HEGEMONI FILSAFAT YUNANI
DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
( SUATU TINJAUAN SEJARAH )
Muh.Idris
Dosen Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Manado
e-mail
:idrispasca_uin@yahoo.co.id
Abstrak
Dengan adanya kontak pemikiran filsafat
Yunani, umat Islam terinsfirasi dan terobsesi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Dalam spectrum sejarah perkembangan pemikiran, umat Islam
mengalami kemajuan yang signifikan ketika pada masa Umayyah dan puncaknya pada
fase Abbasiyah. Dalam konteks sejarah tersebut, dapat dilihat dari pakar-pakar
Muslim di berbagai lapangan pengetahuan, seperti AI-Kindi (801-837), Al-Farabi
(W.950), dan Ibn Maskawaih (W.1030) yang menggeluti lapangan filsafat; Ibn Sina
(980-1037) dan Ibn Bajah (1160-1138) ahli di bidang kedokteran, Jabir ibn
Hayyan (720-815) dan Al-Khawarizmi (780-850) yang masing-masing merupakan ahli
kimia dan matematika, serta Al-Thabari (839-922) ahli dalam bidang sejarah dan hukum.
Dalam perspektif historis,
jelas bahwa bangunan pengetahuan Islam pada saat itu dibangun atas
kerjasama dengan Yunani.
Kata Kunci, Sejarah filsafat, Islam dan
Hellenisme, Filsafat dan teoro pendidikan
A.
PENDAHULUAN
Sejarah pemikiran filosofis masuk ke
dalam dunia Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam
di Surya, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan falsafat Yunani datang
ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Yang Agung ke Timur di abad
ke-empat sebelum Kristus.[1] Politik Alexander untuk mneyatukan
kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan bekas besar di
daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat
kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Surya, Jundisyapur
di Mesopotamia dan Bactra di Persia.
Di zaman Bani Umayyah, karena
perhatian lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab, pengaruh kebudayaan
Yunani terhadap Islam belum begitu
kelihatan. Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang
berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi
orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah, yang telah lama bergelut dan
berkecimpung dalam budaya dan peradaban Yunani.
Sejarah fase pengembangan Ilmu pengetahuan yang
menonjol dalam sejarah tepatnya pada
masa pemerintahan Bani Abbas, yang
tertarik pada ilmu kedokteran Yunani dengan cara pengobatannya. Kemudian
tertarik pada ilmu pengetahuan lain dan Filsafat. Perhatian pada ilmu Falsafat
meningkat di zaman khalifah al-Ma’kmun (813-833), putra Harun Al-Rasyid.[2]
Pada fase
pemerintahan inilah sangat mendukung pengembangan ilmu pengetahuan baik secara politik maupun sosial dengan bersentuhannya pemikiran Yunani[3]. Dengan terjadinya perkawinan ilmu
melalui terjemahan yang memberi pengaruh
positif dan konstruktif dalam membangun
peradaban dan pendidikan Islam pada masa itu. Sejak itu sudah ada tokoh-tokoh
pemikir yang memberi andil dalam membangun budaya berfikir yang sangat
berpengaruh positif pada kemajuan pendidikan Islam.
Pendidikan adalah suatu ukuran yang
sangat penting bagi kemajuan bangsa (umat). Persoalnnya sejauhmana sikap umat
Islam dalam mengakomodir ilmu-ilmu lain termasuk Filsafat ? Bagaimana hubungan Islam dan Pemikiran Hellenisme dan refleksi
filsafat Yunani dalam Pendidikan Islam?
Persoalan-persoalan tersebut kami mencoba menelaah dalam makalah ini.
Sejak Nabi Muhammad saw. telah memproklamirkan bahwa pendidikan itu melekat
dalam hidup dan kehidupan dan berujung memberi rahmat seluruh alam semesta.
Dengan demikian maka ilmu semakin berkembang apalagi
dengan bersentuhannya dengan filsafat Yunani maka pemikiran lebih terkooptasi
dalam bingkai yang sistematis, logis dan menyeluruh (universal) dari berbagai
disiplin ilmu yang relefan. Pendidikan Islam semakin lengkap dan paripurna
dengan dilandasi ajaran Islam tentang hakekat kemampuan manusia untuk dapat
dibina dan dikembangkan, serta dibimbing
menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya di jiwai oleh ajaran agama
Islam.
B. PERKEMBANGAN FILSAFAT.
Sejarah menunjukan bahwa kini filsafat tidak lagi membawa
pemikiran pada subjek besar sebagaimana masa lalu, kemajuan ilmu pengetahuan
dan terutama ilmu pengetahuan yang telah
menggoyahkan dasar-dasar pemikiran filsafat. Banyak hal yang semula
merupakan salah satu bagian dari ilmu filsafat yang membahas tentang ilmu asal
(Epistimologi), kini telah menjadi topik pokok perhatian dari pada ilmu-ilmu
filosofis dan psikologis.
Kosmologi telah berhasil meneliti
dalam astronomi dan fisika dengan cemerlang berhasil memodifikasikan diri lewat
karya-karya tokoh-tokoh ahli matematika. Begitu juga metafisika dan etika.
Tanpa meninggalkan cacat sedikitpun. Tidak terhindar dari kemajuan ilmu
pengetahuan banyak para ahli filsafat modern menolak sama sekali seluruh
pernyataan-pernyataan metafisika sebagai omong kosong, karena keyakinan
terhadap pernyataan-pernyataan itu tidak didasarkan pada penelitian
setidak-tidaknya sebagai kerangka yang biasa digunakan. Ini bermakna bahwa para
filosofis itu berarti menjelaskan bahwa pernyataan-pernyataan etis itu tidak
berdasarkan fakta tetapi hanyalah untuk kalimat-kalimat yang tidak dibuktikan
walaupun rasionalnya barangkali membenarkan.
Namun begitu tidak berarti bahwa
para filosof itu semuannya bersifat skeptis. Hal ini nampak dalam komentar
berikut, yaitu filsafat meskipun kejayaanya tidak lama dan termasuk semua
subyek yang semasa Plato pokok persoalannya kebanyakan boleh dikatakan sebagai
kemutlakan, kekekalan dan keabadian telah luntur; akan tetapi tidak berarti
mereka itu tergolong orang yang meragukan.
Pada
mulanya filsafat memang diakui sebagai induk ilmu pengetahuan (the mother
of sciences).[4]
Mulanya filsafat harus mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu dan
segala macam hal. Soal-soal yang berhubungan dengan alam semesta, manusia
dengan segala problematika dalam kehidupannya dibicarakan oleh filsafat.
Filsafat dengan cara
kerjanya yang bersifat sistematis, universal dan radikal, yang mengupas
menganalisis, sesuatu secara mendalam.[5]
Ternyata sangat relefan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia, serta
mampu menjadi perekat kembali antara
berbagai macam disipslin ilmu yang terpisah kaitaannya satu sama lain. dengan
demikian, analisa filsafat berbagai macam disiplin ilmu yang berkembang
sekarang ini akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan
masyarakat dan akan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan
hidup manusia.
Dengan jasa
ilmu Filsafat yang fungsional, banyak tokoh-tokoh pemikir yang termashur baik.
Socrates, Plato, Aristoteles dan lain-lain. Begitu juga tokoh pemikir di
kalangan umat Islam, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Rusyd, Ibn Sina dan
sebagainya. Semua tokoh pemikir kaliber tersebut terilhami ilmu filsafat yang
mengubah budaya dan peradaban manusia yang semakin mensemesta di sentero alam jagad raya.
Dengan demikian pendidikan yang terkooptasi dengan
filsafat mengalami dinamika dan dialektika yang intens dalam mengubah peradaban
manusia yang semakin maju. Hal ini didasari dengan pendidikan yang sistematis,
sebagaimana idealisme, realisme, pragmatisme, liberalisme dan lain-lain.
C. ISLAM DAN PEMIKIRAN HELLENISME
Manusia
merupakan makhluk berbudaya dan berperadaban. Sebagai bagian dari alam semesta,
manusia dengan segala potensinya dituntut untuk mampu mengelola alam semesta menjadi alam budaya sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan hidup
manusia. Tuntutan ini pada akhirnya menjadikan manusia mampu melahirkan
kebudayaan yang besar. Dengan kebudayaan ini manusia dapat bertahan hidup.
Karena
sifat pembawaan manusia yang berbudaya, setiap masyarakat atau bangsa selalu
memilki kebudayaan masing-masing sesuai corak watak manusia maupun alamnya.
Untuk mencapai kebudayaan yang maju, suatu bangsa harus bersikap ingklusif
menerima warisan budaya dari generasi lama, membuang kebudayaan lama dan
menggantikannya dengan yang baru, atau dengan mentransfer kebudayaan bangsa
lain. Untuk melaksanakan fungsi
tersebut, pendidikan adalah lembaga yang paling efektif. Pendidikan mempunyai
peranan dalam mengubah dan memindahkan nilai-nilai kebudayaan kepada setiap
individu dalam masyarakat dan mengolah kebudayaan tersebut menjadi sikap mental
tingkah laku, bahkan menjadi kepribadian.
Ketika
Islam lahir, bangsa Arab dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang berkebudayaan
tinggi dan megah, seperti Persia, Romawi, Yunani, dan India. Sebagai masyarakat
yang baru lahir, jika Islam hendak memilki kebudayaan dan peradaban yang
tinggi, maka harus mempelajari kebudayaan bangsa-bangsa lain yang jauh lebih
maju. Usaha itu telah dilakukan oleh umat Islam di zaman klasik, khususnya di
zaman sejak masa Dinasti Umayyah.
Adopsi kebudayaan bangsa-bangsa lain ke dalam
Islam lebih banyak berupa transmisi keilmuan bangsa lain ke dalam Islam dengan
menggunakan pendidikan sebagai medianya, misalnya dengan mempelajari secara
langsung peradaban bangsa lain. Cara lainnya adalah dengan menerjemahkan
literatur-literatur non Islam. Cara inilah yang membuat pendidikan Islam
berkembang dengan munculnya lembaga penerjemahan, seperti Bait al-Hikmah dan sekolah-sekolah
penerjemahan. Penerjemahan tersebut kemudian menggugah rasa tertarik umat Islam
untuk mempelajarinya dengan mengambil hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam.
Selanjutnya mereka mengembangkan menjadi karya-karya yang asli milik umat
Islam.
Transmisi keilmuan non-Islam yang
dilakukan oleh umat Islam pada zaman klasik sebagian besar berupa pemikiran
warisan Yunani. Walaupun ada juga pemikiran dari India, tatapi kebudayaan
Yunanilah yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan peradaban Islam.
Dalam uraian berikut ini, penulis hanya menjelaskan transmisi pemikiran Yunani
karena pengaruhnya yang besar bagi peradaban Islam penerjemahan pemikiran
Yunani dilakukan jauh lebih besar dari pada pemikiran-pemikiran lainnya.
Adapun pemikiran warisan Yunani yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab bukan hanya literatur-literatur dimasa
Yunani kuno, tetapi juga
literatur-literatur di masa sesudahnya atau Helenistik, yaitu masa sesudah
meninggalnya Alexander Agung sampai berkuasanya Romawi atas wilayah-wilayah
Hellenistik. Pemikiran Yunani yang ditransfer ke dalam Islam di samping warisan
Hellenis, juga warisan intelektual Hellenistik, yang keduanya di sini disebut
dengan Hellenisme.[6]
Proses transmisi literatur Hellenistik tidak bisa
terlepas dari peranan besar para sarjana yang ahli di bidang pemikiran
Hellenistik. Sekitar abad ke-5 dan ke-6, migrasi sarjana-sarjana Athena,
Alexandria, dan Bizantium ke wilayah-wilayah perlindungan Islam membawa warisan
ilmu dari masa Hellenistik ke wilayah Utara Mesopotamia dan ke Jundispur, dekat
Persia.[7]
Stanton menyatakan bahwa
usaha utama bagi perkembangan pusat Hellenistik ialah kerena hadirnya kaun
Nestorian dari Konstantinopel karena diusir oleh Raja Leon. Mereka menetap di
Edessa kemudian ke Nissibi.[8] Di tempat pelarian ini mereka
,menerjemahkan buku-buku sains dan filsafat dari bahasa Yunani ke dalam bahasa
Syiria.[9]
Pemikiran Hellenistik pertama kali menjadi perhatian umat
Islam setelah mereka tertarik kepada teologi. Perdebatan antara umat Islam dan
Kristen yang dilaksanakan di
majelis-majelis oleh khalifah-khalifah Dinasti Umayyah, menyebakan umat Islam
mengenal kebudayaan Hellenistik, yang
bermuatan argumen-argumen rasional, dan ilmu sastra.[10]
Ketertarikan umat Islam terhadap kebudayaan Yunani
dilanjutkan dengan penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab.
Penerjemahan ini pertama kali dilaksanakan di masa Dinasti Umayyah.
Ketertarikan umat Islam akan warisan Yunani semakin besar setelah terjadi
kontak yang makin dekat dengan warisan
Yunani. Semenjak al-Mansur naik Tahta, umat Islam semakin hari semakin terbawa
oleh pengaruh peradaban Yunani. Karena merasa kurang aman berada di
tengah-tengah orang Arab yang selalu berebut kekuasaan, al-Mansur memindahkan
pusat pemerintahannya ke bagdad, dekat ibu kota Persia, Ctesiphon, sekitar 762
M. Tentara pengawal al-Manshur juga
diangkat oleh orang-orang Persia, yaitu Khalid bin Barmark, yang berasal dari
Balkh Persia, diangkat sebagai wazir.[11]
Keluarga Barmark yang berasal dari Balkh (Bactra)-pusat
ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Persia mempunyai pengaruh dalam
menegmbangkan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di Baghdad. Di samping
sebagai wazir, mereka juga menjadi pendidik dari anak-anak khalifah. Khalifah
al-Mansur juga mengangkat seorang doketer utama yang berasal dari pusat
pengobatan terkenal di Jundispur,[12]
yaitu Jurjis bin Bakhsitu, seorang Kristen Nestorian, dimana anaknya
juga menggantikan kedudukannya. Kehadiran ilmuan-ilmuan dan dokter-dokter dari
Persia mempertebal rasa tertarik umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani.
Khalifah al-Mansur yang sering
dilukiskan sebagai tokoh yang keras, suka mempekerjakan dokter-dokter, para
cerdik pandai, dan astrolog-astrolog di istananya. Dia mengangkat ahli medis
paling masyhur, Georgius bin Jabra’il, kepala sekolah kedokteran Jundishapur di Persia, dan muridnya Isa bin
Syahlata, sebagai dokter istana.
Diantara para astrolog yang paling terkenal adalah seorang Persia dari keluarga para cendikiawan astrolog,
al-Naubakti. Dia juga memilih sarjana-sarjana terkenal untuk menerjemahkan
karya-karya medis dan lainnya untuk dirinya. Yang terkenal diantara mereka
adalah al-Bithriq, yang dianggap berjasa atas sejumlah terjemahan di bidang
kedokteran dan astrologi.[13]
Untuk mentransfer karya-karya Yunani
ke dalam Islam, al-Manshur lebih berminat kepada filasafat dan ilmu pengetahuan
dan memberikan dukungan besar serta perlindungan bagi kegiatan penerjemahan.
Tetapi karena langkahnya penerjemah handal dan bahan-bahan ilmiah dan filosofis
Yunani, proses penerjemahan tidak mendapat kemajuan sesuai yang diharapkan
sampai menjelang permulaan abad ke-9 M.
Pendauran
budaya Yunani yang telah dirintis al-Mansur dilanjutkan oleh Khalifah
al-Rasyid. Ketika berkuasa, ia mendirikan sebuah rumah sakit. Pembangunan rumah
sakit ini akhirnya mempengaruhi umat Islam untuk belajar ilmu kedokteran. Selain melalui karya-karya literatur, umat
Islam juga memperoleh pengetahuan kesehatan melalui praktek-praktek pengobatan
di rumah sakit.
Ketika
al-Ma’mun berkuasa, ia selangkah lebih maju dari ayahnya dengan mendirikan Bait
al-Hikmah, suatu lembaga dan perpustakaan rasional untuk kegiatan
penelitian dan penerjemahan pada 830 M. Lembaga ini dijadikan sebagai basisi pengumpulan
manuskrip-manuskrip Yunani dan pusat penerjemahan buku-buku sains dari Yunani.
Demi menyediakan dan melengkapi perpustakaan, al-Ma’mun mengirim utusan ke
Bizantium untuk memperoleh naskah-naskah lama karya Hellenisme yang kemudian
diterjemahkan oleh sekelompok sarjana
seperti, Yahyah bin Maswaih yang telah mengabdi ke pada al-Manshur dan
Harun al-Rasyid dan telah diangkat sebagai pimpinan lembaga baru itu; al-Hajaj
bin Mathar dan Yahya bin al-Bitriq.[14]
Menurut Bayard
Dodge, lembaga ini lebih mirip dengan musium Ptolemy di Alexandria (Mesir)
ketimbang sebagai universitas moderen. Dalam Bait al-Hikmah terdapat sebuah
observatorium astronomi. Wacana-wacana yang
menjadi objek penelitian dan penerjemahan adalah karya-karya tulisan Plato,
Aristoteles, Hippocrates, Galen, Ptolemi dan sebagainya. Karya-karya mereka
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Begitu
banyak karya-karya warisan Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Karena penerjemahan tersebut dilakukan secara besar-besaran, tidak heran jika
Bernad Lewis menyatakan bahwa Islam adalah pewaris pusaka Hellenisme ketiga
setelah Greek dan Latin Christendom.[15]
Karya-karya yang diterjemahkan bukan hanya pemikiran Yunani yang ditulis
oleh orang-orang Nestorian, Pagan, dan
pengikut Neo Platonisme yang tinggal di
Siria, Mesopotamia, dan Persia, tetapi juga buku-buku berbahasa Yunani yang di
bawah dari daerah-daerah Bizantium yang telah ditaklukkan oleh Islam.
Dilaporkan bahwa khalifah al-Rasyid mengirim utusan ke Raja Leon dari Bizantium
untuk mencari manuskrip-manuskrip Yunani.[16]
Salah seorang pionir penerjemah pemikiran
Yunani adalah Abu Yahya al-Batriq di bawah patronase al-Manshur. Ia telah
menerjemahkan karya-karya besar Galen, Hippocrates, dan Ptolemi, Quadripatrium.
Karya lainnya adalah Elements karya Euclid, dan Al-Majisthi (Megiste).
[17]
Kegiatan
penerjemahan dan kajian ilmu pengetahuan dan falsafat yang telah dipelapori
oleh penguasa-penguasa Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, menjadi contoh bagi
penguasa-penguasa dan pejabat-pejabat lainnyauntuk melaksanakan kegiatan
penerjemahan dan menciptakan suasana belajar yang menarik minat umat Islam
untuk mengkaji warisan Hellenisme.
Khalifah-kahlifah
dan pejabat istana membudayakan sistem
majelis-majelis di istana-istana mereka dan memberikan bantuan-bantuan
finansial untuk mendorong semangat
belajar untuk mendidik umat Islam.
Orang-orang kaya juga tidak ketinggalan turut serta mendukung semaraknya
kegiatan keilmuan, misalnya dermawan
bani Musa di Bagdad dan Ibnu Suwwar di Basrah telah memberikan patronase
terhadap umat Islam untuk mengadakan penelitian.
Selain Bagdad dan Basrah, Mesir juga
merupakan pusat kajian keilmuan. Sebelum akhir abad ke-19 M. Ibn Tulun
membangun sebuah rumah sakit, seperti halnya di Bagdad, rumah sakit ini bukan
hanya berfungsi sebagai pusat pengobatan, tetapi juga sebagai lembaga
pengkajian dan penelitian serta pengembangan ilmu medicine. Pada 988 seorang
khalifah Dinasti Fatimiyyah menyediakan wakaf untuk mengelola pelaksanaan
pendidikan tingakat tinggi di Masjid
al-Azhar dimana selama beberapa tahun filsafat dan astronomi diajarkan sebagai
pelajaran bahasa dan al-Qur’an (tafsir).
Dinasty
Abbasyah, dan Dinasty Fatimiyah juga
memilki penghargaan yang sangat tinggi
tehadap pendidikan Islam. Penguasa-penguasa sangat memperhatikan
pelaksanaan pendidikan yang berusaha melengkapi fasilitas kegiatan keilmuan.
Mereka berusaha keras untuk mengadakan koleksi manuskrip-manuskrip dan
mendirikan perpustakaan yang diberi nama Dar al-‘Ilm. Pada 1005Khalifah
al-Hakim mendirikan sebuah lembaga penelitian sekaligus perguruan tinggi yang
diberi nama Dar al-Hikmah.
Lembaga ini dibangun untuk menandingi lembaga Bait al-hikmah di Bagdad.
Ulama-ulama dan
mahasiswa-mahasisiwa yang datang ke Daral-Hikmah diberi pelayanan yang cukup
memuaskan. Di sana disediakan kertas,
tinta, dan alat tulis bagi mereka yang mengunjungi Dar al-Hikmah, dan disediakan ruangan belajar
untuk menjamin kenyamanan kerja mereka.
Bagi pengunjung wanita disediakan ruangan tersendiri. Selain itu, al-Hakim juga
membangun gedung observatorium dipuncak dibalik Cairo. Untuk menangani
pengelolaan gedung ini, diangkat sarjana-sarjana terkenal, yang bertugas mengadakan
pengamatan astronomi.
Kontak
intelektual dengan Hellenisme membawa pengaruh yang sangat dalam bagi peradaban
Islam, khususnya di bidang pemikiran Islam. Penerjemahan terhadap karya-karya
Hellenisme tidak hanya meninggalkan karya-karya terjemahan belaka atau karya
saduran belaka. Pada awal penerjemahan banyak bermunculan karya-karya Muslim
yang biasanya berjudul ikhtisiar atau interpertasi buku-buku yang berasal dari
Yunani. Selanjutnya, lahirlah generasi penulis-penulis Muslim orisinal. Mereka
tidak lagi menerjemahkan, membuat ikhtisiar, komentar atau sekedar mengutip, tetapi juga telah mengembangkannya
dengan melakukan perenungan, pengamatan ilmiah, dan memadukan dengan
ajaran-ajaran Islam.
Dalam
bidang filsafat, tampillah al-Kindi sebagai perintis intelektual Islam. Nama
lengkapnya Abu Y’akub bin Ishak al-Kindi (wafat sekitar 257/870). Dia dikenal
sebagai filosof al-Arab (filosof
bangsa Arab) di samping sebagai sebagai Muslim pertama. Dia diketahui sebagai
seorang penulis yang ensiklopedis dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Namun
sayangnya banyak karyanya yang hilang. Sekitar 242 karya tulis baik besar
maupun kecil dinisbahtkan oleh al-Nadim kepadanya, berupa karangan atau surat
yang berkaitan tentang logika, metafisika, aritmatika, ilmu kalam, musik
astronomi, geometri, kedokteran, astrologi, teologi, ilmu lingkaran, politik,
meteorologi, topografi, ilmu meramal, dan kimia. Sekalipun tulisannya mencakup berbagai bidang, al-
Kindi lebih tersohor namanya sebagai filosof Muslim.
Dengan penuh kesungguhan
menggunakan sistem argumentasi filsafat, di menyusun risalah untuk menopang
ajaran pokok Islam tentang tauhid. Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam,
khususnya yang dalam bentuk
sistimatisnya terwakili oleh ilmu kalam Mu’tazilah, al-Kindi dengan
tegas menolak Paham Aristoteles tentang keabadian alam.
Menurut al-Kindi Tuhan adalah
pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam
baginya bukan kekal di zaman lampau, tetapi mempunyai permulaan. Filsafat
menemui momentumnya yang baru, setelah muncul al-Farabi dalam pentas
intelektual Islam masa klasik. Nama lengkapnya adalah Abu Nasar Muhammad
al-Farabi yang lahir di desa Farab (Transoxania) pada tahun 870 M. Dia penerus
tradisi intelektual al-Kindi, tetapi dengan kompetensi, kreativitas, kebebasan
berfikir dan tingkat sofistikasi yang lebih tinggi. Jika al-Kindi dipandang
sebagai filosof Muslim pertama, al-Farabi disepakati sebagai peletak
sesungguhnya dasar piramida falsafah dalam Islam, yang sejak itu dibangun dengan tekun.
Al-Farabi
termashur namanya dalam bidang logika dan sebagai juru bicara Plato dan
Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika kepada seorang sarjana Kristen, Yuhanna bin Hailan di Bagdad. Dalam
waktu tidak lama, ia dapat mengungguli semua lawan sebayanya yang Muslim. Ia
memperbaiki studi logika, meluaskan, dan melengkapi aspek-aspek yang lebih
rumit dari yang telah ditinggalkan al-Kindi.[18] Keahlian al-farabi di bidang logika dapat
diukur dari jumlah dan kelengkapan komentar tentang logikanya.
Komentar-komentarnya yang lebih luas, cukup memberi alasan untuk membenarkan
penghormatan yang tinggi yang diberikan oleh kawan-kawan sesamanya.
Lebih
dari satu abad setelah al-Farabi, muncullah ahli filsafat Islam bernama Abi Ali
Husein bin Abdillah bin Sina-Ibn Sina, yang lahir di Afsyana suatu tempat yang
berlokasi di dekat Bukhara pada tahun 980 M. Di tangannya filsafat Islam
mencapai puncaknyadan dialah yang terbesar diantara sekian pemikir yang
menuliskan karya filsafatnya dalam bahasa Arab.[19] Melaluinya sistem Yunani, khususnya
filsafat ditransformasikan ke dalam Islam. Karena prestasinya yang cemerlang
Ibn Sina memperoleh gelar kehormatan sebagai “al-Syaikh al-Rais” (Kiyai
Utama).
Ibn
Sina adalah penulis Muslim yang luar biasa produktifnya. Banyak sekali
karangannya, tetapi yang paling terkenal adalah al-Syifa’, suatu karya ensiklopedis
tentang fisika, metafisika, dan
matematika yang terdiri atas 18 jilid. Tafsirannya terhadap filsafat
Aristoteles sangat masyhur di Eropa, dan lebih masyhur dari pada al-Farabi.[20]
Bila
dibandingkan dengan Ibn Rusyid yang lebih dikenal di Eropa daripada semuanya.
Nama lengkapnya Ali Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Di barat dikenal dengan
Averroes. Dia lahir di Cordova pada 1126 dari keluarga qadhi
dan ahli teologi. Nurcholis Madjid
menggambarkan Ibn Rusyd sebagai seorang yang memilki kemampuan
intelektual yang luar biasa. Dia diakui sebagai ahli Aristoteles
yang terakhir dan terbesar dalam Islam.
Diantara filosof Muslim,
dialah yang paling dikenal di Barat karena konstribusinya baik di bidang filsafat
maupun ilmu pengetahuan. Dilihat dari sudut sejarah filsafat di Eropa Barat,
dia dianggap sebagai penafsir Aristoteles yang terbesar sepanjang masa. Dia
menjadi sumber utama Aristotelianisme Eropa pada abad pertengahan, dan untuk
jangka waktu lama Ibn Rusyd mempengaruhi jalan berfikir Eropa, antara lain
tercantum dalam apa yang dikenal dengan
Averroisme Latin.[21]
Dari akhir abad ke 12 sampai ke 16 M. Averroisme tetap domainan di
Barat.
Kebesaran
Ibn Rusyd di dunia Islam, tidak seperti di Eropa. Sumbangannya di bidang
intelelktual banyak yang kurang mendapat tempat di hati umat Islam sehingga
penguasa Islam, yaitu Abu Yusuf Ya’kub al-Mansur, memerintahkan untuk membakar
semua karya Ibn Rusyd kecuali yang murni bersifat ilmu pengetahuan seperti
kedokteran, matematika, dan astronomi, atas tuduhan telah membuat bid’ah.[22]
Bila dalam bidang filsafat,
tercatat nama-nama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, di
bidang kedokteran terukir nama seperti Abu Bakar Muhammad bin Zakariyah al-Razi
(865-925), Dia dikenal sebagai ahli dokter Muslim terbesar, paling orisinal dan
terbanyak tulisannya. Al-Nidam
mencatat 130 karya besar dan 28 karya kecil al-Razi. Dia telah mengarang buku
tentang penyakit cacar dan campak. (al-Judari wa al-Hasbah). Buku ini
telah diterjemahkan dalam bahasa Latin di Vinice di tahun 1565 dan keberbagai
bahasa. Karyanya yang paling penting adalah al-Hawi yang terdiri dari 28 Jilid,
membahas berbagai cabang ilmu kedokteran. Buku ini diterjemahkan ke dalam
bahasa latin pada tahun 1279 dan menjadi buku pegangan penting berabad-abad
lamanya di Eropa. Al-Hawi merupakan salah satu dari kesembilan karangan (penting) di perpustakaan Fakultas Kedokteran
Paris di tahun 1395 M.[23]
Ibn Sina juga menyumbangkan
karyanya bagi kebesaran dunia medical Islam. Karyanya al-Qanun fi al-Tibb telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, berpuluh kali dicetak dan tetap dipakai di
Eropa sampai pertengahan kedua dari abad ke-17.
Demikian bukti sejarah
kejayaan Islam yang dicapai oleh umatnya pada aspek sains disebabkan karena
penghargaan Islam yang tinggi terhadap sains. Ilmu pengetahuan digunakan untuk
mengeksplorasi terhadap hukum alam dan dimensi fisik dari benda-benda alam
hanya untuk menjelaskan tatanan
kosmologi, esensi kualitatif memegang nilai dan prioritas lebih tinggi terhadap kebesaran Allah atas penciptaan
alam. Atas dasar itulah, gaung atmospir pendidikan dalam Islam semakin membumi
dan menjaman.
D. FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN.
Sebagaimana kita maklumi
bahwa teori pendidikan yang akan kita bangun harus didasari dengan menguak
metode-metode yang proporsional dan cemerlang. Analisa filsafat tentang
masalah-masalah kependidikan tersebut dengan berbagai cara pendekatannya, akan
dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah
kependidikan tersebut dan atas dasar itu bisa disusun sistematis teori-teori pendidikan.
Di samping itu jawaban-jawaban yang telah dikemukakan oleh jenis dan aliran
filsafat itu. Sepanjang sejarah terhadap problematika pendidikan yang
dihadapinya menunjukan pandangan-pandangan tertentu, yang tentunya juga akan
memperkaya teori-teori pendidikan. Dengan demikian terdapat hubungan fungsional
antara filsafat dan pendidikan.
Hubungan
fungsional antara filsafat dan teori pendidikan tersebut secara lebih rinci
dikemukakan sebagi berikut :
1.
Filsafat, dalam arti analisa
filsafat adalah merupakan salah satu cara
pendekatan yang digunakan oleh para ahli pendidikan dalam memecahkan
problematika pendidikan dan menyusun
teori-teori pendidikan. Di samping menggunakan metode-metode ilmiah lainnya
sementara itu dengan filsafat sebagai pandangan tertentu terhadap sesuatu objek, misalnya; filsafat
idealisme, realisme, materialisme dan sebagainya. Akan mewarnai pandangan ahli pendidikan tersebut
dalam teori-teori pendidikan yang dikembangkanya tersebut. Aliran filsafat itu
akan mempengaruhi dan memberikan bentuk serta corak itu terhadap teori-teori
pendidikan yang dikembangkan atas dasar aliran filsafat tersebut. dengan kata
lain, teori-teori dan pandangan filsafat pendidikan dikembangkan oleh seorang
filosof, itu berdasarkan dan bercorak serta diwarnai oleh pandangan dan aliran
filsafat yang dianutnya.
2.
Filsafat
juga berfungsi memberikan arah agar teori pendidikan yang telah dikembangkan
oleh para ahlinya yang berdasarkan dan menurut pandangan dan aliran filsafat
tentu mempunyai relefansi dengan kehidupan nyata. Artinya mengarahkan agar
teori-teori dengan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangakan
tersebut bisa diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai dengan kenyataan dan
kebutuhan hidup yang juga berkembang dalam masyarakat di samping itu adalah
merupakan kenyataan bahwa setiap masyarakat hidup dengan pandangan dan filsafat
hidupnya. Disinilah fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan
mengarahkan teori-teori pendidikan dan kalau pelu juga merevisi teori pendidikan tersebut. sesuai
dengan tuntutan zaman.
3.
Filsafat
termasuk juga filsafat pendidikan juga mempunyai fungsi memberi petunjuk dan
arah dalam pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu pendidikan atau
paedagogik. Suatu praktek kependidikan yang didasarkan oleh suatu filsafat
pendidikan tertentu akan menghasilkan dan menimbulkan bentuk-bentuk
dan gejala-gejala kependidikan yang tertentu pula. Hal ini adalah
merupakan data-data kependidikan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu. Analisa filsafat berusaha untuk
menganalisis dan memberikan arti terhadap data-data kependidikan tersebut. dan
untuk selanjutnya menyimpulkan serta dapat di susun. Teori-teori pendidikan
yang realistis selanjutnya akan berkembanglah ilmu pendidikan (paedagogik).
Di samping
hubungan fungsional tersebut antara filsafat dan teori pendidikan, juga
terdapat hubungan yang bersifat suplamenter, sebagaimana dikemukakan oleh Ali
Saifullah dalam bukunya “Aliran Filsafat dan Pendidikan” sebagai berikut :
Filsafat pendidikan suatu lapangan studi mengarahkan
pusat perhatiannya dan memusatkan kegiatannya pada dua fungsi tugas normatif
ilmiah, yakni :
a.
kegiatan
merumuskan dasar-dasar dan tujuan-tujuan pendidikan, konsep tentang sifat
hakikat manusia serta konsepsi hakikat dan segi pendidikan serta isi moral
pendidikan.
b.
Kegiatan
merumuskan sistem atau teori pendidikan
(science of education) yang meliputi politik pendidikan, metodologi
pendidikan dan pengajaran, termasuk pola-pola akulturasi dan peran pendidikan
dalam membangun masyarakat dan negara.[24]
H. KESIMPULAN
Filsafat Yunani adalah kegiatan
berfikir yang dilakukan oleh para filosof Yunani untuk mencari hakekat
kebenaran yang penuh kebijakan dalam
menata tata dunia baru yang lebih bijaksana, elegan dan dinamis dalam mengapresisikan
pemikiran-pemikiran yang konstruktif. Dengan adanya pendidikan, manusia semakin
berbudaya dan berperadaban dalam mengembangkan kepribadiannya yang lebih
kreatif, inovatif dan produktif.
Ketertarikan umat Islam terhadap
kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan penerjemahan buku-buku Yunani kedalam
bahasa Arab. Penerjemahan ini pertama kali dilaksanakan di masa Dinasti
Umayyah. Ketertarikan umat Islam akan warisan Yunani semakin besar setelah
terjadi kontak yang makin dekat dengan
warisan Yunani. Semenjak al-Mansur naik Tahta, umat Islam semakin hari semakin
terbawa oleh pengaruh peradaban Yunani.
Filsafat Yunani mulai berpengaruh di kalangan
ilmuan muslim pada masa pemerintahan Bani Umayyah dan mencapai puncaknya pada
masa Bani Abbasiyah ketika karya-karya filosof Yunani diterjemahkan ke dalam
bahasa Syiria oleh Humayin dan anaknya menerjemahkan dalam bahasa Syiria ke
bahasa Arab
KEPUSTAKAAN
A.Myers, Eugene, Arabic Thought and The
Western World In The Golden Age, (New York: Fredrick Urgar Publishty Co.,
1964)
Alavi, Ziauddin, Pemikiran Pendidikan
Islam Pada Abad Klasik, dan Pertengahan, Terjemahan Abuddin Nata (Canada :
Moutreal, 2000)
C.A.Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam,
Terjemahan Hasan basri, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989)
Dodge,
Bayard, Muslim Educational in
Medieval Times, (Washington:The Middle East Institute, 1 962)
Edward Mc. Nall Burns dan philip Lee Ralp, Civilizations
From Ancient to Contemporary, (Newyork:W.W.Norton and Company, Inc, 1963)
Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Terjemahan oleh R.Mulyadi kartanegara,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1987)
George F.F, The Origius Of Islamic
Philosophical Theology (Albany :
Suli Press)
Hanafi, Ahmad, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990)
Hasan, Fuad, Pengatar
Filsafat Barat (Jakarta : Pustaka
Jaya, 1966), h. 23.
Jalaluddin dan Usman, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo, 1996), h. 136.
K. Hitti, Philip, History Of Arab, (London: MacMillan Press Ltd., 1974)
Lewis, Bernad, Bangsa
Arab dalam Lintasan sejarah, Terjemahan Jumhuri, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 1988)
M. Lapidus, Ira, A.History Of Islamic Societis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991)
Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, (England:
Longman Group, 1978)
----------------------, Islam
Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1995)
Michael Stanton, Charles, Higher
Learning In Islam: The Classical Period, AD. 700-1300, (Maryland: Rowman and Littlefield Inc., 1990)
Munawwarah, Djunaidatul, Filsafat
Pendidikan Perspektif Islam dan Umum, (Jakarta:UIN Press, 2003)
Nasution, Harun, Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1997)
--------------------, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1,(Jakarta: UI Press, 1985)
--------------------, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid
II,(Jakarta: UI. Press, 1985)
S.
Surrasumantri,Jujun, Ilmu Dalam
Prospektif (Jakarta; Gramedia, 1982)
Saifullah, Ali HA. Antara Filsafat dan
Pendidikan (Surabaya : Usaha Nasional, 1984)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam.
(Jakartaa; Hidakarya Agung, 1996)
Zuhairini dkk, Filsafat
Pendidikan Islam ( Jakarta; Bumi Aksara, 1995)
[1] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, Jilid II,(Jakarta: UI. Press, 1985), h. 46-47.
[3] Charus Michael Staunoh, Higler
Learning In Islam (Cet. ; Jakarta : Logos, 1994) lihat pula Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakartaa; Hidakarya Agung,
1996),
[4] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan
Islam ( Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h. 7
[5] Jujun S. Surrasumantri, Ilmu Dalam
Prospektif (Jakarta; Gramedia,
1982), h. 4.
[6] Menurut Nurcholis Madjid, istilah “Hellenisme” pertama kali
diperkenalkan ahli sejarah dari Jerman, J.G. Droysen. Droysen menggunakan
istilah “Hellenisme” sebagai sebutan untuk masa yang dianggapnya sebagai
periode peralihan antara Yunani kono dan dunia Kristen, Lihat Nurcholis Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan, dan Kemoderenan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.233. Berbeda
dengan Droysen, beberapa ahli sejarah, seperti Bernad Lewis dan Philip K.
Hitti, menggunakan istilah “Hellenisme” sebagai sebutan untuk adopsi peradaban
Yunani, baik peradaban Yunani kuno maupun peradaban Yunani pada masa sesudah
meninggalnya Alexander Agung sampai berkuasanya Romawi terhadap wilayah bekas
kekuasaan Alexander Agung. Peradaban Hellenisme dapat dibedakan atas peradaban
Hellenis dan Hellenistik, yang berasal kata “Hellene”artinya Greek atau Yunani. Hellenis adalah peradaban Yunani
Kuno mulai 776 S.M. Sampai meninggalnya Alexander Agung pada 323 S.M.Sedangkan
Hellistik adalah peradaban Yunani pada masa sejak meninggalnya Alexander Agung
sampai berkuasanya Romawi atas wilayah-wilayah Hellenistik. Lihat Edward Mc. Nall Burns dan philip Lee Ralp, Civilizations
From Ancient to Contemporary, (Newyork:W.W.Norton and Company, Inc, 1963),
Vol.I, h. 246-247.
[7] Charles Michael Stanton, Higher Learning In Islam: The Classical
Period, AD. 700-1300, (Maryland:
Rowman and Littlefield Inc., 1990), h.53-54.
[8] Ibid, h.54.
[9] C.A.Qadir, Filsafat dan
Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Terjemahan Hasan basri, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1989), h.35.
[10] Ira M. Lapidus, A.History Of Islamic Societis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1991),
h.94.
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jilid 1,(Jakarta: UI Press, 1985), h.16.
[12] Bayard Dodge, Muslim
Educational in Medieval Times, (Washington:The Middle East Institute,
1962), h.16.
[13] Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, Terjemahan oleh R.Mulyadi kartanegara,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), h.34.
[15] Bernad Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan sejarah, Terjemahan Jumhuri, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1988), h. 140
[16] Eugene A.Myers, Arabic Thought and The Western World In The
Golden Age, (New York: Fredrick Urgar Publishty Co., 1964), h. 68.
[17] Philip K. Hitti, History Of Arab, (London: MacMillan Press Ltd., 1974), h.311
[18] Lihat, Ahmad hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), h.73
[19] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (England:
Longman Group, 1978), h.32-33.
[20] Harun Nasution, Islan
Ditinjau… Op.Cit., h.73.
[21] Ibid., h.36.
[22] Nurchoilsh Madjid, Khazanah…Op.Cit., h.37.
[23] Philip K.Hitti, Op.Cit. , h.365-366.
[24] Ali Saifullah HA. Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya :
Usaha Nasional, 1984), h. 13. Lihat pula, Junaidin Munawwaroh, Filsafat
Pendidikan Perspektif Islam dan Umum, (Jakarta: UIN Press, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar