KHALIFAH DALAM PERSPEKTIF
AL-QUR'AN
Oleh: Dr.Muh. Idris, M.Ag.
Abstrak
Khalifa
menjadi wacana sangat menarik di era reformasi dewasa ini. Hal tersebut
disebabkan karena tidak adanya ketokohan yang satunya kata dengan perbuatn
sebagaimana para pemimpin terdahulu khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw. Khalifah
dapat pula dipahami sebagai Pemimpin. Pemimpin atau khalifah sesuatu yang
sangat dirindukan karena semua aktifitasnaya dalam kehidupan disatukan dalam
nafas kerjanya untuk berbuat kebajikan dan amal saleh demi kemajuan agama,
bangsa dan Negara. Dewasa ini pemimpin mengalami pergeseran nilai yang
cenderung bermuara ke suasana pejabat yang mana sibuk memikirkan dan
melindungai jabatannya yang nyaris tidak ada waktu untuk berbuat kebaikan demi
kemajuan dan kejayaan lembaga/instansi yang dipimpinnya. Pemimpin
adalah sesuatu yang sangat dirindukan dan didambakan demi kemajuan
lembaga juga selalu melindungi dan mengayomi yang dipimpinnya guna memberi
keamanan, kenyamanan dan kesejateraan bagi
yang dipimpinnya. Bahkan rela dan ikhlas masuk ke penjara demi
kepentingan dan kemajuan umat, sebagaimana para pemimpin yang terdahulu yang
hingga saat ini dikenang.
Kata kunci, Makna Khalifah, Kedudukan manusia sebagai khalifah, Skatsa
khalifah dan relevansinya dengan negara.
A. Pendahuluan
Al-Qur'an al-karim
merupakan sumber utama ajaran Islam yang fungsional, memberi petunjuk ke jalan
yang sebaik-baiknya, dalam mengantar sistem pranata-pranata sosial kemasyarakatan
demi mencapai kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Petunjuk-petunjuk
tersebut banyak yang bersifat umum dan global sehingga penjelasan dan
implementasinya dibebankan kepada manusia sebagai khalifah (pengganti Tuhan).[1]
Implementasi sistem
kekhalifahan secara konsepsional dan fungsional sangat ditentukan oleh kualitas
manusia baik dari daya intelektual maupun spiritualnya. Dengan demikian
gembosan-gembosan pemikirannya dalam menjalankan amanah Allah mampu menjadi
pendekar politik yang bijaksana dalam mengartikulasi nilai guna menghadapi budaya dan kultur dari berbagai
lini kehidupan.
Khalifah dangan sistem politik yang dijiwai dan disemangati
nilai-nilai al-Qur'an yang telah dijalankan oleh Rasulullah Saw. dan
sahabat-sahabatnya telah dibuktikan pada spektrum sejarah yang sangat fantastik.
Hal tersebut banyak menyedot perhatian sejumlah pengamat politik dunia Barat
karena keberhasilan nilai-nilai Islam yang sangat spektakuler dalam membangun
budaya dan peradaban umat manusia yang dikomandoi oleh khalifah. Keberhasilannya
secara empiric didasarkan pada Nilai kebaikan dan hati yang tulus demi kemajuan
dan kejayaan manusia. Bila kemenangan dan kesuksuksesan berlawanan dengan
nilai-nilai kebaikan dan hati manusia maka keberhasilan tersebut cenderung
hanya bersifat periodic/sezaman. Bila kebaikan itu menjadi tujuan bagi
peningkatan maratabat manusia dalam arti luas maka kemenangan kita akan abadi
sebagaimana para Nabi terdahulu. Diskursus kalifah hingga saat ini masih mendominasi
blantika pemikiran politik dunia dan islam khususnya.
Dari informasi tersebut, ada
beberapa hal yang menarik untuk dibahas yakni, Apa makna khalifah menurut
al-Qur'an? Bagaimana kedudukan manusia sebagai khalifah dan bagaimana sketsa
khalifah dan relevansinya dengan negara?
B.
Makna Khalifah Menurut Al-Qur'an
Khalifah adalah
wakil, pengganti, duta. Manusia
merupakan wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi. Pengganti nabi
Muhammad Saw. dalam fungsinya sebagai kepala negara[2].
Al-Qur'an menyebut kata khalifah dalam dua ayat yakni surah al- baqarah dan
shad ayat 26.
وإذ قال ربك للملائكة إني جاعل في الأرض
خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال
إني أعلم ما لا تعلمون
Artinya:
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
ياداود
إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل
الله إن الذين يضلون عن سبيل الله لهم عذاب شديد بما نسوا يوم الحساب
Artinya:
Hai
Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.
Dari
dua ayat tersebut di atas, memberi informasi secara eksplisit bahwa begitu
urgennya manusia sebagai pengatur paranata-pranata sosial di alam guna
menciptakan iklim yang lebih harmonis, bersahabat dan dinamis, sehingga dapat
mengantar manusia secara kolektif menuju persemakmuran intelektual dan
spiritual.
Dalam
al-Qur'an ada dua bentuk plural yang dapat digunakan yaitu:
a). Khalaif
yang terulang sebanyak empat kali, yakni pada surah al-An'am 165, Yunus 14, 73 dan fathir 39.
b). Khulafah, terulang sebanyak tiga kali pada
surah al-'araf 69, 74 dan al-Namal 62
Keseluruhan
kata tersebut berakar dari kata khulafa' yang pada mulanya yang
berarti"di belakang". Dari sisini kata khalifah sering diartikan sebagai
"pengganti" (karena yang menggantikan selalu berada pada fase yang
sesudah digantikannya).
Tidak dapat
disangkal oleh para mufassir bahwa perbedaan bentuk kata di atas (khalifah,
khalaif dan khulafah), masin-masing mempunyai konteks makna tersendiri.
Bila
dicermati al-Qur'an, guna memahami yang dikandungnya pada kata khalifah
pada surah Shad dari sejarah kehidupan nabi Daud. Nabi Daud as.
Sebagaimana yang diceritakan oleh al-Qur'an berhasil membunuh Jalut:
Dan Daud membunuh Jalut. Allah memberinya
kekuasaan/kerajaan dan hukmah serta mengerjakannya apa yang ia kehendaki…
Jika
demikian, kehalifahan yang dianugerakan kepada
Daud as. Bertalian dengan kekuasaan mengelolah wilayah tertantu. Hal ini
diperolehnya berkat anugerah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-Hikmah dan
ilmu pengetahuan.
Makna "pengelolaan wilayah
tertentu" berkaiatan dengan kekuasaan politik, dipahami pula pada
ayat-ayat yang menggunakan bentuk khulafa seperti di atas. Ini berbeda
dengan kata khalaif, yang tidak
mengesankan adanya kekuasaan semacam itu, sehingga pada akhirnya kita dapat
berkata bahwa sejumlah orang yang tidak memilki kekuasaan politik dinamai oleh
al-Qur'an dengan khalaif tanpa
menggunakan bentuk (tunggal).
Bila tidak digunakan bentuk mufrad untuk
makna tersebut agaknya mengisyaratkan bahwa kehalifahan yang diemban oleh
setiap orang tidak dapat terlaksana tanpa bantuan orang lain, berbeda dengan khalifah yang bermakna penguasa dalam
bidang politik itu. Hal ini dapat mewujud dalam diri pribadi seseorang atau
diwujudkan dalam bentuk otoriter atau dikator.[3]
Bila kita melirik
kembali pada ayat al-Baqarah 30, yang menggunakan kata Khalifah untuk
Adam as. maka ditemukan persamaan-persamaan dengan ayat yang membicarakan Daud
a.s. baik dalam persamaan redaksi maupun makna dan konteks uraian. Adam juga dimaknai khalifah. Beliau
sebagaimana Daud juga, juga diberi pengetahuan Wa 'allama Adam al-Asma'
kullaha yang kehalifahan keduanya berkaiatan dengan al-Ardha:
Inni ja'il fi
al-Ardhi khalifah (Adam) dan Ya
Daud inna Ja'alnaka khalifatan fi al ardha (Daud).
Adam dan Daud
keduanya digambarkan oleh al-Qur'an sebagai pernah tergelincir tetapi diampuni
Tuhan.[4] Di sini dapat disederhanakan bahwa:
1.
Kata khalifah digunakan
oleh al-Qur'an untuk siapa yang diberi kekuasaan mengelolah wilayah baik luas
maupun terbatas. Dalam hal ini nabi Daud (947-1000 S.M.) mengelola wilayah
palestina, sedangkan nabi Adam secara potensial atau aktual diberi tugas
mengelolah bumi keseluruhannya pada awal masa sejarah kemanusiaan.
2.
Bahwa seorang khalifah
berpotensi, bahkan secara aktual dapat melakukan kekeliruan dan kesalahan
akibat mengikuti hawa nafsu. Karena itu, baik Adam maupun Daud diberi
peringatan agar tidak mengikuti hawa nafsu.[5]
Khalifah, sebagai lambang pemersatu dan
perekat umat Islam, sebagaimana Nabiullah Muhammad Saw. menyatukan umat dengan
dasar al-Qur'an dan Sunnah. Menyusul sahabat ( pengganti Rasul Saw.) dan Bani
Umayyah (Wakil Tuhan) di muka bumi bukan
lagi dalam makna khalifah pengganti Rasul, sedangkan Bani Abbasiyah mengusung
khalifah sebagai yang kudus yakni Zill Allah fi al-Ardh (bayang-bayang Allah di muka Bumi).
C. Kedudukan Manusia Sebagai Khalifah
Kedudukan
manusia sebagai khalifah adalah konsep yang menunjukkan hubungan manusia dengan
Allah dan lingkungannya, ayat-ayat yang relevan dengan masalah tersebut adalah:
الحمد
لله فاطر السموات والأرض جاعل الملائكة رسلا أولي أجنحة مثنى وثلاث ورباع يزيد في
الخلق ما يشاء إن الله على كل شيء قدير
Artinya:
Dia-lah
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir,
maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang
yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya
dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah
kerugian mereka belaka.
وإلى ثمود
أخاهم صالحا قال ياقوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره هو أنشأكم من الأرض
واستعمركم فيها فاستغفروه ثم توبوا إليه إن ربي قريب مجيب
Artinya:
Dan
kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya)."
وما
خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Artinya:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.
Dari ayat tersebut memberikan
informasi bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah, tempat mengatur di
alam raya/bumi (negara), yang terkoneksi antara manusia dengan manusia, manusia
dengan alam, bahkan Tuhannya. Penugasan
ini dapat dimaknai adanya hubungan simbiosis tak terpisahkan satu dengan yang
lainnya. Selanjutnya ayat tersebut juga
mengingatkan bahwa siapa yang ingkar, khususnya
mengingkari Tuhan yang telah menjadikannya sebagai khalifah maka ia
sendiri yang mengandung akibat pengingkarannya itu berupa kemurkahan Tuhan dan
kerugian dirinya sendiri.
Dari
gambaran singkat dapat ditemui masalah yang perlu ditelaah mengenai hakekat dan
wujud dari konsep khalifah. Untuk memahami tersebut akan ditelesuri penggunaan
kata dalam al-Qur'an mengenai pengangkatan nabi Adam dan nabi Daud.
Penting
ditelaah untuk dibandingkan dan disandingkan pengangkatan Adam sebagai
khalifah, dijelaskan oleh Allah dalam bentuk tunggal Inni (sesungguhnya
aku) dan dengan kata ja'il yang berarti akan mengangkat. Sedangkan
pengangkatan Daud dijelaskan dengan menggunakan kata Inna (sesungguhnya
kami)dan dengan bentuk kata kerja masa lampau ja'alnaka
(kami telah menjadikan kamu).[6]
Bila kita dapat menerima kaidah yang menyatakan bahwa penggunaan
bentuk plural untuk menunjuk kepada Allah mengandung makna keterlibatan pihak
lain bersama Allah dalam pekerjaan yang ditunjuk-Nya, maka ini bermakna bahwa
dalam pengangkatan Daud sebagai khalifah terdapat keterlibatan pihak lain
selain Allah yakni masyarakat (pengikut-pengikutnya).
Adam dilukiskan dalam bentuk
tunggal, kerena baru berupa rencana (aku akan mengangkat) dalam konteks
kekhalifahannya, juga ketika peristiwa ini diwujudkan Allah, tidak ada pihak lain (pengikutnya) bersama
yang terlibat dalam pengangkatan tersebut. Ini bermakna bahwa Daud dan semua
khalifah yang terlibat dengan masyarakat dalam pengangkatannya, dituntut untuk
memperhatikan kehendak masyarakat tersebut, karena mereka ketika itu termasuk
pula sebagai penugasan (mustakhlif.)
Secara khusus penting
juga kita susuri dalan al-Qur'an
mengenai kata khalaif yang
terdapat pada ayat di atas adalah jumlah al'Kasrat,[7]
yang dipergunakan dalam empat ayat al-Qur'an.[8]
Bentuk mufradnya adalah khalifat yang dipergunakan dalam dua ayat.[9]
Bentuk jamak lainnya khulafa dipergunakan dalam tiga ayat.[10]
Bentuk mufradnya khalaif tidak dipergunakan dalam al-Qur'an.[11]
Menelusuri
penggunaan kata-kata tersebut dalam al-Qur'an maka terlihat kedua bentuk jamak
itu dipergunakan dalam konteks yang berbeda. Kata khalaif dipergunakan dengan merujuk kepada
umat manusia pada umumnya dan orang-orang beriman khususnya.[12]
Sedangkan
kata khulafa dipergunakan dalam konteks pembicaraan dengan orang-orang
kafir kepada Tuhan.[13] Dikaitkan
dengan rangkaian ayat yang mengisahkan sebagian
dari keistimewaan dan pengalaman hidup nabi Daud. Rangkaian kisah ini
diungkapkan agar nabi Muhammad memperhatikan dan mengambil ikhtibar untuk
menghadapi kesombongan dan permusuhan orang-orang musyrik.
Keberadaan kisah nabi Daud setelah deskripsi
sikap orang-orang musyrik terhadap Nabi Muhammad Saw. mengandung dorongan untuk
menguatkan jiwa Nabi dan dan hiburan baginya dalam menghadapi tantangan
orang-orang musyrik.[14]
Asepk lain yang
terkandung dalam ayat di atas berkenaan dengan larangan agar pemimpin jangan
mengikuti kehendak hawa nafsunya. Larangan ini pada hakekatnya merupakan konsekwensi kewajiban menegakkan
keadilan hukum Tuhan. Menegakkan dan mengikuti hukum Tuhan hanya dapat apabila
seseorang tidak mengikuti hawa nafsunya semata. Sebaliknya mengikuti hawa nafsu
semata berarti menjauhkan diri bahkan menyesatkan diri sendiri dari hukum
Tuhan.
Dari informasi di atas dapat dipahami bahwa
larangan mengikuti hawa nafsu (semata) pada hakekatnya adalah upaya
pemeliharaan martabat kemanusiaan sehinggah tidak terjatuh ketingkat hewan.
Dikhususkan sebagai pemimpin politik yang memiliki hegemoni di masyarakat, apabila mengikuti kehendak hawa
nafsu dan tidak saja merugikan dirinya (menjatuhkan martabatnya), tetapi juga
kcerdasan dan kekuasaan yang dimilkinya akan menjadikan masyarakatnya akan
menjadi korban hawa nafsunya atau kehendak golongan-golongannya. Fenomena
tersebut tidak asing lagi pada sistem politik dalam sejarah kehidupan manusia
dan melembaga sebagai bentuk pemerintahan tirani.
Itulah
sebabnya secara konsepsional manusia memilki potensi untuk
mempertangungjawabkan di hadapan Allah apa
yang telah diperbuatnya, konsep tanggung jawab berkaitan dengan amanah
yang diterimah manusia.[15]
Dengan
demikian pentingnya dijaga, dipelihara, dan dipupuk nilai-nilai iman dan taqwa
kepada Allah sehingga benar-benar menjadi khalifah penegak amar ma'ruf dan nahi
munkar. Hanyalah dengan iman dan taqwa yang mampu menegakkan hukum-hukum Allah
dan dapat dekat dengan Allah sehingga apa yang diperintahkan selalu sejalan
dengan semagat al-Qu'an dan hanya itulah yang dapat membumi dan menjaman.
D. Sketsa Kehalifahan dan Relevansinya Dengan Negara
Dalam paradigma
Islam kedaulatan tertinggi ada di tangan Tuhan, dengan tetap mengingat prinsip
ini. Bila kita mengamati posisi orang-orang yang ditetapkan untuk menegakkan
hukum Allah di bumi, wajarlah jika
kiranya kita mengatakan bahwa mereka harus dianggap wakil-wakil dari penguasa
tertinggi, al-Qur'an memberikan ilustrasi
dalam surah an-Nur, 24:55.
وعد الله الذين ءامنوا منكم وعملوا
الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي
ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد
ذلك فأولئك هم الفاسقون
Artinya:
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun
dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik.
Ayat ini menguraikan secara gamblang mengenai sketsa teori
kekhalifahan dalam sebuah negara. Ada
dua masalah mendasar yang menarik ditelaah seperti.
1.
Islam menggunakan istilah
kekhalifahan, bukannya kedaulatan. Karena menurut Islam kedaulatan hanya milik
Tuhan saja. Siapapun yang memegang tampuk kekuasaan dan siapapun yang
memerintah sesuai dengan hukum Tuhan pastilah merupakan khalifah dari
penguasa tertinggi dan tidak aku berwenang menyerahkan apapun kecuali kekuasaan yang didelegasikan
kepadanya (sesuai dengan potensi yang dikembangkannya).
2.
Al-Qur'an menyikapi bahwa
kekuasaan untuk memerintah di bumi telah dijanjikan kepada seluruh
masyarakat mukmin ayat ini tidak menyatakan bahwa kepada orang atau
kelompok tertentu dari kalanganyalah yang akan meraih kedudukan ini. Di sini
dapat diakomodir bahwa semua kaum beriman merupakan penjelmaan dari
kekhalifahan. Kekhalifahan yang dianugrahkan Allah kepada yang beriman
merupakan kekhalifahan segenap umat manusia untuk membawa rahmat bagi alam
semesta, dan bukan kekhalifahan terbatas tidak ada pengistimewaan pada
keluarga, kelompok atau ras tertentu. Dengan demikian dia secara individual
bertanggung jawab kepada Tuhan.[16]
Rasul telah bersabda[17]:
كلكم
راع و كلكم مسؤل عن را عيته
Inilah landasan sejati demokrasi dalam
Islam, hal ini bisa kita lihat dan analisa mengenai konsep kekhalifahan yang muncul
dalam masyarakat dengan hal-hal sebagai berikut:
a). Suatu masyarakat yang
di dalamnya semua orang merupakan khalifah Tuhan dan merupakan peserta yang
setara dalam kekhalifahan ini, tidak dapat membiarkan adanya pembagian-bagian
kelompok yang didasarkan pada perbedaan kelahiran dan kedudukan sosial.
Semuanya menikmati status dan kedudukan yang sama dalam masyarakat. Inilah yang secara jelas dan berulang-ulang disampaikan
amanatnya kepada anggota-anggota sukunya
setelah penaklukan kota Mekah. Beliau
bersabda:
"Wahai qaum Quraish; Allah telah
mencabut keangkuhan kalian di zaman jahilia dan kebanggaan akan nenek moyang.
Hai manusia, kalian semua keturunan
Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Jangan ada kebanggaan apapun mengenai
nenek moyang, tidak ada kelebihan kemuliaan dari seorang Arab atau non Arab
atau dari seorang non Arab dibandingkan dengan seorang Arab sesungguhnya orang
yang paling mulia diantara kalian dimata Allah adalah orang yang paling
taqwa".[18]
b). Dalam suatu pranata sosial
kemasyarakatan, tidak ada seorang pun yang mengalami ketiadaan kemampuan hanya
disebabkan oleh perbedaan kelahiran, status sosial atau profesi yang dengan
berbagai cara dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan lahiriahnya atau
merusak perkembangan pribadinya. Setiap orang akan menikmati peluang dan
kemajuan yang sama.
Jalan
akan dibiarkan terbuka baginya untuk menciptakan kemajuan sebanyak mungkin
sesuai dengan kemampuan bawaannya dan bakat-bakat pribadinya tanpa iri hati
atas hak-hak orang lain. Dengan demikain ruang lingkup yang tak terbatas bagi
pencapaian prestasi pribadi selalu menjadi tonggak suatu masyarakat Islam.
c). Dalam suasana masyarakat Islami tidak ada
ruang bagi kediktatoran seseorang atau kelompok tertentu atas yang lainnya,
karena setiap orang adalah khalifah Tuhan. Tidak ada seorang pun atau
sekelompok orang pun yang diberi hak
istimewa untuk menjadi penguasa mutlak dengan merampas hak-hak asasi orang
banyak. Kedudukan seseorang yang
terpilih untuk melaksanakan amanah Allah, tidak akan melampaui ketentuan, sehingga
semua muslim, atau semua khalifah Tuhan, menyerahkan kekhalifahannya kepada
pejabat itu demi penyelenggaraan pemerintahannya. Di suatu sisi di akan
bertanggung jawab kepada Allah dan di lain sisi dia akan dimintai tanggung
jawabnya oleh rekan-rekannya yang telah mendelegasikan kekhalifahan mereka kepadanya.
d). Dalam masyarakat yang terkooptasi
dengan semangat kekhalifahan setiap muslim yang telah mencapai cukup umur baik
pria maupun wanita diberi hak untuk mengemukakan pendapat, karena masing-masing
orang di kalangan mereka adalah penjelmaan dari kehalifahan. Tuhan telah
membuat kekhalifahan ini bersyarat, bukan atas dasar kekayaan atau kemampuan
tertentu tetapi hanya atas dasar Iman dan kesalehan, olehnya itu semua muslim
memilki kebebasan yang sama untuk menggunakan pendapatnya.[19]
Menurut al-Mawardi
bahwa sistem kekhalifahan yang dianggap sebagai kepemimpinan Nabi Muhammad,
saw. merupakan penyelenggeraan masalah-masalah sosial keagamaan ataupun yang
bersifat temporal adalah niscaya dan keniscayaannya didasarkan atas syari'ah
dan akal melalui ijmak dan umat.[20]
Olehnya itu, seorang khalifah harus memilki sikap
adil, berpengetahuan luas, dan mampu merumuskan hukum daru wahyu (akal dan
naqal), sehat secara fisik dan mental, ksatria serta berasal dari keturunan
Quraish.
Dengan
kualifikasi khalifah seperti tersebut di atas dapat mampu memecahkan masalah
yang dialaminya dan memberikan konstribusi pemikiran yang terbaik demi menata
tatanan masyarakat yang lebih maju dan bermartabat dan diridhai oleh Allah Swt.
Hal tersebut bisa juga dalam konsep
rukun Islam yang pertama antara ALLah dan Muhammad dapat dipahami hubungan yang
integral dan harmonis antara Pemimpin (Tuhan) dan Rakyat (Muhammad) atau antara
Orang Tua dan anaknya. Dengan pola demikian yang dianut akan berjalan dengan baik pada struktur
tatanan social kemasyarakatan. Dalam suasana kekhalifahan tersebut ada jaminan
kehidupan yang lebih damai yang didasarkan pada kemurnian hukum ilahi yang harus ditegakkan dan ditaati oleh
segenap umat dan pemimpin umat.
Aqidah Islam mewajibkan kaum muslimin dalam
berbagai kelompok dan organisasi untuk berjuang melanjutkan kehidupan Islam dan
meyampaikan dakwah Islam dalam rangka
memecahkan masalah umat.
Melanjutkan kehidupan Islam secara berkesinambungan dan bermakna dalam
sebuah negara memerlukan pemikiran dan keyakinan yang matang serta perasaan yang daitur dengan sistem dan
hukum Islam pada masyarakat, yang semua urusan kehidupan dikomandoi oleh
khalifah.[21]
Aqidah bukan hanya diletakkan sebagai pemikiran spiritual semata tetapi
lebih diberi porsi pada akidah pemikiran politik yang akan bernilai ibadah
sehingga lebih fungsional dan bermakna pada alam semesta. Manusia dan
kehidupan, sebagai aqidah politik, sebagai dasar pemikiran intelektual (qaidah
fikriyah) kepemimpinan ideologis (qiyadah fikriyah) dan sebagai sudut pandang khas tentang
kehidupan. Inilah yang dijadikan jargon politik sebagai khalifah.
Islam
menyikapi beberapa dimensi politik dalam sebuah negara, untuk mencapai rasa
bagi pemeluknya antara lain:
1)
Kebutuhan dasar setiap
masyarakat harus terpenuhi dan ia harus bebas dari ancaman dan bahaya dari
pemerkosaan.
2)
Manusia terjamin dalam mencari
nafkah, tanpa harus keterlaluan menhabiskan tenaganya
3)
Manusia bebas untuk memilih
bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai dengan cita-cita hidupnya
4)
Ada kemungkinan
untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya.
5)
Partisipasi dalam kehidupan
sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi objek penentuan
orang lain.[22]
Hal tersebut
bisa terwujud bila hukum yang bersumber dari aqidah Islam mewajibkan umat Islam
untuk melaksanakan hukum Islam secara menyeluruh (khaffah) dan
menegakkan suatu institusi Islam yang merdeka, terhormat dan bermartabat dalam
membangun peradaban masyarakat yang
lebih maju dan menjaman.
E. Kesimpulan
Dari
uraian tersebut, bahwa konsep khalifah bukan merupakan lembaga politik
keagamaan, karenanya tidak merupakan satu-satunya sistem pemerintahan Islam
yang ideal. Dalam perspektif teologis, sistem kehalifahan tidak memilki akar
yang kuat berdasarkan dalil naqli yang
jelas. Sedangkan dari perspektif historis sistem kekhalifahan mengalami
transformasi dan transmisi konseptual. Konsep kekhalifahan yang dikaitkan
dengan posisi khalifah sebagai bayangan Tuhan di bumi, sehingga khalifah
mengandung dimensi kedaulatan ilahiyah, adalah legitimasi terhadap kekuasaan.
Nilai-nilai Ketuhanan dan kemanusiaan yang tertuang di dalam al-Qur'an yang
wajib diimplementasikan semangatnya oleh seorang kahlifah dalam berbagai aspek kehidupan.
Bahwa seorang khalifah merupakan
pemegang mandat dari Allah, untuk mengatur tatanan masyarakat/wilayah baik
besar maupun kecil, demi mewujudkan kesejateraan rakyat yang adil dan merata
dari berbagai lini kehidupan secara proporsional. Hal tersebut tercermin dalam semangat al-Qur'an untuk selalu berbuat
kebaikan dan hal tersebut sejalan dengan hati. Maka kehidupan ini penuh
pertarungan menuju nilai-nilai kebaikan. Bila kemenangan dan kesuksesan yang
diraih dan tidak sejalan dengan kebaikan dan hati maka kemenangan hanya sezaman
atau sifatnya periodik aja. Bila kemenangan, kesuksesan dan kejayaan didasarkan
kebaikan dan sejalan dengan hati maka kemenangan akan dikenang sepanjang masa,
sebagaimana para Nabi dan Pemimpin orang saleh terdahulu.
Dalam suasana seperti tersebut di
atas tercipta secara sinergik antara hubungan vertikal (Ilahya/langitan) dan
horisontal (humanis/membumi) dan kekuatan tersebut yang sangat dahsyat sepanjang
sejarah manusia, Selama manusia terus membina hubungan baik tersebut tidak akan
tergilas oleh zaman dan tidak terkikis
oleh gelombang budaya dan peradaban yang
aneh-aneh. Wallu a'lam bissawab
KEPUSTAKAAN
Al-Qur’an
Karim
Al Maraghi, Ahmad Mustafa, Tafsir
al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, (t,th.)
Al-Ashfani,
Al-Raghib, Mufradat alfash al-Qur’an, (Beirut: al-Dar al-Samiyyat, 1415
H/1995M)
Almaududi, Abul
A'la, The Islamic Law and
Constitution , Diterjemah, Asep Hikmat, Hukum Dan Konstitusi Sistem
Politik Islam, (Bandung: Mizan, 1998)
al-Mawardi, Abu Hasan, al-Ahkam
al-Sultaniyah wa al-Wilayah al-Diniyah, Dalam Din Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat
Madani, (Jakarta:
Logos, 2000)
Ichtiar
Baru Van Hoeven, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Intermesa, 1994)
Muhammad Fu’ad, Abd. Al-Baqi, al-Mu’jam al-Muhfarasli
Alfash Al-Qur’an al-Qarim, (Beirut:Dar al-Fikr, 1407 H/1987 M.)
Ridha, Ali, al-Marja bi al-lugah
al-arabiyat, (al- Qahirat:al-Manar, 134)
Salim, Muin, Kekuasaan Politik Menurut
al-Qur'an, (Disertasi, IAIN Jakarta, 1998)
Shihab, M. Quraish, Membumikan al_Qur'an, (Bandung: Mizan, 2002)
----------------------, Tafsir Al-Misbah,
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur,an. (Jakarta: Lentera Hati, 2000)
Tobrani dan
Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya Dan Politik,(Yogyakarta: Spress,
1994)
Zallum, Abdul
Qadim, Political Thought, diterjemah oleh, Abu Fais, Pemikiran Politik Islam, (Jatim: Al-Izzah, 2004)
[6] M.Quraish Shihab, Ibid
[13] Ayat-ayat
bersangkutan adalah, Q.S. al- 'Araf 7:69
dan 74. Q.S. al-Namal 27: 62 ayat-ayat ini berisi ucapan Nabi Hud, nabi Shaleh
dan nabi Muhammad kepada kaum kafir dalam dua ayat pertama kata tersebut tegas dikaitkan dengan
penggantian generasi, sedangkan yang terakhir dikaitkan dengan penguasaan di
bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar