Sabtu, 12 Desember 2015

Khalifah Dalam Perspektif Pendidikan



KHALIFAH  DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN
Oleh: Dr.Muh. Idris, M.Ag.
Abstrak
Khalifa menjadi wacana sangat menarik di era reformasi dewasa ini. Hal tersebut disebabkan karena  tidak adanya  ketokohan yang satunya kata dengan perbuatn sebagaimana para pemimpin terdahulu khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw. Khalifah dapat pula dipahami sebagai Pemimpin. Pemimpin atau khalifah sesuatu yang sangat dirindukan karena semua aktifitasnaya dalam kehidupan disatukan dalam nafas kerjanya untuk berbuat kebajikan dan amal saleh demi kemajuan agama, bangsa dan Negara. Dewasa ini pemimpin mengalami pergeseran nilai yang cenderung bermuara ke suasana pejabat yang mana sibuk memikirkan dan melindungai jabatannya yang nyaris tidak ada waktu untuk berbuat kebaikan demi kemajuan dan kejayaan lembaga/instansi yang dipimpinnya.  Pemimpin  adalah sesuatu yang sangat dirindukan dan didambakan demi kemajuan lembaga juga selalu melindungi dan mengayomi yang dipimpinnya guna memberi keamanan, kenyamanan dan kesejateraan bagi  yang dipimpinnya. Bahkan rela dan ikhlas masuk ke penjara demi kepentingan dan kemajuan umat, sebagaimana para pemimpin yang terdahulu yang hingga saat ini dikenang.  
Kata kunci, Makna Khalifah, Kedudukan manusia sebagai khalifah, Skatsa khalifah dan relevansinya dengan negara.
         
A. Pendahuluan
            Al-Qur'an al-karim merupakan sumber utama ajaran Islam yang fungsional, memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya, dalam mengantar sistem pranata-pranata sosial kemasyarakatan demi mencapai kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global sehingga penjelasan dan implementasinya dibebankan kepada manusia sebagai khalifah (pengganti Tuhan).[1]
            Implementasi sistem kekhalifahan secara konsepsional dan fungsional sangat ditentukan oleh kualitas manusia baik dari daya intelektual maupun spiritualnya. Dengan demikian gembosan-gembosan pemikirannya dalam menjalankan amanah Allah mampu menjadi pendekar politik yang bijaksana dalam mengartikulasi nilai guna   menghadapi budaya dan kultur dari berbagai lini kehidupan.
           
Khalifah dangan sistem politik yang dijiwai dan disemangati nilai-nilai al-Qur'an yang telah dijalankan oleh Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya telah dibuktikan pada spektrum sejarah yang sangat fantastik. Hal tersebut banyak menyedot perhatian sejumlah pengamat politik dunia Barat karena keberhasilan nilai-nilai Islam yang sangat spektakuler dalam membangun budaya dan peradaban umat manusia yang dikomandoi oleh khalifah. Keberhasilannya secara empiric didasarkan pada Nilai kebaikan dan hati yang tulus demi kemajuan dan kejayaan manusia. Bila kemenangan dan kesuksuksesan berlawanan dengan nilai-nilai kebaikan dan hati manusia maka keberhasilan tersebut cenderung hanya bersifat periodic/sezaman. Bila kebaikan itu menjadi tujuan bagi peningkatan maratabat manusia dalam arti luas maka kemenangan kita akan abadi sebagaimana para Nabi terdahulu. Diskursus  kalifah hingga saat ini masih mendominasi blantika pemikiran politik dunia dan islam khususnya.
            Dari  informasi tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas yakni, Apa makna khalifah menurut al-Qur'an? Bagaimana kedudukan manusia sebagai khalifah dan bagaimana sketsa khalifah dan relevansinya dengan negara?

B. Makna Khalifah Menurut Al-Qur'an
            Khalifah adalah wakil, pengganti, duta.  Manusia merupakan wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi. Pengganti nabi Muhammad Saw. dalam fungsinya sebagai kepala negara[2]. Al-Qur'an menyebut kata khalifah dalam dua ayat yakni surah al- baqarah dan shad ayat 26.
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما لا تعلمون

Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".     
ياداود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله إن الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحساب
 Artinya:
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
            Dari dua ayat tersebut di atas, memberi informasi secara eksplisit bahwa begitu urgennya manusia sebagai pengatur paranata-pranata sosial di alam guna menciptakan iklim yang lebih harmonis, bersahabat dan dinamis, sehingga dapat mengantar manusia secara kolektif menuju persemakmuran intelektual dan spiritual.  
Dalam al-Qur'an ada dua bentuk plural yang dapat digunakan yaitu:
a). Khalaif yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah  al-An'am 165, Yunus 14, 73 dan fathir 39.
b).   Khulafah, terulang sebanyak tiga kali pada surah al-'araf  69, 74 dan al-Namal 62
            Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya yang berarti"di belakang". Dari sisini kata khalifah sering diartikan sebagai "pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada pada fase yang sesudah digantikannya).
           
Tidak dapat disangkal oleh para mufassir bahwa perbedaan bentuk kata di atas (khalifah, khalaif dan khulafah), masin-masing mempunyai konteks makna tersendiri.
            Bila dicermati al-Qur'an, guna memahami yang dikandungnya pada kata khalifah pada surah Shad dari sejarah kehidupan nabi Daud. Nabi Daud as. Sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qur'an berhasil membunuh Jalut:
        Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya kekuasaan/kerajaan dan hukmah serta mengerjakannya apa yang ia kehendaki…
            Jika demikian, kehalifahan  yang dianugerakan kepada Daud as. Bertalian dengan kekuasaan mengelolah wilayah tertantu. Hal ini diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-Hikmah dan ilmu pengetahuan.
            Makna "pengelolaan wilayah tertentu" berkaiatan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa seperti di atas. Ini berbeda dengan kata khalaif,  yang tidak mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memilki kekuasaan politik dinamai oleh al-Qur'an dengan khalaif  tanpa menggunakan bentuk (tunggal).
Bila tidak digunakan bentuk mufrad untuk makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kehalifahan yang diemban oleh setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda  dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau diwujudkan dalam bentuk otoriter atau dikator.[3]
            Bila kita melirik kembali pada ayat al-Baqarah 30, yang menggunakan kata Khalifah untuk Adam as. maka ditemukan persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud a.s. baik dalam persamaan redaksi maupun makna dan konteks uraian.  Adam juga dimaknai khalifah. Beliau sebagaimana Daud juga, juga diberi pengetahuan Wa 'allama Adam al-Asma' kullaha yang kehalifahan keduanya berkaiatan dengan al-Ardha:
            Inni ja'il fi al-Ardhi khalifah  (Adam) dan Ya Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi al ardha (Daud).
            Adam dan Daud keduanya digambarkan oleh al-Qur'an sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni Tuhan.[4]  Di sini dapat disederhanakan bahwa:
1.       Kata khalifah digunakan oleh al-Qur'an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelolah wilayah baik luas maupun terbatas. Dalam hal ini nabi Daud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah palestina, sedangkan nabi Adam secara potensial atau aktual diberi tugas mengelolah bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
2.       Bahwa seorang khalifah berpotensi, bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.[5]  
Khalifah, sebagai lambang pemersatu dan perekat umat Islam, sebagaimana Nabiullah Muhammad Saw. menyatukan umat dengan dasar al-Qur'an dan Sunnah. Menyusul sahabat ( pengganti Rasul Saw.) dan Bani Umayyah  (Wakil Tuhan) di muka bumi bukan lagi dalam makna khalifah pengganti Rasul, sedangkan Bani Abbasiyah mengusung khalifah sebagai yang kudus yakni Zill Allah fi al-Ardh  (bayang-bayang Allah di muka Bumi).
C. Kedudukan Manusia Sebagai Khalifah
            Kedudukan manusia sebagai khalifah adalah konsep yang menunjukkan hubungan manusia dengan Allah dan lingkungannya, ayat-ayat yang relevan dengan masalah tersebut adalah:
 الحمد لله فاطر السموات والأرض جاعل الملائكة رسلا أولي أجنحة مثنى وثلاث ورباع يزيد في الخلق ما يشاء إن الله على كل شيء قدير

Artinya:
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.
وإلى ثمود أخاهم صالحا قال ياقوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره هو أنشأكم من الأرض واستعمركم فيها فاستغفروه ثم توبوا إليه إن ربي قريب مجيب
Artinya:
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya)."
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
           
Dari ayat tersebut memberikan informasi bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah, tempat mengatur di alam raya/bumi (negara), yang terkoneksi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, bahkan Tuhannya.  Penugasan ini dapat dimaknai adanya hubungan simbiosis tak terpisahkan satu dengan yang lainnya.  Selanjutnya ayat tersebut juga mengingatkan bahwa siapa yang ingkar, khususnya  mengingkari Tuhan yang telah menjadikannya sebagai khalifah maka ia sendiri yang mengandung akibat pengingkarannya itu berupa kemurkahan Tuhan dan kerugian dirinya sendiri.
Dari gambaran singkat dapat ditemui masalah yang perlu ditelaah mengenai hakekat dan wujud dari konsep khalifah. Untuk memahami tersebut akan ditelesuri penggunaan kata dalam al-Qur'an mengenai pengangkatan nabi Adam dan nabi Daud.
Penting ditelaah untuk dibandingkan dan disandingkan pengangkatan Adam sebagai khalifah, dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal Inni (sesungguhnya aku) dan dengan kata  ja'il  yang berarti akan mengangkat. Sedangkan pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata Inna (sesungguhnya kami)dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka (kami telah menjadikan kamu).[6]
Bila kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa penggunaan bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini bermakna bahwa dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain selain Allah yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya).
 Adam dilukiskan dalam bentuk tunggal, kerena baru berupa rencana (aku akan mengangkat) dalam konteks kekhalifahannya, juga ketika peristiwa ini diwujudkan Allah,  tidak ada pihak lain (pengikutnya) bersama yang terlibat dalam pengangkatan tersebut. Ini bermakna bahwa Daud dan semua khalifah yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk pula sebagai penugasan (mustakhlif.)
            Secara khusus penting juga  kita susuri dalan al-Qur'an mengenai  kata khalaif yang terdapat pada ayat di atas adalah jumlah al'Kasrat,[7] yang dipergunakan dalam empat ayat al-Qur'an.[8] Bentuk mufradnya adalah khalifat yang dipergunakan dalam dua ayat.[9] Bentuk jamak lainnya khulafa  dipergunakan dalam tiga ayat.[10] Bentuk mufradnya khalaif tidak dipergunakan dalam al-Qur'an.[11] 
            Menelusuri penggunaan kata-kata tersebut dalam al-Qur'an maka terlihat kedua bentuk jamak itu dipergunakan dalam konteks yang berbeda. Kata  khalaif dipergunakan dengan merujuk kepada umat manusia pada umumnya dan orang-orang beriman khususnya.[12]
Sedangkan kata khulafa dipergunakan dalam konteks pembicaraan dengan orang-orang kafir kepada Tuhan.[13] Dikaitkan dengan  rangkaian ayat yang mengisahkan sebagian dari keistimewaan dan pengalaman hidup nabi Daud. Rangkaian kisah ini diungkapkan agar nabi Muhammad memperhatikan dan mengambil ikhtibar untuk menghadapi kesombongan dan permusuhan orang-orang musyrik.
 Keberadaan kisah nabi Daud setelah deskripsi sikap orang-orang musyrik terhadap Nabi Muhammad Saw. mengandung dorongan untuk menguatkan jiwa Nabi dan dan hiburan baginya dalam menghadapi tantangan orang-orang musyrik.[14] 
            Asepk lain yang terkandung dalam ayat di atas berkenaan dengan larangan agar pemimpin jangan mengikuti kehendak hawa nafsunya. Larangan ini pada hakekatnya  merupakan konsekwensi kewajiban menegakkan keadilan hukum Tuhan. Menegakkan dan mengikuti hukum Tuhan hanya dapat apabila seseorang tidak mengikuti hawa nafsunya semata. Sebaliknya mengikuti hawa nafsu semata berarti menjauhkan diri bahkan menyesatkan diri sendiri dari hukum Tuhan.
            Dari informasi di atas dapat dipahami bahwa larangan mengikuti hawa nafsu (semata) pada hakekatnya adalah upaya pemeliharaan martabat kemanusiaan sehinggah tidak terjatuh ketingkat hewan. Dikhususkan sebagai pemimpin politik yang memiliki hegemoni di  masyarakat, apabila mengikuti kehendak hawa nafsu dan tidak saja merugikan dirinya (menjatuhkan martabatnya), tetapi juga kcerdasan dan kekuasaan yang dimilkinya akan menjadikan masyarakatnya akan menjadi korban hawa nafsunya atau kehendak golongan-golongannya. Fenomena tersebut tidak asing lagi pada sistem politik dalam sejarah kehidupan manusia dan melembaga sebagai bentuk pemerintahan tirani.
            Itulah sebabnya secara konsepsional manusia memilki potensi untuk mempertangungjawabkan di hadapan Allah apa  yang telah diperbuatnya, konsep tanggung jawab berkaitan dengan amanah yang diterimah manusia.[15]    
            Dengan demikian pentingnya dijaga, dipelihara, dan dipupuk nilai-nilai iman dan taqwa kepada Allah sehingga benar-benar menjadi khalifah penegak amar ma'ruf dan nahi munkar. Hanyalah dengan iman dan taqwa yang mampu menegakkan hukum-hukum Allah dan dapat dekat dengan Allah sehingga apa yang diperintahkan selalu sejalan dengan semagat al-Qu'an dan hanya itulah yang dapat membumi dan menjaman.
D. Sketsa Kehalifahan dan Relevansinya Dengan Negara
            Dalam paradigma Islam kedaulatan tertinggi ada di tangan Tuhan, dengan tetap mengingat prinsip ini. Bila kita mengamati posisi orang-orang yang ditetapkan untuk menegakkan hukum Allah di bumi,  wajarlah jika kiranya kita mengatakan bahwa mereka harus dianggap wakil-wakil dari penguasa tertinggi, al-Qur'an memberikan ilustrasi  dalam surah an-Nur, 24:55.
وعد الله الذين ءامنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون
Artinya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.

           
Ayat ini menguraikan secara gamblang mengenai sketsa teori kekhalifahan dalam sebuah negara. Ada dua masalah mendasar yang menarik ditelaah seperti.
1.      Islam menggunakan istilah kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena menurut Islam kedaulatan hanya milik Tuhan saja. Siapapun yang memegang tampuk kekuasaan dan siapapun yang memerintah sesuai dengan hukum Tuhan pastilah merupakan khalifah dari penguasa tertinggi dan tidak aku berwenang menyerahkan  apapun kecuali kekuasaan yang didelegasikan kepadanya (sesuai dengan potensi yang dikembangkannya).
2.      Al-Qur'an menyikapi bahwa kekuasaan untuk memerintah di bumi telah dijanjikan kepada seluruh masyarakat mukmin ayat ini tidak menyatakan bahwa kepada orang atau kelompok tertentu dari kalanganyalah yang akan meraih kedudukan ini. Di sini dapat diakomodir bahwa semua kaum beriman merupakan penjelmaan dari kekhalifahan. Kekhalifahan yang dianugrahkan Allah kepada yang beriman merupakan kekhalifahan segenap umat manusia untuk membawa rahmat bagi alam semesta, dan bukan kekhalifahan terbatas tidak ada pengistimewaan pada keluarga, kelompok atau ras tertentu. Dengan demikian dia secara individual bertanggung jawab kepada Tuhan.[16] Rasul telah bersabda[17]:       
كلكم راع و كلكم مسؤل عن را عيته
Inilah landasan sejati demokrasi dalam Islam, hal ini bisa kita lihat dan analisa mengenai konsep kekhalifahan yang muncul dalam masyarakat dengan hal-hal sebagai berikut:
     a). Suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang merupakan khalifah Tuhan dan merupakan peserta yang setara dalam kekhalifahan ini, tidak dapat membiarkan adanya pembagian-bagian kelompok yang didasarkan pada perbedaan kelahiran dan kedudukan sosial. Semuanya menikmati status dan kedudukan yang sama dalam masyarakat. Inilah  yang secara jelas dan berulang-ulang disampaikan amanatnya kepada anggota-anggota sukunya   setelah penaklukan kota Mekah. Beliau bersabda:
"Wahai qaum Quraish; Allah telah mencabut keangkuhan kalian di zaman jahilia dan kebanggaan akan nenek moyang. Hai manusia, kalian semua   keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Jangan ada kebanggaan apapun mengenai nenek moyang, tidak ada kelebihan kemuliaan dari seorang Arab atau non Arab atau dari seorang non Arab dibandingkan dengan seorang Arab sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian dimata Allah adalah orang yang paling taqwa".[18]
      b). Dalam suatu pranata sosial kemasyarakatan, tidak ada seorang pun yang mengalami ketiadaan kemampuan hanya disebabkan oleh perbedaan kelahiran, status sosial atau profesi yang dengan berbagai cara dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan lahiriahnya atau merusak perkembangan pribadinya. Setiap orang akan menikmati peluang dan kemajuan yang sama.
            Jalan akan dibiarkan terbuka baginya untuk menciptakan kemajuan sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan bawaannya dan bakat-bakat pribadinya tanpa iri hati atas hak-hak orang lain. Dengan demikain ruang lingkup yang tak terbatas bagi pencapaian prestasi pribadi selalu menjadi tonggak suatu masyarakat Islam.
       c). Dalam suasana masyarakat Islami tidak ada ruang bagi kediktatoran seseorang atau kelompok tertentu atas yang lainnya, karena setiap orang adalah khalifah Tuhan. Tidak ada seorang pun atau sekelompok orang  pun yang diberi hak istimewa untuk menjadi penguasa mutlak dengan merampas hak-hak asasi orang banyak. Kedudukan seseorang  yang terpilih untuk melaksanakan amanah Allah, tidak akan melampaui ketentuan, sehingga semua muslim, atau semua khalifah Tuhan, menyerahkan kekhalifahannya kepada pejabat itu demi penyelenggaraan pemerintahannya. Di suatu sisi di akan bertanggung jawab kepada Allah dan di lain sisi dia akan dimintai tanggung jawabnya oleh rekan-rekannya yang telah mendelegasikan kekhalifahan mereka kepadanya.
       d). Dalam masyarakat yang terkooptasi dengan semangat kekhalifahan setiap muslim yang telah mencapai cukup umur baik pria maupun wanita diberi hak untuk mengemukakan pendapat, karena masing-masing orang di kalangan mereka adalah penjelmaan dari kehalifahan. Tuhan telah membuat kekhalifahan ini bersyarat, bukan atas dasar kekayaan atau kemampuan tertentu tetapi hanya atas dasar Iman dan kesalehan, olehnya itu semua muslim memilki kebebasan yang sama untuk menggunakan pendapatnya.[19]
            Menurut al-Mawardi bahwa sistem kekhalifahan yang dianggap sebagai kepemimpinan Nabi Muhammad, saw. merupakan penyelenggeraan masalah-masalah sosial keagamaan ataupun yang bersifat temporal adalah niscaya dan keniscayaannya didasarkan atas syari'ah dan akal melalui ijmak dan umat.[20] 
Olehnya itu, seorang khalifah harus memilki sikap adil, berpengetahuan luas, dan mampu merumuskan hukum daru wahyu (akal dan naqal), sehat secara fisik dan mental, ksatria serta berasal dari keturunan Quraish.
 Dengan kualifikasi khalifah seperti tersebut di atas dapat mampu memecahkan masalah yang dialaminya dan memberikan konstribusi pemikiran yang terbaik demi menata tatanan masyarakat yang lebih maju dan bermartabat dan diridhai oleh Allah Swt.
            Hal tersebut bisa juga dalam konsep rukun Islam yang pertama antara ALLah dan Muhammad dapat dipahami hubungan yang integral dan harmonis antara Pemimpin (Tuhan) dan Rakyat (Muhammad) atau antara Orang Tua dan anaknya. Dengan pola demikian yang dianut akan berjalan dengan baik pada struktur tatanan social kemasyarakatan. Dalam suasana kekhalifahan tersebut ada jaminan kehidupan yang lebih damai yang didasarkan pada kemurnian hukum  ilahi yang harus ditegakkan dan ditaati oleh segenap umat dan pemimpin umat.
            Aqidah Islam mewajibkan kaum muslimin dalam berbagai kelompok dan organisasi untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam dan meyampaikan dakwah Islam dalam rangka  memecahkan masalah umat.  Melanjutkan kehidupan Islam secara berkesinambungan dan bermakna dalam sebuah negara memerlukan pemikiran dan keyakinan yang matang  serta perasaan yang daitur dengan sistem dan hukum Islam pada masyarakat, yang semua urusan kehidupan dikomandoi oleh khalifah.[21]
            Aqidah bukan hanya diletakkan sebagai pemikiran spiritual semata tetapi lebih diberi porsi pada akidah pemikiran politik yang akan bernilai ibadah sehingga lebih fungsional dan bermakna pada alam semesta. Manusia dan kehidupan, sebagai aqidah politik, sebagai dasar pemikiran intelektual (qaidah fikriyah) kepemimpinan ideologis (qiyadah fikriyah)  dan sebagai sudut pandang khas tentang kehidupan. Inilah yang dijadikan jargon politik sebagai khalifah.
            Islam menyikapi beberapa dimensi politik dalam sebuah negara, untuk mencapai rasa bagi pemeluknya antara lain:
1)      Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas dari ancaman dan bahaya dari pemerkosaan.
2)      Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menhabiskan tenaganya
3)      Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-cita hidupnya
4)      Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
5)      Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan orang lain.[22]
Hal tersebut bisa terwujud bila hukum yang bersumber dari aqidah Islam mewajibkan umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam secara menyeluruh (khaffah) dan menegakkan suatu institusi  Islam  yang merdeka, terhormat dan bermartabat dalam membangun peradaban masyarakat  yang lebih maju dan menjaman.
E. Kesimpulan
            Dari uraian tersebut, bahwa konsep khalifah bukan merupakan lembaga politik keagamaan, karenanya tidak merupakan satu-satunya sistem pemerintahan Islam yang ideal. Dalam perspektif teologis, sistem kehalifahan tidak memilki akar yang kuat berdasarkan dalil  naqli yang jelas. Sedangkan dari perspektif historis sistem kekhalifahan mengalami transformasi dan transmisi konseptual. Konsep kekhalifahan yang dikaitkan dengan posisi khalifah sebagai bayangan Tuhan di bumi, sehingga khalifah mengandung dimensi kedaulatan ilahiyah, adalah legitimasi terhadap kekuasaan. Nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan yang tertuang di dalam al-Qur'an yang wajib diimplementasikan semangatnya oleh seorang kahlifah  dalam berbagai aspek kehidupan.
Bahwa seorang khalifah merupakan pemegang mandat dari Allah, untuk mengatur tatanan masyarakat/wilayah baik besar maupun kecil, demi mewujudkan kesejateraan rakyat yang adil dan merata dari berbagai lini kehidupan secara proporsional. Hal tersebut tercermin  dalam semangat al-Qur'an untuk selalu berbuat kebaikan dan hal tersebut sejalan dengan hati. Maka kehidupan ini penuh pertarungan menuju nilai-nilai kebaikan. Bila kemenangan dan kesuksesan yang diraih dan tidak sejalan dengan kebaikan dan hati maka kemenangan hanya sezaman atau sifatnya periodik aja. Bila kemenangan, kesuksesan dan kejayaan didasarkan kebaikan dan sejalan dengan hati maka kemenangan akan dikenang sepanjang masa, sebagaimana para Nabi dan Pemimpin orang saleh terdahulu.
Dalam suasana seperti tersebut di atas tercipta secara sinergik antara hubungan vertikal (Ilahya/langitan) dan horisontal (humanis/membumi) dan kekuatan tersebut yang sangat dahsyat sepanjang sejarah manusia, Selama manusia terus membina hubungan baik tersebut tidak akan tergilas oleh zaman  dan tidak terkikis oleh gelombang  budaya dan peradaban yang aneh-aneh. Wallu a'lam bissawab        








KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an Karim
Al Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi,  (Beirut: Dar al-Fikr, (t,th.)
Al-Ashfani, Al-Raghib, Mufradat alfash al-Qur’an, (Beirut: al-Dar al-Samiyyat, 1415 H/1995M)
Almaududi, Abul A'la,  The Islamic Law and Constitution , Diterjemah, Asep Hikmat, Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1998)
 al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Dalam Din Syamsuddin,  Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000)
Ichtiar Baru Van Hoeven, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: Intermesa, 1994)
Muhammad Fu’ad,  Abd. Al-Baqi, al-Mu’jam al-Muhfarasli Alfash Al-Qur’an al-Qarim, (Beirut:Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M.)
 Ridha, Ali, al-Marja bi al-lugah al-arabiyat, (al- Qahirat:al-Manar, 134)
 Salim, Muin, Kekuasaan Politik Menurut al-Qur'an, (Disertasi, IAIN Jakarta, 1998)
 Shihab, M. Quraish, Membumikan al_Qur'an, (Bandung: Mizan, 2002)
  ----------------------, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur,an. (Jakarta: Lentera Hati, 2000) 
Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya Dan Politik,(Yogyakarta: Spress, 1994)                
Zallum, Abdul Qadim, Political Thought,  diterjemah oleh, Abu Fais,  Pemikiran Politik  Islam,  (Jatim: Al-Izzah, 2004)


       [1] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur,an. (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h.138.
        [2] Ichtiar Baru Van Hoeven, Ensiklopedi Islam,  (Jakarta: Intermesa, 1994), h. 35. Lihat pula, Abd. Al-Baqi Muhammad Fu’ad,  al-Mu’jam al-Muhfarasli Alfash Al-Qur’an al-Qarim, (Beirut:Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M.)
        [3] M.Quraish Shihab, Membumikan al_Qur'an, (Bandung: Mizan, 2002), h. 157-158. Lihat pula, Al-Raghib al-Ashfani,  Mufradat alfash al-Qur’an, (Beirut: al-Dar al-Samiyyat, 1415 H/1995M), h 133. Bandingkan pula, Ahmad Mustafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi,  (Beirut: Dar al-Fikr, (t,th.).
       [4] Lihat Q.S.2: 36, 37, dan Q.S. 38: 22,25)
       [5] Lihat Q.S. 20:16, dan Q.S. 38: 26.
[6] M.Quraish Shihab, Ibid
        [7] Bentuk ini digunakan dengan konotasi kuantitatif tak terbatas dan berbeda dari bentuk jam'al qillat yang dipergunakan dengan konotasi tak terbatas antara jumlah tiga sampai sepuluh, Lihat Ali Ridha, al-Marja bi al-lugah al-arabiyat, (al- Qahirat:al-Manar, 134),h.132.
       [8] Q.S.al-An'am, 6:165, Q.S. Yunus, 10: 14 dan 73, Q.S. Fathir, 35: 39.
      [9] Q.S. al-Baqarah, 2: 36 dan Q.S. Shaad, 38: 26
      [10] Q.S. al-'Araf, 7: 69 dan 74, Q.S. al-Namal, 27: 62
     [11] Lihat  Muin Salim, Kekuasaan Politik Menurut al-Qur'an, (Disertasi, IAIN Jakarta, 1998), h.
     [12] Lihat Q.S. Yunus, 11:14 dan 73 yang berisi pemberitahuan Tuhan bahwa ia menjadikan orang-orang yang beriman sebagai khalifah di bumi. Sedangkan Q.S. al-An'am 6:165 dan Q.S. Fathir, 35: 39 atas penunjukan kepada  seluruh manusia
      [13] Ayat-ayat bersangkutan adalah, Q.S. al- 'Araf  7:69 dan 74. Q.S. al-Namal 27: 62 ayat-ayat ini berisi ucapan Nabi Hud, nabi Shaleh dan nabi Muhammad kepada kaum kafir dalam dua ayat pertama  kata tersebut tegas dikaitkan dengan penggantian generasi, sedangkan yang terakhir dikaitkan dengan penguasaan di bumi.
      [14] Tentang fungsi kisah al-Qur'an lihat, Q.S. Hud, 11: 120, Q.S. al-'araf, 7: 176, Q.S. Yusuf, 12: 111
        [15] Lihat Q.S. al-Ahzab 33: 72.
       [16] Abul A'la Almaududi,  The Islamic Law and Constitution , Diterjemah, Asep Hikmat, Hukum Dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 168.
      [17] Setiap orang dikalangan kamu adalah pemimpin dan setiap orang akan ditanyai mengenai yang dipimpinnya.Muslim bin al-Hajaj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi, Juz III, ), h.1459                                            
      [18] Ibid
        [19] Ibid
        [20]Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Dalam Din Syamsuddin,  Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos, 2000), h. 84.
        [21] Abdul Qadim Zallum, Political Thought,  diterjemah oleh, Abu Fais,  Pemikiran Politik  Islam,  (Jatim: Al-Izzah, 2004), h.7. Bandingkan juga Tobrani dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya Dan Politik,(Yogyakarta: Spress, 1994), h.38.
        [22] Quraish Shiab,  Op. Cit.  h. 162.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar