STAIN/IAIN
MENUJU UIN
(Perspektif Pemikiran Pendidikan A. Malik
Fadjar)
Oleh: DR. MUH. IDRIS, M.Ag.§
Abstrak
STAIN/IAIN dalam konteks kekinian tidak
memadai lagi dalam merspon tantangan globalisasi dan modernisasi. Islam yang
begitu universal dalam pengembangan nilai-nilai keilmuan dan dapat mencapai
titik puncak bangunan peradaban sejarah pada abad klasik khususnya pada masa
pemerintahan al-Makmun pada masa itu. Islam berbicara persoalan puasa misalnya,
hal ini dapat dimaknai bahwa Islam harus kita kembangkan pada ilmu-ilmu seputar
kesehatan. Fiqih dapat dikembangkan dengan nilai-nilai keilmuan yang bermuara
pada hukum-hukum sosial termasuk Isra’ dan miraj dapat dikembangkan keilmuannya
melalui sins dan teknologi, dan semacamnya. Dari informasi tersebut bahwa
STAIN/IAIN suatu keharusan untuk menuju UIN dalam merespon tantangan
globalisasi, otonomisasi dan modernisasi. UIN tidak mengenal fakultas agama
yang ada adalah pengembangan kultur keilmuan yang bernuansa Islam yang rahmatan
lil’alamin.
Kata Kunci: Sejarah singkat, tantangan menuju UIN dan STAIN/IAIN Menuju UIN
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan
sebuah proses dan sekaligus sistem yang bermuara pada pencapaian tujuan tertentu yang dinilai dan
diyakini sebagai yang ideal dengan dapat merespon tantangan globalisasi saat
ini. Maka pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub sistem dari pendidikan
nasional yang mencita-citakan terbentuknya insan kamil atau muslim
paripurna,[1]
secara implisit akan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia Indonesia
seutuhnya.[2]
Menurut A.Malik Fadjar bila ditelusuri
perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, diketahui bahwa pendidikan
Islam berasal dari berbagai model dan bentuk antara lain madrasah dan sekolah
yang merupakan pemaduan antara ilmu umum dan agama. Dalam perkembangan global sekarang ini, pendekatan
interdisipliner tidak bisa dielakkan lagi. Orang yang ingin bicara fikih
diharuskan bisa bicara lingkungan dan aspek-aspek yang terkait dengan kehidupan
sosial yang nyata. Hal ini bukan sekedar materi, tapi bagaimana
mengasosiasikan, dan merefleksikan realitasnya. Orang menyoroti puasa dari segi
kesehatan, harus paham ilmu kesehatan. Orang yang bicara zakat harus mengetahui
ilmu ekonomi dan orang bicara isra’ dan mi’raj
harus mengetahui sains dan teknologi dan lain sebagainya.
Lebih lanjut A.Malik Fadjar menyatakan
bahwa semuanya itu didesain dengan sains dan teknologi. Kalau IAIN/STAIN ingin
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan global dengan mengandalkan
ilmu agama saja tentu kemampuan pencernaannya kurang memadai.[3] Dengan demikian pengembangan pendidikan
Islam menuju unuversitas suatu keharusan guna merespon kemajuan modernisasi,
otonomisasi, dan globalisasi.
Menurut Azyumardi Azra bahwa A.Malik Fadjar ingin menjadikan pendidikan
Islam itu kompetitif dan berkualitas sehingga tidak kalah bersaing dengan
pendidikan umum. Oleh karena itu A.Malik Fadjar sangat mendukung perubahan IAIN
menjadi UIN. Dia ingin menjadikan IAIN menjadi lembaga pendidikan modern dan
berkualitas baik.[4]
Untuk
membangun peradaban dunia yang kompetitif, damai dan humanis diperlukan sumbar daya manusia yang
berkualitas melalui pendidikan. Oleh karena itu A.Malik Fadjar berpendapat bahwa pendidikan dapat
dipahami sebagai pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang.
Pendidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan
manusia.[5] Hal ini sejalan dengan pendapat John
Dewey (1859-1952)[6] yang menyatakan bahwa pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan hidup,[7] salah satu fungsi sosial, sebagai
bimbingan, dan sebagai pertumbuhan yang mempersiapkan dan membukakan serta
membentuk disiplin hidup. Fungsi
pendidikan ini dapat dicapai melalui transmisi, baik dalam bentuk (pendidikan)
formal maupun non formal.[8]
A.Malik Fadjar berpendapat bahwa
pendidikan dalam makna yang luas pada
hekekatnya menyangkut masa depan hidup dan kehidupan umat manusia dalam
membangun peradaban. Di masa
sekarang dan yang akan datang pengelolaan pendidikan harus lebih demokratis
dalam bentuk memberikan otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat. [9]
Bangsa Indonesia sangat merasakan pentingnya penguasaan ilmu dan teknologi
demi pembangunan yang meliputi multi aspek dalam kehidupan bangsa.[10] Sehingga perlu dilakukan islamisasi dalam
upaya membangun kembali semangat umat Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian
rasional–empirik dan filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-Qur’an
dan Sunnah Nabi, sehingga umat Islam akan bangkit dan menyusul
ketertinggalannya dari Barat.[11]
Indonesia kini telah memasuki masa kemerdekaannya lebih dari enam puluh
tahun. Sementara itu pula kini kita telah berada di dalam tatanan kehidupan
masyarakat kompetisi abad ke-21. Kompetisi merupakan
prinsip hidup dan kehidupan baru karena dunia bersaing untuk memposisikan diri
agar berada di urutan terdepan dalam menghasilkan karya-karya unggulan dalam
merebut setiap peluang dan kesempatan yang terbuka meliputi banyak aspek
kehidupan, seperti pasar kerja, pasar untuk berbagai jenis produk, jasa dan
teknologi.[12] Persaingan antarbangsa dan negara dalam bidang
bisnis, investasi, ekonomi, bahkan di bidang pendidikan juga berlangsung sangat
pesat guna membagun budaya dan peradaban dunia yang damai.
Dalam
era global seperti ini tantangan dan perkembangan sains dan teknologi semakin massif
eskalasi pasar bebas antar negara dan bangsa yang semakin meningkat, iklim
kompetisi dalam berbagai aspek semakin ketat, dan tuntutan demokrasi serta
masalah hak asasi manusia merupakan tantangan yang harus direspon oleh
pendidikan Islam.[13]
Oleh karena itu, pembaruan pendidikan
harus segera dilakukan agar masyarakat secara luas, keluarga, sektor swasta,
politisi dan unit-unit pemerintahan di semua tingkatan dapat memahami bahwa
pendidikan merupakan human investmen. Hal itu harus dirancang dan
dibiayai secara lebih memadai agar bangsa ini mampu tumbuh dan bersaing dengan
bangsa lain seiring dengan pertumbuhan dan proses demokratisasi dalam berbagai
sistem kehidupan di Indonesia.[14] Tidak salah jika Fazlurrahman menyatakan
bahwa setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan
pendidikan.[15]
2. Sejarah singkat dan Tantangan menuju UIN
Dalam sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia bahwa perguruan tinggi
yang secara resmi didirikan sejak 1960,[16]
oleh tokoh moderat KH. Wahid Hasyim dimaksudkan sebagai wahana umat
menempa ilmu pengetahuan yang lebih
tinggi. Sebagai seorang tokoh muslim yang tidak diragukan kecendekiaannya, pengaruh Wahid Hasyim tidak hanya terlihat dalam
pendirian IAIN di seluruh Indonesia. Tetapi, ia juga tokoh yang terlibat
dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara
yang melindungi berbagai paham dan suku bangsa. Dari informasi tersebut dapat
dipahami bahwa akselerasi berfikir para tokoh-tokoh Islam sangat cemerlang dan
berillian guna memanjukan pendidikan di Indonesia.
IAIN didirikan sebagai perwujudan dari
suatu cita-cita yang telah lama
terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia.
Hasrat untuk mendirikan semacam
lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman
penjajahan dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah. KH. Wahid Hasyim yang memegang beberapa jabatan penting ketika itu (mulai
sebagai Ketua Pengadilan hingga Menteri Agama) cukup mengerti persoalan yang
dihadapi umat Islam.[17]
Pendirian IAIN merupakan salah satu ide brilian yang dimiliki Wahid Hasyim sebagai upaya memenuhi kebutuhan umat
Islam akan pendidikan tinggi Agama Islam.
IAIN/STAIN bukanlah bentuk kelembagaan final dalam perkembangan kelembagaan perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Pada awal sejarahnya, IAIN sendiri memiliki beberapa
nama seperti PTAIN (Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri) yang diambil dari
Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Ketika
itu PTAIN memiliki jurusan Da'wah (kelak Ushuluddin),
Qodlo (kelak menjadi Syari'ah), dan Pendidikan (Tarbiyah). Pada tanggal
26 September 1951 namatersebut berubah
lagi menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Enam tahun kemudian, 14 Agustus 195 7, di Jakarta berdiri pula
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1957.[18]
Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan umat Islam
terhadap pendidikan tinggi agama Islam, Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960
tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dikeluarkan. Menurut
dokumen ini, penggabungan PTAIN dan ADIA
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) "Al-Jami'ah
al-Islamiah al- Hukumiyah" yang berkedudukan di Yogyakarta menjadi
kenyataan. Pada 24 Agustus 1960 nama IAIN kemudian diresmikan di Yogyakarta oleh K.H.
Wahid Hasyim. Demikianlah perguruan tinggi Islam Indonesia terns
berubah sebagai respons atas perkembangan masyarakat dan sekaligus menanamkan
nilai-nilai agama pada setiap peserta didiknya.[19]
Dalam perjalanan panjang selama 49 tahun STAIN/ IAIN/
UIN di Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan baik pada strata satu,
begitu juga pada strata dua dan tiga. IAIN tumbuh dan berkembang sejak beberapa
dasawarsa yang lalu, dan telah menunjukkan keberadaanya sebagai lembaga
pendidikan tinggi. Hasilnya telah banyak alumninya yang berkiprah di
tengah-tengah kehidupan bangsa dan negara. Hal tersebut dapat di lihat hasilnya
misalnya, menjadi da’i, guru agama, pegawai, pemikir, hakim agama, bahkan
politikus, dan lain sebagainya adalah merupakan profesi alumni PTAIN.[20]
Perubahan status IAIN/ STAIN menjadi
UIN , menurut Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawwar pada waktu itu,
membawa berbagai implikasi dan tantangan cukup besar. Karena itu, Menteri Agama menyerukan agar
segera berusaha mengkaji dan mencari solusinya. Dibutuhkan perjuangan dari Mendiknas dan kerja keras para pejabat
eselon I di lingkungan Depdiknas dan Depag dalam rangka mewujudkan sebuah lembaga akademik yang bercitra dan memiliki kepercayaan
kuat dari masyarakat.[21]
Selain itu, perubahan ini dimaksudkan agar UIN bisa mengembangkan disiplin ilmu-ilmu lain yang bersifat universal
tanpa terkungkung pada ilmu-ilmu keagamaan
semata. Perubahan tersebut tentunya didukung dengan berubahan lebih awal dari
sisi SDM, administrasi dan pendanaan dan
pengembangan kelembagaan. [22]
Diharapkan UIN bisa memberikan
wacana keagamaan yang betul-betul membumi pada setiap bidang keilmuan.
Orientasi seperti inilah yang mesti dilakukan oleh UIN di masa depan untuk membangun ilmu
pegetahuan yang berkeadaban (civilized) dengan
memasukkan ilmu-ilmu keagamaan pada setiap
bidang keilmuan. Wacana ini, meminjam
istilah Ismail Raji Al-Faruqi disebut "Islamisasi ilmu pengetahuan." Relevansi semua
ini terlihat ketika melihat wacana keagamaan tidak menyentuh sisi
empirik persoalan di masyarakat.
Respons masyarakat terhadap perubahan status STAIN/IAIN menjadi UIN cukup beragam. Sebagian
mereka menilai positif karena mahasiswa UIN, nantinya, tidak hanya terdiri
dari kalangan muslim santri (pesantren), tetapi
juga kalangan muslim non-santri baik yang
belajar di SMU, SMK, maupun lainnya. UIN
terbuka bagi berbagai elemen masyarakat. Ketika IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN membuka jurusan umum,
terlihat antusiasme masyarakat sangat tinggi.
Pada sisi lain penilaian negatif juga muncul seiring dengan pembukaan
jurusan umum tersebut. Penilaian tersebut terangkum dalam beberapa poin berikut
ini.
Pertama, semakin
terkikisnya studi-studi keislaman (Islamic
studies).[23]
Hal ini terlihat dari keluhan dosen UIN Syarif Hidatullah Jakarta karena
semakin kecilnya mahasiswa yang menekuni Islamic
studies seperti filsafat Islam, pendidikan Islam, sejarah dan peradaban Islam, dan lainnya. Islamic studies merupakan ciri khas IAIN selama bertahun-tahun. la merupakan cikal bakal IAIN untuk mencetak
kader-kader par excellent seperti Mukti Ali, Harun Nasution, Munawir
Sjadzali, Nurcholish Madjid, dan lainnya. Menurutnya, minat mahasiswa terhadap Islamic studies karena
studi-studi tersebut dianggap tidak menjanjikan masa depan. Sejalan dengan perkembangan zaman, peserta didik memilih
jurusan-jurusan umum seperti ilmu ekonomi, ilmu sosial, ilmu teknik,
ilmu pariwisata, dan lainnya.
Kedua, budaya mahasiswa UIN menjadi sangat beragam. Budaya tersebut tentu saja bersinggungan
antara satu dengan lainnya karena akar tradisinya
berbeda-beda seperti santri versus
non-santri, anak desa versus anak kota. Bahkan, seluruh budaya ini
kemudian didialektikakan dengan budaya modern yang notabene dibawa oleh
negaranegara Barat.[24]
Dalam konteks inilah meminjam istilah para kiai pesantren UIN tak ubahnya rumah
sakit yang harus memberikan obat terhadap berbagai penyakit umat. UIN harus
menyediakan banyak dana untuk biaya pengobatan berbagai penyakit yang diderita pasien tersebut. Karena itu, UIN harus bisa
mengantisipasi munculnya perilaku-perilaku mahasiswa yang tidak mencerminkan almaternya.
Bila STAIN/IAIN menuju UIN
dalam merespon tantangan globalisasi, tampaknya memang sangat relevant
mengingat era ini nampak dirasakan saat
ini sangat kompetitif, global, dan seringkali penuh nuansa krisis dan
keguncangan. Sehingga semua lembaga perlu mengaca diri, sejauhmana ia memiliki
kesiapan (konsep, SDM, dan mental) dalam memasuki wilayah globalisasi,
otonomisasi dan modernisasi.
3. STAIN/IAIN Menuju Universitas
Visi dan praksis A.Malik Fadjar dalam
pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN merupakan usaha mempertegas, mempertajam dan
memperbaharui pendidikan Islam dalam hal melayani kebutuhan mendasar manusia.
Sebab pendidikan berkaitan masa depan umat manusia yang sustainable yang
selalu mengalami dinamika di era global. Gagasan perubahan STAIN/IAIN menjadi
UIN yang diangankan A.Malik Fadjar bukan sekedar perubahan “papan nama”, tetapi
sebagai model “reintegrasi keilmuan” yang menunjuk kepada satu bentuk
pengembangan, peningkatan dan pemantapan status akademik yang lebih
proporsional dan profesional.[25] Gagasan tersebut, sejalan dengan semangat
wider mandate (mandat diperluas) untuk memberikan wewenang kepada PTAI
supaya bisa lebih moderen dan mandiri.
Lembaga pendidikan tinggi agama sudah
harus mendapatkan wider mandate,[26]
sebagai respon atas tantangan-tantangan baru yang dihadapainya. Dengan mandat
lebih luas ini, antara lain, IAIN secara praksis diharapkan mampu
berpartisipasi dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu normatif dengan ilmu-ilmu
obyektif.[27]
Tujuan dari perluasan mandat ini
adalah reproduksi manusia akademis yang siap pakai dalam menghadapi tantangan
zaman yang penuh dinamika di era global.
A.Malik Fadjar menyatakan bahwa UIN ke depan
dapat menjadi model sistem pendidikan Islam yang memiliki “kualitas tinggi”
dibandingkan dengan PTN/PTS yang lain yang memiliki status, peran dan fungsi
yang sama, di samping memiliki otonomi lebih luas baik dalam pengembangan
akademik, manajemen maupun admistrasinya.[28] Dengan penataan elemen-elemen lembaga
pendidikan secara menyeluruh didesain dengan teknologi yang maju maka lembaga
pendidikan Islam akan mampu memenuhi logika persaingan pasar ke depan.
Sejalan dengan itu Azyumardi Azra menyatakan bahwa pengembangan IAIN
menjadi UIN bertitik tolak dari beberapa hal yaitu: Pertama; IAIN belum berperan secara
optimal dalam dunia akademik, birokrasi, dan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Di antara ketiga lingkungan ini, kelihatannya peran IAIN lebih
besar pada masyarakat, karena kuatnya orientasi kepada dakwah daripada kepada
pengembangan ilmu pengetahuan. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu
merespon perkembangan iptek dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks,
karena lebih berkonsentrasi pada pengembangan dan penguatan imtak. Hal ini
disebabkan terutama karena bidang kajian agama yang merupakan spesialiasi IAIN
kurang mengalami interaksi dan rapprochement
dengan ilmu-ilmu umum, bahkan masih cenderung dikotomis.[29] Kurikulum IAIN masih menitikberatkan pada
ilmu-ilmu yang bersifat normatif; sedangkan ilmu-ilmu umum yang dapat
mengarahkan mahasiswa kepada cara berpikir dan pendekatan yang lebih empiris
dan kontekstual tampaknya masih belum memadai.
Oleh karena itu dapat diketahui bahwa
transformasi IAIN ke UIN bermuara pada integrasi keilmuan dalam sebuah
institusi pendidikan. Hal tersebut bisa dilihat dari dua dimensi, yang pertama
adalah dimensi teologis, sedangkan yang kedua adalah dimensi modernisme
sejarah.
Pertama, dimensi teologis. Betapa banyak ayat-ayat
al-Qur'an menyeru kepada keseimbangan keadaan (balanced condition) antara
kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrawi.
Prinsip Islam dalam hal ini adalah apa yang disebut dengan Islam
kaffah (Islam yang dapat memeberikan inspirasi dan manfaat secara
menyeluruh/universal). Sehingga kita akan menyadari bahwa ayat-ayat al-Qur'an
yang menyangkut berbagai aspek dan dimensi ilmu merupakan sabda-sabda Tuhan
yang diturunkan kepada umat manusia. Prinsip universal dalam memahami Islam
akan membawa kita kepada keyakinan bahwa ilmu umum-pun sebenarnya Islam, tanpa
kita harus menjadi paranoid terhadap kesekuleran sebuah ilmu. Bisa saja
pengembangan fakultas-fakultas umum dengan berbagai disiplin ilmu tersebut
ditelaah akar pendukungnya dari pesan-pesan
agama sehingga pendalaman ilmu-ilmu umum justru akan semakin
mengokohkan keyakinan terhadap pemahaman terhadap agama. Di sinilah dimensi
teoritis keagamaan menemukan dimensi praksis dan praktis untuk menuju otonomi
dan meninggalkan dikotomi dalam dunia keilmuan.
Kedua, dimensi modernisme sejarah. Dalam konteks sejarah, kita mencatat masa keemasan Islam pada
Abad Pertengahan di mana Islam mencapai puncak kejayaannya di lapangan ilmu
pengetahuan. Pada masa itu muncul pakar-pakar Muslim di berbagai lapangan
pengetahuan, seperti AI-Kindi (801-837), Al-Farabi (W.950), dan Ibn Maskawaih
(W.1030) yang menggeluti lapangan filsafat; Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Bajah
(1160-1138) ahli di bidang kedokteran, Jabir ibn Hayyan (720-815) dan
Al-Khawarizmi (780-850) yang masing-masing merupakan ahli kimia dan
matematika, serta Al-Thabari (839-922) ahli dalam bidang sejarah dan hukum. Mereka hanyalah contoh kecil
dari berbagai tokoh Abad Pertengahan.[30]
Dalam perspektif historis, jelas bahwa
bangunan pengetahuan Islam pada saat itu dibangun dengan sangat
integratif, dan kenyataannya ilmu pengetahuan
umum dapat berkembang pesat bahkan melahirkan banyak pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Sayangnya, gagasan besar yang
agung tidak dilanjutkan oleh umat Islam malah cenderung menutup diri
dari ilmu-ilmu umum dan mematikan kreatifitas
nalar dan logika. Untuk itu transformasi IAIN ke UIN menuju otonomi dan
meninggalkan dikotomi merupakan
keharusan di era globalisasi yang penuh kompetitif.
Pemikiran A.Malik Fadjar dalam
pengembangan pendidikan menuju universitas merupakan langkah stretegis dan
futuristik, guna menata pranata-pranata sosial dari berbagai aspek dalam
mengakomodasi perubahan-perubahan peradaban di era globalisasi.
Menurut Sofyan Effendi kebijakan A.Malik Fadjar dalam dunia pendidikan Islam dengan membuka STAIN
dan IAIN menuju Universitas secara praksis tidak bertentangan dengan aturan,
tidak ada larangan perguruan tinggi yang berada di bawah departemen menjadi
lembaga pendidikan kedinasan. Jadi tidak melanggar dari aturan tapi aturan yang
tertinggal dari kenyataan.[31]
Menurut A.Malik Fadjar, secara praksis UIN
merupakan model sintesis antara pesantren dan perguruan tinggi. Tak bisa
disalahkan bila UIN, selain mengembangkan aspek-aspek keilmuan dan
profesionalisme, di dalamnya dikembangkan pula "ritual-ritual"
pesantren, seperti khataman, tadarus al-Qur’an, dan bahkan hafalan al-Qur’an
sebagaimana dikembangkan oleh UIN
Malang. Mahasiswa yang hafal al-Qur’an bukan saja dari fakultas-fakultas agama,
tetapi meluas ke berbagai cabang fakultas, jurusan, dan program studi (umum).[32]
Sejalan dengan
gagasan tersebut, Amin Abdullah menyatakan bahwa pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tentang
pengembangan IAIN sebagai pilot
project menjadi Universitas Islam
Negeri (UIN), di bawah
Departemen Agama Republik Indonesia yang mencakup bukan hanya fakultas-fakultas agama,
tetapi juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistemologi keilmuan
dan etika moral keagamaan yang integralistik. Dalam konsep ini fakultas-fakultas agama[33] tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, namun perlu
dikembangkan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa
IAIN di era global dan diperkuat tenaga pengajar dan dosen-dosennya dengan
berbagai metode dan pendekatan baru dalam islamic
studies, humanities, dan ilmu-ilmu
sosial, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum, baik dalam bentuk wider mandate maupun universitas
perlu dibekali muatan-muatan spiritualitas dan moral keagamaan yang lebih
kritis dan terarah dalam format integrated
curriculum, dan bukannya separated curriculum seperti yang berjalan selama ini.[34]
Pengembangan IAIN ini diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Program reintegrasi epistemologi keilmuan
dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada
gilirannya akan menghilangkan dikotomi
antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan
selama ini.
Menurut A.Syafii Maarif, corak orientasi keilmuan yang dikembangkan IAIN
beserta kualitas para pengampunya. Para pengampu yang kualifaid adalah
mereka yang mampu memancing potensi intelektual para mahasiswanya agar terpikat oleh masalah-masalah besar,[35] yang dihadapi Islam secara universal di
abad ini. Sebab sebuah prodak keilmuan sangat ditentukan nilai kualitas
pelayanan sesorang dan jaringannya compatible dengan kebutuhan
masyarakat.[36]
Menurut Azyumardi Azra perubahan
institut menjadi universitas harus dimulai dengan pengembangan SDM, khususnya
pengadaan dosen dalam bidang-bidang yang akan dikembangkan sesuai dengan
kebutuhan pasar.[37]
Perubahan dan perkembangan ini bukan sekedar asal berkembang dan berubah.
Diperlukan konsep yang matang dan detail, sehingga tidak mengulangi eksperimen
dan pengalaman sejarah yang dilakukan oleh
perguruan-perguruan tinggi umum dan agama yang didirikan oleh negara
maupun swasta. Pengembangan ini berada dalam kerangka dan semangat harmonisasi
keilmuan yang lebih universal,[38] guna merespons perkembangan masa depan.
Dengan berubahnya IAIN Jakarta menjadi UIN,[39] misalnya merupakan langkah dinamis untuk
"membangun sistem pendidikan yang
integralistik dan komprehensif dalam berbagai
disiplin ilmu dalam rangka memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat terhadap lembaga pendidikan
tinggi yang mampu menghasilkan
intelektual yang profesional dan bermoral".[40]
Dari berbagai latar belakang dan tujuan
tersebut, terlihat bahwa ide perubahan lembaga PTAI bersumber dari perenungan
internal dan eksternal tentang posisi dan fungsi yang selama ini dijalani oleh
IAIN serta respons terhadap realitas yang berkembang dalam masyarakat.[41] Perenungan internal telah merevisi cara pandang IAIN dan
Departemen Agama tentang konstruksi keilmuan yang "sesungguhnya" yang
bersifat non-dikotomis. Sedangkan perenungan eksternal telah "membuka
mata" mereka tentang kebutuhan-kebutuhan yang berkembang di masyarakat
sehingga perlu disikapi secara kongkrit. Perenungan seperti ini telah membawa
perubahan mental akademik yang sejajar dengan dengan lembaga-lembaga pendidikan
lain dan menyatukan ilmu yang terkesan dikotomi menuju otonomi sehingga akan
melahirkan wawasan keilmuan yang lebih
luas dan lues.
UIN yang
dicita-citakan sebagai center of exellence bagi pengembangan keilmuan pada umumnya dan
keilmuan Islam pada khususnya, sehingga terbentuk komunitas ilmiah-religius (religious-scientific
community) yang bersendikan ajaran agama. Bukan sekadar pengawal, penjaga,
dan pelestari tradisi yang ada. UIN diharapkan tidak saja piawai sebagai pencetak
'guru agama' dan kiai tradisional, melainkan bagaimana bisa melahirkan
kiai-kiai profesional di dalam mengurus pesantren perikanan, pesantren
peternakan, pesantren perkebunan, pesantren pertambangan, pesantren
perindustrian, dan sebagainya. Tentu dengan pengejawantahan secara profesional di setiap bidang akademik yang dibuka.[42]
Apa yang digagas
oleh A.Malik Fadjar, secara praksis bahwa
pengembangan STAIN/IAIN
menuju UIN kiranya merupakan langkah strategis dan futuristik. Melalui
pengembangan STAIN/IAIN menuju UIN ini A.Malik Fadjar meyakini bahwa umat Islam bisa bermain dan memainkan peran yang
sesungguhnya di dalam pergaulan global. Memaknai ini, A.Malik Fadjar mengemukakan: bahwa masa depan harus dijemput
dimana sarananya adalah pendidikan. Oleh karena itu pendidikan harus dipacu ke
arah masa depan manusia. Di sinilah sesungguhnya makna pentingnya secara
terus-menerus memperbarui sistem pendidikan kita. Ungkapan life long education, sejatinya sudah disuguhkan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh para sahabat
belajar ilmu ke Cina (uthlub al-'ilm wa
law bi al-shîn) yang artinya carilah ilmu walau sampai ke
negeri Cina (hadis) dan mencari ilmu sejak lahir sampai mati (uthlub al-'ilm
min al-mahdi ila al-lahd) yang artinya carilah ilmu
sejak dari buaian sampai engkau meninggal dunia (hadis). Untuk itu, manusia harus senantiasa belajar dan belajar (learn
how to learn). Belajar itu merupakan rekreasi ke arah masa depan.[43]
Menurut
A.Malik Fadjar kalau kita menelusuri perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia, dapat diketahui bahwa
pendidikan Islam berasal dari berbagai model dan bentuk antara lain madrasah
dan sekolah yang merupakan pemaduan antara ilmu umum dan agama.[44]
Dalam perkembangan global
sekarang ini, pendekatan interdisipleiner tidak bisa dielakkan lagi. Orang yang
ingin bicara fikih diharuskan bicara lingkungan dan aspek-aspek yang terkait
dengan kehidupan nyata. Hal itu bukan sekedar materi, tapi bagaimana
mengasosiasikan, merefleksikan realitasnya. Orang menyoroti puasa dari segi
kesehatan, harus paham ilmu kesehatan. Orang yang bicara zakat harus mengetahui
ekonomi dan lain sebagainya.Semuanya itu didesain dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kalau IAIN ingin tumbuh dan berkembang ditengah-tengah kehidupan
global mengandalkan ilmu agama saja tentu kemampuan pencernaannya kurang
memadai. Oleh karena itu Mukti Ali dan Munawir Sjadzali mengirim mahasiswa
studi ke Barat. Dengan terbentuknya UIN diharapkan berbagai disiplin ilmu
saling bersinergi dan saling berkembang di sini. Dokter keluaran UIN berbeda dengan UI
misalnya dengan dikembangkan nilai pendekan-pendekatan yang Islami. Artinya
alumni UIN dapat menjelaskan dan menerapkan pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dan
sunnah dalam anatomi tubuh manusia.
Gagasan strategi pengembangan pendidikan
agama dan keagamaan (melalui STAIN dan UIN) ini bagi A.Malik Fadjar merupakan
kebutuhan yang terus-menerus harus diusahakan. Usaha memecahkan persoalan
pendidikan dan menjawab tantangan kehidupan pun harus dilakukan dengan
memperluas komunikasi dan konsultasi akademik ke berbagai disiplin keilmuan;
seperti filsafat, sejarah, bahasa, agama, antropologi, sosiologi, ekonormi,
politik, biologi, informatika, dan manajemen (sebagai kunci keberhasilan diri
dan sosial). A.Malik Fadjar mengungkap bahwa mendekati ajaran-ajaran agama dan
keagamaan dewasa ini memerlukan perangkat
ilmu-ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, dan arkeologi. Tentu
suatu arah pengembangan masyarakat profesionalisme dalam konteks pengelolaan
fisik-material, sosial, dan etik. [45]
Sementara itu Muhadjir Effendy berpendapat bahwa A.Malik Fadjar ingin
melakukan integrasi keilmuan antara agama, sains dan teknologi dalam satu
institusi. Di lain sisi A.Malik Fadjar tidak terlalu suka hal-hal yang normatif
apa lagi yang membelenggu kebebasan individu. A.Malik Fadjar sangat menyenangi
pembaruan-pembaruan dalam dunia pendidikan Islam dan berani mengambil resiko.[46]
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Tarmizi Taher bahwa kekhasan pemikiran
A.Malik Fadjar yaitu kombinasi ilmu agama, sains dan teknologi, sesuai
pengalaman pendidikannya dari IAIN Malang hingga ke Barat. Pemikirannya ini
diwarnai oleh organisasi Muhammadiyah yang merupakan salah satu gerakan
pembaharuan di Indonesia. Pembaharuan pemikiran inilah yang menjadi semangat
dalam dunia pendidikan yang cirinya sekolah umum.[47]
Sementara itu menurut Sofyan Effendi bahwa semangat A.Malik Fadjar dalam
pengembangan pendidikan adalah islamic studies, yaitu dikaji dengan
pendekatan moderen yang didukung dengan berbagai aspek ilmu. Gaya dan semangat
identik dengan Mukti Ali.[48]
Terkait dengan integrasi ilmu ini, Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa
dasar dari integrasi ilmu dalam Islam adalah konsep tauhid. Konsep tauhid
diambil dari formula konfesional Islam “Lâ Ilâha Illâ Allâh” yang
artinya tidak ada Tuhan melainkan Allah, telah menjadi prinsip dan ajaran
paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan integrasi Ilmu telah
menjadi prinsip yang paling utama dari prinsip-prinsip epistemologi Islam,
sehingga ia juga telah menjadi asas pemersatu atau dasar integrasi ilmu
pengetahuan manusia.[49]
Basis integrasi ilmu-ilmu agama dan umum, tentu saja ilmuwan-ilmuwan muslim
akan akan percaya sepenuhnya bahwa sumber dari segala ilmu adalah Allah, Tuhan
yang sering mereka sebut Sang Kebenaran (al-Haqq) atau ada juga
yang menyebutnya dengan ultimate reality (relitas sejati). Dan karena
tujuan ilmu adalah untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti
untuk mengetahui kebenaran sejati, maka Tuhan sebagai kebenaran sejati tentu
merupakan sumber bagi segala kebenaran-kebenaran lainnya, termasuk kebenaran
atau realitas-realitas ilmu.[50]
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Husni Rahim yang menyatakan bahwa dalam
Islam tidak dikenal dikotomi antara agama dan ilmu pengetahuan. Pandangan ini
mengacu pada keyakinan Islam yang paling
utama yaitu tauhid. Ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam pada hakekatnya
milik Allah dan manusia hanya mampu menguasainya dengan terbatas. Sebagai hamba
yang berada di alam syahâdah (nyata), manusia dapat memiliki pengetahuan
disebabkan kekuatan nalar yang diberikan
Allah kepadanya. Dengan demikian terdapat hubungan antara pandangan dunia
tauhid dengan semangat keilmuan karena ilmu pengetahuan pada hakekatnya menjadi
jembatan untuk mencapai kebenaran agama, yaitu tauhid.[51]
Dalam hal disatukannya ilmu agama dan ilmu umum dalam pengembangan
perguruan tinggi, A.Malik Fadjar menyatakan bahwa meskipun berbagai upaya telah
ditempuh untuk menyatukan disiplin ilmu umum dengan ilmu agama agar berada
dalam satu atap, namun PTIS-PTIS hingga kini belum menemukan bentuk yang
mendekati ideal. Salah satu bentuk yang dikembangkan oleh PTIS adalah disandingkannya fakultas-fakultas agama
dengan fakultas-fakultas umum.[52]
Persoalan kemudian yang muncul adalah terjadinya ketidakseimbangan peminat
dari kedua rumpun fakultas tersebut. Peminat fakultas umum cenderung banyak
sedangkan peminat fakultas agama kurang. Di samping itu persoalan teknis sering
juga mencul karena adanya keharusan PTIS berpayung dua. Di satu sisi fakultas
agama berada di bawah naungan Departemen Agama, sementara di sisi lain fakultas
umum berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tidak jarang
aturan birokrasi yang dikenakan oleh dua departemen ini tidak singkron bagi
kepentingan pengembangan PTIS.[53]
Untuk mengatasi persoalan ini, A.Malik Fadjar mencoba memberikan alternatif
dengan melakukan pendekatan kompetensi. Pendekatan kompetensi membuka kemungkinan
bagi seorang mahasiswa memiliki lebih dari satu kesanggupan. Bagi PTIS yang
memiliki fakultas agama dan umum bisa memprogramkan mahasiswanya memiliki
kesanggupan dalam jenis keahlian dan
tingkat keahlian tertentu di bidang agama dan jenis serta tingkat keahlian
tertentu di bidang studi umum.[54]
Upaya merealisasikan pemberian keahlian ganda ini dapat ditempuh melalui
program kuliah lintas fakultas, sehingga masing-masing fakultas bisa membuka tawaran
berupa program studi minor bagi mahasiswa fakultas lain. Program studi lintas
fakultas ini hanya bisa diterapkan oleh
perguruan tinggi yang memang telah menempatkan fakultas-fakultas umum dan
fakultas-fakultas agama dalam satu atap. Bagi perguruan tinggi yang mengenal
pemisahan antar perguruan tinggi umum dan IAIN, program studi lintas fakultas
ini sebagaimana yang dimaksud tentu tidak bisa dilaksanakan. Padahal untuk
mengembangkan program studi seperti ini sangat mungkin. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 1981, Bab III ayat 1 a yang memungkinkan universitas
atau institut negeri (umum) membuka
fakultas ilmu agama dan kerohanian.[55]
Oleh karena itu IAIN atau PTIS bisa merealisasikan dengan pendekatan
dwikompetensi lewat kerjasama dengan perguruan tinggi umum yang berdekatan.
Pendekatan kompetensi ini hanya salah satu alternatif yang barangkali bisa
dipakai sebagai sintesa untuk melahirkan Ulama Plus atau Sarjana Umum Plus
sebagai produk pendidikan Islam di tingkat pendidikan tinggi yang diidamkan.[56]
A.Malik Fadjar mengemukakan bahwa mutu
masa depan UIN tidak bisa dilihat sekarang, tetapi perlu proses panjang.
Berbagai pernyataan yang menaikkan kebencian dan bahkan hardikan akan gagalnya
pendidikan selama ini perlu diluruskan. Karena berbicara masalah pendidikan adalah berbicara mengenai proses manusia
dalam rentang waktu yang tidak instan, bukan sekadar dari fase ke satu fase, tapi proses yang berkesinambungan.[57]
Lebih lanjut A.Malik Fadjar mengemukakan
bahwa ada empat hal prinsip yang harus dicermati menangani dunia pendidikan dengan mengambil UIN Malang
sebagai pola, sebagai berikut: Pertama.
Proses pertumbuhan (growth) baik
dari aspek institusional, konseptual, maupun prosesnya. Perubahan STAIN Malang
ke UIN Malang, misalnya, dan A.Malik Fadjar mengalami itu, bermula dari
Fakultas Cabang IAIN Sunan Kalijaga, lalu menjadi Fakultas Tarbiyah Cabang IAIN
Sunan Ampel Surabaya, kemudian STAIN Malang, dan akhirnya berubah menjadi UIN
Malang. Hal ini perlu diperhatikan sebagi sebuah sejarah institusi yang harus
dihadirkan ke publik bagaimana pergumulan itu terjadi.
Kedua. Perubahan (change). UIN adalah sebuah
perubahan institusi pendidikan
dari institut atau sekolah tinggi ke universitas. Perubahan ini harus disikapi
dan diapresiasi secara profesional bagaimana "mengubah" struktur akademik,
manajemen, dan macam-macamnya yang lain.
Ketiga, Pembaruan (reform).
UIN bukan sekadar perubahan
status tetapi bagaimana mengembangkan pembaruan baik ke dalam maupun ke
luar. UIN Malang, misalnya, menunjukkan bahwa mahasiswa-mahasiswanya dari
Jurusan MIPA, Psikologi, Bahasa dan Sastra, Ekonomi, dan Tarbiyah adalah mampu
menguasai bahasa Arab dengan aktif dan bahkan sebagiannya hafal Al-Qur’an.
Keempat. Kesinambungan (continuity). Mengelola
pendidikan adalah mengelola masa depan. Masa depan adalah abad IT (Ilmu dan
Teknologi). Untuk itu, maka mengelola kurikulum pendidikan harus mampu
menangkap, mengolah, dan mengelola informasi untuk memasuki dunia masa depan
itu.[58]
Apa yang dikemukakan A.Malik Fadjar
mengenai pengembangan perguruan tinggi
Islam (UIN) ini, adalah karena pendidikan bukan sekadar "perkumpulan
kemasyarakatan" (community), melainkan sebuah investasi manusia/kemanusiaan
(human invesment) dalam rangka membangun peradaban. Peradaban Islam
harus dibangun melalui UIN. UIN sekurang-kurangnya, demikian A.Malik Fadjar, adalah usaha memainkan peran
umat Islam ke dalam persaingan dan pergaulan global (the global game)
yang semakin meningkat. "Umat Islam harus mengambil peran dalam percaturan
dunia global. Bukan sekadar penonton, pengadopsi, dan pengkonsumsi
produk-produk global, tapi bagaimana menjadi penggagas utama perubahan dan
pembaruan global itu.
Gagasan A.Malik Fadjar secara praksis
diwarnai dengan nilai-nilai nasional dan global, karenanya yang perlu
diperhatikan dalam konteks global adalah masalah multikulturalisme dalam
berbagai aspek yang menempel kepadanya. Mengelola pendidikan mensyaratkan pemahaman multikulturalisme dengan
meluaskan pergaulan ke berbagai kawasan
negara, ideologi, organisasi, dan bahkan keyakinan (agama). Melalui hal ini peradaban global Islam
akan terbentuk secara damai, ramah, dan menyejukkan.
Keberhasilan A.Malik Fadjar dalam pengembangan pendidikan, menurut
Azyumardi Azra disebabkan karena A.Malik Fadjar selain melakukan pembaruan
pendidikan Islam dan modernisasi juga berada dalam posisi-posisi yang strategis
untuk mengambil kebijakan baik sebagai
Dirjen Bagais, Menteri Agama, kemudian menjadi Menteri Pendidikan
Nasional. Di sini bedanya A.Malik Fadjar dengan pemikir yang lain. Pemikir lain
mungkin hanya sekedar pemikir, berwacana, merumuskan konsep, sementara A.Malik
Fadjar lebih dari itu pernah jadi rektor UMM, UMS di mana A.Malik Fadjar
sebagai penggerak perubahan itu.[59]
Sedangkan menurut Sofyan Effendi, kemajuan yang dicapai oleh A.Malik Fadjar
adalah dengan melakukan transformasi melalui lembaga pendidikan tinggi baik
pada lembaga yang bernuansa Islam dan umum. Bukan hanya mentransformasikan tapi
mengamalkannya untuk 1)mengangkat harkat dan martabat orang miskin.
2)menanamkan nilai-nilai dasar bangsa ini dari tauhid. 3) memiliki
potensi manajerial yang sangat tinggi. Ketiga potensi inilah yang membawanya
kepada kemajuan, mulai dari Rektor hingga Mendiknas. Manajerial inilah yang
banyak menolong dan memiliki jaringan yang sangat luas. Inilah yang membuat
sukses dan tidak semua pimpinan memiliki itu.[60]
Keberhasilan A.Malik Fadjar ini menurut Husni Rahim dilatarbelakangi dari
aspek pendidikannya, termasuk ketika di PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) 2
tahun di Yogyakarta, IAIN Malang juga dipengaruhi ketika pulang dari Florida
Amarika Serikat. Di lain sisi juga dipengaruhi dari kawan dekat termasuk Syafii
Maarif, Amin Rais dan Nurcholis Madjid. Juga sangat dipengaruhi oleh bahan
bacannya. [61] Di samping itu A.Malik Fadjar sukses
karena dipengaruhi oleh prinsip out of the Box, yaitu bergerak di luar
namun sejalan dengan aturan. Dalam artian peraturan harus tetap ditegakkan
dalam rangka mencapai tujuan.
Sedangkan menurut Muhadjir Effendy bahwa tokoh yang mempengaruhi pemikiran
A.Malik Fadjar di antaranya adalah Muhammad Abduh, yang memiliki pikiran
modernis, Nurcholish Madjid, Gusdur (inilah kawan-kawan beliau sebagai pencari
identitas) termasuk Ayah dan Ibunya sendiri dari keluarga Muhammadiyah yang
keras dan disiplin dalam mendidik. Dari sinilah A. Malik Fadjar terbentuk pola
pikir yang sangat potensial dan juga sangat jeli melihat potensi orang untuk
dijadikan sebagai partner dan kader serta solidaritas yang sangat tinggi.[62]
Inilah di antara keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai A.Malik
Fadjar dalam pengembangan pendidikan Islam. Di samping keberhasilannya itu,
terdapat juga kritikan terhadap A.Malik Fadjar. Menurut Muhadjir Effendy
A.Malik Fadjar terlalu percaya pada partner
tapi jarang melakukan kontrol, merasa percaya penuh untuk mengeksplorasi
gagasan-gagasannya dan tidak was-was sedikitpun.[63] Di samping itu menurut Sofyan Effendi
bahwa orang-orang dekat termasuk pembantunya tidak berani mengajukan
pandangan-pandangan yang berbeda dengan A.Malik Fadjar ketika jadi Menteri, hal
ini cenderung dapat melemahkan bahkan merusak, demikian juga ada yang tidak
sejalan dengan A.Malik Fadjar, ada kelompok yang tidak sepaham dengan beliau.
Mereka itu pada umumnya adalah orang-orang yang tidak mau maju, lambat
menyikapi pemikiran beliau. Loncatan pikiran A.Malik Fadjar sangat maju dan
dianggap dalam bahasa Jawa nyeleneh (aneh-aneh). Masih banyak
teman-teman dekat termasuk di Muhammadiyah yang kurang bisa memahami
pemikiran–pemikiran A.Malik Fadjar.[64]
Pandangan Muhadjir Effendy dan Sofyan Effendi di atas tidak sepenuhnya
benar karena menurut Azyumardi Azra, terdapat perbedaan pendapat antara beliau
dengan A.Malik Fadjar waktu perubahan IAIN menjadi UIN. A.Malik Fadjar
menginginkan agar semua fakultas-fakultas agama digabung menjadi satu dan IAIN
menjadi Universitas Syarif Hidayatullah. Kalau seperti itu keinginan A.Malik
Fadjar, maka menurut Azyumardi Azra tidak usah saja IAIN ini diubah. Tetapi
setelah beberapa kali melakukan negosiasi, akhirnya A.Malik Fadjar menyetujui
pendapat Azyumardi Azra sebagaimana UIN yang sekarang ini. Berkaitan dengan
kurangnya kontrol A.Malik Fadjar, maka hal ini dapat dibenarkan karena A.Malik
Fadjar lebih menekankan otonomi[65] sehingga tidak terlalu perlu untuk
melakukan pengawasan.
Oleh karena itu, STAIN/IAIN
Menuju UIN yang digagas oleh A.Malik Fadjar dapat
dipahami lebih berpijak pada konsep tauhid yang bermuara pada reintegrasi
keilmuan baik ilmu-ilmu umum maupun agama, agar lebih kompetitif sebagai respon dari tantangan otonomisasi dan
globalisasi. Dengan demikian sinergi keilmuan tersebut akan menciptakan
atmosfir akademik yang kondusif sebagai cetak
biru "Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif” yaitu lahirnya
cendekia-cendekia Muslim yang berfikir kreatif, otentik, orisinal dan
fungsional di masyarakat luas.
4. Kesimpulan
Dikembangkannya IAIN/STAIN menuju UIN. Hal tersebut merupakan respons
positif dan konstruktif terhadap tantangan dunia pendidikan yang menglobal.
Dengan demikian dapat memproduk alumni-alumni yang memiliki competitive
adventage, daya saing yang andal dan tangguh dalam menghadapi tantangan
zaman. Perubahan IAIN menjadi UIN, dapat dilihat antara lain diresmikannya UIN
Jakarta pada tanggal 08 Juni 2002, (Keppres Nomor 31 tahun 2002), UIN Sunan
Kalijaga Yokyakarta (Keppres Nomor 50 Tahun 2004) dan UIN Malang (Keppres Nomor
50 Tahun 2004). menyusul
kemudian UIN Pekan Baru Riau, UIN Makassar dan UIN Bandung. Semoga STAIN/ IAIN
lainnya khususnya Manado dapat menyusul dengan mempersiapkan SDM yang memadai,
sehingga dapat kempetitif dan marekatabel dalam mersepon tantangan zaman ke
depan. Wallahu a’llam bissawab
Dftar
Pustaka
A.Palmer, Joy
(ed), Fifty Major Thinkers on Education, (London: Routledge, 2001).
Abdullah, Amin, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Ali, Fachry,
Kontinuitas dan Perubahan: Catatan Sejarah Social Budaya Alumni IAIN dalam Problem dan Prospek IAIN, (Jakarta: Ditbinperta, 2000).
Amin, Muhammadiyah, Makalah yang
disampaikan pada kuliah umum STAIN Manado tanggal 30 Maret 2009.
Arief, Armai Reformulasi
Pendidikan, (Jakarta: CRSD Press, 2005).
Azra, Azyumardi, ”Model Perubahan
IAIN Alauddin Menjadi UIN; Sebuah Tawaran Berdasarkan Pengalaman UIN Jakarta”
dalam Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, (Makassar: Alauddin Press, 2005).
---------, Islam Subtantif:
Agar Umat Tidak Jadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000).
Batubara, Muhyi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat
Press, 2004), h. 29
Charles, Hoy. Et.al., Improving Quality in
Education, (New York: Falmer Press, 1999).
Dewey, Jhon, “Eksperiences an Education” dalam James
Wm., Taking Sides: Clashing Viwes on Controversial Educational Issues,
(America: Mc Graw-Hill Duskhin, 2005).
-----------, Democracy and Education: An
Introduction to The Philosophy of Education, (New York: The Macmillan
Company, 1964).
Fadjar, A. Malik, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia: 1999).
-------------------,
Holistika Pemikiran Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005).
------------------, Kata Pengantar dalam
Dodi Nandika, Pendidikan di Tengah
Gelombang Perubahan, ( Jakarta: LP3ES, 2007).
Fazlurrahman, Islam, (Chicago: The University
of Chicago Press, 1979).
Feisal, Yusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam,
(Gema Insani Press, 1995).
http://www.dikda.% ein.org/hal=6&id=5. Tanggal 11
Mei 2007.
IAIN Syarif Hidayatullah, Proposal
konversi IAIN Menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2000.
Idris, Muhammad, Pemberdayaan Kualitas Umat Menuju
Masyarakat Madani (Sebuah opsi memasuki masyarakat yang membebaskan) (Tesis PPs. IAIN–Sekarang UIN Makassar 2006)
---------------------,“Reformasi
Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional”, Jurnal Iqra, No. 2.
Tahun 2007.
---------------------, Visi dan Praksis A.Malik
Fadjar Dalam Pengembangan Pendidikan Islam, (Disertsi SPS UIN Jakarta 2008).
--------------------,Pola
dasar pembaruan Dalam Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar, dalam Jurnal
Iqra’ Vol. 6-Desember 2008.
Imam Tholkhah
dan Ahmad Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan
Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, h.108
Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi
Agama Islam, Perta, Vol. VII/No. 01/ 2004,
Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi
Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2003).
Kerr, Clark, The Uses of the University, (New
York: Harvard University Press, 1964).
M.Thomson, Merrit, The History of Education, (New
York: Barnes Noble INC Publisher, 1973).
Maarif, A.Syafii, Peta Bumi Intelektualisme Islam
di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993).
Muchtar, Affandi, Mamahami Perguruan Islam, Pelita,
Mei 2003, Kemudian bandingkan pula Atho Munzhor tentang Sejarah Singkat
IAIN,
Nata,
Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001).
Suwito dan Suprapto, “IAIN
Menjadi Universitas?”, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XVIII, No.2,
2001.
Suyanto, Dinamika Pendidikan
Nasional,(Dalam Percaturan Dunia Global), (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006).
T.S. Sodhi, A. Tex Book of Comparative Education
Philosophy, Patterns and Problems of Nasional Systems, (Delhi: Vikas
Publishing, 1983).
Wilson, Bryan, Religion in Sociologi Perspective, (New York: Oxpord University Press,
1982).
§ Dosen tetap Pada Fakultas Tarbiyah Dan
Keguruan STAIN Manado.
[1] Lihat, Muhammad Idris, Pola dasar pembaruan Dalam Pemikiran Pendidikan
A. Malik Fadjar, dalam Jurnal Iqra’ Vol. 6-Desember 2008.
[2]A. Malik Fadjar, Holistika
Pemikiran Pendidikan, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2005), h.275. Insan kamil
A.Malik Fadjar dapat dipahami ketika integralnya sains (zikir) teknologi
(fikir) dalam diri peserta didik. Dengan demikian peserta didik dapat berfikir
rasional untuk menjadi penggerak masyarakat luas secara praksis.
[3] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008. Sains dan teknologi bukan
barang baru sejak Nabi Muhammad Saw, melakukan isra’ dan mi’raj dapat
diasosiasikan telah mlakukan perjalanan melalui desain teknologi yang begitu
cepat melalui cahaya (teknologi) untuk menerima perintah Allah demi
kemaslahatan manusia di bumi
[4] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[6]Joy A.Palmer. (ed), Fifty Major Thinkers on Education,
(London: Routledge, 2001), 177. Bandingkan pula, Merrit M.Thomson, The
History of Education, (New York: Barnes Noble INC Publisher, 1973), h.51.
[7] John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to The
Philosophy of Education, (New York: The Macmillan Company, 1964), h.
1.Lihat pula Jhon Dewey, “Eksperiences an Education” dalam James Wm., Taking
Sides: Clashing Viwes on Controversial Educational Issues, (America: Mc
Graw-Hill Duskhin, 2005), h. 4-5.
[8] John Dewey, Democracy and Education: An Introduction to The
Philosophy of Education, h. 3. Lihat juga A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, h. 35.
[9] http://www.dikda.%
ein.org/hal=6&id=5. Tanggal 11 Mei 2007.
[10] Yusuf Amir Feisal, Reorientasi
Pendidikan Islam, (Gema Insani Press, 1995), h.88
[11] Armai Arief, Reformulasi Pendidikan, (Jakarta:
CRSD Press, 2005), h. 124
[12]A.Malik Fadjar, Kata Pengantar dalam Dodi Nandika, Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, (
Jakarta: LP3ES, 2007), h.xix.
[13] Muhammad Idris, “Reformasi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional”, Jurnal Iqra, No. 2. Tahun 2007
[14] Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional,(Dalam Percaturan Dunia Global), (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2006), h.61. Pendidikan harus mampu menyiapkan sumber daya
manusia yang tidak sekedar penerima arus informasi global, tetapi harus
memberikan bekal kepada mereka agar dapat mengolah, menyesuaikan, dan
mengembangkan apa yang diterima melalui arus informasi itu, yaitu manusia yang
kreatif dan produktif, sehingga pendidikan dalam hal ini harus ditempatkan pada
visi sebagai agen pembangunan dan dan perkembangan yang tidak ketinggalan
zaman. Manusia yang kreatif dan produktif ini yang harus dijadikan visi
pendidikan termasuk pendidikan Islam, karena manusia yang demikianlah yang
didambakan kehadirannya, baik secara individual,
social, maupun nasional. Masyarakat akan sangat kecewa manakala dunia
pendidikan justru menghasilkan manusia yang malas, tradisional, kurang peka dan
konsumtif. Lihat Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta:
Grasindo, 2001), h. 83-84. Pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan saat
ini cenderung berhasil membina kecerdasan intelektual, dan keterampilan, dan
kurang berhasil menumbuhkan kecerdasan emosional. Hal ini terjadi karena beberapa sebab, di antaranya adalah pertama, pendidikan
yang diselenggarakan saat ini cenderung hanya pengajaran, dan bukan
pendidikan. Kedua, pendidikan saat ini sudah berubah dari orientasi
nilai dan idealisme yang berjangka panjang kepada yang bersifat materialisme,
individualisme, dan mementingkan tujuan jangka pendek. Ketiga, metode
pendidikan yang diterapkan tidak bertolak dari pandangan yang melihat manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan
memiliki potensi yang bukan hanya potensi intelektual, tetapi juga
potensi emosional. Keempat, pendidikan Islam kurang mengarahkan siswanya
untuk mampu merespon berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat,
sehingga terjadi kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia kehidupan di
masyarakat. Lihat Abuddin Nata, Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2003), h. 53-54
[15] Fazlurrahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago
Press, 1979), h. 260
[16] Lihat, Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi
Agama Islam, Perta, Vol. VII/No. 01/ 2004, Lihat pula Affandi Muchtar,
Mamahami Perguruan Islam, Pelita, Mei 2003, Kemudian bandingkan pula
Atho Munzhor tentang Sejarah Singkat IAIN,
[19] Lihat, Jurnal Innovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Perta, Vol.
VII/No. 01/ 2004, Bandingkan pula Muhammadiyah Amin, Makalah yang disampaikan
pada kuliah umum STAIN Manado tanggal 30 Maret 2009
[20] Lihat, Muhammadiyah Amin, Makalah yang disampaikan pada kuliah umum
STAIN Manado tanggal 30 Maret 2009
[22]Lihat, Muhammad Idris, Pemberdayaan
Kualitas Umat Menuju Masyarakat Madani (Sebuah opsi memasuki masyarakat yang
membebaskan) (PPs. IAIN– Sekarang UIN
Makassar 2008)
[25] A.Malik Fadjar,
Holistika Pemikiran Pendidikan, h.37.
Visi dan orientasi pendidikan
Islam sebagai lembaga yang melestarikan nilai-nilai luhur dalam membangun
peradaban manusia yang bermartabat dan memperbaiki penyimpangan yang diakibatkan oleh pengaruh era globalisasi
tersebut. Dengan demikian pendidikan
harus mempersiapkan sumber daya manusia yang besar dan mampu menerima, serta
menyesuaikan dan mengembangkan arus perubahan yang terjadi dalam
lingkungannya.
[26] Wider mandate merupakan “mandat yang diperluas” adalah istilah yang
dikembangkan oleh Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional untuk
menyatakan pemberian kewenangan yang diperluas bagi STAIN/IAIN guna mengembangkan
institusinya. Hal tersebut merupakan strategi awal, sekaligus program strategis
jangka panjang, sebagai upaya IAIN mentransformasikan lembaganya menjadi
UIN. Penting diketahui pada proses
sejarahnya bahwa “Konsep IAIN Wider
Mandate ini mulai dipopulerkan dan di laksanakan pada masa Azyumardi Azra, sebagai Rektor IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Seperti Teknik Informatika, Agrobisnis, Manajemen,
Ekonomi, dan Psikologi yang secara keseluruhan telah mengacu pada kurikulum
Diknas. Namun demikian, upaya melakukan
perubahan IAIN menjadi UIN dalam
prakteknya bukanlah pekerjaan yang mudah. Di samping harus adanya kemauan yang keras, kesungguhan, serta kemampuan
yang dimiliki oleh para pimpinan dan pengelola IAIN saat ini, juga harus
dipertimbangkan tentang kemampuan mengelola, meningkatkan dan mengembangkannya
secara berkesinambungan. Hal ini perlu ditegaskan karena beban yang harus
dipikul dan permasalahan yang harus diatasi juga akan semakin berat, besar dan
kompleks. Namun kini kaki sudah dilangkahkan,
layar sudah dikembangkan, dan gendarang UIN sudah dipukul. Tidak ada
alternatif lain kecuali terus mewujudkannya. Berbagai upaya ke arah itu sedang
dilakukan secara intensif. Orang-orang yang mengkhawatirkan atas terjadinya
penghapusan atau penciutan Fakultas-fakultas Agama yang diakibatkan oleh
perubahan IAIN menjadi UIN tersebut sudah dicarikan jawabannya. Lihat Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.73-75. Lihat Pula Amril
Mansur, dkk, Paradigma Baru; Reformulasi Pendidikan Tinggi Islam, h.109
[27] Fachry Ali, Kontinuitas dan Perubahan:
Catatan Sejarah Social Budaya Alumni
IAIN dalam Problem dan Prospek
IAIN, (Jakarta: Ditbinperta, 2000), h. 371
[28] A.Malik Fadjar,
Holistika Pemikiran Pendidikan, h.37. Dalam
era globalisasi industrialisasi, peran pendidikan tidak terfokus pada
penyiapan sumber daya manusia yang siap pakai mengingat kecenderungan yang terjadi dalam dunia kerja sangat
cepat berubah dalam era ini.
Sebaliknya, pendidikan harus mempersiapkan sumber daya manusia yang
adaptif, mampu menerima, serta mampu menyesuaikan dan mengembangkan arus
perubahan yang terjadi dalam lingkungannya.
[29]Azyumardi Azra, ”Model Perubahan IAIN
Alauddin Menjadi UIN; Sebuah Tawaran Berdasarkan Pengalaman UIN Jakarta” dalam
Hadi D. Mapuna dkk. (Ed.), Dulu IAIN Kini UIN Alauddin, (Makassar: Alauddin Press, 2005), h. 82-83.
Pendidikan merupakan usaha kemanusiaan yang dilakukan secara sadar dan rasional
pencapaian cita-cita kemanusiaan yang tak pernah selesai dan tidak dapat
dicapai oleh hanya satu generasi belaka. Selanjutnya ketika manusia kemudian
menyadari bahwa cita-cita dan harapan manusia jauh melampui batas-batas usia
manusia sendiri bahkan batas generasi dan zamannya, maka pendidikan dan rekayasa
generasi masa-depan mulai dikembangkan dan dikonsep sebagai usaha sadar yang
tak pernah berakhir. Oleh karena itu secara sistematis setiap usaha pendidikan
merupakan bagian integral dari sebuah rekayasa sejarah.
[30] Suwito dan Suprapto, “IAIN Menjadi
Universitas?”, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XVIII, No.2, 2001,
160-161. Kualitas sumber daya manusia tidak hanya dapat diukur relevansinya
secara internal yaitu berdasarkan kecocokan kualitasnya dengan sistem
pendidikan tetapi juga harus memungkinkan kualitas tersebut dapat diukur
relevansinya secara eksternal yaitu sesuai atau tidak dengan kebutuhan
masyarakat, dalam dunia ekonomi, industri, budaya, maupun yang lainnya. Dan yang tidak kurang pentingnya,
relevansinya dapat diukur dengan kesanggupannya untuk bersaing secara
internasional. Kemajuan tidak hanya
diukur oleh kemampuannya berswasembada, tetapi juga diukur oleh kemampuannya
untuk mempertahankan diri, mengimbangi, bahkan mengalahkan kekuatan yang
datang dari luar, khususnya yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang
mengembangkan kemakmuran masyarakat dan kemampuan berkompetisi sebagai bangsa
di hadapan bangsa-bangsa lain.
[31] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[32] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran
Pendidikan, h.42. Semangat corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam
ialah pendidikan yang mampu membentuk “manusia yang unggul secara intelektual,
kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan”. Untuk meraih tujuan
ini diperlukan-suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat
dari cita-cita Al-Qur’an tentang manusia. Sehingga pendidikan Islam harus dinamis
dan menjadi obor dalam berpacu dan menghadapi perubahan social. Konservasi
budaya yang selektif mengharuskan pendidikan untuk menumbuhkan pemahaman yang
benar tentang kebutuhan dan tantangan masa depan manusia..
[33] Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 98. Fakultas agama bukan tradisinya tapi semangat
nilai keberagamaan yang tetap dipertahankan dan dilanggengkan dalam program
sehingga akan terjadi dinamika dalam pengembangannya.
[34] Amin Abdullah, Islamic Studies di
Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonnektif, h. 98. Lihat pula
Bambang Hidayat, Mozaik Pemikiran Sejarah dan Sains untuk Masa Depan, (Jakarta:
PT. Kiblat, 2004), h.196. Titik sentralnya ialah manusia yang mampu merebut
atribut budaya melalui pengetahuan dan teknologi. Karena, walaupun belum
secara eksplisit dinyatakan, kita dapat mengindera bahwa manusia yang siap di
bidang itulah kelak akan mampu menolong masyarakatnya melepaskan diri dari
kaitan-kaitan primordial dan berguna untuk masyarakat luas ke depan.
[35] A.Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1993), h.153
[36] Charles Hoy. Et.al., Improving Quality in Education, (New
York: Falmer Press, 1999), h.2 Bandingkan Pula, Bryan Wilson, Religion in
Sociologi Perspective, (New York:
Oxpord University Press, 1982), h. 6
[37] Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih,
(Bandung: Mizan, 2000), h.422
[38] T.S. Sodhi, A. Tex Book of Comparative Education Philosophy,
Patterns and Problems of Nasional Systems, (Delhi: Vikas Publishing, 1983),
h.77. Lihat pula, Clark Kerr, The Uses of the University, (New York:
Harvard University Press, 1964), h. 47
[39] Perubahan IAIN dari institut menjadi
universitas bukanlah perubahan tanpa rencana, ia merupakan rencana strategic
karena adanya berbagai tantangan ke depan dan berkait erat dengan tujuan
strategi nasional pendidikan tinggi yang menjadi acuan bagi pengembangan
organisasi IAIN. Adapun tantangan dan masalah yang dihadapi IAIN/STAIN, antara
lain : 1.Pengembangan IAIN Jakarta dan IAIN Yogyakarta sebagai “IAIN Pembina”
yang bertugas membina dan mengembangkan IAIN dan STAIN lainnya. Kedua IAIN ini akan
dikembangkan dengan konsep dasar “IAIN dengan mandat yang lebih luas” (wider
mandate). Dengan konsep ini, IAIN lebih lues tidak hanya dalam bidang
agama, melainkan juga dalam bidang-bidang ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu
alam/eksakta. Dengan mandat yang lebih
luas ini, maka upaya untuk mengintegrasikan “Ilmu agama” dan “Ilmu umum” dapat
direalisasikan. 2.Peningkatan otonomi IAIN. Dengan otonomi yang lebih besar,
IAIN dapat mengembangkan dirinya secara lebih maksimal, baik dalam bidang
ilmiah akademik maupun dalam manajemen dan keuangan. 3.Peningkatan
akuntabilitas IAIN dari segi kelembagaan dan akademis, sehingga kelembagaan
IAIN lebih kokoh dan alumninya juga lebih maju, baik dalam ilmu agama (yang
menjadi basic-nya) maupun dalam ilmu umum, serta keahlian dan keterampilannya.
4.Peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi lainnya baik di dalam maupun
di luar negeri, guna menciptakan sinergi yang dapat mendorong akselarasi
peningkatan mutu pendidikan di IAIN. Lihat Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Ciputat
Press, 2004), h. 29
[41] Suwito dan Suparto,
“IAIN Menjadi Universitas”, Dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol.XVIII,No.2, 2000, h. 155
[42] Imam Tholkhah dan Ahmad
Barizi, Membuka Jendela Pendidikan: Mengurai Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, h.108
[43]A.Malik Fadjar,
Holistika Pemikiran Pendidikan, h.38. Manusia
yang produktif adalah manusia yang
memiliki ciri-ciri dasar: percaya kepada dirinya sendiri sebagai akibat
dari kesediaan serta kemampuannya untuk menerima
seluruh keadaan dirinya secara (ikhlas)), mencintai lingkungannya,
memahami persoalan dan kebutuhan zamannya, dan dapat bekerja berdasarkan metode
tertentu.
[44] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[45] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran
Pendidikan, h. 39. Dengan keyakinan seperti di atas, pendidikan Islam telah
menempati posisi yang sangat central dalam kehidupan manusia dan sejalan pula
dengan cita-cita pendidikan. Dan melalui cara tersebut dapat pula terjamin
kelangsungan hidup manusia secara lebih bahagia, damai dan sejahtera baik untuk
dunia maupun bagi akhirat.
[46] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[47] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[48] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[49] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu
dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), h. 12
[50] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu
dalam Perspektif Filsafat Islam, h. 27
[51] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 27
[52] A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, h. 107
[53] A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, h. 107-108
[54] A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, h. 107-108
[55] A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, h. 110-111
[56] A.Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan
Islam, h. 111
[57] A.Malik Fadjar, Holistika Pemikiran
Pendidikan, h.40
[58] A.Malik Fadjar, Holistika
Pemikiran Pendidikan, h. 40-41. Pengembangan pendidikan berwawasan global
memiliki implikasi luas dengan perombakan kurikulum pendidikan. Mata pelajaran
dan mata kuliah yang dikembangkan tidak lagi bersifat monolitik melainkan
lebih banyak yang bersifat holistik. Dalam arti mata kuliah lebih ditekankan pada kajian yang bersifat Integral yang
bermuatan pada multidispliner, interdisipliner dan transdisipliner.
[59] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[60] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[61] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[62] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[63] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[64] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
[65] Muhammad Idris, Visi dan Praksis A.Malik Fadjar Dalam Pengembangan
Pendidikan Islam, Disertsi SPS UIN Jakarta 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar