dengan denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
2.
Penafsiran Islam yang dapat
memisahkan mana unsur-unsur yang di dalamnya merupakan kreasi budaya setempat,
dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus membedakan mana ajaran
dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak. Islam itu
kontekstual dalam makna bahwa nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan
dalam konteks tertentu, misalnya konteks
Arab, Melayu, Asia Tengah dan seterusnya. Tetapi bentuk-bentuk Islam yang
kontekstual itu hanya ekspresi budaya dan tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab misalnya, soal
jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah tidak wajib diikuti,
karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab. Yang harus diikuti
adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktek-praktek itu. Jilbab intinya
adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (publik
decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
perkembangan kebudayaan manusia.
3.
Umat Islam hendaknya tidak
memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan
yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan dengan
kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan
berlawanan dengan Islam. Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara
perempuan Islam dengan lelaki non Islam menrutnya, sudah tidak relevan lagi. Qur’an sendiri tidak
pernah dengan tegas melarang itu, karena
Qur’an menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat,
tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non Islam harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan.
4.
Kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan
mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi;
sementara pengaturan kehidupan publik
adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat malalui prosedur
demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk
nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktek peribadatan agama yang sifatnya
partikular adalah urusan masin-masing agama. [32]
Dari informasi tersebut
di atas, dapat membuka pemaham kita bahwa seharusnya kita bisa membawa
pemikiran kita yang proporsional mana
Islam Universal dan mana yang partikular, dengan demikian manusia dapat memahami,
membedakan dan mengelaborasi gagasan
keberagamaan yang semakin dinamis.
Di lain sisi Ulil Abshar
Abdalla meletakkan kedudukan Rasul Muhammad Saw. dalam konteks pemikiran bahwa,
Muhammad adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak
hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau
sebagai manusia yang juga ada kekurangannya) sekalipun panutan yang harus
diikuti.[33]
Dalam konteks sosial
politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang
berhasil menerjemahkan cita-cita sosial universal dan spiritual partikular
Islam di madinah, tetapi Islam sebagaimana yang diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular dan
kontekstual.[34]
Umat Islam harus berijtihad
mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks
kehidupan mereka sendiri. Islamnya di madinah adalah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang
universal di muka bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan
cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah salah satu
diantaranya, keadaan Islam yang hadir di muka bumi. Olehnya itu, umat Islam
tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di madinah saja, sebab kehidupan
manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Baginya, wahyu tidak
berhenti pada zaman Nabi, wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu
verbal memang telah selesai dalam Al-Qur’an, tetapi wahyu non verbal dalam
bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan
besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha perbaikan mutu kehidupan
adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia
yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak
peduli agamanya adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam
membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat, yang satu
dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab setiap peradaban adalah hasil
karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Jaringan
Islam Liberal dewasa ini telah berproses dan telah banyak kiprahnya yang
dilakukan, setidaknya mensosialisasikan wacana keislaman yang memang bisa
dibilang berani, terbuka dan demokratis. Membuka perdebatan dengan siapa saja,
dan yang paling penting adalah mencoba menawarkan model keislaman yang humanis,
inklusif dan dinamis.
VI. Penutup
Setelah diuraikan
secara singkat, Jaringan Islam Liberal dengan pemikiran-pemikirannya, mencoba
menyatukan komunitas Islam dalam bingkai modernitas. Salah satu pemikiran
JIL yang perlu diapresiasi adalah konsep
tentang pluralisme, modernisasi, demokrasi dan sejenisnya, yang sampai saat ini
bagi sebagian umat Islam masih dianggap sebagai bukan ajaran orisinal Islam.
Bagi JIL konsep tersebut memiliki pijakan teologis yang kuat dalam al-Qur’an
bahkan Sunnah Rasul dan generasi-generasi awal Islam. Bila tidak, maka fenomena
yang akan berkembang merebaknya kekerasan yang dalam kasus-kasus tertentu sarat
dengan muatan agama, atau minimal dilakukan oleh umat beragama, terutama umat
Islam.
Maraknya tindakan
kekerasan ini, selain muncul akibat ketidak mampuan manusia dalam menyikapi
modernitas yang sangat kompelks, juga berpeluang pada pola keberagamaan mereka
yang mengedepankan eksklusivisme dan klaim kebenaran sepihak, serta tidak bisa
membedakan Islam normatif dengan Islam
sejarah. Dalam suasana ini, umat Islam melakukan mistifikasi Jihad,[35]
dan simbol agama yang lain, mereduksi sekedar memeperkental identitas diri dan
menjadikannya sebagai media untuk menyerang kelompok dan umat lain yang
berbeda.
Dengan konteks itu
JIL, mencoba membangun dan mengembangkan suasana beragama yang transformatif
dan inklusif, menampakan signifikansinya untuk selalu “dilirik” oleh komunitas
umat. Melalui pemahaman keagamaan yang holistik dan pola keagamaan yang
inklusif, umat Islam diharapkan dapat menyelesaiakan krisis kemanusiaan, serta
menjadikan modernitas sebagai proses yang memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi manusia.
KEPUSTAKAAN
Abdalla, Ulil Abshar Dkk., Islam Liberal
dan Fundamenta, Sebuah Pertaungan Wacana, (Jogjakarta: Elsaq Press, 2003)
Ahmad Jaiz, Hartono, Menangkal Bahaya JIL dan FLA,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005),
Al-Anshori, Fauzan, Melawan Konspirasi Jaringan
Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka
al-Furqan, 2003).
Aly, Fachri dan Effendy, Bahtiar, Merambah jalan Baru Islam, (Bandung:
Mizan, 1987)
Azra, Azumardi, Konflik Baru Antara
Peradaban, Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas, (Jakarta: Rajawali Press, 2002)
Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999)
Binder, Leonard, Islamic Liberalism A
Critique of Depvelopment Ideologis, (Cichago & London: Cicago
Press,1988)
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998).
Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan
Agama, Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta:
Galang Press, 2001)
--------------------, yang memberi pengantar, pada Oliver Roy, Gagalnya
Islam Politik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996)
--------------------, Masyarakat Agama dan
Pluralisme Keagamaan,Perbincangan mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos
Kewirausahaan, (Yogyakarta:
Galang Press, 2001)
Husaini, Adian dan Hidayat, Nuim, Islam Liberal, Sejarah, Konsepsi,
Penyimpangan dan Jawabannya, (Jakarta:
Gema Insani Pres, 2002)
--------------------, Gus Dur Mau Kemana;
Telaah Kritis Atas Pemikiran dan PolitikKeagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, (Jakarta: DEA Press,
2002).
-----------------------, Islam Liberal,
Pluralisme Agama dan Diabolisme Intelektual,(Surabaya:Risalah Gusti, 2005)
Karim, M. Rusly, Cendikiawan Muslim Indonesia
dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta:Tiara Wacana, 1998).Maskuri Abdillah, Islam
dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1998).
Kurzaman, Charles (Edt), Wacana Islam Liberal, pemikiran Islam
Kontemporer Tentang Isus-Isu Global, (Jakarta:
Paramadina, 2003)
M.Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno- A.Hassan, (Yogyakarta:
Sumber Ilmu,1985)
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta:
LP3S, 1985).
Maarif, Ahmad Syafii, Peta BumiPemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992)
Madjid, Nurcholish, Islam Kemoderenan Dan
Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989)
Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Jalan
Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta:Kreasi
Wacana, 2002)
Qadir, Zuli, Wajah Islam Liberal di
Indonesia: Sebuah Penjajagan Awal,(Yogyakarta:
Jurnal Al Jami’ah VOL.40, no. 2 July Desember 2002)
Qardawi, Yusuf, Islam
dan Globalisasi Dunia, (Terj), (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001)
-------, Islam
Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya Pemecahannya,
(Terje.), (Solo: IKAPI, 1996)
Raharjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik
Bangsa, (Bandung: Mizan, 1992)
Rahman, Fazlur, I s l a m, (Chicago dan London,
Unv. Of Chicago
Press, 1973)
Roy, Olivar, Gagalnya Islam Politik,
Terjemahan, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 1996)
Shihab, Dr.
Alwi, Islam Inklisif: Menuju Sikap Terbuka dalam Agama, (Bandung: Mizan,
1997)
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001
Wahib, Ahmad, Pergolakan
Pemikiran Islam, (Jakarta:
LP3ES, 2003)
Winarno, Budi, Globalisasi Wujud
Imperialisme Baru, (Yogyakarta:Tajidu Press, 2004)
Pidato dalam acara peringatan Waisak Nasional
di JCC, 15 Mei 2003, dalam Adian Husaini, Apa Kata ‘Orang-Orang IAIN/UIN’ Seputar Islam,
Pada kegiatan Internasional Workshop
on Islamic Higher Learning Indonesia.
Desember 20-23 2005 Di Wisma SahidaI
Internet, Www/islamlib.yahoo.com
Majalah Gatra, edisi 21 Desember
2002
Majalah Tempo, edisi 19-25 Nopember 2001
[1] Adian Husaini dan Nuim
Hidayat, Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan
dan Jawabannya, (Jakarta: Gema Insani, 2012), h. vii
[2]Azumardi Azra, Konflik Baru Antara Peradaban, Globalisasi, Radikalisme
dan Pluralitas, (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h.112
[3] Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama,
Negara dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 69.
[5] Yusuf Qardawi, Islam dan Globalisasi Dunia, terj, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001), h.74. Lihat pula, Budi Winarno, Globalisasi Wujud
Imperialisme Baru, (Yogyakarta:Tajidu
Press, 2004), h.83.
[6] Fauzan al-Anshori, Melawan Konspirasi Jaringan Islam Liberal, (Yogyakarta: Pustaka al-Furqan, 2003).
[7] Ibid
[8] Lihat Fachri Aly dan Bahtiar Effendy, Merambah jalan Baru Islam, (Bandung:
Mizan, 1987), Lihat Pula Bahtiar Effendy, yang memberi pengantar, pada Oliver
Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1996).
[9] Tipe pertama pemikiran formalistik dari kalangan cendikiawan Muslim
merupakan tipologi pemikiran Islam yang mengutamakan dan menehguhkan ketaatan
secara ketat pada format-format ajaran islam. Dalam konteks pemikiran politiknya,
tipr pemikiran formalistik menunjukkan orientasi yang cenderung menopang
bentuk-bentuk masyarakat politik Islam
yang dibayangkan, seperti mewujudkan suatu “sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi Islam
simbolis dan idiom-idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam serta eksperimen
ketatanegaraan.
Tipe kedua, pemikiran subtansialistik, pola
pemikiran ini mengajukan argumen bahwa yang palinpenting dari seseorang adalah
aksentuasi substansi iman atau peribadatan, bukan hal-hal yang sifatnya
simbolik formalistik dan ketaatan literal kepada teks wahyu Tuhan dalam
keberagamaan.
Tipe ketiga, pemikiran transformatik, sebuah
pandangan pemikiran yang bertolak bahwa Islam yang utama adalah kemanusiaan.
Oleh sebab itu secara terus menerus umat Islam harus menjadi kekuatan yang
dapat melakukan motivasi dan menstransformasi ,asyarakat dari pelbagai aspeknya
dalam skala teoritis maupun praksis.
Tipe keempat, pemikiran totalistik, adalah
sebua pola pemikiran yang mendasarkan bahwaIslam merupakan doktrin yang kaffah (total), mengansung wawasan dan
nilai-nilai yang bersifat komplit dan langgeng yang meliputi seluruh aspek
sosial, politik, ekonomi, segi-segi individu, kolektif maupun masyarakat,
menurutnya tidak ada ruang kosong untuk menerima partikularistik dan
kemajemukan dengan dasar Islam.
Tipe kelima, pemikiran idealistik, sebuah
pemikiran Islam yang mengarah pada
“Islam cita-cita” (ideal Islam) sebagai dasar perjuangannya.
Keenam, Pemikiran realistik. Pemikiran ini
berusaha menempatkan antara Islam doktrin (ajaran Islam) sebagai ajaran
subtansialis dengan realitas sosial kultural yang ada dan terus berkembang
sesuai dengan kontek masyarakatnya. Lihat Zuli Qadir, Wajah Islam Liberal di Indonesia: Sebuah
Penjajagan Awal,(Yogyakarta: Jurnal Al
Jami’ah VOL.40, no. 2 July Desember 2002) h. 335-337. Lihat pula, Yusuf
Qardawi, Islam Radikal; Analisis Terhadap Radikalisme dalam Berislam dan
Upaya Pemecahannya, (Terje.), (Solo: IKAPI, 1996), h.113.
[10] Ahmad Syafii Maarif, Peta BumiPemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1992), h.12-13.
[11] M.Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Prilaku Politik
Bangsa, (Bandung: Mizan, 1992),
h.23-41
[12] Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan Dan Keindonesiaan,
(Bandung: Mizan, 1989). h.172.
[13] Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara, (Jakarta: Paramadina, 1998). A.Syafii Maarif, Islam
dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3S, 1985). M. Rusly Karim, Cendikiawan Muslim Indonesia dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta:Tiara
Wacana, 1998). Maskuri Abdillah, Islam dan Politik Orde Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998).
[14] Charles Kurzaman (Edt),
Wacana Islam Liberal, pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isus-Isu
Global, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. xiii-iii
, Bandingkan Juga Leonard Binder, Islamic Liberalism
A Critique of Depvelopment Ideologis, (Cichago & London: Cicago
Press,1988), h. 4
[15] Bahtiar Effendy, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan,Perbincangan
mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos Kewirausahaan, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 69.
[16] M.Thalib dan Haris Fajar, Dialog Bung Karno - A. Hassan, (Yogyakarta: Sumber Ilmu,1985), h.75-89.
[17] Ibid
[18] Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama dan Diabolisme
Intelektual,(Surabaya:Risalah
Gusti, 2005)33-38.
[19] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1999), 23.
[20] Majalah Tempo, edisi 19-25 Nopember 2001
[22] Majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002, Lihat Pula www.Islamlib.com
[24] Alwi Shihab, Islam Inklisif: Menuju Sikap Terbuka dalam Agama,
(Bandung: Mizan, 1997),h.108-109
[25] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar,
(Yogyakarta:Kreasi Wacana, 2002), h. 44.
[26] Adian Husaini, Gus Dur Mau Kemana; Telaah Kritis Atas Pemikiran
dan PolitikKeagamaan Presiden Abdurrahman Wahid, (Jakarta: DEA Press, 2002), h.167.
[27] Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Kompas, 2001, Dalam
Husaini Adian Islam Liberal, h.44.
[28] Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, (Jakarta: LP3ES,
2003), h.98
[29] Pidato dalam acara peringatan Waisak Nasional di JCC, 15 Mei 2003,
dalam Adian Husaini, Apa Kata
‘Orang-Orang IAIN/UIN’ Seputar Islam, Pada kegiatan Internasional Workshop on
Islamic Higher Learning Indonesia.
Desember 20-23 2005 Di Wisma Sahida
[30] Makalah “Edisi Kritis al-Qur’an” dalam Adian Husaini, Ibid.
[31] Ibid
[32] Internet, Www/islamlib.yahoo.com
[33] Ulil Abshar Abdalla Dkk., Islam Liberal dan Fundamenta, Sebuah
Pertaungan Wacana, (Jogjakarta:
Elsaq Press, 2003), h.3.
[34] Yusuf Qardhawi, Islam Radikal Dan Upaya Pemecahannya
(Terjemahan), (Solo: Intermedia, 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar